Insan Kamil: Dari Iqbal Hingga Nasr

in Nukilan by

Dalam tulisan yang dinukil dari kata pengantar buku Insan Kami: Konsepsi Manusia Menurut Islam, M Dawam Rahardjo memetakan karakter para pemikir Islam pada masa keemasan, kemunduran, dan apa yang kini dipersepsi sebagai kebangkitan.

Oleh M Dawam Rahardjo

DALAM suatu ceramahnya pada ulang tahun organisasi Anjuman Himayat Islam di Lahore di tahun 1909, saat telah kembali—dari pengembaraannya di Eropa—ke India dan mengajarkan filsafat dan kesusastraan lnggris, Dr Mohammad Iqbal mengatakan, “Kita hendaklah mengetahui bahwa setiap sistem agama besar bermula dari anggapan tertentu tentang hakikat manusia dan alam semesta..” Itu dinyatakannya ketika ia berusaha mengupas cita politik dan moral Islam, salah satu pokok pikiran yang kemudian dikembangkannya lebih lanjut dan menghasilkan suatu konsepsi negara bagi kaum Muslimin yang terpisah dari India. Jadi, Iqbal memulai pemikirannya dengan mencari keterangan tentang dasar-dasar anggapan tentang manusia.

Mula-mula Iqbal mencoba menangkap apa yang menjadi dasar anggapan Budhisme tentang manusia. “Implikasi kejiwaan Budhisme,” katanya mengawali pembahasannya, “menganggap penderitaan sebagai unsur dominan dalam susunan alam semesta.” Untuk bisa membebaskan diri dari penderitaan, maka Budhisme mengajarkan bahwa manusia yang tidak berdaya itu harus meleburkan diri atau hilang dalam kekuatan alam semesta. Selanjutnya Iqbal juga mengemukakan bahwa agama Kristen, sebagai sistem agama, mendasarkan diri pada konsep tentang dosa asal. Menurut anggapan Kristen, manusia dapat membebaskan diri dari dosa dengan perantaraan Juru Selamat, yaitu Sang Kristus. Sedangkan Zoroasterisme, menurut penangkapan Iqbal, melihat alam sebagai arena pertarungan terus-menerus antara kekuatan-kekuatan jahat dan kekuatan-kekuatan baik. Manusia, menurut agama ini, harus bertarung dalam dirinya, sebagai bagian dari alam, antara cenderung pada kekuatan jahat dan baik dan ia mampu memilih untuk bertindak baik atau buruk.

Hipotesa Iqbal itu menarik, terlepas dari apakah penangkapannya tentang persepsi agama-agama itu menurut para pemeluknya cukup tepat atau tidak. Sebab, kalau kita perhatikan, semua agama pasti memiliki anggapan-anggapan dasar tentang manusia, dan itu semua akan sangat mempengaruhi seluruh sistem sosial yang diciptakannya. Tidak itu saja. Kalau kita melihat ideologi-ideologi besar yang sudah punah atau masih hidup, kesemuanya memiliki anggapan-anggapan dasar, secara eksplisit ataupun implisit, tentang manusia. Lihatlah umpamanya, ideologi fasisme atau zionisme, keduanya sama-sama memiliki penilaian tersendiri tentang manusia dan bangsa “yang terpilih”, keduanya telah memperlihatkan akibatnya pula dalam sejarah. Dengan kaca mata Iqbal itu selanjutnya kita bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan konsepsi manusia kepada agama-agama dan ideologi-ideologi yang penting atau yang baru muncul: Hindu, Yahudi, Konfusius, Liberalisme, Kapitalisme, Marxisme, Neo-Fasisme, atau Sosialisme Humanis.

