JELAJAH LITERASI

“Silence”: Haruskah Kita Menderita karena Iman?

in Film by

Mengambil setting persekusi pengikut Katolik di Jepang di era Shogun Tokugawa, Silence (2016) mengajukan pertanyaan: mempertahankan iman atau menyelamatkan nyawa sesama? Di antara dua pilihan itu, manakah yang lebih Tuhan sukai?

MANAKAH yang lebih penting: menyelamatkan nyawa orang atau keyakinannya? Apakah juru dakwah harus lebih mementingkan keselamatan jiwa dan raga umat di dunia ini atau menyelamatkan nasibnya di akhirat kelak? Manakah yang lebih Tuhan sukai dari kita: membela dan setia pada agama-Nya atau menolong sesama? Ketika harus memilih, manakah yang harus diutamakan: menghindarkan masyarakat dari penindasan dan pembantaian atau membiarkan mereka tertindas dan terbantai atas nama mempertahankan keyakinan dan agama yang “benar”? Apakah Tuhan ingin kita selamat di dunia dari penindasan dan pembunuhan atau tertindas dan mati untuk-Nya?

Itulah sederet pertanyaan yang mengaduk-aduk pikiran para imam Jesuit yang berdakwah di Jepang pada Abad ke-17 saat Shogun Tokugawa berkuasa. Rezim diktator militer itu punya kebijakan menolak setiap “agama baru”.

Ada banyak alasan di balik penolakan tersebut. Di satu sisi, penolakan itu biasanya tidak lepas dari keinginan penguasa mempertahankan status quo yang dianggap menguntungkan. Di sisi lain, penolakan datang karena gairah berlebihan para pendakwah yang ingin menyelamatkan masyarakat yang dianggap tersesat.

Di Jepang, para pendeta Katolik itu telah menyetor ribuan nyawa untuk kemajuan penyebaran Kristianitas. Alih-alih gentar menghadapi kekerasan penguasa, para imam Jesuit justru mengimaninya sebagai cara paling indah meneladani Yesus demi menebus dosa umat. Mereka berbondong-bondong datang untuk menerima siksaan sebagai ujian ketulusan serta kesetiaan pada Yesus. Antuasiasme para pendeta di tiang-tiang penyiksaan yang demikian mengerikan itu menyebabkan penguasa Jepang nyaris putus asa.

Sampailah kemudian penguasa Jepang mengubah taktik: alih-alih menyiksa hingga mati para imam, mereka menyiksa sejumlah pendeta muda dan penganut baru lalu mempertontonkannya di depan imam senior. Pada saat itulah siksaan fisik yang begitu mudah dilalui kaum beriman di mana saja berubah menjadi dilema batin yang sangat mengguncang.

Berbagai pertanyaan pun bermunculan. Di manakah pertolongan Tuhan? Benarkah Dia hadir? Apakah Dia merestui apa yang terjadi? Apakah Dia senang ajaran-Nya menyebar di atas penderitaan dan penyiksaan umat-Nya? Bukankah Dia akan mengampuni siapa saja yang hendak melepas keyakinan demi keselamatan diri dan keluarganya dari penyiksaan yang mengerikan? Bukankah hakikat ajaran Yesus adalah cinta kasih, lalu mengapa umat harus menanggung derita dan prahara sesadis ini? Bukankah Yesus mengalami penyaliban agar umat tak ikut tersiksa?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menyerang batin Cristovao Ferreira (Liam Neeson), seorang imam dan misionaris Jesuit Portugal, dalam Silence, film arahan sutradara kenamaan Martin Scorsese. Film ini mengusung tema sensitif dan menarik: bagaimana misi agama baru berbenturan dengan budaya lokal yang tak hendak berubah. Ia juga menuturkan konflik panjang antara Timur dan Barat, antara nilai-nilai lokal dan yang dibawa dari luar.

  • Judul Film: Silence
  • Sutradara: Martin Scorsese
  • Penulis: Jay Cocks, Martin Scorsese
  • Produser: Barbara De Fina, dkk.
  • Pemain: Andrew Garfield, Adam Driver, Tadanobu Asano, Ciaran Hinds, Liam Neeson
  • Rilis: 29 November 2016
  • Durasi: 161 menit

Silence berdasarkan pada novel historis dengan judul sama karya Shusaku Endo. Novel terbitan 1966 ini dapat dianggap sebagai khazanah sejarah penting seputar konflik minoritas versus mayoritas, konflik agama lokal versus agama transnasional, dan berbagai kepelikan lain sebagai implikasinya. Karya ini disebut sebagai puncak pencapaian Endo dan dianggap banyak kritikus sebagai salah satu novel terbaik Abad ke-20.

