“Extraction”: Laga Keren Tapi Sarat Stereotip

in Film by

Bagaimana jika seorang stuntman naik kelas jadi sutradara? Hasilnya adalah film laga keren: Extraction. Lepas soal adegan laga nan artistik, film ini sarat stereotip, terutama terkait Bangladesh.

SAYA di awal tak begitu tertarik menonton Extraction, film rilisan anyar Netflix. Ia tampak seperti film laga biasa-biasa saja. Apalagi saya pernah kecewa dengan 6 Underground-nya Netflix (2019), padahal film ini arahan Michael Bay (Transformers, 13 Hours: The Secret Soldiers of Benghazi) dan dibintangi Ryan Reynolds pula.

Extraction juga dibintangi aktor kenamaan Hollywood asal Australia, Chris Hemsworth, Si Thor Perkasa dari Jagad Sinematik Marvel (MCU). Skenarionya ditulis Joe Russo, salah satu Russo Bersaudara, sutradara beberapa film MCU, terutama Avengers: Infinity War (2018) dan Avengers: Endgame (2019). Lalu, sutradaranya adalah Sam Hargrave, koordinator pemeran pengganti (stuntman) di MCU. Kisahnya didasarkan pada Ciudad, novel grafis karya Ande Parks dari cerita yang ditulis antara lain oleh Joe dan Anthony Russo. Klop sudah, film ini setengah-reuni MCU.

  • Judul Film: Extraction
  • Sutradara: Sam Hargrave
  • Penulis: Joe Russo
  • Pemain: Chris Hemsworth, Rudhraksh Jaiswal, Randeep Hooda, Golshifteh Farahani
  • Rilis: 24 April 2020 (Netflix)
  • Durasi: 117 menit

Tak sengaja, saya kemudian membaca beberapa berita tentang film ini. Di situ, disebut film ini termasuk salah satu tontotan Netflix yang meledak di masa pandemi. Katanya, sampai 90 juta rumah tangga menonton film ini dalam satu bulan pertama penayangan. Apalagi, setelah saya mengecek, situs rating film Rotten Tomatoes memberi film ini angka di atas 60 persen. Akhirnya, saya memutuskan menontonnya.

Di awal film, ketertarikan saya bertambah ketika menyaksikan satu pemain lagi. Dia Golshifteh Farahani, aktris Iran. Saya pertama kali menyaksikan penampilan Farahani di About Elly (2009), film garapan Asghar Farhadi, yang memenangi Silver Bear di Berlin International Film Festival. Ini film Iran terakhir Farahani sebelum dia meninggalkan Iran dan hidup di Perancis. Sekadar intermezzo, saya sangat merekomendasikan Anda menonton About Elly.

Kembali ke Extraction, plot film ini harus saya katakan klise. Sudah terlalu banyak film berkisah tentang seorang bekas pasukan khusus yang menjadi tentara bayaran, Tyler Rake (Hemsworth), lalu disewa untuk membebaskan anak seorang bos mafia. Hanya kali ini, si bos mafia berasal dari India dan penculiknya Amir Asif (Priyanshu Painyuli), juga seorang bos mafia, dari Bangladesh. Ceritanya berputar di situ. Tak ada yang baru.

Hemsworth pun tampil perkasa meski tanpa Mijonir dan Strombreaker. Tyler Rake bak John Wick terdampar di Dhaka, yang dikuasai Asif berikut polisi dan tentara di bawah pengaruh fulus si bos mafia. Satu demi satu polisi dan tentara itu Tyler hajar dan habisi. Tentu saja, Hemsworth kali ini kesakitan, berdarah, dan sekarat.

Meskipun plotnya klise, film ini menonjol berkat adegan laga. Hargrave mengulangi keberhasilan Chad Stahelski saat membesut John Wick: seorang koordinator stunt yang naik kelas menjadi sutradara dan piawai memoles adegan laga. Pertarungan dalam film ini mengingatkan kita kepada gaya Stahelski di John Wick, seperti pertarungan jarak dekat dengan senapan dan pistol di tangan menyalak.

Tapi, tetap ada elemen pembeda di antara keduanya. Salah satunya adalah adegan kejar-kejaran mobil dengan fokus shot pada dashboard mobil. Ini tidak biasa, setidaknya bagi saya. Sudut kamera seperti ini membuat kita seakan tengah menyaksikan video game.

Kesimpulannya, adegan-adegan laga dalam film ini digarap sangat baik. Ia bukan hanya detail tapi pilihan angle-nya membuat tiap adegan terlihat artistik.

