JELAJAH LITERASI

Kutipan dari Novel “Bumi Manusia”

in Nukilan by

Bumi Manusia—dan Tetralogi Buru—karya Pramoedya Ananta Toer bukan hanya masterpiece kesusastraan Indonesia, tapi juga sumbangan negeri ini bagi kesusastraan dunia. Dalam karya ini, banyak kalimat menarik yang melukiskan emosi, pikiran, dan kondisi sosial-politik. Di sini kami pilihkan sebagian di antaranya. Kami juga mencoba menjelaskan kutipan itu sependek pemahaman kami.

Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.”

Jean Marais kepada Minke. Kata-kata ini terus menghantui Minke, membimbing pikirannya untuk tak mudah menghakimi apa pun yang belum dipahami.

Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa.

Pernyataan ini disampaikan Sanikem alias Nyai Ontosoroh kepada Annelies Mellema. Nyai sedang bercerita tentang bagaimana ia dijual oleh ayahnya sendiri, Sastrotomo, kepada seorang administratur pabrik gula Belanda, Herman Mellema, ayah Annelies. Nyai tak pernah memaafkan kedua orang tuanya karena menilai mereka tak mampu bersikap membela darah daging sendiri.

Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu. Hilang anthusiasme para guruku dalam menyambut hari esok yang cerah bagi ummat manusia. Dan entah berapa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti. Sembah—pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.

Ini suara hati Minke ketika dia dihadapkan kepada Bupati B dengan merangkak dan duduk bersimpuh di pendopo Kabupaten. Minke kemudian baru tahu bahwa Bupati B adalah ayahnya sendiri. Suara hati ini menunjukkan protes terhadap adat dan etiket feodal priyayi Jawa di zaman Kolonial.

Gus, semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. Kan itu tidak terlalu sulit difahami? Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan caraNya sendiri.”

Petitih “Bunda” kepada Minke tentang apa makna menjadi anak sekolahan, orang berpendidikan. Pramoedya menggambarkan karakter “Bunda” seorang perempuan yang teguh pada tradisi Jawa dan Islam sekaligus ibu yang sangat bisa memahami putra yang berpendidikan Belanda.

Pakaian dan permunculanku sekarang ini aku anggap produk bumi manusia akhir abad sembilanbelas, kelahiran jaman modern. Dan terasa benar olehku: Jawa dan manusianya hanya sebuah pojokan tidak terlalu penting dalam keseluruhan bumi manusia. Twente telah menenunkan untuk orang Jawa, juga memilihkan bahannya. Tenunan desa tinggal dipakai orang desa. Hanya yang membatik tinggal orang Jawa. Dan tubuhku yang sebatang ini—tetap asli.

Minke mengatakan itu dalam hati ketika dirias oleh Niccolo Moreno, dekorator asal Eropa sesaat sebelum resepsi penobatan ayahnya sebagai bupati. Kutipan ini menunjukkan pakaian bangsawan Jawa—dan bahkan prajurit raja-raja Jawa—dirancang oleh orang Eropa. Bahan pun didatangkan dari Twente, Belanda. Kain impor itu pada akhir Abad ke-19 memukul tenun lokal.

Lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus, dinyanyikan. Orang berdiri. Sangat sedikit yang ikut menyanyi. Sebagian terbesar memang tidak bisa. Pribumi hanya seorang-dua. Yang lain-lain berdiri terlongok-longok, mungkin sedang menyumpahi melodi yang asing dan mengganggu perasaan itu.

Dalam kutipan ini, Minke menggambarkan betapa dalam jurang pemisah antara imajinasi penguasa Kolonial—yang diwakili oleh lagu kebangsaan Belanda dan foto Ratu Wilhelmina—dengan rakyat di tanah jajahan.

Kompeni Belanda tak pernah mengistirahatkan senapan dan meriamnya, selama tiga ratus tahun di Hindia. Tiba-tiba ada seorang Eropa yang mengharapkan diri jadi perintis, pemuka, contoh bangsa. Dongengan tidak menarik. Lelucon tidak lucu. Rupanya dia hendak membikin diri jadi kelinci percobaan dalam rangka teori assosiasi Doktor Snouck Hurgronje. Prek persetan! Bukan urusanku.

Kutipan ini merupakan perasaan Minke setelah dia mendengar Asisten Residen B, Herbert de la Croix, memintanya untuk mengambil sikap Eropa, agar kelak menjadi pelopor bagi bangsa Jawa yang kebudak-budakan. Minke tersinggung oleh ucapan itu karena dia tetaplah orang Jawa. Penyebutan teori asosiasi Snouck Hurgronje berasal dari percakapan Minke dengan dua putri de la Croix, Sarah dan Miriam. Dengan teori ini, Snouck menganjurkan kepada pemerintah Kolonial untuk memanfaatkan kaum terpelajar pribumi dalam menjalankan kekuasaan berdasarkan kebijakan serba-Eropa.