Dalam ceramah itu sudah tentu Iqbal mengemukakan pandangan Islam tentang manusia. Itu tidak terlalu penting untuk saya beberkan di sini. Hal yang ingin saya kemukakan adalah kesan saya terhadap cara Iqbal mendekati persoalan yang diajukan pada hadirin. Mula-mula Iqbal memberi kata pengantar tentang metode atau caranya memandang masalah yaitu dengan “titik pandangan seorang pelajar yang kritis”. Sikap jiwa yang menandai seorang pelajar yang kritis, katanya, adalah apabila ia mendekati pokok masalahnya dengan cara penelitian yang bebas dari segala anggapan yang sudah ada, dan mencoba memahami susunan organik suatu sistem agama. la, umpamanya, melihat pokok persoalannya dari titik pandangan sejarah, yaitu tentang kekuatan-kekuatan historis apakah yang menegakkan fenomena suatu sistem tertentu. Beberapa pertanyaan penting yang diajukan Iqbal misalnya adalah: Apa arti yang nyata dari sistem agama dalam sejarah umat manusia secara keseluruhan? Sampai seberapa jauh suatu agama dapat mengungkapkan hati nurani suatu umat? Sampai seberapa jauh agama mampu mengungkapkan aspirasi-aspirasi sosial, moral, dan politik? Perubahan apakah yang ditimbulkan oleh agama dalam masyarakat? Di situ, dan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Iqbal juga ingin agar seorang pelajar kritis melihat Islam. Dengan perkataan lain, Iqbal ingin melihat Islam sebagaimana yang diperlihatkan oleh sejarah.

Karena Iqbal memang lagi berbicara tentang cita Islam, maka tidak bisa dihindari, Iqbal juga bertitik tolak dari rumusan-rumusan Islam yang resmi, yaitu dari Al-Quran. Yang membedakan Iqbal dari para pemikir Islam klasik barangkali adalah bahwa ia ingin memandang Islam sebagai tenaga pengubah sejarah. Dengan meminjam keterangan Dr Ali Shari’ati, Iqbal di situ berpikir dan bersikap sebagai seorang intelektual ideolog. Karena itu, dalam pembahasannya itu “akan mengelakkan pemakaian ungkapan-ungkapan yang lazim dalam teologi wahyu yang populer”. Dan lqbal tentu saja menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dalam konteks historis. Iqbal kemudian dalam ceramahnya itu memang mendobrak. Ia berusaha menghidupkan cita Islam dengan cara meletakkannya dalam konteks sejarah, yaitu untuk menghadapi tantangan kaum Muslimin pada waktu itu. Konsepsinya tentang anggapan dasar manusia menurut cita Islam dengan begitu bersifat sangat historis dan aktual.

Dalam kumpulan karangan ini, pemikiran Iqbal tentang manusia kita tampilkan pada awal pembahasan. Di situ lqbal menafsirkan kisah Adam dalam Al-Quran (Iihat surah Al-Baqarah ayat 30 s.d. 39 dan berbagai surat lain, seperti surat AI-Hijr ayat 32 s.d. 35) dengan cara yang sangat lain. Berbeda dengan tafsir tradisional atau konvensional, kisah Adam dalam Al-Quran bukanlah kisah nyata dalam sejarah umat manusia, bukan suatu peristiwa sejarah, melainkan hanya sebuah legenda. Adam bukan tokoh sejarah, melainkan simbol manusia. Jadi, lqbal melakukan suatu penafsiran simbolis, sehingga pengusiran terhadap Adam oleh Allah tidak diartikan sebagai “kejatuhan Adam dari jannah”, melainkan justru sebagai simbol “kebangkitan” manusia dari keadaan primitif yang terkungkung dalam selera naluriah menuju kepada kesadaran akan hadirnya sebuah pribadi. Di situ lqbal memang tidak menganggap Adam sebagai seorang tokoh historis. Tetapi sebenamya di situ lqbal justru akan melakukan suatu pendekatan historis tentang manusia, yaitu untuk bisa melihat hakikat manusia dalam suatu tahap sejarah tertentu.

Dengan mencari hakikat manusia lewat kisah Adam, Iqbal sebenamya ingin membangun suatu teori tentang khudi, suatu teori tentang kepribadian manusia, yaitu kepribadian manusia yang dapat menjelma menjadi kekuatan yang mampu mengubah sejarah. Tampaknya ia tertarik pada konsep khalifah, yaitu wakil Tuhan di bumi yang diserahkan pada makhluk manusia. Masalahnya bagi dia adalah bagaimana ciri-ciri kualitas khalifah ini. lqbal jelas tidak membayangkan terjadinya Ubermensch menurut cita Nietzche, melainkan suatu insan kamil yang mengisi kehidupan dengan akhlak ilahiah, yaitu sifat-sifat ilahi yang ditumbuhkan pada diri manusia yang dapat menciptakan suatu peradaban manusia di muka bumi dengan sikap iman dan tindakan amal saleh.

