Clifford Geertz tentang Sukarno

in Nukilan by

Dalam bagian yang dinukil dari karyanya Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia (diterjemahkan oleh Hasan Basari dan diterbitkan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial pada 1982 dengan judul Islam Yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia), antropolog dan Indonesianis asal Amerika, Clifford Geertz, menilai Sukarno sebagai sosok yang hanya memiliki ideologi, dan sejarah hidupnya pun menunjukkan sebuah kurva antuasisme ideologis yang terus menanjak tapi sayang dunia di sekitarnya tidak berkembang menurut citra sang pemimpin.

Kisah mengenai Sukarno adalah lebih sederhana akan tetapi juga lebih kompleks (pada bagian sebelumnya, Geertz membahas Mohammed V, raja dan penggerak kemerdekaan Maroko–red). Sebagai anak seorang guru Jawa, dan dengan demikian sebagai anggota kelas priyayi kecil, ia tidak dapat mengharapkan bahwa baginya sudah tersedia peranan yang sudah mapan. Di Yogyakarta dan Surakarta, masih ada keraton-keraton Jawa, sisa-sisa dari Mataram di masa lampau; akan tetapi keraton-keraton itu sama sekali tak mempunyai fungsi politik dan tak dapat diharapkan sedikit pun akan mempunyai fungsi yang sedemikian.

Sejak permulaan karirnya sampai kepada apa yang kelihatannya merupakan akhir dari karirnya itu, Sukarno harus menciptakan sendiri lembaga-lembaga yang ia perlukan sambil berjalan. Ia adalah seorang amatir, seorang parvenu (seorang yang relatif baru untuk sebuah kelas sosial-ekonomi tertentu–red), seorang eklektik, seorang otodidak. la belajar melalui telinganya.

Sebagai seorang revolusioner sejati, riwayat hidupnya bagaikan laporan yang terdapat dalam dokumen-dokumen deuxieme bureau (biro intelijen militer–red). Tahun 1916: menumpang di rumah HOS Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam, organisasi nasionalis massa yang pertama di Indonesia, dan ia menjadi anggotanya. Tahun 1925: di Bandung, di mana ia belajar untuk menjadi insinyur, ia mendirikan sebuah perkumpulan politik di kalangan mahasiswa. Tahun 1927: mengubah perkumpulan itu menjadi Partai Nasional Indonesia dan menjadi pemimpinnya. Tahun 1929: ditangkap oleh Belanda karena kegiatan-kegiatan politik; diseret ke pengadilan; dipenjara selama dua tahun. Tahun 1932: dikeluarkan dari penjara; terpilih sebagai pemimpin Partai Nasional, yang sekarang menggunakan nama baru. Tahun 1933: kembali ditangkap, dibuang tanpa diadili ke Flores. Tahun 1942: dibebaskan oleh Jepang yang menduduki Indonesia; diangkat untuk memimpin sejumlah organisasi massa. Tahun 1945: bersama-sama dengan Mohammad Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia; memimpin republik revolusioner ini dan  peperangannya melawan Belanda. Tahun 1949: menjadi presiden pertama dari Indonesia yang sudah merdeka. Tahun 1960: membubarkan parlemen; melarang partai-partai oposisi; menegakkan suatu otokrasi presidensial. Tahun 1967: digantikan, secara de facto meski tidak secara resmi, sebagai kepala negara oleh pihak militer yang mengambil alih kekuasaan; minggir untuk menantikan maut atau putaran baru dari roda nasib. Limapuluh tahun penuh dengan kesibukan beragitasi, berkomplot, menciptakan cara-cara baru, dan bersiasat; suatu kehidupan penuh gejolak.

“Aku diikat oleh kegandungan jiwaku kepada romantika revolusi,” demikian ia berseru ketika ia “mengubur” apa yang ia namakan “free-fight liberalism” dan “demokrasi borjuis”. “Aku mendapat ilham daripadanya. Aku terpesona olehnya. Aku tenggelam di dalamnya. Aku tergila-gila olehnya, aku keranjingan romantika revolusi.”1Bagian ini dikutip Geertz dari: Willard A Hanna. 1961. Bung Karno’s Indonesia. New York: American Universities Field Staff, Inc

Seperti halnya dengan kebanyakan mania, gejala-gejalanya menampakkan diri secara pelan-pelan, akan tetapi kecenderungannya sudah ada sejak semula. Sejak ia tinggal di rumah Tjokroaminoto, di mana para bakal pemimpin dari pelbagai aliran dan gerakan nasionalis — skripturalis, tradisionalis, asimilasionis, Marxis — bertemu untuk memperdebatkan soal-soal prinsip dan taktik, melewati tahap perbedaan-perbedaan paham tentang revolusi, sampai kepada keputusasaan usaha untuk mempertahankan “Demokrasi Terpimpin” dengan slogan-slogan, Sukarno menempuh suatu kurva antusiasme ideologis yang terus menanjak. Kepandaiannya yang sangat besar, semuanya bersifat retorik, termasuk juga yang tidak dinyatakan dengan kata-kata. Kalau Mohammed V bertindak secara tenang, malahan dengan sikap segan-segan, untuk menggunakan kekuatan yang terdapat secara inheren di dalam suatu lembaga yang sudah mapan, maka Sukarno menempuh cara yang lantang dan riuh-rendah, untuk memikat imajinasi suatu bangsa yang mengira bahwa zaman raja-raja sudah lampau.