Tidak semua orang Eropa peserta dan penyebab kejatuhan bangsamu. Papa, misalnya, sekali pun seorang assisten residen, tidak termasuk golongan itu. Memang ia tidak bisa berbuat apa-apa sebagaimana halnya aku atau pun Sarah, sekali pun, ya, sekali pun ingin sekali kami mengulurkan tangan. Kami hanya menduga tahu apa mesti kami lakukan. Kau sendiri suka pada Multatuli, bukan? Nah, pengarang yang diagungkan oleh kaum liberal itu memang sudah sangat berjasa pada bangsamu. Ya, Multatuli, di samping Domine Baron von Hoevel itu, dan seorang lagi, yang barangkali saja gurumu lupa menyampaikan, yakni Roorda van Eysinga. Hanya saja mereka tidak pernah bicara pada bangsamu, cuma pada sebangsanya sendiri, yakni Belanda. Mereka minta perhatian pada Eropa agar memperlakukan bangsamu secara patut.

Segala apa yang telah mereka lakukan untuk bangsamu pada akhir abad 19 ini sudah termasuk gaya lama, kata Papa. Sekarang ini, menurut Papa lagi, Pribumi sendiri yang harus berbuat sesuatu untuk bangsanya sendiri. Karena itu kalau dulu kita bicara tentang usaha Doktor Snouck Hurgronje sama sekali bukan suatu kebetulan. Sarjana tsb. menempati kedudukan terhormat dalam penilaian keluarga kami. Kami memuji assosiasi yang justru kau tertawakan itu. Jadi mengertilah, sahabat, mengapa Papa punya perhatian padamu. Memang belum pernah Papa dan kami berdua menemui orang Jawa seperti kau. Sikapmu, katanya, sepenuhnya Eropa, telah terlepas dari acuan budak Jawa dari jaman kekalahan semenjak orang Eropa menginjakkan kaki di bumi kelahiranmu.

Di malam sunyi dalam gedung kami yang besar dan lengang ini, apabila Papa tidak lelah, sukalah kami mendengarkan uraiannya tentang nasib bangsamu, yang pernah melahirkan beratus dan beribu pahlawan dan pemimpin dalam usaha menghalau penindasan Eropa. Seorang demi seorang dari mereka jatuh, kalah, tewas, menyerah, gila, mati dalam kehinaan, dilupakan dalam pembuangan. Tak seorang pun pernah memenangkan perang. Kami dengarkan dengan terharu, juga ikut menjadi jengkel dengan kelakuan para permbesarmu yang menjuali konsessi pada Kompeni untuk kepentingan sendiri sebagai pertanda kekeroposan watak dan jiwanya…

Kodrat ummat manusia kini dan kemudian ditentukan oleh penguasaannya atas ilmu dan pengetahuan. Semua, pribadi dan bangsa-bangsa akan tumbang tanpa itu. Melawan pada yang berilmu dan pengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan.

Perhatikan, semua nada bercurahan rancak menuju dan menunggu bunyi gung. Begitu dalam musik Jawa, tetapi tidak begitu dalam kehidupannya yang nyata, karena bangsa yang mengibakan ini dalam kehidupannya tak juga mendapatkan gungnya, seorang pemimpin, pemikir, yang bisa memberikan kataputus…

Dengarkan gamelan itu, kata Papa lagi. Begitulah berabad-abad belakangan ini. Dan gung kehidupan Jawa tak juga tiba. Gamelan itu lebih banyak menyanyikan kerinduan suatu bangsa akan datangnya seorang Messias—merindukan, tidak mencari dan tidak melahirkan. Gamelan itu sendiri menterjemahkan kehidupan kejiwaan Jawa yang ogah mencari, hanya berputar-putar, mengulang, seperti doa dan mantra, membenamkan, mematikan pikiran, membawa orang ke alam lesu yang menyesatkan…

Kutipan-kutipan di atas merupakan sebagian isi surat Miriam de la Croix kepada Minke. Dalam surat ini, Miriam mencoba mengklarifikasi beberapa hal, terutama tentang teori asosiasi Snouck yang membuat Minke gusar. Dari surat ini, kita bisa membaca pelukisan Pramoedya tentang nuansa hubungan orang Belanda dengan pribumi di tanah Hindia. Tak semua orang Belanda, bahkan pembesar di pemerintahan Kolonial, mengingkari akibat buruk kebijakan negara mereka di Hindia. Di sini, Pramoedya juga mengungkap pandangannya tentang alam pikir orang Jawa melalui ‘filsafat’ gamelan.

Mengapa aku jadi begini lunak di tangan wanita seorang ini? Seakan segumpal lempung yang bisa dibentuknya sesuka hatinya? Mengapa tak ada perlawanan dalam diriku? Bahkan kehendak untuk bertahan pun tiada? Seakan ia tahu dan dapat menguasai pedalaman diriku, dan memimpinku ke arah yang aku sendiri kehendaki?