Dalam memahami tokoh lqbal ini, saya tertarik pada konsep raushanfikr yang dikemukakan oleh Ali Shari’ati, pemikir Muslim Iran, yang gagasannya tentang manusia juga dikemukakan dalam buku ini. Shari’ati membedakan antara tokoh ilmuwan, filosof, dan intelektual. Ilmuwan adalah seorang yang berusaha mencari keterangan tentang fakta dan substansi. Di situ ia terbatas pada sikap menggunakan judgement de faire, yaitu penilaian dan pertimbangan tentang realitas eksternal secara objektif dan impersonal. Seorang filosof, lebih dari ilmuwan, berusaha mencari untuk bisa memahami hal ihwal yang umum dan yang tidak terjangkau oleh ilmu pengetahuan. Ia mempertanyakan kemungkinan yang ideal dan masuk ke dalam kebenaran dan substansi dari fenomena. Berbeda dengan ilmuwan dan filosof, seorang intelektual berusaha melibatkan diri dalam persoalan dan melakukan apa yang disebut judgement de valuer. Ia tidak hanya menerima kenyataan alam dan sosial seperti apa adanya, melainkan, dengan cara tertentu, berusaha memahami dan menilai semua hal ihwal dalam kerangka suatu gagasan untuk membentuk suatu lingkungan mental dan sosial tertentu. Lebih dari itu, ia juga mengusulkan gagasan untuk mengubah status quo dan melibatkan diri dalam usaha perubahan itu. Dengan perkataan lain, intelektual itu tentu memiliki ideologi. Ia melakukan kritik terhadap keadaan dan merasa terpanggil untuk melakukan perubahan.

Dalam sejarah, para nabi memberi gambaran yang mencolok. Para ilmuwan dan filosof memiliki pengetahuan yang hebat, tetapi mereka tidak menimbulkan perubahan pada masyarakatnya. Para nabi membangun ideologi dan mengubahnya menjadi kepercayaan. Mereka berasal dari massa manusia dan memimpin massa untuk melaksanakan perubahan. Sesudah generasi para nabi, para intelektual dan ideolog menggantikan peranan para nabi itu.

Tokoh semacam lqbal dikenal paling tidak sebagai filosof dan penyair. Tetapi lebih dari itu, ia bukan seperti Aristoteles atau Francis Bacon, karena ia adalah orang yang melibatkan diri dalam usaha perubahan sosial itu. lqbal juga dikenal sebagai “politikus”, seperti tampak dalam keterlibatannya dalam gerakan Moslem League yang mencita-citakan berdirinya suatu umat dan pemerintahan Islam yang tersendiri, lepas dari India. Gagasannya tentang manusia perlu dilihat dalam perspektif ini, yaitu dalam peranannya tentang raushan-fikr atau seorang intelektual ideolog.

Kacamata ini mungkin berguna untuk melihat tokoh-tokoh yang pemikirannya disajikan dalam buku ini. Ibnu Sina dan Al-Ghazali kiranya dapat dikategorikan sebagai filosof. Kepada yang pertama dapat pula ditambahkan predikat ilmuwan, sedangkan kepada yang kedua dapat ditambahkan dua predikat yaitu ulama dan sufi. Ibnu Khaldun dan Seyyed Hossein Nasr lebih menonjol peranannya sebagai ilmuwan. Orang bisa menyebut Ibnu Khaldun sebagai filosof juga, yaitu sebagai filosof sejarah atau filosof sosial. Bahkan juga sebagai politikus atau negarawan, mengingat ia pernah menjadi menteri, perdana menteri, dan ketua mahkamah agung, di samping berbagai jabatan resminya pada berbagai kerajaan. Namun, ia bukan seorang intelektual ideolog atau raushan-fikr menurut konsep Shari’ati, karena tokoh yang betapa pun briliannya ini tidak pernah melibatkan diri dalam gerakan massa untuk melakukan perubahan historis dengan gagasannya, bahkan sebaliknya, Khaldun, yang dilahirkan dari kalangan elite terpelajar ini, selalu berganti “tuan”, yaitu penguasa, tempat ia membaktikan diri. Khaldun memang juga hidup pada masa yang penuh pergolakan politik, bahkan pernah pula memimpin tentara dalam pertempuran, tetapi ia tidak pemah menyusun suatu ideologi politik, yang dipakainya untuk berusaha melakukan perubahan sosial. Sebaliknya, keterlibatannya itu malahan dilakukan dalam rangka pembaktian pada penguasa atau kekuatan politik yang ada.

