JELAJAH LITERASI

Dua Puluh Enam Pria, dan Seorang Gadis

in Nukilan by

Cerpen Maxim Gorky

Alexei Maximovich Peshkov, lebih dikenal dengan pseudonim “Maxim Gorky”, adalah pengarang Rusia pelopor realisme-sosialis. Dalam cerpen ini, Gorky yang pernah lima kali dinominasikan Nobel Sastra melukiskan keadaan psikologis pekerja dalam kondisi nyaris seperti di penjara.

KAMI duapuluh enam—dan dua puluh enam mesin, terkunci di ruang bawah tanah yang lembab, tempat kami menepuk adonan dari pagi hingga malam, membuat biskuit dan kue. Jendela-jendela ruang bawah tanah kami berhadap-hadapan dengan selokan dari batu bata yang ditumbuhi lumut karena lembab. Bingkai jendela dihalangi dari luar oleh jaring kawat besi yang tebal, dan cahaya matahari tak bisa mengintip melalui panel-panelnya, yang tertutupi debu tepung. Majikan kami menutup erat jendela dengan besi, agar kami tak bisa memberikan roti-rotinya kepada orang miskin atau teman-teman kami yang, karena tidak bekerja, kelaparan; majikan kami menyebut kami para penipu dan memberi kami makan malam dari sampah, bukan daging.

Mencekik dan menyesakkan di dalam kotak batu ini, di bawah langit-langit rendah dan kokoh, yang dipenuhi asap hitam dan jaring laba-laba. Sumpek dan menjijikkan di dalam dinding tebal ini, yang penuh noda lumpur dan kepengapan… Kami bangun pukul lima pagi, tanpa tidur yang cukup, kusam, dan acuh tak acuh. Kami duduk di meja pada pukul enam untuk membuat biskuit dari adonan, yang telah disiapkan bagi kami oleh teman-teman kami saat kami tidur. Dan sepanjang hari, dari pagi hingga pukul sepuluh malam, sebagian kami duduk di meja, menggulung adonan elastis dengan tangan kami, dan mengguncang-guncangkan tubuh kami agar tak kebas, sementara sebagian lain meremas adonan dengan air. Dan air yang mendidih di dalam ketel, tempat biskuit-biskuit direbus, mendengung sedih dan serius sepanjang hari; sekop tukang roti kami menggesek cepat dan marah pada tungku, hingga memercikkan potongan adonan yang licin ke arah batu bata yang panas. Di satu sisi tungku, kayu terbakar sejak pagi hingga malam, dan pantulan merah nyala api bergetar pada dinding seolah ia diam-diam mengejek kami. Tungku besar itu tampak seperti kepala cacat monster-monster dalam dongeng. Ia seakan menyembul dari bawah lantai, membuka mulut lebarnya yang penuh api, dan menghembuskan panasnya kepada kami serta menatap pekerjaan kami yang tak ada habisnya ini melalui dua lubang udara hitam di atas dahinya. Kedua rongga itu seperti mata—mata monster yang tanpa belas kasihan: keduanya menatap kami dengan tatapan gelap yang sama, seolah sudah bosan memandangi para budak, dan tak berharap apa-apa dari mereka, menghinakan mereka dengan hinaan dingin dari kebijaksanaan. Hari demi hari, di tengah debu tepung, lumpur tebal, serta panas yang bau dan mencekik, kami menggiling adonan dan membuat biskuit, membasahinya dengan keringat kami, dan kami membenci pekerjaan ini dengan kebencian yang tajam; kami tak pernah makan biskuit yang lahir dari tangan kami, lebih memilih roti hitam daripada biskuit. Duduk di meja panjang, satu berhadapan dengan yang lain—sembilan berhadapan dengan sembilan—kami secara mekanis menggerakkan tangan dan jari selama berjam-jam, dan saking terbiasa dengan pekerjaan ini, kami tak lagi bisa mengikuti gerakan tangan kami. Dan kami sudah bosan menatap satu sama lain, karena setiap kami mengenal tiap kerutan di wajah yang lain. Tak ada yang kami bicarakan, kami sudah terbiasa dengan kondisi ini dan diam sepanjang waktu, kecuali saling melecehkan—karena selalu ada sesuatu yang bisa dilecehkan dari seseorang, terutama seorang teman. Tapi kami bahkan sudah jarang melakukan itu. Apa lagi yang bisa membuat seseorang merasa bersalah ketika dia sudah setengah mati, ketika dia seperti patung, ketika semua perasaan telah dihancurkan di bawah beban kerja tak kenal henti ini? Tetapi diam itu mengerikan dan menyakitkan hanya bagi mereka yang telah mengatakan semua hal dan tidak memiliki apa-apa lagi untuk dibicarakan; tetapi bagi mereka yang tak pernah memiliki sesuatu untuk dikatakan—diam itu sederhana dan mudah… Kadang kami bernyanyi, dan lagu kami dimulai begini: saat bekerja seseorang tiba-tiba menarik napas, seperti kuda yang kelelahan, dan dengan lembut akan memulai salah satu dari lagu-lagu yang disenandungkan itu, dengan nada membelai dan menyentuh, yang selalu memberi keringanan bagi jiwa resah penyanyinya. Salah satu dari kami bernyanyi, dan awalnya kami mendengarkan dalam hening lagu kesepian itu, yang menenggelamkan dan menulikan di bawah langit-langit ruang bawah tanah yang kokoh, seperti api kecil dari tumpukan kayu di stepa pada malam musim gugur yang lembab, ketika langit kelabu menggantung di atas bumi seperti atap timah. Kemudian yang lain ikut bernyanyi, dan kini, dua suara bersenandung lembut dan sedih tentang panas yang mencekik dari lubang sempit ini. Dan tiba-tiba beberapa suara mulai bernyanyi—dan lagu itu bergemuruh seperti ombak, semakin kuat, semakin keras, seolah memecah di bawah tembok basah dan kokoh penjara batu ini.