Kutipan ini menunjukkan betapa kuat pengaruh Nyai Ontosoroh terhadap Minke. Dalam dua novel berikutnya (Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah), karakter kuat perempuan itu membentuk kepribadian seorang Minke.

Kasihan anak ini. Dia tak bisa menghadapi kekerasan. Dia mengimpikan seorang yang mengasihi, menyayanginya dengan tulus. Dia merasa hidup seorang diri, tanpa pelindung, tak tahu dunia. Digantungkannya sepenuh harapannya pada Tuan.”

“… ibunya—wanita luarbiasa itu. Setiap katanya sopan beradab, berisi, dilatarbelakangi kekerasan dari hati seorang pendendam yang ogah berbagi. Sedemikian terpelajar sebagai wanita pun sudah suatu keluarbiasaan. Juga di Eropa sana. Aku kira memang bukan secara sadar dia telah menjadi demikian. Ada satu atau banyak pengalaman yang jadi penggerak. Aku tak tahu apa. Hatinya sangat keras, berpikiran tajam, tetapi dari semua itu: sukses dalam segala usahanya yang membikin dia jadi seorang pribadi yang kuat, dan berani.”

Martinet, dokter keluar Mellema, berkata kepada Minke. Dua kutipan ini menggambarkan kepribadian bertolak belakang dari dua perempuan, Annelies dan Nyai Ontosoroh. Yang pertama begitu rapuh, tak mampu menanggung guncangan hidup lalu pecah berkeping, sementara yang kedua justru menjadikan pengalaman mengguncang sebagai penguat karakter dan penggerak hidup.

Seniman besar, Minke, kata Jean Marais dulu, entah dia pelukis, entah apa, entah pemimpin, entah panglima perang, adalah karena hidupnya disarati dan dilandasi pengalaman-pengalaman besar, intensif: perasaan, batin atau badan… Tanpa pengalaman besar kebesaran seseorang khayali semata; kebesarannya dibuat karena tipuan orang-orang mataduitan.

Nasihat Jean Marais kepada Minke, yang diingat-ingat Minke dalam hati saat dia nyaris menyerah menghadapi berbagai guncangan.

Bentuk hidungnya yang indah itu menarik tanganku untuk membelainya. Ujung-ujung rambutnya berwarna agak coklat jagung, dan alisnya lebat subur seakan pernah dipupuk sebelum dilahirkan. Dan bulu matanya yang lengkung panjang membikin matanya seperti sepasang kejora bersinar di langit cerah, pada langit wajahnya yang lebih cerah.

Kecantikan kreol yang sempurna, dalam keserasian bentuk seperti yang aku hadapi sekarang ini, di mana dapat ditemukan lagi di tempat lain di atas bumi manusia ini? Tuhan menciptakannya hanya sekali saja dan pada tubuh yang seorang ini saja. Aku takkan lepaskan kau, Ann, bagaimanapun keadaan pedalamanmu. Aku akan bersedia hadapi apa dan siapa pun.

Lukisan dan pujian Minke tentang kecantikan Annelies. Ini bagian di mana Pramoedya menunjukkan kepiawaian mengisahkan romansa dalam sebuah novel yang lebih bertema sosial-politik.

Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”

Magda Peters, guru bahasa dan sastra Belanda di H.B.S Surabaya tempat Minke bersekolah. Ini dia katakan saat pertama kali memasuki kelas dan bertanya, apakah ada siswa yang tak menyukai sastra. Hampir seisi kelas mengacungkan tangan.

Tahukah para siswa apa politik kolonial?” … “Itulah stelsel atau tatakuasa untuk mengukuhi kekuasaan atas negeri dan bangsa-bangsa jajahan. Seorang yang menyetujui stelsel itu adalah orang kolonial. Bukan saja menyetujui, juga membenarkan, melaksanakan dan membelanya. Termasuk di dalamnya adalah juga mereka yang bertujuan, bercita-cita, bermaksud, berterimakasih pada stelsel kolonial. Soal pokok di dalamnya adalah masalah penghidupan.”

Magda Peters mengatakan ini di hadapan siswa dan guru di aula H.B.S sesaat setelah Minke bertanya tentang politik asosiasi Snouck Hurgronje. Di sini, Pramoedya sekali lagi menunjukkan penjajahan bukan persoalan perbedaan identitas: warna kulit, ras, atau agama.