Tokoh raushan-fikr tampak jelas pada Iqbal, Ali Shari’ati, dan Ayatullah Morteza Mutahhari. Kedua yang tersebut terakhir dapat disebut sebagai ideolog dan arsitek revolusi Islam di Iran tahun 1979. Malahan, keduanya masing-masing menjadi martir pada tanggal 19 Juni 1977 dan 15 Mei 1979, karena memperjuangkan ideologi yang dianutnya. Orang bisa mengatakan bahwa Mutahhari lebih tepat disebut ulama atau mullah. Tetapi, sebagaimana umumnya ayatullah yang terkemuka yang memimpin revolusi Islam di Iran, Profesor Mutahhari juga seorang filosof dan sarjana yang diakui otoritasnya.

Saya mempunyai kesulitan dalam mengategorikan Al-Jilli dan Ar-Raniry dalam kerangka teori Shari’ati. Yang jelas, mereka adalah ulama dan sufi. Mereka hidup pada masa ketika filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam telah memasuki masa suram dan kemunduran. Mereka mungkin bisa disebut “filosof”, tetapi bukan “filosof rasional” melainkan “filosof mistik”, yang berusaha mengejar kebenaran, tidak terutama dengan olah nalar melainkan dengan olah rasa.

Apakah persepsi mistis mengenai manusia itu merupakan ciri pemikiran ketika Islam mengalami kemunduran? Atau, ketika peradaban dan kebudayaan Islam memasuki masa kemunduran, maka ciri pemikiran tentang manusia di lingkungan Islam diwarnai oleh ciri mistis? Dalam antologi ini dikemukakan pemikiran tentang manusia dalam tiga masa perkembangan kebudayaan Islam, yaitu masa ketika kebudayaan atau peradaban Islam dinilai mengalami keemasan, lalu masa kemunduran, dan masa kebangkitan dipandang dari persepsi umat Islam sendiri. Ibnu Sina dan Al-Ghazali dapat dipandang mewakili corak pemikiran masa keemasan itu. Untuk melengkapi gambaran corak pemikiran tentang manusia pada masa itu, disajikan pula pembahasan tentang kontradiksi antara golongan Jabariyah dan Qadariyah yang pengaruhnya dalam perkembangan masyarakat Islam cukup perenial atau berkepanjangan, di samping cukup membekas dan mendalam.

Tokoh Ibnu Khaldun, Al-Jilli, dan Ar-Raniry hidup pada masa ketika kebudayaan atau peradaban Islam dinilai telah mengalami kemunduran. Di situ kita melihat corak pandangan yang sangat berbeda pada Ibnu Khaldun. Sedangkan pada pemikiran Al-Jilli dan Ar-Raniry, di pihak lain, memperlihatkan juga ciri kesinambungannya dengan para pemikir sebelumnya, yaitu Al-Ghazali dan Ibnu Sina, baik pada ciri sufistis pada Al-Ghazali, maupun ciri yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani Aristotelian pada Ibnu Sina.

Pada masa kebudayaan dan peradaban Islam mulai bangkit atau dibangkitkan kembali, kita temukan beberapa pemikir yang mengemukakan interpretasinya tentang manusia. Di antaranya yang terpenting adalah Iqbal, Ali Shari’ati, Morteza Mutahhari, dan Seyyed Hossein Nasr. Lagi di situ kita temukan pula ciri kesinambungannya dengan gagasan masa lampau, terutama atau setidak-tidaknya pada Iqbal dan Nasr. Ketiga orang yang disebut terakhir adalah orang Iran, sehingga mudah dipahami kalau mereka dipengaruhi oleh sufisme Parsi. Sedangkan Iqbal sendiri, walaupun orang India (atau Pakistan sekarang), sangat akrab dan menguasai kesusastraan Parsi, bahkan disertasinya sendiri pada Universitas Munich adalah tentang perkembangan metafisika Parsi. Ciri sufisme Parsi terutama sangat mewarnai gagasan Iqbal dan Nasr.

