JELAJAH LITERASI

“Lady Bird”: Pelajaran tentang Cinta dan Perhatian

in Film by

Remaja seperti Lady Bird merasa perhatian orang tua dan guru mengekangnya. Tapi, bukankah cinta dan perhatian sesuatu tak terpisahkan? Film ini menarik untuk ditonton remaja, orang tua, dan pendidik. Ia bisa membuat kita marah, sedih, merenung, dan bahkan tertawa.

DALAM tiga menit pertama, Lady Bird sudah menyajikan plot menarik: adegan dialog antara Christine McPherson (Saoirse Ronan) dan ibunya, Marion McPherson (Laurie Metcalf). Dialog berlangsung amat natural, dimulai dengan sama-sama terpesona oleh pembacaan novel The Grapes of Wrath karya John Steinbeck di radio mobil hingga kemudian meledaklah konflik. Sejak awal film, sutradara-penulis Greta Gerwig telah memantik ketertarikan penonton kepada bagaimana hubungan rumit antara ibu-anak perempuan McPherson itu bergulir hingga akhir film.

Akting Ronan dan Metcalf amat apik. Mereka benar-benar menguasai emosi dari setiap dialog yang ditulis Gerwig dengan sangat hidup. Tiap kalimat tampak benar-benar wajar, sehingga kita seperti menyaksikan diri kita sendiri yang berdialog.

  • Judul Film: Lady Bird
  • Sutradara: Greta Gerwig
  • Penulis: Greta Gerwig
  • Pemain: Saoirse Ronan, Laurie Metcalf, Tracy Letts, Lucas Hedges, Timothee Chalamet, Beanie Feldstein.
  • Rilis: November 2017
  • Durasi: 94 menit

Meskipun banyak menampilkan dinamika hubungan Christine dan Marion, Lady Bird utamanya berkisah tentang Christine. Siswa SMA Katolik di Sacramento, Carlifornia Utara, ini menghadapi pemberontakan di dalam dirinya: malu dengan tempat di mana dia tinggal; lebih memilih melanjutkan studi di universitas luar kota atau di kota yang dia bilang “berbudaya”; dan bahkan lebih ingin dipanggil “Lady Bird” alih-alih nama pemberian orang tuanya. Di sekitar kegelisahan si Lady Bird, Gerwig menempatkan cerita-cerita penuh warna dalam hubungan Christine dengan Marion, pacar-pacarnya, kakak lelakinya, ayahnya, teman dekatnya, gurunya; dan hubungan suami-istri McPherson.

Coming-age bukan tema baru dalam sinema. Tema ini biasanya berangkat dari asumsi psikologi pendidikan bahwa seorang remaja akan merasa mampu hidup mandiri, tak ingin diatur-atur orang tua, tapi sebenarnya belum memiliki cukup “perangkat” untuk menopang kemandirian itu. Marion, misalnya, menganggap ambisi dan mimpi Lady Bird tak sebanding dengan upayanya. Putrinya itu punya nilai buruk dalam matematika, padahal ingin masuk kampus ternama di East Cost yang membutuhkan beasiswa. Lalu dia juga kerap gagal dalam tes mengemudi. Sebaliknya, Lady Bird bersikap seakan orang tua dan orang-orang sekitarnya berutang banyak kepada dirinya. Dia selalu ingin menjadi pusat perhatian. Marion karenanya menganggap Lady Bird tak tahu terima kasih, hanya memikirkan diri sendiri, sehingga tak menyadari justru orang lainlah yang seringkali terluka karena sikapnya.

Kelebihan Lady Bird terletak pada penceritaannya, terutama dialog-dialognya. Dalam keserbabiasaan, dialog-dialog itu justru bisa membuat kita marah, sedih, merenung, dan bahkan terbahak. Satu contoh, adegan ketika seorang guru mengisahkan gadis 15 tahun yang hamil dan, setelah terombang-ambing antara melakukan aborsi atau tidak, akhirnya memilih melahirkan bayinya, dan ternyata gadis itu adalah ibunya. Si guru ingin menunjukkan bahwa seandainya ibunya melakukan aborsi, maka dia tak akan berada di kelas dan mengajar. Lady Bird menunjukkan ketidaksukaan kepada cerita itu dan berbisik-bisik kepada teman di sebelahnya. Sang guru tahu dan meminta dia menyatakan pendapatnya. Terjadilah dialog berikut.