Scorsese sendiri memang sineas yang kerap tertarik menggarap tema religiusitas dan teologi. Di waktu mudanya, dia berhasrat menjadi pendeta. Sejak pertama kali membaca novel Endo pada 1989, Scorsese bertekad mengadaptasinya ke layar lebar.

Setahun sebelumnya, Scorsese baru saja menyelesaikan film paling kontroversialnya The Last Temptation of Christ, juga adaptasi atas novel dengan judul sama karya Nikos Kazantzakis. Film ini menelusuri detik-detik penyaliban Yesus dan mencoba melukiskan betapa hasrat duniawi tak pernah sepenuhnya padam dari diri Yesus.

Proses pra-produksi Silence memakan waktu nyaris tiga dekade, dan bahkan diselingi karya lain Scorsese: The Wolf of Wall Street (2013). Ini menjadikan Silence sebagai salah satu karya Scorsese yang paling serius dan berat. Durasi film yang mencapai 161 menit menunjukkan apresiasi mendalam Scorsese terhadap detail narasi yang disuguhkan Endo.

Peristiwa dalam film ini terjadi pada 1633, di daerah Unzen, Nagasaki. Di adegan pembuka, penonton akan melihat Ferreira dipaksa melihat adegan penyiksaan para pendeta muda dengan cara disiram air belerang yang mendidih. Air itu mula-mula diguyurkan ke wajah lalu perlahan-lahan diteteskan ke dada. Ferreira menuturkan, “Tetesan air itu akan terasa seperti batu bara.” Penguasa Jepang melakukan penyiksaan itu di sebuah mataair yang oleh orang Jepang sendiri disebut jigoku atau “neraka”– sebuah sebutan yang tampaknya cukup tepat.

Kristianitas konon pertama kali dibawa ke Jepang oleh Francis Xavier. Tapi, arsitek penyebaran Katolik di Jepang bukanlah Xavier melainkan Alessandro Valignano (Ciaran Hinds), imam dan misionaris Jesuit asal Italia. Saat pertama kali Valignano tiba di Jepang pada 1579, setidaknya sudah ada 150.000 umat Katolik di Jepang. Watak militan dan iman mendalam umat Kristiani Jepang mendorong Valignano percaya bahwa tak lama lagi seluruh utara Asia bakal memeluk Kristianitas.

Namun, mimpi indah Valignano membentur kenyataan pahit pada 1633, ketika sebuah surat sampai ke tangannya. Itulah surat yang ditulis Ferreira, misionaris yang diutus Valignano tujuh tahun lalu. Dalam surat itu, Ferreira bercerita tentang penyiksaan demi penyiksaan yang mendera para imam sejawatnya.

Valignano lalu membacakan surat itu kepada dua imam muda, yang juga murid-murid kesayangan Ferreira: Sebastiao Rodrigues (Andrew Garfield) dan Francisco Garupe (Adam Driver). Dengan mimik dingin, Valignano menginformasikan kepada dua pendeta muda di hadapannya bahwa Ferreira menghilang dan digosipkan telah “murtad” — melakukan apostasi.

Sebagai imam muda yang penuh gairah dan iman, Rodrigues dan Garupe menolak percaya terhadap gosip kemurtadan mentor kesayangan mereka. Mereka berjanji kepada Valignano akan membuktikan kekeliruan fitnah tersebut. Valignano pun menyetujui misi mereka, tapi mengingatkan mereka akan bahaya besar yang akan menghadang sesaat setelah mereka tiba di Jepang. “Kalian akan menjadi dua pendeta terakhir yang akan kami kirim ke Jepang. Pasukan yang terdiri atas dua (tentara),” kata Valignano.

Rodrigues dan Garupe kemudian diselundupkan ke Jepang oleh Kichijiro (Yosuke Kubozuka), pemabuk yang peragu dan temperamental. Di sana, mereka menemukan desa yang dihuni oleh Kakure Kirishitan (orang-orang Katolik yang menyembunyikan iman mereka). Sejak itu, misi dua imam ini pun mulai bergeser: dari menemukan dan menyelamatkan Ferreira menjadi mengurus para petani Katolik yang hidup dalam ketakutan akan persekusi aparat Shogun.

Pada akhirnya, aparat Shogun sampai ke desa tempat dua imam ini bersembunyi, dan mereka dipaksa berpisah dari satu sama lain. Film ini selanjutnya mengisahkan perjalanan Rodrigues yang bergulat dengan keyakinannya sendiri. Dia pun akhirnya ditangkap. Sebagai pendeta muda penuh iman, dia mengalami banyak kesulitan, tapi yang paling membingungkannya adalah betapa Tuhan diam. Dari hakikat “diam” (silence) itulah, judul film dan novel ini dibuat.