Pilihan pada orang-orang yang diperkenalkan gagasannya dalam buku ini adalah merupakan hasil upaya mencari gagasan tentang manusia dalam tradisi pemikiran Islam. Dari situ timbul pertanyaan, siapakah gerangan tokoh pemikir Muslim yang mengemukakan konsepsinya tentang manusia. Dalam usaha pencarian itu—melalui proses diskusi rutin yang saya pimpin sendiri pada 1982—tertangkaplah dengan agak mudah pemikiran beberapa tokoh modern, yang mempersoalkan masalah manusia. Pada Iqbal kita jumpai konsepsinya tentang pribadi manusia unggul; pada Shari’ati tentang humanisme religius; pada Mutahhari tentang kesadaran manusia yang serba dimensional, dan pada Nasr tentang krisis manusia modern. Tetapi pada pemikir-pemikir Muslim klasik, ternyata sulit dijumpai suatu pembicaraan yang khusus tentang manusia. Kesan saya adalah bahwa mereka tidak mempersoalkan manusia, atau tidak melihat manusia sebagai persoalan. Mereka tidak mempersoalkan, mungkin karena tidak timbul persoalan tentang hakikat dan harkat manusia, sebab dalam Al-Quran secara jelas dijumpai keterangan dan pernyataan yang tegas bahwa Allah memuliakan anak Adam. Jadi, tidak ada “pemberontakan” terhadap Tuhan, seperti pemberontakan manusia kepada dewa-dewa dalam alam pikiran Yunani.

Walaupun demikian, manusia tidak bisa terhindar dari bertanya terus-menerus tentang hakikat dirinya. Dalam Al-Quran dijelaskan asal kejadian dan proses reproduksi manusia (keterangan yang paling lengkap di antaranya terdapat pada surat Al-Mu’minun 12 s.d. 14), yang di samping berasal dari tanah dan dalam proses reproduksinya berasal dari sperma, juga ke dalam wadah jasmaniah manusia ditiupkan roh Allah (Al-Hijr 29). Aspek jasmani manusia itu, karena dapat ditangkap dengan pancaindra, dengan mudah dapat dijadikan obyek penyelidikan, misalnya dalam dan melalui ilmu kedokteran oleh Ibnu Sina dan yang lain. Tetapi aspek roh itu ternyata merupakan misteri yang manusia juga tidak bisa terhindar dari bertanya. Padahal, dalam Al-Quran sudah dinyatakan: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hal ihwal roh. Katakanlah: roh itu adalah perkara Tuhan-ku. Dan tidaklah diberikan kepadamu ilmu pengetahuan (tentang roh itu), kecuali sedikit saja.” (Al-Isra’ 85). Dan tentang yang sedikit dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan itulah para filosof Muslim bertanya, memikirkan, dan membicarakannya. ltulah yang menjadi perhatian Ibnu Sina, Al-Ghazali, Al-Jilli, dan Ar-Raniry. Sedangkan pada Al-Ghazali, di samping soal roh, yang menjadi pokok penyelidikannya adalah masalah jiwa (nafs) yang dapat menjelaskan latar belakang kecenderungan-kecenderungan manusia dalam sikap dan tindakannya. Tentang hal terakhir itulah para sufi banyak menyelidiki, terutama dengan olah jiwa atau olah rohani. Dari situlah kemudian timbul berbagai teori mengenai cara manusia untuk mencapai kesempumaan, yaitu untuk mencapai derajat insan kamil.

Para pemikir Muslim modern tampaknya tidak meninggalkan tradisi sufisme tersebut di atas. Oleh Iqbal, berbagai unsur tradisi itu diramu untuk membangun suatu konsep pribadi manusia unggul yang mampu membangkitkan peradaban Islam yang baru dan modern. Sedangkan oleh Nasr, kerangka sufisme dipakai untuk menyoroti apa yang ia lihat sebagai krisis manusia dan peradaban Barat modern yang menderita kekosongan spiritual. Apakah yang ia lihat sebagai “krisis” itu memang demikian juga sebagaimana dirasakan dalam persepsi orang Barat, adalah perkara lain. Namun, dengan kritiknya itu, dan dengan mengemukakan unsur esoteris dari sufisme sebagai jantung ajaran Islam, Nasr setidak-tidaknya memberi gambaran tentang altematif pola kebudayaan yang ditawarkannya.

