Marriage Story: Cinta yang Tak Terperikan

in Film by

Marriage Story bukan sekadar tentang pernikahan menjelang kehancurannya. Lebih dari itu, ia soal cinta yang tak terperikan; yang tenggelam dalam kesibukan; yang kelu di hadapan ego.

Cinta itu tentang menyukai hal-hal sederhana. Itulah yang dirasakan pasangan suami-istri Charlie (Adam Driver) dan Nicole (Scarlett Johansson).

“Dia selalu menyeduh secangkir teh yang tak diminumnya. Tak mudah baginya merapikan kaus kaki atau menutup lemari, atau mencuci piring, tapi dia mencobanya untukku,” kata Charlie tentang hal yang disukainya dari Nicole.

“Charlie makan seolah itu sulit sekali dan tak ada cukup makanan untuk semua. Roti lapis seolah mencekiknya saat ditelan. Dia sangat rapi, dan aku mengandalkannya menjaga kerapian. Dia sadar energi. Dia jarang bercermin. Dia mudah menangis di bioskop,” demikian pula Nicole tentang Charlie.

Begitulah Marriage Story (tayang di layanan streaming Netflix sejak 6 Desember 2019), film besutan terbaru Noah Baumbach, mengawali kisah. Dua monolog (voice over) yang sebenarnya adalah catatan keduanya saat menjalani mediasi perceraian.

  • Judul Film: Marriage Story
  • Produser: David Heyman, Noam Baumbach
  • Sutradara: Noah Baumbach
  • Skenario: Noah Baumbach
  • Pemain: Scarlett Johansson, Adam Driver, Laura Dern
  • Rilis: 6 Desember 2019 (Netflix)
  • Durasi: 136 menit

Tentu ada hal penting dari catatan mereka. Charlie, misalnya, menyebut kesabaran Nicole untuk mendengar, dedikasinya untuk anak mereka, Henry (Azhy Robertson), dan yang utama kerelaannya melepas karir di televisi dan film di Los Angeles untuk menjadi aktris teater di New York. Sementara, Nicole memuji kemandirian Charlie, antusiasme sebagai ayah, dan kejelasan akan tujuan hidup — datang dari keluarga kacau di Indiana untuk menjadi aktor-sutradara teater di New York.

Catatan itu tinggallah catatan: ungkapan cinta yang tak terperikan. Nicole menolak membacakannya dan mendengar milik Charlie di hadapan Charlie dan seorang mediator (Robert Smigel).

Sebaliknya, yang terkatakan adalah amarah: kebencian yang diledakkan dalam adegan 10 menit paling emosional di sepertiga akhir film. Meski adegan ini — dianggap sebagai ikon film — selesai dalam damai, kita tahu pernikahan mereka tak terselamatkan.

Nicole merasa individualitasnya hilang dalam dominasi Charlie. Meski Charlie selalu memberi Nicole peran utama dalam setiap produksi drama, hidup mereka hanya berpusat pada Charlie dan Charlie: sutradara avant-garde yang brilian, genius, dan cerdas. Perlahan tapi pasti, seraya reputasi Charlie semakin berkibar (dengan produksi baru “Electra” yang mendapat tawaran pentas di Broadway), status dan peran Nicole mengerdil dan lenyap.

“Aku tak pernah menghidupkan diriku. Akulah yang menjadikannya hidup…Dia sungguh tak memandangku. Dia tak menganggapku terpisah dari dirinya,” kata Nicole di hadapan Nora Fanshaw (Laura Dern), pengacara perceraian yang siap tempur membela klien perempuan dalam dunia patriarki ruang pengadilan.

Itulah mengapa Nicole memutuskan pindah ke Los Angeles dan mencoba menghidupkan kembali kariernya sebagai aktris film dan televisi. Dia menerima tawaran untuk berakting dalam sebuah proyek serial (belakangan malah menyutradarainya dan memenangi Emmy).

