“Bloodshot”: Klise dan Pandir

in Film by

Valiant meramaikan kompetisi film superhero dengan merilis Bloodshot, yang juga digadang menjadi gerbang menuju jagat sinematik. Tapi sayang Bloodshot gagal mendekati, apalagi melampaui, ekspektasi yang sudah dikerek Marvel. Film ini tanpa emosi dan kadang pandir.

MEMBUAT film superhero, apalagi mengembangkannya menjadi jagat sinematik, bisa dibilang tak mudah saat ini jika film itu tak memiliki keunikan. Marvel Cinematic Universe telah mengerek palang ekspektasi penonton cukup tinggi ketika menutup fase ketiga jagat sinematiknya dengan Avengers: Endgame (2019). DC yang mencoba menggebah dominasi Marvel lewat DC Extended Universe (dimulai dengan Man of Steel pada 2013) sejauh ini masih berada di bawah bayang-bayang saudara mudanya itu (meskipun dari sisi penceritaan, bagi saya, trilogi The Dark Knight Christopher Nolan masih film superhero terbaik sejauh ini).

Dengan menggandeng Sony, Valiant kini hadir meramaikan kompetisi dengan merilis Bloodshot, jagoan komik paling tenar yang mereka miliki dan sepertinya akan menjadi gerbang bagi jagat sinematik. Tapi sayang sang jagoan gagal menghidupkan ekspektasi yang memang sudah dipatok oleh Marvel. Orang bisa berdalih waktu perilisan yang berbarengan dengan pandemi virus Corona menjadi sebab melempemnya film ini. Tapi terlepas dari itu, Bloodshot sama sekali tak menghadirkan keunikan. Ia justru sesak dengan klise dan kadang pandir.

  • Judul Film: Bloodshot
  • Sutradara: David SF Wilson
  • Penulis: Jeff Wadlow, Eric Heisserer
  • Pemain: Vin Diesel, Eiza Gonzalez, Sam Heughan, Guy Pearce, Toby Kebbel
  • Rilis: 13 Maret 2020 (AS)
  • Durasi: 109 menit

Premis film ini, yaitu kisah orang mati yang dibangkitkan—kali ini dengan kecanggihan teknologi nano—menjadi pahlawan super dan kemudian membalas dendam, sudah klise. Ada plot twist, tapi ini pun bukan sesuatu yang baru. Nolan dalam Batman Begins (2005) memang mempertahankan motivasi Bruce Wayne menjadi vigilante bertopeng di antaranya karena pembunuhan kedua orang tuanya. Tapi dia menambahkan elemen penting yang membuat film itu unik, yakni filosofi ketakutan. Ada ambiguitas moral pada setiap orang, tak terkecuali pahlawan super. Dan ini yang tak terlihat dalam Bloodshot.

Film pertama David SF Wilson ini pun akhirnya datar; tanpa emosi (meski tentu saja ada adegan marah-marah dan mengamuk). Ray Garrison (Vin Diesel), Si Bloodshot, yang dulunya serdadu itu tak menunjukkan kecemasan eksistensial ketika bangkit dari kematian tanpa memori apa pun. Dia biasa-biasa saja, dan bahkan mengulum senyum saat mendengarkan ilmuwan gila Emil Harting (Guy Pearce) menjelaskan semua kepadanya. Jika pernah menonton Robocop (yang awal pada 1987, bukan remake-nya yang buruk), kita bisa menyaksikan kecemasan eksistensial pada Alex Murphy (Peter Weller) saat dijadikan kelinci percobaan teknologi tanpa ingatan utuh tentang dirinya. Hal serupa juga terjadi pada Logan (Hugh Jackman) dalam X-Men Origins: Wolverine (2009).

Teknologi nanite menjadikan Garrison tentara super. Ia bisa menyembuhkan diri dengan cepat. Ia juga kuat dan gesit. Yang utama, berkat robot nanite yang mengalir dalam darahnya, otaknya bekerja bak komputer super; mampu melacak miliaran bit data dan menembus dinding keamanan informasi mana pun. Tapi anehnya, dengan kemampuan otak super encer seperti itu, Garrison tak mampu mencari informasi tentang dirinya sendiri di luar dari memori yang dikontrol oleh Harting. Kendali atas memori Garrison inilah yang membuat Harting bisa memanfaatkan Bloodshot untuk kepentingan kotor korporasinya.

Pemilihan Diesel sebagai Garrison juga salah satu kelemahan film ini (kabarnya Jared Leto yang pertama kali diharapkan mengambil peran ini). Ini seperti menyaksikan Dominic Toretto (The Fast and The Furious) yang tengah rehat lalu nyambi menjadi pahlawan super dalam Bloodshot. Dia tak menjadi Garrison. Dia tetap Diesel yang tipikal; jagoan yang doyan menghajar para bajingan (entah mengapa saya merasa akting terbaik Diesel justru saat dia menjadi suara bagi Groot dalam Guardians of the Galaxy). Wilson juga tak bersusah payah mempermak Diesel dari sisi riasan, misalnya. Sebab, dalam komik, Bloodshot digambarkan bermata merah, berkulit pucat bak mayat, dan dengan dada merah menyala (meski yang satu ini sesekali ditampilkan lewat efek visual).

Tapi Bloodshot tetap menghadirkan adegan-adegan adu jotos yang cukup memukau, terutama pada laga terakhir di lift gedung pencakar langit. Visual efek film ini juga menjadi pertanda bahwa ia diproduksi pada Abad ke-21 meskipun ceritanya seperti melemparkan kita ke film-film superhero era 1990-an. Sebagai catatan, Wilson memang pernah menggarap visual efek Avengers: Age of Ultron (2015).

Valiant sebenarnya memiliki pilihan yang lebih pas daripada Bloodshot untuk mengawali jagat sinematiknya. Sebab, Bloodshot karakter superhero yang sangat tipikal. Mereka bisa memilih salah satu tokoh dari Harbinger Renegade, seperti Faith Herbert (Zephyr). Faith sangat tidak tipikal, dan karenanya bakal menghadirkan kesegaran bagi penonton.

Faith Herbert, salah satu karakter superhero komik Valiant

Kemampuan super Faith sebenarnya tidaklah khas. Kekuatan telekinetik, psikokinetik, dan terbang juga dimiliki superhero lain, seperti Wanda Maximoff (The Scarlet Witch) dalam jagad komik Marvel. Yang membuat Faith istimewa adalah latar belakangnya. Dia bukan pahlawan super yang didorong dendam tapi oleh kegilaannya pada komik pahlawan super. Dia juga seperti menentang pandangan mainstream tentang superhero perempuan yang bertubuh langsing. Faith bertubuh subur, tapi kondisi fisik ini tak pernah ditampilkan sebagai kelemahan atau candaan.

Andai saja Valiant memilih Faith, penonton akan menyaksikan film superhero yang lebih membumi, yang lebih dekat dengan keseharian kita. Akan ada suasana segar yang bisa memikat menonton, karena superhero yang kali ini beraksi berbeda, bukan dari cetakan yang sudah-sudah.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*