JELAJAH LITERASI

“Menjerat Gus Dur”: Mengejutkan Tapi Tak Maksimal

in Utama by

Menjerat Gus Dur karya Virdika Rizky Utama mengungkap informasi mengejutkan. Tapi, penulisannya tak mengalir. Penyuntingannya mengganggu. Buku ini seperti ditulis tergesa-gesa.

PADA pukul sembilan malam, 27 Juni 2000, kediaman pengusaha cum politisi Arifin Panigoro di Jalan Brawijaya, Jakarta, menjadi saksi sebuah pertemuan rahasia. Pesertanya politisi-politisi papan atas seperti Ginandjar Kartasasmita dan Fuad Bawazier. Ada pula Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), M Fakhruddin. Di antara mereka, ada dua pembesar Kepolisian, Kapolri Rusdiharjo, dan Kapolda Metro Jaya Nurfaizi. Mereka membahas rencana menggulingkan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Pertemuan itu menilai posisi Gus Dur melemah menyusul hak interpelasi DPR yang mempersoalkan pemecatan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla dari Kabinet Persatuan Nasional. Lalu, komplotan itu merancang penggunaan hak angket yang bakal menyoal keterlibatan Gus Dur dalam kasus “Buloggate” dan “Bruneigate” untuk memastikan Sang Kiai jatuh, dan Wakilnya, Megawati Sukarnoputri, naik takhta.

Pertemuan itu kemudian membagi tugas. Arifin, Fuad, dan Ginandjar berkonsentrasi di Senayan. Parni Hadi (Pemimpin Redaksi Republika, tak hadir dalam pertemuan) akan mengomandani kampanye di media massa. Fakhruddin akan memobilisasi aksi massa mahasiswa di jalanan. Dan polisi akan mengamankan situasi, terutama mencegah pendukung Gus Dur yang terpusat di Jawa Tengah dan Timur datang ke Ibukota.

Demikianlah sebagian hasil pertemuan tersebut yang direkam dalam sebuah surat rahasia. Penulis surat adalah politisi Partai Golkar Priyo Budi Santoso. Surat bertanggal 3 Juli 2000 itu diteken Priyo dan ditujukan kepada bosnya, Akbar Tandjung.

Surat rahasia Priyo menjadi salah satu “daging” dalam buku Menjerat Gus Dur karya Virdika Rizky Utama, seorang jurnalis. Buku ini laris manis di pasar. Hanya dalam kurun dua bulan, Menjerat Gus Dur sudah naik cetak tiga kali.

  • Judul Buku: Menjerat Gus Dur
  • Penulis: Virdika Rizky Utama
  • Penerbit: PT NUmedia Digital Indonesia
  • Tahun Tebit: 2020 (Cetakan Kedua)
  • Tebal: xxi + 376 halaman

Satu “daging” lainnya adalah surat yang diduga ditulis Fuad Bawazier kepada Akbar Tandjung – dan tentu saja lagi-lagi berlabel “CONFIDENTIAL”. Surat Fuad punya informasi mengejutkan yang tak dimiliki surat Priyo. Informasi itu semakin menunjukkan bahwa upaya penggulingan Gus Dur bersifat terstruktur, sistematis, dan massif.

Bayangkan, menurut surat Fuad, operasi penggulingan Gus Dur melibatkan fulus Rp 4 triliun. Fuad – dibantu Tommy Suharto, Liem Sioe Liong, dan Arifin – disebut melancarkan aksi borong dolar. Fuad juga menyarankan dukungan bagi separatisme di luar Jawa. Semua itu dilakukan demi menjatuhkan Gus Dur.

Surat Fuad juga punya skema sendiri. Ia ingin menaikkan Megawati dan kemudian menjatuhkannya lagi untuk digantikan dengan Amien Rais. Nama terakhir akan didorong lebih dulu menjadi wakil presiden. Entah apakah rencana ini ambisi pribadi Fuad atau telah diketahui yang lain, misalnya Arifin yang kader PDI Perjuangan. Perjalanan sejarah menunjukkan skema versi surat Fuad tak kesampaian.