Semuanya, keduapuluh enam dari kami, bernyanyi; dengan suara keras, serempak, memenuhi pabrik ini; nyanyian itu tak memiliki ruang di sana; ia menumbuk-numbuk batu-batu tembok, merintih dan meratap, serta menghidupkan kembali hati dengan rasa sakit menggelitik, membuka luka lama dan membangkitkan kesedihan.

Para penyanyi bernapas dalam dan berat; seseorang secara tak terduga meninggalkan nyanyiannya dan mendengarkan temannya bernyanyi untuk waktu lama, dan sekali lagi suaranya bergabung dengan gelombang bersama itu. Suara sedih lainnya menyeru, Eh! Lau bernyanyi lagi, matanya terpejam, dan mungkin gelombang suara yang luas dan berat itu tampak baginya seperti jalan menuju ke suatu tempat yang jauh, seperti jalan lebar, yang diterangi matahari yang cemerlang, dan dia melihat dirinya berjalan di sana…

Nyala api terus-menerus bergetar dalam tungku, sekop tersaruk-saruk pada bata, air di dalam ketel mendengkur, dan pantulan api menari-nari di dinding, tertawa dalam keheningan… Dan kami bernyanyi, dengan kata-kata orang lain, kesedihan kami yang membosankan, kepedihan berat manusia yang hidup, yang dirampok dari cahaya mentari, kepedihan para budak. Begitulah kami hidup, dua puluh enam manusia ini, di ruang bawah tanah sebuah rumah besar berbatu, dan kami kepayahan untuk hidup seolah-olah tiga lantai rumah itu dibangun di atas pundak-pundak kami.

Tapi selain lagu-lagu itu, kami punya satu hal baik lainnya, sesuatu yang kami semua sukai dan yang, mungkin, datang kepada kami sebagai pengganti matahari. Di lantai kedua rumah itu ada sebuah ruang bordir, dan di sana, di antara banyak pekerja perempuan, tinggallah seorang pelayan berusia enam belas tahun, Tanya. Setiap pagi, wajah mungil dan merah muda, dengan mata biru yang ceria, itu bersandar pada jendela kecil di pintu lorong kami, dan suaranya yang lembut berdering meneriaki kami: “Wahai tahanan-tahanan kecil! Berilah aku biskuit!”

Kami semua berpaling ke arah suara akrab dan jernih ini, dan dengan riang dan senang memandangi wajah gadis yang murni itu ketika ia tersenyum kepada kami dengan menyenangkan. Kami menjadi terbiasa dan bahagia melihat hidungnya menempel di kaca jendela, dan gigi-gigi kecil putih itu muncul dari bawah bibirnya yang merah jambu, yang terbuka dengan senyum. Kami bergegas membukakannya pintu, berebutan; dia masuk dengan ceria dan ramah, lalu mengulurkan celemeknya. Dia berdiri di hadapan kami, agak memiringkan kepalanya ke satu sisi dan terus tersenyum. Rambut coklat kemerahan yang tebal dan panjang serta terkepang itu jatuh di bahunya, merentang di payudaranya. Kami, laki-laki kotor, gelap, dan buruk rupa, memandangnya dari bawah—ambang pintu empat langkah lebih tinggi dari lantai—kami memandangnya, mengangkat kepala, mengucapkan selamat pagi kepadanya. Kami mengatakan kepadanya beberapa kata tertentu, kata-kata yang kami gunakan untuknya saja. Berbicara dengannya suara kami entah bagaimana menjadi lebih lembut, dan lelucon kami lebih ringan. Semuanya menjadi berbeda baginya. Tukang roti kami mengeluarkan sekop penuh dengan biskuit paling coklat dan paling merah lalu melemparkannya dengan cermat ke celemek Tanya.

