Pemurnian Hati

in Nukilan by

Artikel ini ditulis Hamza Yusuf sebagai pengantar untuk terjemahan dan penjelasan Kitab Mathharat Al-Qulub. Hamzah menunjukkan bahwa pusat kesadaran manusia adalah hati, dan bukan otak. Karenanya, pemurnian hati berperan penting dalam mengatasi problem kemanusiaan.

Oleh Hamza Yusuf

HAMPIR semua tradisi agama-agama di dunia menekankan pentingnya kondisi hati. Dalam kitab suci umat Muslim, Hari Pembalasan digambarkan sebagai “hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna (bagi siapa pun), kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS Al-Syu’ara [26] : 88-89). Hati yang bersih dipahami sebagai hati yang bebas dari kerusakan akhlak dan noda-noda ruhani. Yang dimaksud “hati” di sini sebenarnya adalah dalam makna ruhaniah dan bukan organ jasmaniah per se, walaupun di dalam tradisi Islam, hati ruhaniah ini berpusat di organ jantung. Salah satu aspek menakjubkan dari era modern adalah bahwa kita menemukan aspek-aspek tentang jantung yang belum diketahui pada masa lampau, meskipun ada pengetahuan-pengetahuan penting mengenainya dalam tradisi-tradisi kuno. Misalnya, menurut pengobatan Cina tradisional, jantung adalah rumah kediaman bagi apa yang diketahui sebagai shen, yakni jiwa. Huruf-huruf Cina untuk melambangkan “berpikir”, “pemikiran”, “cinta”, “keinginan untuk mendengarkan”, dan “kebaikan” semuanya mengandung ideogram untuk jantung.

Dalam hampir setiap kebudayaan di dunia, manusia menggunakan metafora yang langsung atau tidak langsung berkenaan dengan hati. Kita menyebut jenis orang tertentu “berhati keras” (hard-hearted), biasanya karena mereka tidak menunjukkan belas kasihan dan kebaikan. Begitu pula, ada orang yang disebut “berhati dingin” (cold-hearted) dan yang lainnya “berhati hangat” (warm-hearted). Kita menyebut orang yang tidak menyayangi orang lain sebagai “tak punya hati”. Ketika kata-kata atau tindakan seseorang menembus jiwa kita dan memengaruhi kita secara mendalam, kita mengatakan bahwa orang itu telah “menyentuh hatiku” (touched my heart) atau “menyentuh lubuk sukmaku” (touched the core of my being). Kata bahasa Inggris core berasal dari bahasa Latin yang artinya “hati”. Kata yang setara dengan core ini dalam bahasa Arab adalah lubb, yang juga berarti hati, serta akal-budi dan inti sesuatu.

Kata heart dalam bahasa Indo-Eropa paling kuno berarti “yang melompat-lompat”, sesuai dengan gagasan detak jantung yang melompat-lompat dalam dada manusia. Orang mengatakan bahwa jantung mereka seakan “berhenti berdetak” (skipped a beat: “melompati satu detakan”) ketika mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan yang membangkitkan respons emosi mereka yang sangat kuat. Ketika seseorang jatuh cinta, mereka mengatakan “hatiku telah dicuri” (stealing one’s heart). Masih ada banyak metafora lain yang menggunakan kata hati karena kedudukan pentingnya dalam hidup manusia. Ungkapan-ungkapan itu—betapa pun lazimnya kita pergunakan pada masa kini—memiliki akar dalam konsep-konsep kuno.

Tradisi kuno telah mengetahui penyakit-penyakit spiritual hati. Dan pemahaman ini tentu saja merupakan inti ajaran Islam. Al-Quran mendefinisikan tiga macam manusia: mukmin, kafir, dan munafik. Mukmin digambarkan sebagai orang yang hatinya hidup dan penuh cahaya, sedangkan orang kafir berada dalam kegelapan: Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan (dengan iman) dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, yang dia tidak dapat keluar dari sana? (QS Al-An’am [6]: 122). Menurut para ahli tafsir Al-Quran, “orang yang sudah mati” mengacu kepada orang yang hatinya mati, yang Allah hidupkan dengan cahaya hidayah sehingga dia dapat berjalan lurus dan mulia di antara umat manusia. Juga, Rasulullah Saw bersabda, “Perbedaan antara orang yang mengingat Allah dan yang tidak adalah seperti perbedaan antara orang yang hidup dan yang mati.” Intinya, orang beriman adalah orang yang hatinya hidup, sedangkan orang kafir adalah orang yang hatinya mati secara spiritual. Namun, orang munafik adalah seseorang yang hatinya sakit. Al-Quran menyebut segolongan orang yang berpenyakit hati (akibat perbuatan mereka sendiri) dan, sebagai akibatnya, penyakit mereka semakin bertambah (QS Al-Baclarah [2]:10).