Orang Eropa sendiri yang merasa totok 100% tidak pernah tahu berapa prosen darah Asia mengalir dalam tubuhnya. Dari pelajaran sejarah para siswa tentunya sudah tahu, ratusan tahun yang lalu berbagai balatentara Asia telah menerjang Eropa, dan meninggalkan keturunan: Arab, Turki, Mongol, dan justru setelah Romawi atas bagian-bagian tertentu Eropa darah Asia, mungkin juga Afrika, meninggalkan keturunannya melalui warganegara Romawi dari berbagai bangsa Asia: Arab, Yahudi, Siria, Mesir…”

Banyak dari ilmu Eropa berasal dari Asia. Malah angka yang saban hari para siswa pergunakan adalah angka Arab. Termasuk angka nol. Coba, bisa para siswa kirakan bagaimana hitung-menghitung tanpa angka Arab dan tanpa nol? Nol pun pada gilirannya berasal dari filsafat India. Tahu kalian artinya filsafat? Ya, lain kali saja tentang ini. Nol, keadaan kosong. Dari kekosongan terjadi awal. Dari awal terjadi perkembangan sampai ke puncak, angka 9, kosong, berawal lagi dalam nilai yang lebih tinggi, belasan, dst., ratusan, ribuan… tanpa batas. Akan lenyap sistem desimal tanpa nol, dan para siswa harus menghitung dengan angka Romawi. Nama sebagian terbesar kalian, nama pribadi, adalah juga nama Asia, karena agama Kristen lahir di Asia.”

Dua kutipan di atas masih dari perkataan Magda Peters di hadapan siswa dan guru H.B.S. Dia mengatakan itu setelah Robert Suurhof, salah satu siswa peranakan, mempermalukan Minke dengan menyebutnya “pribumi yang menyelundup di sela-sela peradaban Eropa”.

Pribumi Hindia, bukankah dikuasai para pembesarnya? Raja-raja, sultan-sultan, dan para bupati? Pada gilirannya Pemerintah Coklat ini dikuasai oleh Pemerintah Putih. Para raja, sultan dan bupati dengan semua alatnya di sini sama dengan kekuasaan Belanda immigran di Afrika Selatan.”

Bagian dari surat kedua Miriam de la Croix kepada Minke. Miriam membandingkan Kolonialisme di Hindia dan Afrika Selatan, di mana kaum Boer, Belanda Imigran, melawan kekuasaan Kolonial Inggris. Polanya sama, yakni kekuasaan Kolonial berlapis dengan pribumi jelata berada di lapisan terbawah.

Perang kolonial… tak lain daripada kehendak modal, kepentingan pasaran buat kelangsungan hidup modal di Eropa sana. Modal telah menjadi begitu kuasanya, maha kuasa. Dia menentukan apa harus dilakukan ummat manusia dewasa ini.”

Jean Marais kepada Minke.

“… tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini… ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati, hidup, atau kalah-menang… Aceh sendiri tahu pasti akan kalah… Namun, Tuan, Aceh tetap juga turun ke medan-perang. Mereka berperang bukan untuk menang. Berbeda dari Belanda…

Jean Marais mengatakan ini dalam percakapan dengan Minke dan Bastian Telinga, eks komandan Jean di pasukan Kompeni. Kutipan ini menggambarkan perlawanan tak bertujuan mencari kemenangan tapi membela kehormatan, menyatakan kebenaran. Ini menjadi salah satu tema yang mewarnai Tetralogi Pulau Buru.

Baru aku bertemu seorang, dan perempuan pula, yang tidak mau berdamai dengan nasibnya sendiri… ia merasa lebih tepat dipanggil Nyai. Aku kira hanya untuk membenarkan dendamnya. Memang Nyai sebutan Pribumi paling tepat untuk gundik seorang bukan Pribumi. Dia tidak suka diperlakukan bermanis-manis. Dia tetap mengukuhi keadaan dirinya—dengan kebesaran ditaburi dendam.”

Lantas assosiasi itu, Minke, dia runtuh berantakan tanpa harga hanya oleh satu perempuan Pribumi, Mamamu itu. Kalau ada barang seribu Pribumi seperti dia di Hindia ini, Hindia Belanda ini, Minke, Hindia Belanda ini, boleh jadi gulung tikar.” …

Sayang, orang semacam itu takkan mungkin dapat hidup di tengah bangsanya sendiri. Dia seperti batu meteor yang melesit sendirian, melintasi keluasan tanpa batas, entah di mana kelak bakal mendarat, di planit lain atau kembali ke bumi, atau hilang dalam ketakterbatasan alam.”

Komentar Magda Peters tentang Nyai Ontosoroh, yang dia katakan kepada Minke.

Dan terjatuhlah aku dalam kelunakan pelukannya. Jantungku mendadak berdebaran ibarat laut diterjang angin barat. Semua darah tersembur ke atas pada kepala, merenggutkan kesedaran dan tugasku sebagai dokter. Dengan sendirinya aku membalas pelukannya. Dan aku dengar ia terengah-engah. Juga nafasku sendiri, atau barangkali hanya aku sendiri yang demikian, sekalipun tak kusedari. Dunia, alam, terasa hilang dalam ketiadaan.Yang ada hanya dia dan aku yang diperkosa oleh kekuatan yang mengubah kami jadi sepasang binatang purba.

Suara hati Minke saat bercinta dengan Annelies. Hubungan percintaan ini digambarkan Pramoedya dengan setara dan indah.