“Hati-hati, jangan sampai bos melihatmu!” Kami selalu memperingatkannya. Dia tertawa nakal dan berteriak dengan riang:

“Selamat tinggal, para tahanan kecil!” Dan dia menghilang cepat, bagaikan tikus kecil. Itu saja. Tapi lama setelah kepergiannya, kami membicarakan hal-hal menyenangkan tentang gadis itu. Kami terus mengatakan hal yang sama seperti kemarin dan sebelumnya, karena dia, juga kami dan semua yang ada di sekitar kami, juga sama seperti kemarin dan sebelumnya. Sangat sulit dan menyakitkan bagi hidup seseorang ketika tak ada yang berubah di sekitarnya, dan jika tak membunuh jiwa untuk selamanya, kondisi seperti ini semakin menyakitkan semakin lama ia hidup. Kami selalu berbicara tentang wanita sedemikian rupa sehingga kadang-kadang kami jijik dengan kata-kata kasar dan tidak tahu malu kami sendiri, dan ini cukup jelas, karena wanita-wanita yang kami kenal, mungkin, tidak pernah cukup pantas menerima kata-kata yang lebih baik. Tapi, kami tidak pernah berbicara buruk tentang Tanya. Tak satu pun dari kami yang berani menyentuhnya, dan bahkan dia tak pernah mendengar olok-olok dari kami. Mungkin ini karena dia tak pernah tinggal lama bersama kami; hanya melintas di depan mata kami seperti bintang yang datang dari langit dan kemudian menghilang, atau mungkin karena dia mungil dan sangat cantik, dan semua keindahan itu menerbitkan penghormatan bahkan dari orang-orang kasar sekalipun. Dan kemudian, meskipun kerja rodi ini telah mengubah kami menjadi lembu membosankan, kami tetaplah manusia, dan seperti semua manusia, kami tak bisa hidup tanpa mengagumi sesuatu. Kami tidak memiliki sesuatu yang lebih baik daripada gadis itu, tidak ada, hanya dia yang memperhatikan kami, penghuni ruang bawah tanah ini; tidak ada seorang pun, meskipun puluhan orang tinggal di rumah ini. Dan akhirnya—ini mungkin alasan utama—kami semua menganggapnya milik kami sendiri, sebagai sesuatu yang hanya ada karena biskuit kami. Kami menganggap itu tugas kami; memberinya biskuit panas dan ini menjadi persembahan harian kami kepada sang idola, menjadi kebiasaan sakral yang semakin mengikat kami kepadanya setiap hari. Selain biskuit, kami memberi banyak nasehat kepada Tanya—untuk berpakaian lebih hangat, tidak berlari di atas tangga, atau membawa terlalu banyak kayu. Dia menyimak nasehat kami seraya tersenyum, menjawab kami dengan tawa meskipun tak pernah mematuhi kami, tetapi kami tak merasa tersinggung. Kami hanya butuh menunjukkan bahwa kami peduli kepadanya. Dia kerap menoleh kepada kami dengan berbagai permintaan. Dia meminta kami, misalnya, untuk membuka pintu ruang bawah tanah yang berat, untuk memotong kayu. Kami melakukan apa pun yang dia inginkan. Kami melakukannya dengan sukacita, dan bahkan dengan semacam kebanggaan.

Tapi ketika salah satu dari kami memintanya untuk memperbaiki baju satu-satunya, dia menolak dengan seringai menghina.

Kami tertawa terbahak-bahak pada orang yang aneh itu, dan kemudian tidak pernah lagi meminta Tanya untuk melakukan apa pun. Kami mencintainya; semuanya karena cinta. Manusia selalu ingin melimpahkan cintanya kepada seseorang, meskipun ia terkadang mencekik atau menghinanya; ia dapat meracuni kehidupan tetangganya dengan cintanya, karena, mencintai, dia tak lantas bisa dicintai. Kami harus mencintai Tanya, karena tak ada orang lain yang bisa kami cintai.

Kadang-kadang sebagian kami mulai berpikir begini:

“Dan mengapa kami melakukan begitu banyak hal untuk gadis itu? Apa yang dia punya? Eh? Kami terlalu banyak berurusan dengan dia.” Kami dengan cepat dan kasar membungkam orang yang berani mengatakan kata-kata seperti itu. Kami harus mencintai sesuatu. Kami menemukannya dan menyukainya, dan sesuatu yang keduapuluh enam orang ini sukai harus tidak dapat dijamah oleh siapa pun dari kami, harus menjadi keramat, dan siapa pun yang melawan kami dalam persoalan ini adalah musuh kami. Kami mencintai, mungkin, bukan cinta yang benar-benar bagus, tetapi kemudian kami berduapuluh enam ini, selalu ingin sesuatu yang kami sayangi menjadi sakral di mata yang lain. Cinta kami tak kalah pedihnya daripada kebencian. Dan mungkin inilah mengapa beberapa orang congkak mengklaim bahwa kebencian kami lebih menyanjung daripada cinta kami. Tetapi mengapa mereka tidak lari dari kami, jika itu benar?