Jantung terletak agak di sebelah kiri pada tubuh kita. Dua bahasa suci, Arab dan Ibrani, ditulis dari kanan ke kiri, yakni menuju jantung, yang menurut sebagian ahli mencerminkan tujuan tulisan, yaitu untuk memengaruhi hati. Perhatikan juga ritual thawaf yang mengelilingi Ka’bah di Makkah pada ibadah haji. Ritual ini dilakukan berlawanan dengan arah jarum jam, dengan sisi kiri para jamaah menghadap Ka’bah—dengan jantung kita mengarah kepada Ka’bah, untuk mengingatkan kita akan Allah dan kehadiran-Nya dalam hidup manusia.

Jantung, yang merupakan tempat bagi hati spiritual, berdenyut sekitar 100.000 kali sehari, memompa dua galon darah per menit dan lebih dari 100 galon per jam. Jika kita mencoba mengangkut 100 galon air (yang berat jenisnya lebih ringan daripada darah) dari satu tempat ke tempat lain, kita akan merasa amat kelelahan. Namun, jantung manusia melakukan hal ini setiap jam sepanjang hari, sepanjang hidup manusia, tanpa beristirahat. Sistem peredaran darah yang mengangkut darah panjangnya hampir 100.000 kilometer—lebih dari dua kali lingkar bumi. Jadi, bila kita membayangkan darah kita yang dipompa ke seluruh tubuh, ingatlah bahwa ini artinya ia menempuh jarak 100.000 kilometer dari sebuah sistem peredaran darah tertutup yang menghubungkan seluruh bagian tubuh kita—semua organ vital dan jaringan hidup—dengan jantung yang luar biasa ini.

Kita sekarang mengetahui bahwa jantung sudah mulai berdenyut sebelum otak terbentuk sepenuhnya, artinya tanpa bantuan sistem saraf pusat yang memang belum terbentuk sempurna. Teori dominan menyatakan bahwa sistem saraf pusatlah yang mengendalikan seluruh tubuh manusia, dengan otak sebagai pusatnya. Namun, kita juga mengetahui bahwa sistem saraf itu bukanlah yang memulai menggerakkan denyut jantung, tetapi ia betul-betul memulai geraknya sendiri, atau dengan kata lain, digerakkan oleh Allah. Kita juga mengetahui bahwa jantung, walaupun seluruh hubungannya dengan otak terputus (seperti saat transplantasi jantung), terus berdenyut.