Corak yang sangat intelektualis dari nasionalisme Indonesia, yang secara ekstrem mengandalkan kepada apa yang oleh Herbert Feith dinamakan “manipulasi simbol”, seringkali dicatat orang akan tetapi, menurut hemat saya, jarang saja dipahami. Sukarno tidak saja tidak mewarisi takhta. Ia juga tidak memiliki suatu organisasi partai yang komprehensif seperti, umpamanya, yang dimiliki Nkrumah di Ghana. Ia tidak memiliki korps pamong praja yang sudah dimodernisasi seperti yang dimiliki Nehru di India. Ia tidak mempunyai tentara kerakyatan seperti yang dipunyai Nasser di Mesir. Ia malahan tidak mempunyai borjuasi pribumi seperti yang terdapat di Filipina yang oleh Quezon dijadikan landasan pembangunannya, atau kebanggaan kesukuan yang dijadikan landasan pembangunan oleh Kenyatta di Kenya. Ia hanya mempunyai ideologi dan orang-orang yang paling tertarik oleh ideologi — yakni kaum intelegensia. Peranan seorang intelektual — tokoh yang tidak dapat diandalkan yang oleh Real de Curban didefinisikan sebagai orang yang lebih pintar berbahasa Latin daripada memiliki harta benda (meskipun dalam hal ini, bahasanya adalah bahasa Belanda) — adalah sama besarnya dalam nasionalisme Indonesia seperti dalam nasionalisme negara-negara baru lainnya kecuali, mungkin, Aljazair. Orang-orang yang secara mengerikan menyederhanakan segala sesuatunya, sebagaimana yang digambarkan oleh Burkhardt, telah menemukan “Erewhon” (Negeri Utopia) mereka di Indonesia, dan Sukano-lah, dengan segala keuletan dan kepandaiannya, yang boleh dikatakan pada setiap persimpangan jalan yang menentukan, memberikan kepada mereka penyederhanaan-penyederhanaan yang diperlukan.

Menyederhanakan penyederhanaan bukanlah suatu pekerjaan yang menarik. Akan tetapi dalam gerak maju Sukarno dan Indonesia menuju apa yang ia sendiri namakan suatu mythos, terdapat tiga tahap ideologis yang utama — yang pertama berpusat sekitar agitasinya di zaman Kolonial; yang kedua berpusat sekitar Revolusi; dan yang ketiga berpusat sekitar masa otokrasi presidensial. Sebagai tahap-tahap, di mana yang satu tumbuh dari yang lainnya, maka  tahap yang kemudian tidak menggantikan tahap yang terdahulu, melainkan mencakupnya dalam suatu kompleks simbol-simbol yang semakin berkembang. Meskipun demikian, tahap-tahap itu menandai langkah-langkah yang dapat dibedakan yang satu dari yang lainnya, dalam gerak maju menuju penciptaan kembali suatu negara teater, untuk menghidupkan kembali politik teladan, dalam menghadapi purisme, baik yang memakai cap skripturalis maupun yang memakai cap Marxis.

Tahap zaman Kolonial secara garis besarnya terdiri dari usaha untuk membebaskan diri dari skripturalis dan Marxisme, dan membentuk satu ideologi yang “asli Indonesia”. Setelah dalam tahun 1921 Sarekat Islam pecah menjadi sayap skripturalis dan sayap Marxis — yang disebut paling akhir itu tidak lama kemudian tumbuh menjadi Partai Komunis Indonesia — Sukarno, dengan mendirikan Partai Nasional, mulai dengan usahanya menciptakan ideologi demikian. Ideologi itu, yang diberi nama “Marhaenisme” — dari nama seorang petani miskin yang ia jumpai dan ia ajak bercakap-cakap pada satu hari ketika ia sedang berjalan-jalan melalui sawah pada akhir tahun-tahun 1920-an — didasarkan atas pembedaan antara, di satu pihak, petani kecil, pedagang kecil, tukang, kusir gerobak dan sebagainya, yang memiliki tanah sendiri, perkakas sendiri, kuda sendiri, atau apa saja, artinya memiliki harta benda tapi miskin, dan, di lain pihak, proletar yang sesungguhnya menurut paham Marx, yakni orang yang menjual tenaganya tanpa ikut memiliki alat-alat produksi.