Khaldun sebenarnya tidak banyak berbicara langsung tentang soal manusia itu sendiri, karena satuan pembahasannya adalah masyarakat dan kebudayaan atau peradaban. Ia sendiri hidup pada masa krisis dan pergolakan politik. Kenyataan yang keras itulah yang mendorongnya untuk memperoleh keterangan tentang apa yang sesungguhnya terjadi, terlepas dari keinginan ideal. Dan pendekatan ini— yang berbeda sama sekali dengan pendekatan spekulatif pemikir Muslim sebelumnya yang mana pun—Khaldun menemukan faktor-faktor di luar manusia itu sendiri yang mempengaruhi kecenderungan tindakan-tindakan manusia. Dengan begitu, Khaldun mampu menggambarkan manusia yang konkret, manusia yang sebenamya, yaitu yang dibentuk oleh lingkungannya, baik lingkungannya alam fisik maupun alam sosial yang dibentuk oleh tindakan-tindakan nyata manusia. Interaksi antara manusia dan lingkungannya itulah yang selanjutnya menumbuhkan lembaga, tradisi, sistem atau struktur, yaitu yang memberi ciri pada suatu masyarakat atau peradaban tertentu.

Para pemikir Muslim modern yang pemikirannya diperkenalkan dalam buku ini tampaknya sangat memahami pendekatan Ibnu Khaldun. Karena itu, Iqbal berbicara tentang “kekuatan-kekuatan historis” (hal ini memang tidak eksplisit dikemukakan oleh pembahas dalam buku ini, tetapi saya kemukakan dalam kata pengantar saya ini mengenai latar belakang pemikiran lqbal), dan Ali Shari’ati berbicara mengenai dialektika sosio-historis dan tahap-tahap per-kembangan masyarakat, sedangkan Mutahhari mengemukakan kenyataan akan adanya berbagai bentuk kesadaran, misalnya kesadaran kelas. Walaupun mereka memahami dan juga menggunakan pendekatan empiris dalam mempersoalkan manusia, mereka ternyata tidak tenggelam dalam empirisme dan metode materialisme. Sebaliknya, mereka percaya pada kekuatan gagasan yang mengatasi kenyataan empiris. Mereka percaya pada proses dialektika antara materi dan alam pikiran dalam proses perubahan pikiran maupun masyarakat.

Kecenderungan itu tidak lain akibat kepercayaan yang kuat pada para pemikir Muslim itu pada harkat dan kemampuan manusia, seperti yang diajarkan pada Al-Quran. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna, atau sebaik-baik susunan (surah At-Tin 4) yang diberi mandat sebagai “khalifah Allah” di bumi (surah Al-Baqarah 30). Bahkan Allah telah menundukkan bumi untuk manusia (surah Al-Mulk 15). Allah, dalam ajaran Islam, juga memuliakan anak Adam (surah Isra’ 70). Manusia diberi kesempatan menentukan nasibnya sendiri dengan potensi yang ada pada dirinya sendiri (surah Ar-Ra’ad 1). Secara positif, manusia, sebagai khalifah Allah di bumi, memiliki potensi untuk mengubah alam fisik di bumi tempat ia hidup serta mengembangkannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidupnya (surah Hud 61). Jadi, Islam mengandung unsur ajaran yang optimistis mengenai manusia. Bahkan dapat pula dikatakan bahwa Al-Quran tidak memberi kesan sedikit pun mengajarkan determinisme alam ataupun determinisme sejarah. Ayat-ayat di atas malah mengesankan sebaliknya, yaitu bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengubah nasibnya sendiri. Namun, memang Al-Quran juga menyatakan bahwa umat manusia itu memiliki kecenderungan untuk berbuat kerusakan, yaitu misalnya jika mereka memegang kekuasaan, maka mereka bisa membuat kerusakan ekologis, ekonomi, maupun biologis (Al-Baqarah 205). Oleh karena itu, Allah memerintahkan agar dalam masyarakat dapat dibentuk suatu kelompok yang bertugas menegakkan kebajikan, mengajak atau memerintahkan perbuatan yang baik (ma ‘ruf) dan mencegah atau melarang perbuatan yang salah (munkar); dengan cara itulah maka suatu umat akan mencapai keberuntungan (Ali Imran 103). Dan suatu masyarakat akan menjadi sebaik-baik umat apabila ada kelompok masyarakat atau pemerintahan yang mengemban misi atau melaksanakan fungsi seperti itu (Ali Imran 109).