“…cinta tak lain dari sumber kekuatan tanpa bandingan, bisa mengubah, menghancurkan atau meniadakan, membangun atau menggalang.”

Dokter Martinet kepada Minke, menyampaikan analisis betapa hidup-mati Annelies bergantung kepada keberadaan Minke di sisi gadis itu.

Lihat, Tuan Minke, dalam kehidupan ilmu tak ada kata malu. Orang tidak malu karena salah atau keliru. Kekeliruan dan kesalahan justru akan memperkuat kebenaran…”

Dokter Martinet meminta Minke menyampaikan pendapat sebagai orang terpelajar. Kutipan ini menggambarkan spirit ilmu pengetahuan dalam mengungkap rahasia-rahasia kehidupan.

Tak bisa mereka melihat Pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya. Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi Pribumi pun sudah salah. Dilahirkan sebagai Pribumi lebih salah lagi. Kita menghadapi keadaan yang lebih sulit, Minke, anakku!” (Itulah untuk pertama kali ia memanggil anakku, dan aku berkaca-kaca terharu mendengarnya).

Nyai Ontosoroh kepada Minke, setelah membaca tulisan sensasional koran-koran berbahasa Belanda bahwa seorang gundik seperti dirinya mungkin telah bersekongkol dengan orang lain untuk membunuh tuannya, Herman Mellema.

Tapi di depan hukum kau tak bakal menang. Kau menghadapi orang Eropa, Nyo. Sampai-sampai jaksa dan hakim akan mengeroyok kau, dan kau tak punya pengalaman pengadilan. Tidak semua pokrol dan advokat bisa dipercaya, apalagi kalau soalnya Pribumi menggugat Eropa. Tulisan itu jawab saja dengan tulisan. Tantang dia dengan tulisan juga.”

Nyai Ontosoroh mengatakan ini ketika Minke berpikir untuk menggugat sebuah tulisan yang mencemarkan namanya. Minke tahu penulisnya adalah Robert Suurhof, teman sekolah yang membencinya. Dari kutipan ini, kita juga bisa memahami hukum kerap menjadi hamba kekuasaan, dan salah satu senjata orang lemah adalah tulisan. Pramoedya di sini seakan ingin menunjukkan bahwa jurnalisme menjadi pelopor perlawanan di tanah Hindia. Dalam novel-novel selanjutnya dari Tetralogi Pulau Buru, Minke semakin menyadari kekuatan dunia tulis-menulis ini.

Memang begitu kehidupan kolonial di mana saja: Asia, Afrika, Amerika, Australia. Semua yang tidak Eropa, lebih-lebih tidak kolonial, diinjak, ditertawakan, dihina, hanya untuk berpamer tentang keunggulan Eropa dan keperkasaan kolonial, dalam segala hal—juga kejahilannya. Kau sendiri jangan lupa, Minke, mereka yang merintis ke Hindia ini—mereka hanya petualang dan orang tidak laku di Eropa sana. Di sini mereka berlagak lebih Eropa. Sampah itu.”

Simpati Magda Peters kepada Minke, yang tengah menghadapi badai masalah akibat kematian Herman Mellema di rumah pelacuran.

Tuan Hakim yang terhormat, Tuan Jaksa yang terhormat, karena toh telah dimulai membongkar keadaan rumahtanggaku… Aku, Nyai Ontosoroh alias Sanikem, gundik mendiang Tuan Mellema, mempunyai pertimbangan lain dalam hubungan antara anakku dengan tamuku. Sanikem hanya seorang gundik. Dari kegundikanku lahir Annelies. Tak ada yang menggugat hubunganku dengan mendiang Tuan Mellema, hanya karena dia Eropa Totok. Mengapa hubungan antara anakku dengan Tuan Minke dipersoalkan? Hanya karena Tuan Minke Pribumi? Mengapa tidak disinggung hampir semua orangtua golongan Indo? Antara aku dengan Tuan Mellema ada ikatan perbudakan yang tidak pernah digugat oleh hukum. Antara anakku dengan Tuan Minke ada cinta-mencintai yang sama-sama tulus. Memang belum ada ikatan hukum. Tanpa ikatan itu pun anak-anakku lahir, dan tak ada seorang pun yang berkeberatan. Orang Eropa dapat membeli perempuan Pribumi seperti diriku ini. Apa pembelian ini lebih benar daripada percintaan tulus? Kalau orang Eropa boleh berbuat karena keunggulan uang dan kekuasaannya, mengapa kalau Pribumi jadi ejekan, justru karena cinta tulus?”

Pembelaan Nyai Ontosoroh di Pengadilan Kulit Putih Surabaya dalam perkara kematian Herman Mellema. Pernyataan ini disampaikan menjawab pertanyaan hakim, mengapa Nyai Ontosoroh membiarkan perbuatan tak patut antara Annelies dan Minke terjadi di rumahnya—pertanyaan yang sebenarnya tak bersangkut paut dengan perkara.