Tak seperti yang saya duga di awal, Extraction bukan sekadar film laga tanpa emosi. Tyler digambarkan memiliki problem pribadi yang tak terselesaikan, yang terus menyiksa jiwanya. Hemsworth berhasil menunjukkan itu lewat emosi terukur. Di antara Tyler dan si anak bos mafia, Ovi Mahajan Jr (Rudhraksh Jaiswal), juga terjalin hubungan emosional sepanjang pelarian mereka dari kejaran Asif. Tapi sayangnya, hubungan keduanya kurang terbangun intens. Penampilan Jaiswal tampak biasa, belum mampu mengimbangi Hemsworth meskipun Ovi memiliki kalimat percakapan layak kutip: “kau tidak tenggelam karena terjatuh ke sungai tapi karena tetap di bawah air.”

Soal air dalam film ini juga elemen lain yang saya suka. Hargrave dan Russo berhasil menjadikan air sebagai simbol sakral bagi Tyler. Di awal, film menggambarkan Tyler sebagai pria yang sangat menyukai kesunyian berada di bawah air. Di akhir film, ke air itu jugalah Tyler jatuh dalam keadaan terluka parah. Lalu, kutipan di atas menyempurnakannya. Air begitu pas diposisikan oleh Hargrave dan Russo sehingga menjalin simbolisasi solid.

Cukup di situ pujian untuk film ini. Selanjutnya adalah hal-hal mengganggu.

Ada cukup banyak kritik yang menyebut film ini sarat dengan kompleks white-saviour. Harus diakui kritik ini ada benarnya. Tapi ayolah, terkadang kenyataannya memang demikian, bukan? Jika ada orang kulit putih bertindak heroik, kita juga toh tak bisa begitu saja mengatakan ini kompleks white-saviour.

Justru bagi saya, yang sangat mengganggu dari film ini adalah bagaimana ia menguras habis citra Bangladesh. Ini bukan semata soal bagaimana film menggambarkan Dakha kota kumuh, padat, berdebu, coreng-moreng, dan bau. Di mana-mana, ada jemuran pakaian bergelantungan. Orang hilir mudik tanpa peduli keadaan sekitar. Mobil dan motor butut lalu lalang tak karuan. Ini gambaran stereotip film-film Hollywood ketika mereka menampilkan lanskap Anak Benua India: India sendiri, Pakistan, dan Bangladesh.

Tapi, yang telak-telak mengganggu adalah karakter-karakter Bangladesh dalam film ini (dan sebagian besarnya diperankan aktor India). Mereka semua digambarkan benar-benar kosong dari rasa kemanusiaan: cinta dan welas asih. Mafianya cuma tahu bagaimana cara membunuh, dan bahkan melempar anak kecil dari gedung bertingkat. Polisi dan tentaranya korup habis, benar-benar dikendalikan uang si mafia. Seolah tak ada negara atau pemerintahan. Bangladesh bak neraka negara gagal layaknya Somalia atau Afghanistan. Lalu, anak-anak jalanan juga hanya punya nafsu menenteng senjata dan membunuh untuk mafia.

Ini kontras dengan bagaimana film menggambarkan karakter Barat dan India. Sekalipun tentara bayaran yang bekerja untuk bos mafia, Tyler tetaplah orang berperasaan: mencintai anaknya dan peduli kepada keselamatan Ovi walaupun tahu tak akan memperoleh uang dari pekerjaannya kali ini. Karakter India juga ditampilkan begitu, tak kalah humanisnya. Saju Rav (Randeep Hooda), eks pasukan khusus India yang menjadi kaki tangan ayah Ovi, punya keluarga manis yang sangat ia cintai di rumah, di Mumbai sana.

Film ini seperti menyajikan dua kelompok jahat: mafia India dibantu tentara bayaran Barat versus mafia Bangladesh. Tapi, yang pertama diberi sentuhan emosi, perasaan, dan kemanusiaan, sehingga kita dengan mudah jatuh cinta. Sementara, yang kedua total penjahat tanpa hati. Sungguh malang kau, Bangladesh.

Sejumlah seniman Bangladesh dikabarkan protes, melalui internet dan media sosial. Meskipun tahu negara mereka tak baik-baik amat, mereka menolak penggambaran teramat buruk itu. Tapi, apalah artinya protes jika kita tak mampu membangun citra melalui sinema sendiri. Ini pada akhirnya tantangan bagi komunitas sineas di negara-negara berkembang.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*