JELAJAH LITERASI

“Who Killed Malcolm X?”: Setelah 55 Tahun Sang Aktivis Dibunuh

in Film by

Film dokumenter tentang pembunuhan Malcolm X mendorong jaksa mempertimbangkan untuk membuka kembali kasus lama itu. Tapi, film ini bukan tentang penyelidikan kejahatan semata. Lebih daripada itu, ini tentang keadilan sejarah.

ABDUR-RAHMAN Muhammad bukan pengacara atau detektif swasta. Ia bukan pula sejarawan atau jurnalis. Pria 50 tahunan ini cuma pemandu wisata sejarah di Pemakaman Nasional Arlington, Washington, Amerika Serikat.

Namun, siapa menyangka ia mendedikasikan tiga puluh tahun hidupnya untuk menggali kembali kasus pembunuhan yang sudah terkubur lebih daripada empat dekade. Korbannya memang bukan orang biasa. Dia Malcolm X, aktivis hak asasi kulit hitam Amerika yang namanya bisa disandingkan dengan sang legenda Martin Luther King Jr.

Abdur-Rahman menggumpulkan kliping koran, mengubek-ubek arsip kepolisian, dan bahkan mengajukan permohonan informasi publik untuk membuka kembali dokumen-dokumen Biro Penyelidik Federal FBI. Dia juga mendatangi dan mewawancarai saksi-saksi mata dan komunitas muslim kulit hitam di masjid-masjid dan pusat-pusat warga.

“Saya hanya kulit hitam biasa yang merasa Malcolm pantas mendapat keadilan,” ujar Abdur-Rahman dalam serial dokumenter Who Killed Malcolm X? yang dirilis Netflix pada 7 Februari 2020, nyaris tepat 55 tahun setelah sang aktivis dibunuh di Balairung Audubon, Harlem, Manhattan, New York, pada sore yang membeku, 21 Februari 1965. “Kematian Malcolm mengusik nuraniku… karena banyak hal yang belum terjawab… karena laporan resmi tentang pembunuhan ini tidak benar.”

  • Judul Film: Who Killed Malcolm X?
  • Sutradara: Rachel Dretzin dan Phil Bertelsen
  • Rilis: 7 Februari 2020 (Netflix)
  • Durasi: 6 episode (@50 menit)

Duet sutradara Rachel Dretzin dan Phil Bertelsen menggarap dokumenter enam episode ini. Keduanya bukan nama baru dalam dunia film dokumenter di Amerika. Dretzin, misalnya, pernah menghasilkan Makers: Women Who Make America (2014) dan Black America Since MLK: And Still I Rise (2016). Yang terakhir merupakan karya kolaborasi pertamanya dengan Bertelsen sebelum dokumenter tentang Malcolm X ini. Bertelsen sendiri pernah menggarap dokumenter Through the Fire: The Legacy of Barack Obama (2017) dan drama televisi Madam Secretary (2018).

Who Killed Malcolm X? berfokus pada kisah investigasi Abdur-Rahman. Kamera mengikuti – dan sekaligus meringkas – tahap demi tahap penyelidikan yang dilakukan sang pemandu wisata ini. Bagian-bagian penting dari dokumen demi dokumen dan cuplikan demi cuplikan video tentang tragedi tersebut disorot dengan fokus dan detail. Narasi Abdur-Rahman juga mengisi voice-over di hampir sepanjang film.

Mungkin akan ada pertanyaan. Mengapa seorang amatir dijadikan narasumber utama sebuah dokumenter? Jangan-jangan Abdur-Rahman hanya seorang pencari sensasi, atau lebih buruk lagi penggemar teori konspirasi?

Anda akan terkejut ketika menyaksikan bagaimana Abdur-Rahman melakukan penyelidikannya: sangat mengikuti logika; sangat telaten; dan yang lebih penting dia berani. “Menanyakan siapa yang bersalah atas pembunuhan Malcolm adalah pertanyaan berbahaya,” kata David Garrow, sejarawan yang pada 1987 memenangi penghargaan Pulitzer untuk buku biografi Bearing the Cross: Martin Luther King Jr, and the Southern Christian Leadership Conference (1986), mengagumi dedikasi Abdur-Rahman. “Tak ada yang lebih berdedikasi mengungkap pembunuhan Malcolm daripada Abdur-Rahman Muhammad.”

Saat Malcolm dibunuh, Abdur-Rahman baru berusia tiga tahun. Ketika mengalami kekerasan polisi gara-gara mengencani gadis kulit putih, dia menemukan inspirasi dari Malcolm. Dia pun menjadi aktivis kulit hitam sejak saat itu. “Pertama kali aku mendengar suaranya, yang benar-benar membuatku tertarik adalah keberaniannya, kekuatannya untuk mengatakan hal-hal itu benar-benar luar biasa.”

Keberanian itu tampaknya menular. Abdur-Rahman tak gentar menghadapi pernyataan-pernyataan seperti, “buat apa mengurusi orang yang sudah mati”; “biarkan semua seperti apa adanya”; atau “kamu membangkitkan luka lama”. Respons seperti ini terutama datang dari komunitas muslim kulit hitam di Newark, New Jersey. Sudah menjadi rahasia umum Newark dianggap sebagai kampung halaman empat pembunuh Malcolm yang lolos dari jerat hukum.