…perbuatan jaksa dan hakim itu menghina semua golongan Indo Eropa yang berasal dari pergundikan dan pernyaian. Anak-anak mereka, kalau diakui ayahnya, menjadi bukan Pribumi. Tidak diakui, menjadi Pribumi. Artinya: Pribumi sama dengan anak gundik yang tidak diakui sang ayah.

Tulisan Kommer, seorang wartawan Indo-Eropa di harian berbahasa Melayu, yang membela Nyai Ontosoroh dalam Pengadilan Kulit Putih. Karakter Kommer tak banyak muncul dalam Bumi Manusia. Dalam Anak Semua Bangsa, karakter ini punya peran cukup penting, terutama dalam mendorong Minke untuk lebih banyak menulis dalam bahasa Melayu agar suaranya didengar kalangan bawah.

Pekerjaan pendidikan dan pengajaran tak lain dari usaha kemanusiaan. Kalau seorang murid di luar sekolah telah menjadi pribadi berkemanusiaan seperti Minke, sebagaimana dibuktikan dalam tulisan tulisannya terakhir, kemanusiaan sebagai faham, sebagai sikap, semestinya kita berterimakasih dan bersyukur, sekalipun saham kita terlalu amat kecil dalam pembentukan itu. Pribadi luarbiasa memang dilahirkan oleh keadaan dan syarat-syarat luarbiasa seperti halnya pada Minke.”

Magda Peters menyampaikan ini dalam Sidang Dewan Guru H.B.S untuk meninjau kembali keputusan pemecatan Minke dari sekolah. Minke akhirnya diterima kembali dengan sejumlah syarat. Keputusan ini sebagian besarnya berkat lobi yang dilakukan Herbert de la Croix, Assisten Residen B.

Dia orang radikal fanatik, berlebih-lebihan. Dia termasuk golongan yang sibuk dengan Hindia untuk Hindia. Pernah dengar?… Dia menganggap Hindia sama dengan Nederland. Itu ciri orang radikal fanatik di Hindia ini. Dia dan golongannya tidak mau tahu tentang banyaknya pembatasan di Hindia. Celaka orang yang berani menentang apalagi melanggar pembatasan. Dan di antara begitu banyak pembatasan itu lebih banyak lagi yang tidak pemah ditulis. Memang di Nederland ada kebebasan yang utuh. Di sini sama sekali tak ada. Liberal saja tidak buruk selama orang menghormati pembatasan-pembatasan dan tidak bikin onar. Itu sesuatu yang patut Tuan ketahui. Untung tak ada Pribumi yang jadi pengikutnya. Coba, sekiranya Tuan terlanjur jadi pengikut. Sekali orang liberal dikutuk Pemerintah—tak peduli apa salahnya—kalau dia Totok, dia paling-paling diperintahkan meninggalkan Hindia. Kalau dia Indo, akibatnya lebih pahit, dia akan kehilangan pekerjaan. Kalau Pribumi, kiraku, dia akan kehilangan kebebasannya, disekap tanpa melalui pengadilan—karena memang tak ada hukum khusus tentang itu. Nah, Tuan, hati-hatilah, jangan sampai Tuan hanya kena getahnya. Negeri Tuan bukan Nederland, bukan Eropa, Hindia ini. Kalau Tuan mendapat getah itu, takkan ada seorang pun dari kelompok liberal itu dapat atau mau menolong Tuan.”

Maarten Nijman, Kepala Redaksi S.N.v/d D., koran berbahasa Belanda di Surabaya yang sering memuat tulisan Minke, mengungkap pandangan politik Magda Peters kepada Minke. Kutipan ini menunjukkan keberadaan kelompok orang-orang Belanda yang bersimpati kepada nasib tanah dan rakyat jajahan. Karakter Nijman dan korannya juga menarik untuk diikuti. Dalam Anak Semua Bangsa, Minke yang membela nasib buruh pabrik gula harus berhadap-hadapan dengan Nijman karena koran itu didanai industri gula Kolonial.

Dan, Tuan, di bawah kekuasaan raja-raja Pribumi, rakyat Tuan tidak pemah mendapat keamanan dan kesentausaan, tidak mendapat perlindungan hukum, karena memang tidak ada hukum. Kurang baik apa Pemerintah Hindia Belanda? Orang-orang liberal itu memang mempunyai impian aneh tentang Hindia…

Masih perkataan Maarten Nijman kepada Minke. Di sini, kita bisa membaca pertentangan di antara orang-orang Belanda sendiri tentang masa depan Hindia. Nijman mewakili orang Belanda yang menentang kebebasan di tanah jajahan selama rakyat jajahan bisa sejahtera.