Para pemikir Muslim modern, baik Iqbal, Shari’ati maupun Mutahhari dan Nasr, tampak tertarik pada masalah, dan mencoba mengembangkan teori tentang kesadaran manusia. Dalam tulisan yang disajikan dalam buku ini, Iqbal dan Nasr mendekatinya dari sudut perkembangan rohaniah, karena pengaruh sufisme, sedangkan Shari’ati dan Mutahhari melihatnya dari kacamata analisa sosiologis. Kecenderungan kedua orang tersebut terakhir itu dapat dipahami, karena keduanya terlibat dalam gerakan revolusioner dan berkepentingan untuk menggerakkan massa. Iqbal dengan konsepsi khudi-nya dilatarbelakangi oleh cita-citanya tentang kebangkitan kembali kebudayaan Islam. Sedangkan Nasr adalah orang yang meresapi kehidupan Barat, berkat pengalaman pribadinya ketika ia belajar fisika dan kemudian lebih menekuni sejarah ilmu pengetahuan, tempat ia bisa membandingkan perkembangan segi eksoteris dan esoteris antara kebudayaan Barat dan Islam. Dari pengalamannya itu ia melihat, di satu pihak gejala krisis rohaniah dalam kehidupan Barat yang terlalu menonjolkan aspek eksoterisnya, dan di pihak lain, ia melihat Islam, seperti tampak dalam ajaran sufismenya, mampu memberikan altematif, yaitu karena memiliki segala potensi, yang di dalamnya segi esoteris manusia dapat berkembang melalui penumbuhan kepribadian.

Perhatian yang sangat besar pada para pemikir Muslim modem itu terhadap masalah kesadaran manusia seolah memberi kesan yang kuat bahwa mereka telah melupakan persoalan kontroversi takdir-ikhtiar. Perbedaan yang sangat tajam antara aliran Jabariyah dan Qadariyah, yang perdebatannya pernah memuncak pada masa klasik, dikemukakan pula dalam buku ini. Secara formal, masalah ini umumnya dinyatakan telah selesai melalui modus teologi Asy’ariyah atau pendekatan integralisme tasawuf-filsafat oleh Al-Ghazali. Sungguhpun demikian, pengaruh ajaran Jabariyah yang mengingkari hak dan kemampuan ikhtiar manusia berhadapan dengan kekuasaan takdir Tuhan itu tidak bisa dibantah. Ini dijelaskan oleh keadaan umat Islam sendiri yang seolah-olah kehilangan vitalitasnya, bahkan dibelenggu oleh kecenderungan fatalistis—suatu gejala yang bukan saja tampak nyata pada masa suram kebudayaan Islam, bahkan masih bisa kita lihat hingga kini pun pada berbagai kelompok umat Islam. Sebenamya Iqbal, seperti dapat dibaca dalam kumpulan ceramahnya yang berjudul Reconstruction of Religious Thought in Islam, tanpa mengingkari ajaran tentang takdir Allah, secara terang-terangan telah memerangi paham Jabariyah itu dengan cara menjelaskan secara rasional apa yang dimaksudkan dengan “takdir Tuhan”. Dalam kumpulan puisinya Asrar-i Khudi, Iqbal, lewat interpretasi Bahrum Rangkuti, memperkenalkan konsepsi “mardi khuda” atau “insan penaka Tuhan”. Di situ tampak bahwa Iqbal telah menyerap konsepsi tentang kuasa takdir Tuhan itu ke dalam teori penumbuhan pribadi insan kamil-nya. Nilai “takdir Tuhan” yang melambangkan kekuasaan ilahi oleh Iqbal ditransformasikan ke dalam nilai kemampuan “ikhtiar” pada manusia, yaitu dengan menumbuhkan sifat-sifat ilahiah dalam dirinya. Tentang kedudukan umat Islam dalam masyarakat dunia, Iqbal mengatakan bahwa umat Islam lemah dan mundur karena takdir, tetapi Barat maju juga karena takdir. Kalau begitu halnya, “Mengapa tidak kau sendiri menjadi pencipta takdirmu?” Atas dasar itulah Iqbal menyusun suatu konstruksi nilai-nilai yang menumbuhkan dan memperkuat pribadi.