Situasi saat itu sebenarnya menunjukkan bahwa elite dari segala penjuru politik memang kompak ingin memakzulkan Gus Dur. Motivasinya bisa bermacam-macam, dan Virdika memaparkannya dalam buku ini. Ada yang kecewa karena gagal menjadi presiden. Ada yang marah karena Gus Dur dianggap memihak kelompok minoritas. Ada yang jengkel karena kehilangan posisi dan jabatan. Atau mungkin ada yang memang tak sabar dengan cara Gus Dur memimpin negara. Diakui atau tidak, rencana mereka kian mulus karena antara lain respons Gus Dur sendiri.

Yang menjadikan Menjerat Gus Dur berbeda adalah dua dokumen yang ditemukan Virdika di atas. Lebih jauh, Virdika bahkan mengimplikasikan kerusuhan komunal di Ambon, bom di Bursa Efek Jakarta, bom di kediaman Duta Besar Filipina, dan rangkaian bom Natal sebagai bagian dari skema penggulingan Gus Dur.

Dia mengaitkan hal itu dengan mengutip sebuah dokumen yang disebut “Dokumen Perkembangan Situasi” dari buku eks Pangkostrad Djaja Suparman Jejak Kudeta 1997-2005. Dokumen berisi informasi rapat-rapat antara tokoh militer, seperti Wiranto, Djaja, dan Zacky Anwar Makarim dengan aktivis-aktivis Islam, seperti Habib Rizieq Shihab, Eggi Sudjana, dan Bursah Zanubi. Rapat-rapat itu antara lain menyebut rencana serangan teror tadi.

Persoalannya kini, bagaimana Virdika menguji kredibilitas dan memverifikasi dokumen-dokumen tersebut. Djaja, misalnya, memuat “Dokumen Perkembangan Situasi” dalam Jejak Kudeta justru untuk membantahnya. Virdika menghadirkan sumber lain yang membantah Djaja dengan mengutip artikel di Majalah Gatra. Dia Djuanda, seorang perwira menengah angkatan laut yang kala itu sempat tenar dengan julukan “pembisik Gus Dur”.

Maka, terjadilah “Djaja versus Djuanda”. Mana yang benar? Di sinilah, ujian sesungguhnya bagi Virdika. Sayangnya, dia berhenti di situ.

Virdika kemudian mencoba menghubungkan dokumen dalam buku Djaja dengan surat Priyo untuk Akbar. Dia lalu menulis, “…maka isi surat tersebut bukan isapan jempol belaka. Sebab, jenis bom dan target-target pemboman juga sesuai dengan isi surat tersebut.” (Hal. 232)

Entah surat Priyo mana yang dimaksud Virdika. Surat Priyo untuk Akbar bertanggal 3 Juli 2000 sama sekali tak menyebut pemboman.

Virdika juga kurang transparan dengan metodenya dalam memperoleh “surat Priyo” dan “surat Fuad”. Dari mana dia memperoleh dua dokumen itu? Apakah keduanya orisinal atau salinan? Virdika tidak menguraikannya dalam buku ini.

Saya baru mendapatkan jawaban justru dari artikel yang dimuat suara.com. Di situ dikatakan, dia memperoleh kedua surat itu di markas Partai Golkar. Saat mewawancarai Ketua Umum Setya Novanto pada Oktober 2017, Virdika secara tak sengaja menemukan tumpukan berkas yang akan dibuang dari gudang. Dari tumpukan itulah, kedua surat mengejutkan itu muncul.1Gunadha, Reza dan Erick Tanjung. 8 Januari 2020. “Operasi Semut Merah, Kisah Virdi Sibak Dokumen di Balik Lengsernya Gus Dur”. www.suara.com. Diakses pada 2 Februari 2020.

Lalu, bagaimana Virdika bisa yakin kedua dokumen itu autentik? Dia memang mengonfirmasi Priyo dan Fuad. Priyo mengakui menulis surat itu tapi tak hadir dalam pertemuan 27 Juni 2000. Dia hanya menuliskan catatan milik Arifin Panigoro. Priyo juga mengatakan 60-70 persen isi surat adalah idenya sendiri. Sementara, Fuad membantah pernah menulis surat ke Akbar, dan kebetulan surat versi Fuad tak bertanda tangan. Si penerima, Akbar, pun lupa pernah mengetahui keberadaan keduanya.

Respons tersebut sebenarnya sudah bisa diprediksi. Persoalannya, Virdika berhenti pada konfirmasi lisan.