Ilmu pengetahuan di Barat telah lama mengajukan teori bahwa otak adalah pusat kesadaran. Namun, di dalam pemikiran Islam tradisional—seperti dalam tradisi-tradisi yang lain—hati dipandang sebagai pusat diri kita. Al-Quran, misalnya, menyebut orang yang durhaka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (yafqahun) (ayat-ayat Allah) (QS Al-A’raf [7]: 179). Al-Quran juga menyebut orang yang menghina Rasulullah Saw dan yang munafik dalam mendengarkan pesannya sebagai: Allah telah menjadikan hati mereka tertutup (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan telinganya tersumbat (QS Al-An’am [6] : 25). Ketidakmampuan mereka untuk memahami adalah penyimpangan dari fungsi spiritual sebuah hati yang sehat, persis sebagaimana telinga mereka menderita “ketulian” spiritual. Jadi, kita memahami dari sini bahwa pusat akal, pusat kesadaran dan nurani manusia, sebenarnya adalah hati dan bukan otak. Belum lama ini, kita menemukan bahwa ada lebih dari 40.000 neuron di jantung. Dengan kata lain, ada sel-sel di jantung yang berkomunikasi dengan otak. Bukan hanya otak yang mengirimkan pesan ke jantung, melainkan jantung juga mengirimkan pesan ke otak. Dua pakar fisiologi pada 1970-an, John dan Beatrice Lacey, mengadakan sebuah penelitian dan menemukan bahwa otak mengirimkan pesan ke jantung, tetapi jantung tidak serta-merta mematuhi pesan tersebut. Kadang-kadang jantung berdebar kencang, tetapi kadang-kadang pelan, yang menunjukkan bahwa jantung memiliki pikirannya sendiri. Otak menerima sinyal-sinyal dari jantung melalui amigdala, thalamus, dan korteks yang terletak dalam otak. Amigdala berhubungan dengan emosi, sedangkan korteks atau neokorteks berhubungan dengan pembelajaran dan penalaran. Meskipun interaksi ini tidak bisa dipahami sepenuhnya dari sudut pandang fisiologi, kita tahu bahwa jantung adalah organ yang amat canggih dengan rahasia-rahasia yang masih tersembunyi dari kita.

Rasulullah Saw menyebut hati sebagai wadah penyimpanan pengetahuan dan tempat yang peka terhadap perbuatan raga. Contohnya, beliau bersabda bahwa perbuatan buruk mengganggu hati. Jadi, hati sebenarnya merasakan tindakan yang buruk. Bahkan, ketika orang melakukan hal-hal buruk, inti kemanusiaan mereka terluka. Fyodor Dostoyevsky mengungkapkan secara brilian dalam novelnya, Crime and Punishment, bahwa kejahatan itu sendiri adalah hukuman karena manusia akhirnya harus hidup dengan konsekuensi menyakitkan dari perbuatan mereka. Ketika seseorang melakukan suatu kejahatan, dia melakukan itu pada awalnya dengan menentang hati nuraninya sendiri, yang kemudian memengaruhi seluruh dirinya. Orang itu memasuki suatu kegelisahan spiritual dan seringkali mencoba untuk menekannya. Makna dasar kata kufr (tidak beriman) adalah menutupi (cover) sesuatu. Terkait dengan pembahasan kita, masalah-masalah yang kita lihat di dalam masyarakat kita hanyalah diatasi dengan menutup-nutupi atau menekan gejala-gejala sumbernya. Sarana-sarana yang biasa digunakan, misalnya alkohol, narkoba, petualangan dan penyimpangan seksual, perebutan kekuasaan, kekayaan, kesombongan, perburuan ketenaran, dan sebagainya. Semua itu membuat orang menenggelamkan diri mereka sendiri ke dalam ketidakpedulian akan kodrat dasar mereka. Orang berusaha sangat keras melepaskan diri mereka dari hati nurani dan perasaan alamiah mereka yang ditemukan di sana. Tekanan untuk melakukan hal ini sangat kuat dalam kebudayaan modern kita.

Salah satu kerugian besar dari terputusnya hubungan dengan hati adalah bahwa semakin terputus seseorang, semakin sakit hatinya, karena hati memerlukan gizi. Ketidakpedulian menyengsarakan hati, merampok manna (makanan) ruhaniahnya. Dia memasuki ketidaksadaran akan Allah—tiadanya kesadaran yang melemahkan dan pengabaian yang parah akan tujuan akhir manusia: ranah Akhirat yang tak terbatas. Ketika seseorang memandang dunia tak terbatas itu dengan mengingat Allah dan meningkatkan pengetahuan yang bermanfaat, perhatiannya menjadi lebih terfokus pada dunia yang tak terbatas itu, bukan pada dunia terbatas yang akan lenyap dan tidak kekal. Ketika orang betul-betul tenggelam dalam dunia materi, percaya bahwa dunia ini adalah segalanya dan satu-satunya, dan bahwa mereka tidak bertanggung jawab akan tindakan mereka, mereka menimpakan kematian ruhani atas hati mereka. Namun, sebelum hati itu mati, ia menunjukkan gejala-gejala penderitaan. Penderitaan-penderitaan ini adalah penyakit-penyakit ruhani hati (yakni, pusat diri kita)—yang menjadi topik buku ini.