Ada cara mudah yang diberikan penguasa Jepang di era Edo kepada para tersangka penganut Katolik agar mereka dapat selamat dari penyiksaan. Yakni, menginjakkan salah satu kaki ke atas lempengan bergambar Kristus atau Bunda Maria, yang disebut fumi-e. Hanya dengan sekali injakan, seseorang akan lepas dari penyiksaan dan bahkan mungkin dapat dibebaskan. Tapi jika menolak, dia akan menghadapi siksaan atau kekejaman yang lebih parah.

Banyak petani penganut Katolik menolak dan terpaksa menghadapi siksaan sebagai ganjarannya. Tapi tak lama setelah itu, kian banyak petani yang akhirnya menerima konsesi itu agar dapat bertahan hidup. Dan memang itulah yang menjadi keinginan Rodrigues. Di antara petani yang mengambil langkah itu adalah pemandu awal kedua pendeta muda ini: Kichijiro. Tokoh satu ini bolak-balik mengakui dosa dan murtad hingga akhir film.

Seperti bisa diduga, Silence bukan film hiburan, dan kita tahu Scorsese punya kredo unik tentang apa itu sinema dan bagaimana sebuah sinema bisa disebut “menghibur”. Sepanjang 160 menit, kita akan disuguhi adegan demi adegan penyiksaan dan kekejian yang jelas tak sedap dipandang. Tapi, Silence juga bukan cuma penggambaran sinematik tentang keteguhan dan ketegaran menghadapi penyiksaan raga. Scorsese berupaya menggambarkan sesuatu yang lebih menarik: potret ketabahan hati menghadapi berbagai dilema, paradoks, dan konflik batin yang jauh lebih menyiksa ketimbang siksaan fisik mana pun.

Bagaimanapun, bukan tubuh sang imam, Rodrigues, yang sedang disiksa, tapi sanubarinya yang menyaksikan penyiksaan umat yang membutuhkan pertolongannya. Dan bahwa semua penyiksaan itu dapat segera berhenti bilamana sang pendeta mau murtad, meninggalkan imannya sendiri.

Itulah yang disampaikan oleh kepala interogator Inoue (Issey Ogata), kepada Rodrigues: “Kami belajar dari kesalahan-kesalahan kami. Membunuh pendeta hanya akan membuat mereka kuat.” Saat Rodrigues mengatakan bahwa para korban itu “tidak mati sia-sia,” salah satu interogator menukas, “Tidak. Mereka mati untukmu.”

Seperti narasi pelik dalam karya Scorsese pada umumnya, film ini tidak sedang menyuguhkan pertarungan hitam-putih antara kebaikan versus kejahatan. Pihak berwenang Jepang digambarkan sebagai kelompok yang benar-benar percaya bahwa Kristianitas tidak sesuai dengan semangat Jepang, suatu patogen asing yang diimpor oleh bangsa Eropa yang arogan dan tidak berempati. Bahkan, di akhir film, salah satu inkuisitor senior dengan rendah hati menyatakan: “Aku tidak mengalahkanmu. Tapi rawa-rawa Jepang ini yang mengalahkanmu.”

Silence mengungkapkan konflik panjang antara kebenaran universal dan keunikan budaya, kepentingan Tuhan dan kepentingan kebanyakan orang, pengajaran esoteris dan eksoteris, pertolongan Tuhan seperti yang kita maukan atau jawaban-Nya dalam senyap dan diam. Rodrigues, seperti Ferreira, sebelumnya harus menghadapi kenyataan bahwa keyakinannya bukan saja gagal menyelamatkan orang, melainkan justru lebih banyak mencelakakan mereka. Mereka harus sadar bahwa ada banyak kehendak Tuhan yang tidak harus sesuai dengan apa yang kita kehendaki, dan bahwa menerima kehendak-Nya apa adanya itulah justru keimanan yang lebih sejati dan bersih.

Di akhir film, lucunya, ada sebuah tawaran aneh yang dimunculkan ihwal alasan penyebaran massif Kristianitas pada awalnya di Jepang. Kemungkinan yang disebutkan adalah iman Kristiani para petani Jepang sama sekali tidak sama dengan iman Kristiani Eropa. Ini terjadi lantaran kesalahan penyebutan “Son” (Tuhan Anak) menjadi “Sun” (Matahari). Akibatnya, mereka menyembah Matahari bukan Tuhan Anak.

Silence menjadi film ketiga Scorsese tentang bagaimana figur-figur iman bergelut dengan tantangan dari dalam dirinya sendiri. Dua film lainnya adalah Kundu (1997) dan The Last Temptation of Christ (2013). Di ajang Academy Award 2017, Silence menerima nominasi dalam kategori “Sinematografi Terbaik”. American Film Institute dan National Board Review, dua lembaga perfilman ternama di Amerika, memasukkan Silence dalam daftar 10 film terbaik tahun 2016.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top