Selain pabrik biskuit, majikan kami juga memiliki toko roti putih; ia berada di rumah yang sama, terpisahkan dari selokan kami dengan tembok; para bulochnik (pembuat roti putih), ada empat orang, menyendiri, karena menganggap pekerjaan mereka lebih bersih daripada kami, dan karenanya menganggap diri mereka lebih baik daripada kami; mereka tidak pernah datang ke ruang kerja kami, menertawakan kami setiapkali mereka bertemu dengan kami di halaman; kami juga tak pernah mendatangi mereka. Majikan melarang ini karena takut kami akan mencuri roti putih. Kami tidak menyukai para bulochnik, karena kami iri kepada mereka. Pekerjaan mereka lebih mudah daripada kami, mereka dibayar lebih baik, mereka diberi makan lebih baik, ruang kerja mereka luas, terang, dan mereka begitu bersih dan sehat—menjijikkan bagi kami; sementara kami pucat, kelabu, dan sakit-sakitan. Selama liburan dan kapan pun bebas dari pekerjaan, mereka mengenakan mantel bagus dan sepatu bot yang berderit; dua dari mereka punya harmonika, dan mereka pergi ke taman kota; sementara kami hanya mengenakan perca kotor dan sepatu bolong, dan polisi tak mengizinkan kami masuk ke taman kota—lalu bisakah kami menyukai para bulochnik?

Suatu hari kami mengetahui bahwa salah satu tukang roti mereka ketahuan minum-minum, sehingga majikan memecatnya dan mempekerjakan seseorang sebagai penggantinya, dan ia seorang serdadu, mengenakan rompi satin dan rantai emas pada arlojinya. Kami penasaran melihat si pesolek hebat itu, dan karena berharap dapat menemuinya, kami sesekali dan satu per satu mulai pergi keluar menuju halaman.

Tapi dia datang sendiri ke tempat kerja kami. Sambil menendang pintu dan membiarkannya terbuka, dia berdiri di ambang pintu, tersenyum, dan berkata kepada kami:

“Semoga Tuhan menolong kalian! Halo, teman-teman!” Udara dingin, yang memaksa masuk melalui pintu dalam bentuk asap tebal, berputar-putar di sekitar kakinya; dia berdiri di ambang pintu, memandang ke bawah kepada kami, dan dari bawah kumisnya yang ikal, gigi-giginya besar dan berwarna kuning, tampak menyala-nyala. Rompinya berwarna biru, disulam dengan bunga; ia bersinar, dan kancingnya adalah batu kemerahan. Dan ada rantai juga. Dia tampan—serdadu ini—tinggi, kuat, dengan pipi merah, dan matanya yang besar dan ringan terlihat bagus—ramah dan jernih. Di kepalanya ada topi putih, kaku, dan dari bawah celemek bersihnya muncul ujung-ujung tajam dari sepatu bot yang bergaya cerah.

Tukang roti kami dengan sopan meminta dia menutup pintu; dia melakukannya tanpa tergesa-gesa, dan mulai menanyai kami tentang pemilik rumah ini. Kami memandang satu sama lain, lalu memberi tahu dia bahwa “bos” kami adalah bajingan, penjahat, tiran, dan semua yang bisa dan harus dikatakan tentang majikan kami, tetapi tak boleh diulang di sini. Serdadu itu menyimak seraya memelintir kumisnya, dan memerhatikan kami dengan tatapan lembut dan ringan.

“Dan banyak gadis di sini?” Dia bertanya, tiba-tiba.

Sebagian kami mulai tertawa santun, yang lain meringis; lalu seseorang menjelaskan kepada serdadu itu bahwa ada sembilan gadis di sini.

“Apakah kalian mengambil kesempatan?” Tanya prajurit itu, sambil mengedipkan mata.

Sekali lagi kami tertawa, tidak terlalu keras, dan dengan tawa yang bingung. Banyak di antara kami yang ingin tampil di hadapan serdadu itu sepintar dia, tetapi tidak ada yang bisa melakukannya. Seseorang mengaku, berkata dengan suara rendah:

“Itu bukan untuk kami.”…

“Ya, itu sulit bagi kalian!” kata serdadu itu dengan percaya diri, memerhatikan kami lekat-lekat. “Kalian tidak punya gaya untuk itu… sosok—kalian tidak punya penampilan, maksudku! Dan seorang wanita menyukai penampilan yang bagus dari seorang pria. Baginya itu harus sempurna, semuanya harus sempurna! Dan kemudian dia menghargai kekuatan… Tangan harus seperti ini!” Serdadu itu mengeluarkan tangan kanannya dari saku. Lengan baju lalu digulung hingga siku. Dia menunjukkan tangannya kepada kami… putih, kuat, dan ditutupi bulu-bulu keemasan yang mengkilap.