Tapi, seperti sudah diperkirakan Nicole, Charlie tak memahami keinginannya. Charlie malah menertawainya. “Andaikan dia memelukku dan berkata, ‘Sayang, aku sangat senang dengan petualanganmu, dan aku mau kau punya sepotong duniamu sendiri’, kami mungkin tak akan bercerai,” kata Nicole.

Adegan ikonik di atas mengonfirmasi alasan Nicole menggugat cerai. Respons verbal Charlie kasar, kejam, penuh kebencian, dan yang paling penting mengungkap sisi narsistik dan egoistiknya.

Dalam marah, orang memang kadang mengucapkan sesuatu yang bisa jadi tak ingin dikatakan, dan itulah yang terjadi dalam adegan tersebut. Pernikahan pun akhirnya tampak rapuh, mudah hancur berkeping hanya oleh momen-momen tertentu.

Bagi sebagian kita, alasan cerai Nicole mungkin terasa kurang realistik: subtil, abstrak, atau canggih. Tapi, itu kerap terjadi. Bagi Nicole, aktualisasi diri dan penghormatan atasnya itu penting. Nicole tak memperolehnya dari Charlie, dan karena itu tak bahagia.

Di sini, kita tak mungkin mengabaikan pengalaman hidup sang sutradara. Baumbach bercerai dengan aktris Jennifer Jason Leigh setelah delapan tahun menikah, atau tak lama setelah Jennifer melahirkan anak mereka. Seperti Nicole, Jennifer lahir dan besar dari keluarga yang berkarier di film dan televisi.

“Saya memang punya koneksi riil dengam materi (film),” kata Baumbach dalam sebuah wawancara. Ia pun mengakui sempat menunjukkan skenario film kepada Jennifer. “Dia sangat menyukainya.”

Dalam Marriage Story, Baumbach menunjukkan misteri cinta: perasaan yang tak mudah didefinisikan dan dikatakan. Dalam visinya, mencintai bisa jadi sangat sederhana tapi menjadi rumit ketika coba dipersatukan dalam alam kepraktisan: pernikahan.

Kerumitan itu tak hanya terjadi dalam hal-hal psikologis, seperti pengakuan akan eksistensi pasangan. Ia juga tampak dalam konstruksi sosial, budaya, dan — seperti yang ingin ditunjukkan Baumbach — hukum.

Keterlibatan pengacara dalam proses perceraian seringkali tak membantu menyelesaikan masalah tapi malah memperumitnya. Kedua pengacara, Nora dan Jay Marotta (Ray Liotta), berlomba mengungkap keburukan lawan klien mereka masing-masing di ruang pengadilan. “Pengacara kriminal melihat hal terbaik dari orang jahat, sementara pengacara perceraian melihat hal terburuk dari orang baik,” kata Ted (Kyle Bornheimer), rekan Jay.

Pengacara bertarif $900 dolar per jam plus uang muka puluhan ribu dolar juga menguras tabungan Charlie dan Nicole. Berdalih menempuh perceraian demi Henry, keduanya malah menghabiskan tabungan kuliah anak mereka untuk mengongkosi pengacara.

“Kau hanya transaksi bagi mereka,” kata Bert Spitz (Alan Alda), pengacara pertama Charlie. “Kau melakukan ini karena sayang anakmu, tapi dalam melakukan ini kau justru mengambil uang pendidikannya.”

Baumbach juga secara tersirat berkisah tentang perbedaan dua kota, New York dan Los Angeles, yang dipisahkan jarak 4.800 kilometer, dan komunitas seniman di dalamnya. New York dengan seniman-seniman panggung yang menganggap televisi dan film bukan seni serius. Los Angeles dengan Hollywood yang memandang drama sebagai seni aneh yang ditampilkan di tempat-tempat kumuh di pusat kota.