Dalam tradisi Islam, penyakit-penyakit ini tercakup ke dalam dua kategori. Yang pertama dikenal sebagai syubuhat atau kebingungan. Ini adalah penyakit yang terkait dengan pemahaman yang lemah atau tidak memadai. Misalnya, jika seseorang takut bahwa Allah tidak akan memberi rezeki untuknya, ini juga dipandang suatu penyakit hati karena hati yang sehat memiliki pengetahuan dan kepercayaan, bukan keraguan dan kecemasan. Kategori syubuhat meliputi aspek-aspek yang terkait erat dengan hati: jiwa, ego, bisikan dan hasutan setan, senda gurau, dan cinta penuh nafsu terhadap dunia yang fana ini. Hati adalah sebuah organ yang dirancang untuk berada dalam keadaan tenang, yang bisa dicapai dengan mengingat Allah: Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram (QS Al-Ra’d [13]: 28). Ketenangan inilah yang dicari oleh hati dan ia selalu condong kepadanya. Ia rindu untuk selalu mengingat Allah yang Mahamulia. Namun, ketika Allah tidak diingat, ketika manusia melupakan Allah, hati akan jatuh ke dalam keadaan gelisah dan kacau. Dalam keadaan ini, ia menjadi rentan terhadap penyakit karena ia kurang perawatan dan terputus. Sel-sel tubuh membutuhkan oksigen, dan karena itulah kita bernapas. Jika kita berhenti bernapas, kita mati. Hati juga perlu bernapas, dan napas hati tidak lain adalah mengingat Allah. Tanpa mengingat-Nya, hati ruhani kita akan mati. Tujuan mendasar diturunkannya wahyu dan kitab suci adalah untuk mengingatkan kita bahwa hati kita perlu dirawat.

Kita memasuki dunia ini dalam keadaan yang disebut Al-Quran sebagai fitrah, keadaan asli dan sifat dasar kita yang cenderung untuk menerima iman dan menyukai akhlak yang baik. Namun, tidak lama kemudian, kita belajar merasa cemas terutama dari orangtua kita dan kemudian masyarakat kita. Hati tercipta dengan sifat rentan terhadap kecemasan dan kegelisahan (QS Al-Ma’arij [70]: 19). Mereka yang terlindungi dari keadaan ini adalah orang-orang yang suka menegakkan dan menjaga shalat dengan hati yang khidmat dan terbuka, yang selalu terhubung dengan Allah, Tuhan semua makhluk. Orang-orang yang paling mulia adalah mereka yang tidak membiarkan apa pun mengalihkan diri mereka dari mengingat Allah. Mereka adalah orang-orang yang mengingat Allah ketika mereka berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring (QS Ali Imran [3]: 191).

Kategori kedua penyakit hati menyangkut hasrat dasar diri dan disebut syahawat. Ini terkait dengan hasrat kita yang melampaui keadaan wajarnya, seperti ketika orang hidup hanya untuk memuaskan dorongan-dorongan ini dan digerakkan olehnya. Islam memberikan metode untuk membuat hati kita menjadi sehat dan tenteram lagi. Metode ini telah menjadi pokok kajian para ulama selama berabad-abad dalam tradisi Islam. Kita bisa mengatakan bahwa Islam pada intinya adalah sebuah program untuk mengembalikan kemurnian dan ketenangan kepada hati dengan cara mengingat Allah.

Buku yang disajikan ini berdasar pada puisi yang dikenal dengan Mathharat Al-Qulub (arti harfiahnya, Pemurnian Hati), yang menawarkan cara-cara untuk memurnikan hati. Ini adalah sebuah risalah tentang “alkimia hati”, yaitu sebuah panduan tentang bagaimana mentransformasikan hati. Ditulis oleh ulama dan wali besar, Syaikh Muhammad Mawlud Al-Musawi Al-Muratani. Seperti yang ditunjukkan oleh namanya, beliau berasal dari Mauritania di Afrika Barat. Beliau adalah seorang ahli dalam semua ilmu Islam, termasuk ilmu-ilmu spiritual tentang hati. Beliau menyatakan bahwa puisi ini ditulisnya karena beliau mengamati merebaknya hati yang sakit. Beliau melihat para pengkaji agama menghabiskan waktu mereka mempelajari ilmu-ilmu abstrak yang tidak begitu dibutuhkan orang, dan mengabaikan ilmu-ilmu mengenai hal yang penting untuk kehidupan akhirat mereka, yaitu kondisi ruhaniah hati. Dalam salah satu hadisnya yang sering dikutip, Rasulullah Saw bersabda, “Perbuatan bergantung pada niat.” Setiap perbuatan karena itu dinilai berdasarkan niat di belakangnya, dan niat muncul dari hati. Jadi, setiap perbuatan yang diniatkan atau dilakukan seseorang berakar di hati.