“Kaki, dada, dalam segala hal harus ada kekuatan. Dan kemudian, sekali lagi, pria itu harus berpakaian dengan gaya… segala sesuatu yang indah mensyaratkan itu. Aku, misalnya, dicintai oleh wanita-wanita. Aku tidak menyapa mereka, tidak memancing mereka, mereka semua mendatangiku.” Dia lalu duduk di atas karung tepung dan memberi tahu kami bagaimana para wanita itu mencintainya dan bagaimana dia menangani mereka dengan gagah. Kemudian dia pergi, dan ketika pintu di belakangnya menutup dengan derit, kami terdiam lama, memikirkan serdadu itu dan apa yang dia ceritakan. Dan tiba-tiba kami semua mulai bicara, dan segera menjadi jelas bahwa dia telah menyenangkan hati kami semua. Orang baik dan polos. Dia datang, duduk sebentar, dan berbicara. Tidak ada yang pernah datang kepada kami sebelumnya, tidak ada yang pernah berbicara seperti itu kepada kami; sangat ramah… Dan kami semua berbicara tentang dia dan keberhasilannya di masa depan dengan gadis-gadis dari ruang bordir, mereka yang melewati kami begitu saja, menutup bibir secara menghinakan, ketika mereka bertemu dengan kami di halaman, atau terus berjalan seolah kami sama sekali tak ada. Dan kami selalu mengagumi mereka, bertemu dengan mereka di halaman, atau ketika mereka melewati jendela kami—di musim dingin mengenakan topi dan mantel bulu, di musim panas mengenakan topi dengan bunga dan payung berwarna di tangan mereka. Tetapi setelah itu di antara kami sendiri, kami berbicara tentang gadis-gadis itu yang jika mereka mendengarnya, mereka akan menjadi gila karena malu dan terhina.

“Namun, pastikan dia tidak merusak Tanushka, juga!” kata si tukang roti, tiba-tiba, dengan gelisah.

Kami semua terdiam, menjadi bodoh karena kata-kata itu. Entah bagaimana kami telah melupakan Tanya; seakan sosok gagah dan tampan serdadu itu telah menghalangi kami untuk melihat Tanya. Lalu, mulailah cekcok yang bising. Beberapa mengatakan bahwa Tanya tidak akan takluk kepada hal ini, yang lain berpendapat bahwa Tanya tidak akan sanggup bertahan menghadapi serdadu itu; yang lain lagi mengatakan bahwa mereka akan mematahkan tulang-tulang serdadu itu jika dia berani mengganggu Tanya, dan akhirnya semua memutuskan untuk mengawasi serdadu itu dan Tanya, dan memperingatkan gadis itu agar mewaspadai si serdadu… Ini mengakhiri perselisihan.

Sekitar satu bulan berlalu. Serdadu itu memanggang roti putih, berjalan-jalan dengan gadis-gadis dari ruang bordir, cukup sering datang ke ruang kerja kami, tetapi tak pernah menceritakan keberhasilannya dengan gadis-gadis itu; dia hanya memutar-mutar kumisnya dan membasahi bibirnya dengan senang.

Tanya datang setiap pagi untuk biskuit dan, seperti biasa, ceria, ramah, dan baik kepada kami. Kami berusaha memulai percakapan dengannya tentang serdadu itu, tetapi dia menyebutnya “anak sapi bermata melotot”, dan nama-nama lucu lainnya, dan ini menenangkan kami. Kami bangga dengan gadis kecil kami, mengingat gadis-gadis dari ruang bordir telah bercinta dengan si serdadu. Hubungan Tanya dengan si serdadu entah bagaimana telah membesarkan hati kami, dan kami, seolah dibimbing oleh hubungan kami dengan Tanya, mulai merasa jijik dengan si serdadu. Kami mulai lebih mencintai Tanya, dan bertemu dengannya di pagi hari dengan lebih riang dan ramah.

Tetapi suatu hari serdadu itu mendatangi kami dengan agak mabuk, duduk dan mulai tertawa, dan ketika kami bertanya, apa yang ia tertawakan, ia menjelaskan: “Dua wanita bertengkar karena aku… Lidka dan Grushka… Bagaimana mereka saling melukai! Ha, ha! Satu menjambak rambut yang lain, dan menjatuhkannya ke tanah di koridor, lalu duduk di atasnya… Ha, ha, ha! Mereka mencakar wajah satu sama lain… Ini menggelikan! Dan mengapa wanita tidak bisa bertarung dengan wajar? Mengapa mereka mencakar? Eh?”

Dia duduk di bangku, kuat, bersih, dan riang; terus berbicara dan tertawa. Kami diam. Entah bagaimana, dia tampak menjijikkan bagi kami saat ini.

“Betapa beruntungnya aku dengan wanita, Eh? Ini sangat lucu! Hanya mengedipkan mata dan aku memiliki mereka!”

Tangan putihnya, yang ditutupi dengan bulu mengkilap, diangkat dan diturunkannya kembali ke lututnya dengan suara keras. Dan dia menatap kami dengan ekspresi terkejut, seolah dia benar-benar tak mengerti mengapa dia sangat beruntung dalam urusan dengan wanita. Wajah merah dan kekarnya berseri-seri dengan kebahagiaan dan kepuasan diri, dan dia terus menjilati bibirnya dengan nikmat.

Tukang roti kami menggoreskan sekop dengan kuat dan marah pada tungku dan tiba-tiba berkata, sarkastik:

“Kamu tidak perlu kekuatan besar untuk menebang pohon cemara kecil, tetapi cobalah untuk merobohkan pinus.”…

“Apakah kamu berkata kepadaku?” tanya serdadu itu.