“Aku bilang, hanya karena terlihat buruk, bukan berarti sesuatu itu salah secara moral.”

“Menurutmu, aborsi tidak salah secara moral?”

“Tidak, aku hanya bilang, jika kau melihat kemaluanku saat aku datang bulan, itu akan terlihat menjijikkan, tapi bukan berarti itu salah.”

“Apa?”

“Dengar, jika dulu ibumu melakukan aborsi, kami tak perlu mengikuti pertemuan bodoh ini.”

Kelas pun gempar. Si guru syok. Dan Lady Bird kena skors.

Anda mungkin menganggap Lady Bird kurang ajar. Di kehidupan nyata, remaja seperti Lady Bird bukanlah fantasi. Kadang mereka terlampau percaya diri dan pada saat yang sama tak jarang merasa insecure. Tinggallah kini pilihan cara orang tua atau guru menghadapinya. Marion memilih cara tegas dengan mendisiplinkan Lady Bird. Suaminya (Tracy Letts) lebih bersikap lembut dan bisa menenggang rasa remaja itu. Begitu pula dengan guru-gurunya. Guru yang mengisahkan aborsi di atas tak tahan dengan kekurangajaran Lady Bird dan menghukumnya sementara Suster Sarah Joan mengambil pendekatan berbeda dengan mengajak muridnya itu mengobrol. Ini bisa dilihat pada adegan setelah Lady Bird melakukan aksi vandalisme terhadap mobil Susten Joan dengan kalimat: “Just Married to Jesus”.

“Aku tahu kau pelakunya,” kata Suster Joan kepada Christine.

“Bukan aku.”

“Aku tak akan menghukummu.”

“Kenapa tidak?”

“Itu lucu. Sebenarnya aku bukan ‘baru menikahi’ Yesus. Sudah 40 tahun.”

Gerwig mengerjakan skenario film ini bertahun-tahun. Bahkan, tebalnya disebut mencapai 350 halaman. Academy Awards 2018 menominasikannya sebagai Skenario Orisinal Terbaik (Gerwig), selain empat nominasi lain untuk Sutradara Terbaik (Gerwig), Film Terbaik, Aktris Terbaik (Ronan), dan Aktris Pendukung Terbaik (Metcalf). National Board of Review, American Film Institute, dan majalah Time memasukkan Lady Bird ke dalam daftar 10 film terbaik 2017 versi masing-masing. Film ini juga salah satu yang pernah memperoleh skor 100 persen di situs rating, Rotten Tomatoes. Ini berarti mayoritas kritikus sepakat film debut Gerwig ini sangat layak disaksikan. Sebagian besar mereka mengarahkan pujian kepada skenario dan penyutradaraan Gerwig serta penampilan Ronan dan Metcalf.

Khusus Ronan, aktris kelahiran Irlandia ini sudah menjelma “raksasa” Hollywood. Di usia 26 tahun, dia telah menerima empat nominasi Oscars—terakhir lewat Little Women (2019) yang juga diarahkan Gerwig. Dari film ke film, penampilannya semakin matang. Meskipun laris—dalam satu tahun Ronan rata-rata bisa memainkan dua sampai tiga film—dia mampu menjaga kualitas aktingnya.

Pada akhirnya, film ini, menurut saya, berpesan tentang cinta dan perhatian. Remaja seperti Lady Bird merasa perhatian ibunya Marion mengekangnya. Begitu juga ketika dalam esai sekolahnya dia “menjelek-jelekkan” Sacramento, Suster Joan justru menilai itu tanda perhatian Lady Bird kepada kampung halamannya, dan karenanya bukti cinta.

“Apakah menurutmu itu bukan hal yang sama? Cinta dan perhatian?”

Setelah tiba di New York untuk kuliah, Lady Bird menyadari perhatian ibunya adalah bentuk cinta, terutama setelah menemukan corat-coret ibunya yang nyaris dibuang tentang perasaannya kepada Lady Bird. Dia juga merindukan kampung halaman, Sacramento. Dia lalu memutuskan untuk kembali menggunakan nama lahir: Christine McPherson.

Di akhir, Gerwig menutup cerita ini dengan puitis. Ia seakan ingin menggambarkan kenangan orang akan asal-muasal: keluarga, kampung halaman, penduduknya, dan suasananya tak tergantikan. Ke mana pun pergi, seberapa jauh jarak itu, dan seberapa lama tinggal, kita pasti akan merindukan ingatan tersebut.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top