Perceraian karena alasan psikologis dan pertarungan hak asuh anak bukanlah tema baru. Kita pernah menyaksikannya dalam Kramer Vs Kramer, karya Robert Benton pada 1979. Bedanya, dalam Kramer Vs Kramer, kita mungkin bisa dengan mudah berpihak pada Ted (Dustin Hoffman) ketimbang Joanna (Meryl Streep) yang mengabaikan anaknya. Tapi, dalam Marriage Story, keberpihakan — jika ini sensasi yang mesti muncul setelah menonton — tampaknya sulit dilakukan.

Nicole bukan ibu yang meninggalkan anaknya. Dia pun masih menunjukkan afeksi kepada bakal mantannya. Di bagian akhir, mata Nicole berkaca-kaca ketika dari jauh menyaksikan Charlie menangis kala membaca catatan yang dia tulis. Adegan yang membuat kita mungkin menyesalkan keputusan Nicole untuk tidak membacakannya di hadapan Charlie saat mediasi perceraian.

Sebaliknya, kita juga tak bisa menilai Charlie suami bejat (bahkan kisah selingkuh Charlie dengan rekan kerjanya cuma sepintas lalu disinggung Nicole) dan ayah yang abai. Dia rela bolak-balik dari sisi pantai barat ke timur demi mendapatkan kesempatan bersama Henry. Tapi, pada saat yang sama, muncul pertanyaan, apakah Charlie begitu egois hingga tak pernah mengucapkan “maaf” kepada Nicole.

Karena tema yang bisa dibilang cukup usang, masuknya Marriage Story ke dalam nominasi film terbaik Golden Globes 2020 (yang kerap menjadi acuan Oscars) layak untuk dipersoalkan. Hollywood Foreign Press Association yang menghelat penghargaan tahunan ini seperti mengabaikan film-film bertema lebih segar seperti Us karya Jordan Peele, Hustlers karya Loraine Scafaria, atau bahkan mungkin Parasite karya sutradara genius Korea, Bong Joon-ho. Terlebih, jika bicara representasi gender dan ras, empat dari lima nominasi (1917, The Irishman, Joker, dan Marriage Story) berkisah tentang laki-laki kulit putih yang terluka, galau, dan mengamuk.

Meskipun demikian, Marriage Story harus dikatakan pantas untuk lima kategori lainnya (skenario terbaik, aktor terbaik, aktris terbaik, aktris pendukung terbaik, dan musik latar terbaik). Film ini ditulis dan diperankan dengan sangat baik. Meski berdurasi panjang (2 jam 16 menit), dialog-monolognya memikat, cerdas, mengharukan, dan kadang menggelikan. Salah satu monolog panjang dimainkan sangat brilian oleh Johansson saat Nicole menceritakan kehidupan pernikahannya kepada Laura (bahkan kabarnya Johansson melakukan ini hanya dalam satu kali take).

Sekali lagi, Marriage Story bukan sekadar tentang pernikahan menjelang kehancurannya. Lebih dari itu, ia soal cinta yang tak terkatakan; yang tenggelam dalam kesibukan; yang kelu di hadapan ego.

Lagu teatrikal “Being Alive” karya Stephen Sondheim terasa pas untuk merangkum visi Baumbach dalam film ini. Dinyanyikan Driver (aktor yang kelihatannya bisa memerankan karakter apa pun tanpa mengubah penampilan khasnya) dengan memikat, “Being Alive” mengungkap paradoks sebuah hubungan percintaan: percikan hasrat sekaligus kepedihannya.

Someone to hold me too close.
Someone to hurt me too deep.
Someone to sit in my chair,
And ruin my sleep,
And make me aware,
Of being alive.
Being alive.

Somebody need me too much.
Somebody know me too well.
Somebody pull me up short,
And put me through hell,
And give me support,
For being alive.
Make me alive.
Make me alive.

Make me confused.
Mock me with praise.
Let me be used.
Vary my days.

But alone,
Is alone,
Not alive.…

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*