Jangan lupa pesan Bunda ini: jangan lari! Selesaikan persoalanmu secara baik. Kan kau masih ingat? Kalau kau sampai lari, sia-sia sekolah dan pendidikanmu, karena hanya seorang kriminil saja anakku…Jangan lari dari persoalanmu sendiri, karena itu adalah hakmu sebagai jantan. Rebut bunga kecantikan, karena mereka disediakan untuk dia yang jantan. Juga jangan jadi kriminil dalam percintaan—yang menaklukkan wanita dengan gemerincing ringgit, kilau harta dan pangkat. Lelaki belakangan ini adalah juga kriminil, sedang perempuan yang tertaklukkan hanya pelacur.”

Surat “Bunda” kepada Minke. Di sini, terbaca jelas kebesaran jiwa seorang ibu ketika sang anak menghadapi cobaan.

Aduh, Gus, mengapa kau menggubah dalam bahasa yang Bunda tak mengerti? Tulislah, Gus, kisah percintaanmu, dalam tembang nenek-moyangmu, pangkur, kinanti, durma, gambuh, megatruh, biar Bunda dan seluruh negeri menyanyikannya.”

Masih dari surat “Bunda” kepada Minke. Selain Kommer, “Bunda” juga mendorong Minke untuk lebih banyak menulis dalam bahasa ibu. Dengan kata lain, dalam kutipan ini, Pramoedya ingin mengatakan setinggi apa pun sekolah, tak ada guna seseorang jika tak mampu berkomunikasi dalam bahasa yang dimengerti kaum awam.

Pertama wisma, Gus, rumah. Tanpa rumah orang tak mungkin satria. Orang hanya gelandangan. Rumah, Gus, tempat seorang satria bertolak, tempat dia kembali. Rumah bukan sekedar alamat, Gus, dia tempat kepercayaan sesama pada yang meninggali… Kedua wanita. Gus, tanpa wanita satria menyalahi kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Dia bukan sekedar istri untuk suami. Wanita sumbu pada semua, penghidupan dan kehidupan berputar dan berasal… Ketiga turangga, Gus, kuda itu, dia alat yang dapat membawa kau ke mana-mana: ilmu, pengetahuan, kemampuan, ketrampilan, kebisaan, keahlian, dan akhirnya—kemajuan. Tanpa turangga takkan jauh langkahmu, pendek pengelihatanmu… Keempat kukila, burung itu, lambang keindahan, kelangenan, segala yang tak punya hubungan dengan penghidupan, hanya dengan kepuasan batin pribadi. Tanpa itu orang hanya sebongkah batu tanpa semangat. Dan kelima curiga, keris itu, Gus, lambang kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang empat sebelumnya. Tanpa keris yang empat akan bubar binasa bila mendapat gangguan…

Wejangan “Bunda” kepada Minke sebelum pernikahannya dengan Annelies. Ini penjelasan tentang lima syarat seorang satria dalam filosofi Jawa.

Selamatlah kalian bersama-sama membangun kehidupan gemilang. Kalau pada suatu kali kebetulan kau terkenang pada gurumu yang buruk tapi tulus ini, Minke, ingatlah, di dunia ini ada orang yang berbesarhati pernah mempunyai seorang murid yang mengikuti jejak humanis besar Multatuli. Sekarang ini, Minke, pemerintah Hindia atas desakan beberapa orangtua murid telah memecat aku sebagai guru dan menganjurkan aku meninggalkan Hindia. Kalau tidak, bisa diusir nanti. Besok aku akan berangkat dengan kapal Inggris. Adieu!

Pesan terakhir Magda Peters kepada Minke yang tersimpan dalam hadiah pernikahan. Pesan ini mengharukan karena Magda Peters terpaksa meninggalkan Hindia sebagai konsekuensi sikap politiknya terhadap pemerintah Kolonial.

Ternyata orang Eropa sendiri, dan bukan orang sembarangan pula, yang justru berbuat tidak adil dalam perbuatan.

Komentar Minke saat Pemerintah Hindia Belanda menolak permohonan Asisten Residen B agar pemerintah membantu Minke meneruskan sekolah di Belanda. Pemerintah berdalih Minke tak memenuhi syarat budi pekerti meskipun lulusan terbaik kedua di seantero Hindia.

Uh, Pengadilan Amsterdam! Sama sekali belum pernah melihat kami. Bagaimana bisa sebuah pengadilan, Pengadilan Putih pula, dengan orang-orang yang sangat, terpelajar dan berpengalaman mengurusi keadilan, bergelar Meester, bisa bekerja memperlakukan hukum yang begitu berlawanan dengan perasaan hukum kami? Dengan perasaan keadilan kami?

Minke dalam hati, ketika menghadapi keputusan pengadilan Belanda dan pengadilan kulit putih di Surabaya yang menetapkan hak asuh Annelies berada di tangan Maurits Mellema. Bagi Minke, keputusan ini tak berbeda dengan kelaliman raja-raja Jawa yang merampas anak dan istri orang. Kutipan ini juga melukiskan keputusan pengadilan seringkali dingin, tak merasai keadilan yang berkembang di masyarakat.

Hanya pengabdi uang. Bertambah banyak uang kau berikan padanya, bertambah dia jujur padamu. Itulah Eropa.”