Imam Mawlud menyadari bahwa kelemahan masyarakat adalah masalah kelemahan karakter di dalam hati. Beliau mendasarkan tulisannya pada banyak karya termasyhur masa lampau, terutama kitab agung Ihya Ulum Al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama). Tiap-tiap buku dari 40 buku dalam Ihya Ulum Al-Din menekankan tujuan pokok memperbaiki hati manusia.

Jika kita menelaah kesulitan dan kesengsaraan, perang dan berbagai konflik, semua tindakan ketidakadilan di seluruh muka bumi, kita akan menemukan bahwa semua itu berakar di dalam hati manusia. Ketamakan, hasrat untuk menyerang dan menindas, keinginan untuk menyerobot sumber daya alam, cinta yang membabi buta akan harta dan takhta, dan penyakit-penyakit lainnya adalah perwujudan dari penyakit yang tidak ditemukan di mana pun kecuali di dalam hati. Setiap penjahat, orang yang kikir, penganiaya, pencela, koruptor, dan pembenci melakukan hal-hal itu karena penyakit hati. Jika hati sehat, tindakan-tindakan ini tidak akan ada lagi. Jadi, jika kita ingin mengubah dunia kita, jangan memulai dengan memperbaiki yang di luar. Alih-alih, kita harus mengubah keadaan batin kita. Segala yang kita lihat terjadi di luar diri kita pada kenyataannya datang dari dunia tak kasatmata di dalam diri. Dari dunia tak kasatmata itulah, dunia kasatmata muncul, dan dari ranah tak kasatmata hati kita itulah, semua tindakan muncul.

Aktivis hak-hak sipil yang terkenal, Martin Luther King Jr, mengatakan bahwa agar orang-orang mengutuk ketidakadilan, ada empat tahap yang harus mereka tempuh. Tahap pertama, orang harus memastikan bahwa ketidakadilan memang telah terjadi. Dalam kasus King, ketidakadilan terjadi terhadap warga Afro-Amerika di Amerika Serikat. Tahap kedua, bernegosiasi, yaitu mendekati si penindas dan menuntut keadilan. Jika sang penindas menolak, King mengatakan bahwa tahap ketiga adalah pemurnian-diri, yang diawali dengan pertanyaan: “Apakah kita sendiri pelaku kejahatan? Apakah kita sendiri penindas?” Tahap keempat, kemudian, mengambil tindakan setelah pemeriksaan-diri yang sejujurnya, setelah melenyapkan kesalahan diri sendiri sebelum menuntut keadilan dari orang lain.