Betapa pun masalah dikotomi takdir-ikhtiar itu, barangkali untuk sebagian besar umat Islam, merupakan misteri. Di Indonesia, masalah ini juga banyak dibicarakan. Fatalisme yang diduga juga menghinggapi masyarakat kaum Muslimin, terutama di pedesaan, dikaitkan atau malah dikatakan bersumber pada filsafat takdir yang melemahkan kemampuan berkehendak manusia. Sering soal ini berhubungan dengan kecenderungan mistis masyarakat Indonesia, sebagian mengatakan bahwa ini adalah karena pengaruh ajaran Hindu. Namun, dengan membaca pandangan Al-Jilli dalam buku ini, kita mendapatkan keterangan bahwa belum tentu sikap percaya pada takdir yang fatalistis ini bersumber dari paham tasawuf tertentu. Malahan, konsepsi “kehendak yang bersifat ilahi”, yang terdapat dalam paham kesufian Al-Jilli, justru meniadakan kecenderungan deterministis, dan sebaliknya membawa manusia pada kegiatan yang mengarah pada pencapaian pertumbuhan pribadi, walaupun dalam kenyataannya, para kiai di Indonesia cenderung meyakini bahwa “segala sesuatu adalah dari Allah”, seperti dilaporkan oleh Dr Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Mungkin karena latar belakang inilah, yaitu kenyataan bahwa persoalan dikotomi takdir-ikhtiar ini mengandung kontroversi, maka seorang Haji Agus Salim, tokoh pembaru terkemuka di Indonesia itu, merasa perlu memberikan penjelasan filsafati dalam bukunya Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Takdir dan Tawakkal yang sebenarnya lagi-lagi bersifat “mendamaikan” kedua kutub pendapat yang bertentangan secara berkepanjangan itu.

Jadi, kita memperoleh gambaran bahwa pembahasan tentang manusia oleh para pemikir Muslim dari waktu ke waktu mengandung dimensi eksoteris maupun esoteris. Tetapi dimensi yang terakhir itu di lingkungan Islam memang cukup tebal warnanya, bukan saja pada pemikir klasik, tetapi juga pada yang modern. Ini saya kira karena adanya kebudayaan sufisme. Bagi para pemikir modern sufisme temyata tidak dipandang melulu dari sudut negatifnya. Betapa pun, sufisme tetap dinilai sebagai warisan budaya yang sangat dihargai. Ada kalanya sufisme dihargai karena bersifat mengimbangi kecenderungan fiqihisme yang legalistis dan terkesan kaku dalam memandang persoalan manusia. Ada kalanya pula sufisme dinilai mengimbangi pendekatan yang rasional dari filsafat dan ilmu pengetahuan. Bagi Nasr, sufisme bukan saja berkedudukan mengimbangi rasionalisme, positivisme, atau empirisisme, bukan pula sekadar mengimbangi materialisme (sebagai sikap hidup) dengan spiritualisme, tetapi lebih dari itu jiwa dan inti ajaran sufisme diletakkan sebagai aksis atau pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tetapi sufisme dalam pandangan modern, seperti menurut Iqbal dan Nasr, adalah sufisme yang digali kembali mulai dari dasar-dasarnya, yaitu dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi secara radikal, yaitu dengan meletakkannya dalam konteks struktural masyarakat modern yang kompleks. Di sini, ajaran-ajaran Islam yang paling fundamental dan yang “asli” itu tidak saja ditafsirkan secara rasional, melainkan kerap kali secara simbolis. Penafsiran Iqbal tentang kisah Adam dalam Al-Quran adalah salah satu contohnya. Penafsiran seperti itu juga dilakukan oleh Ali Shari’ati tentang kisah Qabil dan Habil. Metode seperti inilah yang memungkinkan pemikir seperti Shari’ati mengekstrapolasikan nilai-nilai Islam ke arah persoalan-persoalan aktual masa kini dan merekonstruksikan nilai-nilai Islam, umpamanya menjadi suatu cita-cita revolusi atau suatu kebangkitan kebudayaan Islam menurut versi lqbal. Dan ini ternyata mampu pula melahirkan imbauan yang menggugah atau menggerakkan masyarakat untuk suatu perubahan besar.[]

[Dinukil dari: Rahardjo, M Dawam (Ed). 1985. Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam. Jakarta: PT Grafiti Pers.]

[Foto oleh Ninuk Mardiana Pambudy. Sumber: Kompas.com]

Sekilas tentang M Dawam Rahardjo

Mohammad Dawam Rahardjoadalah pemikir muslim yang lahir di Solo, 20 April 1942. Meskipun latar belakang pendidikannya ekonomi, Dawam dikenal sebagai pemikir yang menginisiasi gerakan “peremajaan Islam” pada era 1970-an bersama Nurcholis Madjid, Ahmad Wahib, dan Djohan Effendi. Dia pernah memimpin salah satu lembaga tangki pemikir terkemuka di Indonesia: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Dia juga dikenal sebagai aktivis yang membela hak-hak minoritas. Pada 31 Mei 2018, dalam usia 76 tahun, Dawam wafat di Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*