“Kepadamu…”

“Apa maksudnya?”

“Bukan apa-apa… Terlambat!”

“Tidak, tunggu! Ada apa? Pinus yang mana?”

Tukang roti kami tak menjawab, dengan cepat bekerja lagi dengan sekopnya di tungku. Dia melemparkan ke dalam tungku biskuit dari ketel mendidih, dan mengeluarkan yang sudah siap lalu melemparkannya dengan suara berisik ke lantai, kepada anak-anak yang akan meletakkannya di atas rajutan kulit. Sepertinya dia sudah lupa tentang serdadu itu dan apa yang dia percakapkan dengannya. Tapi tiba-tiba serdadu itu menjadi sangat gelisah. Dia bangkit dan berjalan ke tungku, nyaris membenturkan dadanya ke gagang sekop, yang terus bergetar di udara.

“Tidak, kamu harus memberitahuku—siapa dia? Kamu telah menghinaku… aku?… Tak seorang wanita pun yang bisa merampas dirinya sendiri dariku, tak pernah! Dan kamu mengatakan kepadaku kata-kata ofensif seperti itu.”. . . Dan, sungguh dia tampak sangat tersinggung. Jelas tidak ada yang bisa dia hargai dari dirinya, kecuali kemampuannya menggoda wanita; mungkin selain dari kemampuan ini tak ada kehidupan lain dalam dirinya, dan hanya kemampuan ini yang memungkinkannya merasa hidup sebagai lelaki.

Ada orang-orang yang bagi mereka hal terbaik dan terkasih dalam hidup adalah semacam penyakit tubuh atau jiwa. Mereka menghasilkan banyak hal dari penyakit itu selama hidup mereka dan hidup hanya dengan itu; menderita karena itu, dipelihara oleh itu, mereka selalu mengeluhkan itu kepada orang lain dan dengan demikian menarik perhatian tetangga mereka. Dengan ini mereka mendapatkan belas kasihan orang lain, dan selain itu mereka tak punya apa-apa. Singkirkan penyakit itu dari mereka, sembuhkan mereka, maka mereka akan sangat menyedihkan, karena mereka telah kehilangan satu-satunya cara hidup mereka, mereka kemudian menjadi hampa. Kadang-kadang hidup seseorang begitu malang, sehingga tanpa sadar ia dipaksa untuk menghargai kekurangannya dan hidup dengan itu. Jujur bisa dibilang orang kerap menjadi bejat cuma karena kelelahan. Serdadu itu benar-benar merasa terhina, dan terus memburu tukang roti kami, meraung-raung:

“Katakan padaku—siapa itu?”

“Haruskah aku memberitahumu?” tukang roti kami tiba-tiba menoleh padanya.

“Ya?”

“Apakah kamu kenal Tanya?”

“Ya?”

“Kalau begitu, cobalah.”…

“Aku?”

“Kamu!”

“Dia? Cukup mudah!”

“Kita lihat saja nanti!”

“Kamu akan lihat! Ha, ha!”

“Dia akan…”

“Waktunya sebulan!”

“Kamu pembual, serdadu!”

“Dua pekan! Akan kutunjukkan! Siapa itu? Tanya! Tfoo!”. . .

“Pergilah, kataku.”

“Pergi… kamu berlagak!”

“Dua pekan, itu saja!”

Tiba-tiba tukang roti kami marah, dan mengangkat sekop ke arah serdadu itu. Serdadu itu mundur, terkejut, terdiam beberapa saat, dan berkata dengan nada rendah: “Baiklah, kalau begitu!” Dia pun meninggalkan kami.

Selama adu mulut itu, kami semua diam, tertarik dengan hasilnya. Tetapi begitu si serdadu keluar, sebuah pembicaraan keras dan penuh semangat dimulai di antara kami.

Seseorang berteriak kepada tukang roti:

“Kau telah melakukan hal buruk, Pavel!”

“Kerja!” jawab si tukang roti, marah.

Kami merasa si serdadu cepat tersinggung, dan kini ada bahaya mengintai Tanya. Kami merasakan ini, dan pada saat yang sama kami diliputi dengan rasa ingin tahu yang menyala-nyala—apa yang akan terjadi? Apakah Tanya sanggap menolak serdadu itu? Dan hampir semua dari kami berteriak dengan percaya diri:

“Tanya? Dia akan menolak! Kamu tidak bisa meremehkannya!”