Kita yang hidup di dunia modern ini enggan bertanya kepada diri sendiri—ketika kita melihat hal-hal buruk yang terjadi—“Mengapa semua itu terjadi?” Padahal, jika kita menanyakan hal itu dengan jujur, jawabannya adalah: “Semua ini dari dirimu sendiri.” Dengan berbagai cara, kita sendirilah yang telah menyebabkan ini semua menimpa kita. Inilah satu-satunya posisi memberdayakan diri yang bisa kita ambil. Al-Quran menyiratkan bahwa jika suatu kaum menindas kaum lainnya, Allah akan mengirim kaum yang lain lagi untuk menindas mereka: Kami menempatkan penindas di atas penindas yang lain disebabkan apa yang mereka lakukan (QS Al-An’am [6] :129). Menurut Fakhruddin (seorang ahli tafsir Al-Quran abad ke-12), ayat itu mengandung arti bahwa adanya penindasan di bumi boleh jadi disebabkan oleh penindasan sebelumnya. Artinya, sering terjadi bahwa penindasan yang terjadi kini barangkali disebabkan oleh penindasan yang terdahulu. Namun, tidaklah demikian halnya jika yang terjadi adalah ujian, karena adakalanya orang memang benar-benar diuji, tetapi bila mereka merespons dengan sabar dan tabah, Allah akan selalu memberi mereka pembebasan dan kemenangan. Jika kita menelaah kehidupan Rasulullah Saw di Makkah, jelaslah bahwa beliau dan kaum mukmin disakiti dan ditindas, tetapi mereka bersabar dan Allah memberi mereka kemenangan. Dalam waktu 23 tahun, Rasulullah Saw tidak hanya bebas dari penindasan, tetapi juga menjadi pemimpin seluruh Semenanjung Arab. Orang-orang yang sebelumnya menindas beliau, lalu justru memohon belas kasihan kepada beliau; dan beliau membalasnya dengan bersikap amat baik dan welas asih. Walaupun mereka dulu bersikap bengis terhadapnya, Rasulullah Saw memaafkan mereka dan menerima mereka dalam persaudaraan iman.

Inilah perbedaan antara orang yang hatinya murni dan sehat dengan orang yang hatinya kotor dan rusak. Orang yang hatinya kotor akan menindas, sedangkan orang yang berhati murni tidak hanya memaafkan para penindas mereka, tetapi juga mengangkat status dan akhlak mereka. Untuk memurnikan diri kita, kita harus mulai mengenali kebenaran ini. Inilah inti buku ini—buku tentang pemurnian-diri dan panduan pembebasan. Jika kita merawat hati kita, jika kita betul-betul menerapkan apa yang disarankan dalam buku ini, kita akan mulai melihat perubahan-perubahan dalam kehidupan kita, keadaan kita, masyarakat kita, dan bahkan dinamika keluarga kita sendiri. Merupakan suatu anugerah bahwa kita memiliki ilmu pemurnian ini, anugerah bahwa ajaran ini masih ada saat ini. Kita hanya perlu memperhatikan ajaran ini dengan serius.

Jadi, marilah kita mengkaji apa yang dijelaskan di sini oleh ulama agung ini dan mempelajari penyakit-penyakit hati, menelaah etiologinya (penyebab-penyebabnya), tanda-tanda dan gejalanya, dan, akhirnya, bagaimana mengatasinya. Ada dua macam perawatan: perawatan teoretis, yakni dengan memahami penyakit itu sendiri, dan perawatan praktis, yang fokus pada resep yang harus kita ambil untuk mengembalikan kemurnian alamiah hati. Jika kita menerapkan teknik-teknik yang telah dipelajari dan diajarkan oleh para ulama besar dari tradisi besar Islam, kita akan melihat hasilnya. Namun, sama seperti resep dalam dunia kedokteran, dokter tidak bisa memaksa Anda untuk meminumnya. Para ulama yang berpengetahuan luas tentang ilmu pemurnian hati telah memberi kita metode pengobatan itu, yang telah mereka pungut dari ajaran-ajaran Al-Quran dan teladan Rasulullah Saw. Ajaran-ajaran itu tersedia. Semuanya jelas dan ampuh. Bergantung kepada kitalah untuk mempelajarinya dan menerapkannya kepada diri kita sendiri dan membaginya dengan orang lain.[]

[Dinukil dari: Hamzah Yusuf. 2017. Purification of The Heart: Tanda, Gejala, dan Obat Penyakit Hati. Bandung: Penerbit Mizan.]

[Sumber foto: www.thenational.ae]

Sekilas tentang Hamza Yusuf

Hamza Yusuf lahir pada 1 Januari 1960 dengan nama Mark Hanson di Washington, AS. Setelah memeluk Islam pada usia 18 tahun, dia mempelajari ilmu-ilmu Islam di Jazirah Arab selama 30 tahun. Dia kemudian banyak menerjemahkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab ke dalam bahasa Inggris. Dia juga salah seorang pendiri Zaytuna College, perguruan tinggi ilmu budaya Muslim pertama di dunia Barat modern.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*