Selain memaparkan isi kedua surat, bakal lebih ideal jika Virdika menjelaskan kepada pembaca bagaimana upaya dia untuk menguji autentisitas kedua surat itu dengan memverikasinya secara independen. Misalnya, apakah keduanya asli atau salinan; apakah lazim Akbar menerima surat berlabel “rahasia” dari kader-kadernya saat itu; apakah biasa Akbar menyimpan surat rahasia di arsip partai; apakah bahasa atau diksi yang digunakan khas milik si penulis surat; dan bagaimana isi kedua surat itu jika dibandingkan dengan konteks saat itu.

Tentu saja, itu bukan pekerjaan mudah. Karenanya, menurut saya, buku ini layak untuk diperdalam dengan penelitian lanjutan.

Terlepas dari soal verifikasi, penulisan Menjerat Gus Dur tak mengalir. Cara bertuturnya mirip dengan straight news situs-situs berita online: membosankan.

Buku ini juga kurang fokus pada tema utamanya. Hampir separuh buku membahas akhir rezim Orde Baru, awal pemerintahan BJ Habibie, dan proses Pemilihan Umum 1999 hingga terpilihnya Gus Dur. Jika pembahasan tersebut dimaksudkan sebagai latar belakang, menurut saya, penulis cukup menjelaskan hal-hal yang sesuai dengan konteks upaya penggulingan Gus Dur.

Alih-alih demikian, Virdika justru memasukkan cerita-cerita yang tak kontekstual. Misalnya, kisah Harmoko dimaki-maki dan diserang anak-anak Soeharto dan “orang-orang” Wiranto di markas Golkar. Insiden itu terjadi usai Harmoko membacakan pernyataan sikap pimpinan DPR/MPR yang meminta Soeharto mundur.

Bagi saya, relevansi cerita di atas sangat kecil dengan konteks tema utama, apalagi sumbernya anonim (wawancara dengan Y). Saya tak tahu, bagaimana historiografi memperlakukan sumber anonim. Saya hanya tahu, dalam jurnalisme, jurnalis mesti menjelaskan seberapa dekat sumber anonim itu dengan informasi (dia menyaksikan insiden, misalnya) atau kepentingan khusus yang mungkin si sumber anonim itu punyai (dia bekerja di kantor Golkar, misalnya).2Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. 2004. Elemen-Elemen Jurnalisme. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. Hal. 113.

Kemudian, penyuntingan buku ini juga lemah – untuk tidak menyebutnya buruk. Tak sedikit paragraf yang dibebani banyak gagasan, sehingga pembahasan di dalamnya terasa tak tuntas.

Juga masih terdapat banyak kesalahan elementer.

Sebagai contoh, tiba-tiba tertulis kata kemarin di satu kalimat, padahal ini buku yang bercerita peristiwa dua dekade lalu bukan peristiwa harian layaknya berita. Kalimat itu contohnya: “Pembahasan tentang sikap kelima fraksi tersebut dilakukan di Hotel Crown lantai tiga, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, kemarin, dari pukul 14.00 sampai 17.00 WIB.” (Hal. 151)

Kemarin, kapan? Apakah kemarin dihitung dari saya membaca buku ini? Ketika membaca mundur dua atau tiga paragraf, saya tak menemukan keterangan waktu apa pun yang bisa menjelaskan konteks kemarin. Kalaupun ada keterangan waktu, saya merasa penulisan kemarin itu tak tepat. Cara yang lebih pas biasanya dengan menulis, satu hari sebelumnya.

Lalu, ada kesalahan penulisan nama dari seharusnya Agus Wirahadikusuma menjadi Umar Wirahadikusuma (Hal. 233). Atau kesalahan penulisan singkatan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia yang seharusnya KAMMI menjadi KAHMI (Hal. 202). Saya cukup yakin penulis dan penyunting buku tahu perbedaan antara KAMMI dan KAHMI.

Tentu saja saya tak mau pecicilan mendaftar kesalahan ketik dalam buku ini. Kesalahan seperti itu sebenarnya termaafkan. Tapi, jika kesalahan ketik cukup banyak terjadi, pembacaan akan sangat terganggu, dan bisa membuat pembaca mangkel.

Alhasil, Menjerat Gus Dur sebenarnya mengungkap informasi mengejutkan dan penting. Ia bisa mengisi ruang-ruang kosong dalam konteks penggulingan Gus Dur. Sayang, buku ini terasa ditulis tergesa-gesa.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Utama

Go to Top