Seperti telah tercatat dalam sejarah “resmi”, Malcolm dibunuh oleh tiga orang: Talmadge Hayer, Norman 3X Butler, dan Thomas 15X Johnson, yang kemudian dihukum penjara seumur hidup. Ketiganya adalah anggota Nation of Islam, organisasi yang dipimpin oleh Elijah Muhammad, nabi sekaligus imam mahdi muslim kulit hitam Amerika pada dekade 1960-an hingga 1970-an. Malcolm sendiri pernah menjadi juru bicara organisasi ini sebelum kemudian keluar dan bahkan menjadi musuh paling sengit satu tahun menjelang kematiannya oleh peluru.

Persoalannya, tak ada bukti fisik yang memastikan dua nama terakhir hadir di Balairung Audubon, tempat Malcolm menyampaikan orasi di hadapan 400 orang. Bahkan, bukti dan kesaksian yang ada justru menyatakan Norman dan Thomas tak mungkin berada di tempat tersebut.

Pada 1977, Hayer – yang tertangkap basah di Audubon oleh massa – menulis pernyataan tersumpah bahwa Norman dan Thomas bukanlah kaki tangan yang bersamanya menghabisi hidup Malcolm. Dalam pernyataannya, Hayer bahkan menyebut empat nama lain, yang tak pernah disentuh oleh penyelidikan polisi New York. Tapi sayang, polisi dan jaksa ketika itu tak menggubris sama sekali pernyataan tersumpah Hayer.

Investigasi Abdur-Rahman pun berfokus untuk menemukan keempat nama tersebut, yang merupakan jemaah masjid Nation of Islam di Newark. Di antara keempatnya, ada nama spesial, yakni William Bradley. Hayer, dalam pernyataannya, menyebut Bradley menembak dengan senapan gentel. Tembakan itu diduga kuat berakibat paling fatal pada Malcolm.

Tapi, Who Killed Malcolm X? dan Abdur-Rahman tak berhenti di situ. Dokumen-dokumen kepolisian dan FBI plus kesaksian bekas detektif New York dan agen FBI mengungkap apa yang selama ini dianggap sebagai teori konspirasi. Bahwa, kepolisian New York, FBI, dan elite pembesar Nation of Islam, seperti Elijah, terlibat dalam dalam “persekongkolan” untuk membunuh Malcolm.

Tak ada penjagaan polisi yang ketat pada saat pembunuhan, padahal sepekan sebelumnya kediaman Malcolm dilempari bom molotov. Hanya dua polisi yang bertugas di lantai atas. FBI pun ternyata sudah mengetahui apa yang disampaikan Hayer tapi mencoba menutupinya. Apalagi, baik kepolisian New York maupun FBI sama-sama menyusupkan agen-agen mereka ke dalam organisasi yang Malcolm dirikan lepas berseteru dengan Elijah. Mereka ini diduga merupakan anggota Nation of Islam.

Alhasil, film ini bukan sekadar dokumenter penyelidikan kejahatan tapi juga sejarah. Kita bisa tahu bagaimana Malcolm berpisah jalan dengan Nation of Islam; bagaimana dia mulai membangun aliansi dengan gerakan hak asasi di level nasional (bersama King, Jr) dan bahkan internasional – tak terpenjara dalam ideologi superemasi kulit hitam yang diajarkan Elijah; bagaimana FBI mulai melihat Malcolm sebagai ancaman riil yang lebih besar daripada saat dia menjadi juru bicara Nation of Islam.

Bisa dibilang Who Killed Malcolm X? adalah ensiklopedia visual tentang Malcolm X. Jika anda bukan orang yang suka membaca, film dokumenter ini menyajikan cerita cukup lengkap tentang sang aktivis, tentu saja dari sudut pandang yang melawan narasi “resmi”.

Lebih daripada itu, hasil penyelidikan Abdur-Rahman ikut menyumbang bahan kepada buku Malcolm X: A Life of Reinvention karya sejarawan William Manning Marable. Biografi ini memenangi penghargaan Pulitzer untuk Sejarah pada 2012, dan didaulat New York Times sebagai salah satu dari sepuluh buku terbaik 2011.

Sumbangan Abdur-Rahman pada film dokumenter ini lebih besar lagi. Seperti dilaporkan Washington Post, film ini mendorong Kantor Jaksa Distrik Manhattan mempertimbangkan untuk membuka kembali kasus pembunuhan Malcolm X.1Flynn, Meagan. “Malcolm X assassination may be reinvestigated as Netflix documentary, lawyers cast doubt on convictions”. 10 Februari 2020. www.washingtonpost.com. Diakses pada 25 Februari 2020. Tak banyak yang bisa diharapkan memang dari kabar tersebut, mengingat peliknya kasus ini dan pihak-pihak mana saja yang mungkin terlibat di dalamnya. “Sepanjang 20 tahun telah mengajarkan saya untuk tidak mempercayai mereka (aparat berwenang—red),” kata Norman 3X Butler, kini bernama Muhammad Abdul Aziz, yang dibebaskan bersyarat pada 1985 dan tetap menyatakan dirinya tak bersalah.

Bagi Abdur-Rahman, yang mengajukan petisi untuk membuka kembali kasus itu, investigasinya bukanlah semata untuk keadilan hukum. Tapi lebih daripada itu, dia bilang, ini demi keadilan sejarah, baik bagi Malcolm, Abdul Aziz, serta keluarga mereka, maupun bagi publik.[]

[Foto: Malcolm X saat bertemu dengan Martin Luther King, Jr. Sumber: Washingtonpost.com]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top