Indonesia merupakan masyarakat dari orang-orang seperti petani Marhaen; seperti yang dikemukakannya dalam pembelaannya yang sangat terkenal di muka pengadilan di Bandung tahun 1929. Kolonialisme telah membuat setiap orang dan segala sesuatunya menjadi kecil — petani, pekerja, pedagang, jurutulis, semuanya pada akhirnya mendapat “cap ukuran kecil”. Sebagai sebuah doktrin, Marhaenisme hanyalah suatu populisme primitif, suatu mistik aksi massa, dan ia tidak pernah menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Akan tetapi dengan doktrin itu, Sukarno, seperti dikatakannya sendiri, telah membebaskan diri dari keharusan untuk menantikan penyelamatan dengan sebuah pesawat terbang dari Moskwa atau khalifah dari Istanbul.

Akan tetapi orang-orang lainnya terus saja menunggu, dan menjelang pecahnya Revolusi, pertentangan di antara golongan-golongan politik yang terkemuka — Islam, Marxis dan populis — adalah luar biasa sengitnya. Oleh karena itu, maka penemuan ideologi berikutnya yang dilakukan oleh Sukarno adalah satu usaha untuk mengadakan sintesis. Di dalam apa yang dinamakan “Pancasila”, yang untuk pertama kalinya diutarakan dalam tahun 1945 sebagai suatu ideologi bagi repubIik yang akan lahir, ia berusaha meletakkan landasan bagi persatuan revolusioner dengan jalan memulihkan apa yang merupakan semacam keseimbangan kekuatan di bidang spiritual yang telah dihancurkan oleh peristiwa-peristiwa yang telah terjadi selama seratus tahun yang lalu, dan terutama selama duapuluh tahun yang terakhir. Di dalam Sila yang Lima — Nasionalisme, Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan sosial, dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa — setiap orang memperoleh bagiannya yang sesuai. Sukarno sendiri menganggap dirinya sebagai teladan dari integrasi eklektik semacam ini, suatu mikrokosmos ideologis.

“Aku adalah seorang penganut Karl Marx,” demikian katanya dalam salah satu pidatonya. “Akan tetapi, di pihak lain, aku adalah juga seorang yang beragama, oleh karena itu aku dapat memahami segala paham yang terletak antara Marxisme dan teisme … Aku mengetahui semua aliran dan memahaminya. Aku telah menjadikan diriku sebagai tempat bertemu semua aliran dan ideologi itu. Aku telah menggodok, menggodok, dan menggodok itu semua sampai pada akhimya menjadi Sukamo yang sekarang.”2Bagian ini dikutip Geertz dari: Louis Fisher. 1959. The Story of Indonesia. New York: Harper

Seperti diketahui umum, perkembangannya tidaklah begitu serasi dalam masyarakat pada umumnya: dunia di sekitarnya tidak secara otomatis berkembang menurut citra pemimpin teladannya. Menjelang 1957, dan malahan sebelum itu, kontras antara kosmos yang dilukiskan dalam Pancasila dan menjelma dalam diri Sukarno dan kekacauan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah cukup besar untuk tidak dilihat oleh pemuja-pemujanya yang paling penjilat sekalipun.

Ikhtiar Sukarno yang ketiga di bidang ideologi, yang akhirnya menghancurkannya ketika itu pun gagal, adalah berupa usaha untuk menyelaraskan kedua paham itu, tidak dengan jalan mengubah cita-citanya, karena itu keramat, tidak pula dengan memaksakannya oleh karena itu berada di luar kekuatannya, melainkan dengan jalan membentuk kembali (ia menggunakan kata Inggris buatannya sendiri, “re-shaping”) lembaga-Iembaga politik, dan bersamaan dengan itu moralitas politik dari pemerintah nasional agar dapat mencerminkannya secara lebih tepat. la menamakannya “Demokrasi Terpimpin”. Akan tetapi apa yang ia ciptakan, atau dicoba diciptakannya, adalah satu versi modern dari negara teater, sebuah negara yang dari pameran-pameran kemegahannya, mitos-mitos, tokoh-tokoh terkenal dan monumen-monumennya, petani kecil atau penjaja, Marhaen yang tahan menderita, dapat memperoleh gambaran tentang kebesaran bangsanya dan berusaha untuk mewujudkannya.