Aku bergidik. Seluruh tahun-tahun pelajaran di sekolah dijungkir-balikkan oleh seorang nyai dalam hanya tiga kalimat pendek.

Nyai Ontosoroh kepada Minke di tengah upaya mereka berdua mempertahankan hak asuh Annelies. Minke merasa betapa kebanggaannya dulu kepada kemajuan bangsa kulit putih hancur berantakan di tangan seorang nyai.

Omongkosong saja segala ilmu-pengetahuan Eropa yang diagung-agungkan itu. Omongkosong! Pada akhirnya semua akan berarti alat hanya untuk merampasi segala apa yang kami sayangi dan kami punyai: kehormatan, keringat, hak, bahkan juga anak dan istri.

Kepercayaan Minke kepada Eropa berada di titik nadir begitu Annelies bakal dirampas darinya. Pengalaman pahit ini kemudian menggerakkan Minke berjuang di lapangan pergerakan nasional melalui tulisan dan organisasi, sebagaimana bisa dibaca dalam Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah. Di sini, kita bisa juga memahami persoalan teramat pribadi, seperti kehilangan istri, bisa menjadi motivasi awal bagi seseorang memperjuangkan cita-cita lebih besar.

Kita takkan malu bila kalah. Kita harus tahu mengapa… Sepanjang hidupnya Pribumi ini menderitakan apa yang kita deritakan sekarang ini. Tak ada suara, Nak, Nyo—membisu seperti batu-batu kali dan gunung, biarpun dibelah-belah jadi apa saja. Betapa akan ramainya kalau semua mereka bicara seperti kita. Sampai-sampai langit pun mungkin akan roboh kebisingan…Dengan melawan kita takkan sepenuh kalah.”

Nyai Ontosoroh kepada Minke. Kutipan ini menunjukkan penindasan terjadi dan bertahan lama karena mereka yang tertindas tak pernah berani menyuarakan perlawanan.

Tulisanmu ini begitu lunak, seperti tulisan gadis pingitan. Belumkah kau menjadi keras dengan pengalaman-pengalaman keras belakangan ini? Dan sekarang? Keras tak dapat ditawar? Minke, Nak, Nyo… Sekarang kau tulis dalam Melayu, Nak. Koran Melayu tentu lebih banyak dibaca orang.”

Dalam kutipan ini, bisa terbaca jelas peran Nyai Ontosoroh meradikalisasi pikiran dan tulisan Minke.

Dengan kopor ini aku akan pergi, Mama, Mamaku.”

Terlampau kecil dan buruk. Tidak pantas, Ann.”

Mama, dengan kopor ini dulu Mama pergi dan bertekad takkan kembali lagi. Kopor ini terlalu memberati kenangan Mama. Biar aku bawa, Mama, beserta kenangan berat di dalamnya. Aku takkan bawa apa-apa kecuali kain batikan Bunda, pakaian pengantinku, Ma. Masukkan sini, sembah sungkemku pada Bunda… aku akan pergi, Ma, jangan kenangkan yang dulu-dulu. Yang sudah lewat biarlah berlalu, Mamaku, Mamaku sayang.”

Percakapan terakhir Annelies Mellema dengan ibunya, Sanikem alias Nyai Ontosoroh. Dalam percakapan ini, Pramoedya dengan brilian mencipta perlambang pada sebuah “kopor seng kecil, coklat, berkarat, peot, cekung dan cembung di sana-sini”. Benda butut inilah yang menghubungkan nasib Sanikem, seorang gundik pribumi, dengan anaknya Annelies, seorang peranakan Eropa. Meskipun berbeda status sosial dan hukum, nasib keduanya dipertautkan oleh kopor itu, perlambang keterenggutan dan keterampasan.

Kita kalah, Ma,” bisikku.

Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Dialog terakhir dalam Bumi Manusia antara Minke dan Nyai Ontosoroh, sekaligus mungkin kutipan termasyhur novel ini. Dialog ini, dan banyak kalimat lain, membingkai satu tema dari Tetralogi Pulau Buru: perlawanan tak bertujuan mencari kemenangan, dan karenanya tak bisa dinilai dari menang-kalah. Tugas manusia, bagi Pramoedya, adalah menyatakan kebenaran di hadapan penindasan. Menang-kalah bukan urusan manusia lagi.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Nukilan

Ziarah Lebaran

Cerpen Umar Kayam “Ziarah Lebaran” merupakan salah satu dari 17 “Cerpen Pilihan

Terbang

Cerpen Ayu Utami Dengan berlatarkan kecemasan terkait keamanan transportasi udara, Ayu Utami

Pemintal Kegelapan

Cerpen Intan Paramaditha Dalam cerpen ini, Intan Paramaditha meramu horor dan misteri

Cinta Sejati

Cerpen Isaac Asimov Anda yang pernah mencoba aplikasi atau situs web kencan
Go to Top