Kami sangat berhasrat menguji ketangguhan dewi kami; kami terus membuktikan kepada satu sama lain bahwa dewi kami itu dewi yang tangguh, dan bahwa Tanya akan keluar sebagai pemenang dalam pertempuran ini. Kemudian, akhirnya, tampak bagi kami bahwa kami tak cukup memprovokasi si serdadu, bahwa ia mungkin melupakan perselisihan tadi, dan bahwa kami harus lebih melukai perasaan cinta-dirinya itu. Sejak hari itu kami mulai menjalani kehidupan yang sangat gelisah—kehidupan yang belum pernah kami alami sebelumnya. Kami berdebat satu sama lain sepanjang hari, seakan kami telah menjadi lebih bijaksana. Kami lebih banyak bicara dan lebih baik. Tampak bagi kami bahwa kami bermain-main dengan iblis, dengan Tanya sebagai taruhan di pihak kami. Dan ketika kami tahu dari para bulochnik bahwa serdadu itu mulai menggoda “Tanya kami”, kami merasa sangat senang dan begitu terserap ke dalam keingintahuan kami, sehingga bahkan tak menyadari bahwa majikan kami memanfaatkan kegembiraan kami ini dengan menambah empat belas pood adonan dalam sehari (satu pood sama dengan empat puluh pound di Rusia). Kami bahkan tak lelah bekerja. Nama Tanya tak sekalipun meninggalkan bibir kami sepanjang hari. Dan setiap pagi kami mengharapkannya dengan sangat tidak sabar. Terkadang kami membayangkan ia akan mendatangi kami—dan ia bukan lagi Tanya yang sama, tetapi yang lain.

Namun, kami tak memberi tahu apa pun tentang perselisihan itu kepadanya. Kami tak bertanya kepadanya dan tetap memperlakukannya sebaik sebelumnya. Tetapi sesuatu yang baru dan asing bagi perasaan kami sebelumnya terhadap Tanya merayap diam-diam ke dalam hubungan kami dengannya, dan sesuatu yang baru ini adalah rasa penasaran yang sangat tajam dan dingin bagaikan pisau baja.

“Sobat! Waktunya sudah habis!” kata si tukang roti suatu pagi, saat mulai bekerja.

Kami sudah tahu tanpa dia harus meminta perhatian kami, tetapi kami tetap memberi reaksi.

“Perhatikan Tanya!… Dia akan segera datang!” saran si tukang roti. Seseorang berseru, menggerutu: “Apa yang bisa kita lihat?”

Dan sekali lagi perselisihan meriah dan berisik pun terjadi. Pada hari ini kami akhirnya akan mengetahui seberapa murni dan keramatnya guci tempat kami meletakkan semua yang terbaik dari diri kami. Pagi ini kami merasa untuk pertama kalinya bahwa kami benar-benar melakonkan permainan besar, bahwa ujian atas kemurnian dewi kami ini bisa saja menghancurkan idola kami. Selama ini kami tahu bahwa serdadu itu terus menguntit Tanya, tetapi entah kenapa tak satu pun dari kami yang bertanya bagaimana Tanya memperlakukan serdadu itu. Dan Tanya terus datang kepada kami secara teratur setiap pagi untuk biskuit, sama seperti sebelumnya. Hari ini juga, kami segera mendengar suaranya:

“Para tahanan kecil! Aku datang…”

Kami cepat-cepat membiarkannya masuk, dan ketika dia masuk, kami bertemu dengannya dalam keheningan, tak seperti kebiasaan kami. Menatapnya lekat-lekat, kami tidak tahu harus berkata apa kepadanya, apa yang harus ditanyakan kepadanya; dan ketika berdiri di hadapanya, kami membentuk kerumunan gelap dan sunyi. Dia jelas terkejut dengan penerimaan yang tidak biasa ini, dan tiba-tiba kami menyadari bahwa ia menjadi pucat, gelisah, bergerak tak jelas, dan bertanya dengan suara tercekat:

“Mengapa kalian… seperti ini?”

“Dan kau?” tanya si tukang roti dengan tegas, tanpa mengalihkan pandangannya ke arah gadis itu.

“Ada apa denganku?”

“Tidak ada apa-apa…”

“Yah, lebih cepat, beri aku biskuitnya…”

Belum pernah dia terburu-buru seperti ini sebelumnya…

“Ada banyak waktu!” kata si tukang roti, matanya tetap tertuju kepada wajah Tanya.

Lalu tiba-tiba Tanya berbalik dan menghilang di balik pintu.

Si tukang roti mengangkat sekop dan berkata dengan tenang, berbalik ke arah tungku:

“Tampaknya ini sudah selesai! … Serdadu itu!… Bajingan!…Bajingan!”…

Seperti sekawanan domba, saling mendorong, kami berjalan kembali ke arah meja, duduk diam dan mulai bekerja perlahan. Lalu seseorang berkata:

“Dan mungkin belum.”…

“Ayo! Bicarakan!” teriak si tukang roti.

Kami semua tahu dia lelaki yang pintar, lebih pintar dari kami semua, dan kami mengerti, dari kata-katanya tampak ia sangat yakin akan kemenangan si serdadu… Kami sedih dan gelisah. Pada pukul dua belas, jam makan malam, serdadu itu datang. Dia, seperti biasa, tampak bersih dan cerdas, dan, seperti biasa pula, menatap lurus ke mata kami. Kami merasa canggung untuk menatapnya balik.

“Baiklah, Tuan-tuan yang terhormat, jika kalian mau, saya bisa menunjukkan kepada kalian keberanian seorang prajurit,” … katanya, tersenyum bangga. “Kalian keluar ke arah lorong dan saksikanlah melalui celah-celah… paham?”