Kita tak perlu membahas secara mendetail unsur-unsur gelombang pasang yang menuju klimaks politik teladan itu — pembangunan mesjid terbesar di dunia, sebuah stadion olahraga yang kolosal, dan sebuah monumen nasional yang lebih tinggi daripada Manara Eiffel, lebih besar daripada Borobudur, dan dirancang agar dapat bertahan selama seribu tahun; seremonialisme sirkus dari Asian Games, Gerakan Hidup Baru, perjuangan membebaskan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia; labirin raja Kafka berupa Dewan Panasihat Agung, Dewan Perencanaan Nasional, kabinet yang beranggotakan 40 orang, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, dan di atas itu semua, jabatan presiden seumur hidup. Itu semua, bersama-sama dengan banjir singkatan-singkatan, slogan-slogan, ungkapan-ungkapan bersayap, dan proklamasi-proklamasi yang mengiringinya, telah dibahas panjang-lebar, meski tidak selalu secara mendalam, dalam Iiteratur mengenai Indonesia masa akhir-akhir ini. Bagi kita, yang penting adalah bahwa sesudah tahun 1960, doktrin yang menyatakan bahwa kesejahteraan negeri disebabkan oleh kemegahan ibukotanya, bahwa kemegahan ibukotanya disebabkan oleh kecermelangan elitenya, dan kecermelangan elitenya disebabkan oleh keunggulan keruhanian penguasanya, berlaku kembali sepenuhnya.

Namun demikian, di sini diperlukan kejelasan. Eksemplarisme baru itu tidaklah timbul dari ketidaksadaran koIektif bangsa Indonesia. Ia bukan kembalinya apa yang telah ditekan secara kultural. Sukarno, yang tidaklah begitu merakyat seperti yang ia khayalkan sendiri dan tidak seradikal ucapan-ucapannya, merupakan pewaris historis dari tradisi Hindu, seperti halnya Mohammed V dapat dipastikan merupakan pewaris kesultanan sharif. Seperti telah saya jelaskan di muka, tradisi ini dipertahankan oleh golongan priyayi yang sudah menjadi birokrat di zaman Kolonial. Dan dari kelas atas inilah — atau lebih tepat lagi, dari lapisan bawahnya yang revolusioner — Sukarno berasal dan, walaupun ia terus menghantam “feodalisme”, ia tak pernah keluar dari kelas ini dan ia tak pemah berhenti menjadi juru bicaranya. Gaya religiusnya adalah gaya Sukarno sendiri, begitu pula cita-citanya yang sudah disesuaikan dengan kondisi-kondisi modern dan dibersihkan dari sikap penurut kepada kaum penjajah. Dengan gayanya yang ekspansif, yang seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia, ia pada satu ketika berkata kepada Louis Fisher bahwa ia adalah sekaligus seorang Kristen, Muslim, dan Hindu. Akan tetapi yang ia hafal di luar kepala adalah lakon-lakon wayang dari Ramayana dan Mahabharata, dan bukan isi Kitab Injil atau Al-Qur’an; dan apabila ia memerlukan bimbingan ilahi maka ia mencarinya dengan mengheningkan cipta dan bukan di gereja atau mesjid. Sukarno pun telah mengalami saat-saat di pinggir sungai, dan apabila kita boleh mempercayainya, dan saya kira dalam hal ini sebaiknya kita percaya, maka kita dapat membayangkan bahwa apa yang telah dialaminya di sana adalah kira-kira sama dengan apa yang telah dialami oleh Kalijaga di Jepara.

Jika aku teringat akan pengalamanmu selama lima tahun tinggal di Flores, bagaimana, ketika aku duduk di pantai kala matahari terbenam … Aku mendengarkan deburnya ombak menerjang pantai, dan ketika aku duduk sendiri, tenggelam dalam renungan di pantai Flores itu, aku mendengar laut menyanyikan lagu pujian bagi Tuhan Yang Maha Kuasa: “Ya Allah, Tuhanku, Kau telah memberikan keindahan seperti ini kepada bangsa kami.” Jika aku teringat akan masaku di Bengkulu (di mana ia tinggal dalam pembuangan setelah dipindahkan dari Flores), di mana aku seringkali pergi ke luar kota masuk ke dalam hutan, angin meniup lembut di sela-sela pepohonan, daun-daun berjatuhan ke tanah. Angin itu yang meniup lembut di hutan, angin itu dalam pendengaranku menyanyikan lagu-lagu pujian, pujian Indonesia kepada Yang Maha Kuasa.3Bagian ini dikutip Geertz dari pidato Sukarno dalam ulang tahun ke-30 Partai Nasional Indonesia di Bandung pada 3 Juli 1957 yang berjudul “Marhaen dan Proletar”[]

Sekilas tentang Clifford Geertz
Clifford James Geertz (1926-2006) adalah antropolog asal Amerika yang memperoleh gelar doktor dari Harvard University. Karya-karyanya membuat Geertz disebut sebagai peletak dasar “Antropologi Simbolik” sekaligus sebagai indonesianis awal pada masa setelah Perang Dunia II. Salah satu karyanya, The Religion of Java (1960), melambungkan namanya lewat pujian dan kritik, antara lain, karena di dalamnya dia memilah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: abangan, santri, dan priyayi.  

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*