JELAJAH LITERASI

“Cinta Tak Ada Mati”: Bermain-main Melawan Kenyataan

in Fiksi by

Cinta Tak Ada Mati karya Eka Kurniawan menampilkan orang-orang buangan, peristiwa aneh, dan respons ajaib dari karakter-karakternya. Cerita tentang bagaimana melawan kenyataan bukan dalam bentuknya yang gagah, tapi dengan bermain-bermain.

ORANG-ORANG buangan terkadang memiliki cara ajaib untuk “melawan”—atau dengan istilah yang lebih tepat: “bertahan”. Dalam teks-teks agama, mereka suka disebut “orang yang tak punya apa-apa kecuali doa”. Para penceramah agama kerap mendorong pengikut mereka berdoa karena doa, menurut mereka, bisa mengubah kenyataan dengan cara ajaib. Misalnya, pasukan kecil bisa menang melawan pasukan besar dengan mesin perang supercanggih. Atau kita bisa tiba-tiba saja kaya bak diguyur hujan emas dari langit. Atau kita sembuh dari penyakit yang tak terobati dalam dunia kedokteran. Semua, kata khotbah-khotbah itu, cuma karena doa.

Tapi, orang tertindas toh tetap saja kalah meski doa-doa mereka telah memenuhi angkasa, menembus sidratul muntaha, dan bahkan mengguncang singgasana Raja Diraja. Setelah dewasa dan punya sedikit imajinasi, saya mencoba memahami fungsi doa bukan sebagai pengubah kenyataan. Saya lebih melihat doa orang-orang terzalimi—yang katanya tokcer itu—mendorong mereka berpikir dan bertindak di luar dari kemapanan; melampaui struktur dan sistem sosial yang dipaksakan atas mereka.

Baru-baru ini saya membaca berita para tunawisma di Oakland dan Los Angeles beramai-ramai menduduki properti-properti kosong yang dikuasai agensi pemerintahan. Bagi saya, ini bukan hanya karena ancaman wabah virus Corona memaksa mereka melakukan itu. Lebih daripada itu, ini karena mereka percaya ada suprasistem di atas sistem yang membuat mereka buntung selama ini. Dan kepercayaan seperti itu bisa jadi terinspirasi kidung-kidung rohani yang mereka panjatkan ke langit ketujuh.

Eka Kurniawan dalam kumpulan cerpen Cinta Tak Ada Mati menggambarkan bagaimana orang-orang buangan, pinggiran, dan mereka “yang tak punya sesuatu apa kecuali doa” melawan kemapanan. Perlawanan itu tak datang dalam bentuk pemberontakan yang gagah, kemartiran yang diingat-ingat sepanjang masa, atau epos yang menghiasi buku sejarah. Ia hadir dalam tindakan yang sangat pribadi, subtil, dan senyap.

  • Judul Buku: Cinta Tak Ada Mati
  • Pengarang: Eka Kurniawan
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Terbit: Mei 2018
  • Tebal: 153 halaman

Ada perempuan budak dan jago masak di keluarga Belanda pada masa kolonial yang melawan dengan mencampur tanaman beracun ke dalam masakan-masakan sedapnya. Lalu, seorang perempuan yang membebaskan diri dari pernikahan paksa dengan menjadikan dirinya tak perawan sebelum malam pertama. Ada juga pria yang tak mati-mati meskipun seluruh bagian tubuhnya telah dipenggal dan dicacah. Ia terus hidup dan melawan meskipun sudah tak kasat mata. Tak semua karakter dalam kumpulan cerpen ini melawan karena diinjak. Sebagian tindakan suprarasional justru lahir karena dorongan cinta “yang tak ada mati”. Bahkan, karakternya tak selalu manusia. Ada seekor binatang peliharaan fantasi yang digambarkan nyaris punah mencoba melakukan pemberontakan kecil di rumah keluarga manusia.

Dari tiga belas cerpen dalam buku ini, tak semua cerita bisa dibungkus dalam satu tema di atas. Tapi, cerpen-cerpen ini dibuhul oleh karakter-karakter orang buangan. Mereka berada dalam latar peristiwa ‘aneh’ yang memaksa mereka melakukan tindakan ‘ajaib’. Dengan racikan seperti ini, Eka menggambarkan kondisi budaya dan sosial-politik dari sudut pandang orang-orang buntung; mereka yang coba dibungkam dan diabaikan sepanjang sejarah.

Pilihan estetika realisme magis dalam kumpulan cerpen ini juga menunjukkan perlawanan terhadap kemapanan. Bukan dalam bentuk yang serius dan gagah, tapi dengan bermain-main melawan kenyataan. Bahkan, Eka juga melawan bentuk baku penulisan. Dalam “Bau Busuk” dan “Pengakoean Seorang Pemadat Indis”, dia menggugat kemapanan tata bahasa dan ejaan. Dalam beberapa cerpen, Eka juga bertutur dalam banyak metafora. Bukan metafora puitis dalam kata-kata indah, tapi metafora vulgar, sadis, dan jorok.

Jika saya menyinggung doa di sini, itu bukan berarti karakter-karakter dalam kumpulan cerpen ini sosok religius yang rajin beribadah dan berdoa. Mereka bahkan karakter-karakter dengan imajinasi jahat, cabul, dan gila—dan bahkan dalam satu cerpen karakternya orang gila sungguhan. Persoalannya, ‘kejahatan’, ‘kecabulan’, dan ‘kegilaan’ sudah kadung didefinisikan oleh kemapanan. Mereka juga berpikir dan bertindak bukan karena doa dalam makna komat-kamit, tapi dalam maknanya yang mistis; sesuatu yang bergema bukan di jalur rasional tapi suprarasional. Justru di sini, mereka berhadapan dengan orang-orang saleh, suci, dan waras—dan tentu saja ‘kesalehan’, ‘kesucian’, dan ‘kewarasan’ sebagaimana dikhotbahkan kemapanan.

Cinta Tak Ada Mati memiliki ciri khas tak hanya dalam mementaskan karakter-karakter remeh temeh. Kumpulan cerpen ini juga punya keunggulan dalam meneror pikiran dan mental—sesuatu yang akan selalu memikat saya kepada sebuah cerpen. Kita diteror untuk berpikir dan merasakan sesuatu di luar kenormalan.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Fiksi

Go to Top