Kami keluar dan jatuh menindih satu sama lain, kami menempel pada celah-celah di dinding kayu lorong yang menuju halaman. Kami tidak perlu menunggu lama… segera tampak Tanya berjalan dengan langkah cepat, melompati tumpukan salju yang meleleh dan lumpur. Wajahnya tampak gelisah. Dia menghilang di balik pintu ruang bawah tanah. Kemudian serdadu itu pergi ke sana perlahan-lahan sambil bersiul. Tangannya dimasukkan ke dalam saku, dan kumisnya bergerak-gerak.

Hujan turun, dan kami melihat tetesannya jatuh menjadi cipratan, dan cipratan itu berkerut di bawah tetesan hujan. Hari itu basah, kelam—hari yang sangat suram. Salju masih terhampar di atap rumah, sementara di tanah, di sana-sini, ada bintik-bintik hitam lumpur. Dan salju di atap juga tertutup lapisan lumpur kecoklatan. Hujan turun perlahan, menghasilkan suara sendu. Kami merasa dingin dan tak bahagia.

Serdadu itu keluar lebih dulu dari ruang bawah tanah; dia menyeberangi halaman perlahan-lahan, menggerak-gerakkan kumisnya, tangannya di saku—sama seperti biasanya.

Lalu Tanya keluar. Matanya… matanya bersinar dengan sukacita dan kebahagiaan, dan bibirnya tersenyum. Dan dia berjalan seolah tertidur, terhuyung-huyung, dengan langkah yang tak pasti. Kami tidak tahan. Kami bergegas menuju pintu, melompat ke halaman, dan mulai mendesis dan menangis padanya dengan marah dan liar. Saat memperhatikan kami, dia gemetar dan berhenti sejenak seolah membatu di dalam lumpur di bawah kakinya. Kami mengelilinginya dan dengan kejam menghinanya dalam bahasa yang paling cabul. Kami mengatakan hal-hal tak pantas kepadanya.

Kami melakukan ini tidak keras tetapi perlahan-lahan, melihatnya tak bisa menghindar karena dikelilingi oleh kami dan kami bisa mengejeknya semau kami. Aku tidak tahu mengapa, tapi kami tidak memukulnya. Dia berdiri di tengah kami, memutar kepalanya ke satu dan lain arah, mendengarkan semua hinaan kami. Dan kami terus melemparkan kepadanya kata-kata kami yang beracun dan berlumpur.

Wajahnya pucat pasi. Mata birunya, yang sangat bahagia beberapa saat tadi, membuka lebar, payudaranya terengah-engah dan bibirnya bergetar.

Dan kami, yang mengelilinginya, membalaskan dendam kami padanya, karena ia telah merampok kami. Dia milik kami, kami telah memberikan semua yang terbaik dari diri kami, meskipun yang terbaik itu cuma kerak para pengemis, tetapi kami duapuluh enam, sementara dia cuma satu, dan karena itu tak ada penderitaan cukup menyakitkan untuk menghukumnya atas kejahatan ini! Betapa kami melecehkannya! Dia diam, menatap kami dengan mata liar, dan setiap anggota tubuhnya bergetar. Kami tertawa, meraung, dan menggeram. Beberapa orang mendatangi kami. Beberapa dari kami menarik kain pinggang Tanya…

Tiba-tiba matanya mulai bersinar; perlahan dia mengangkat tangan ke kepalanya, dan, merapihkan rambutnya, berkata dengan keras, tetapi tenang, menatap lurus ke mata kami:

“Para tahanan yang menyedihkan!”

Dan dia berjalan ke arah kami, terus berjalan, seolah kami tidak ada di hadapannya, seolah kami tidak menghalangi jalannya. Karena itu, tak seorang pun dari kami yang menghalanginya, dan dia keluar dari kepungan kami, tanpa berbalik kepada kami, dia berkata keras, dan dengan jijik yang tak terlukiskan:

“Orang-orang bajingan! Gembel!”

Lalu dia pergi.

Kami tetap berdiri di tengah halaman, di dalam lumpur, di bawah hujan dan langit kelabu tanpa matahari…

Lalu kami semua kembali ke kotak kami yang lembab dan berbatu. Seperti sebelumnya, matahari tak pernah mengintip melalui jendela kami, dan Tanya tak pernah lagi datang ke sana!…[]


[Dinukil dan diterjemahkan dari Maxim Gorky, Twenty-six and One and Other Stories, The Floating Press, 2014, hlm. 10-28.]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Nukilan

Ziarah Lebaran

Cerpen Umar Kayam “Ziarah Lebaran” merupakan salah satu dari 17 “Cerpen Pilihan

Terbang

Cerpen Ayu Utami Dengan berlatarkan kecemasan terkait keamanan transportasi udara, Ayu Utami

Pemintal Kegelapan

Cerpen Intan Paramaditha Dalam cerpen ini, Intan Paramaditha meramu horor dan misteri

Cinta Sejati

Cerpen Isaac Asimov Anda yang pernah mencoba aplikasi atau situs web kencan
Go to Top