“Eyes Wide Shut”: Hasrat versus Moral

in Film by

Setelah dua dekade, film terakhir Stanley Kubrick ini terus menjadi bahan perbincangan. Pertanyaan mendasarnya: apakah seseorang terpaksa bersetia pada moral dengan merepresi hasrat? Pertanyaan yang mengisyaratkan pertarungan filosofis antara Kant dan Hegel.

TIAP kali ditanya tentang filmnya, Stanley Kubrick seringkali enggan menjawab. Dia kadang hanya mengutip penyair T.S. Eliot, “Apa yang ingin saya katakan, sudah saya sampaikan (dalam karya).” Mungkin sikap ini membuat tak sedikit karyanya terus dibicarakan orang bahkan setelah berdekade dari kelahirannya. “Karya saya adalah anak-anak ruhani saya,” kira-kira seperti itu kata Pramoedya Ananta Toer suatu waktu. Seperti Kubrick, Pramoedya juga tak suka menilai karya sendiri. “Ada yang mati muda, ada yang hidup seterusnya.” Begitulah film-film Kubrick, sutradara yang banyak menginspirasi generasi sineas setelahnya, seperti Martin Scorsese, Steven Spielberg, Wes Anderson, George Lucas, dan Christopher Nolan. Terkadang film Kubrick awalnya dicerca habis-habisan tapi kemudian perlahan-lahan dianggap masterpiece.

Salah satunya adalah Eyes Wide Shut. Ketika pertama kali dirilis pada Juli 1999, tak sedikit kritikus mencemooh film ini. “Membosankan, tak sesuai harapan, cerita usang,” begitu kata mereka. Respons negatif itu tak sepenuhnya tanpa alasan, terutama karena film diiklankan sebagai thriller erotis. Kritikus yang agak sopan mengatakan, andai saja masih hidup, Kubrick pasti membenci film itu. Kubrick sendiri memang tak sempat menyaksikan film ini tayang di bioskop karena meninggal empat hari setelah menyerahkan suntingannya ke Warner Bros. Intinya, sebagian kritikus berkesimpulan Eyes Wide Shut tak pantas berada di jajaran magnum opus Kubrick semacam 2001: A Space Odyssey (1968) dan The Shining (1980).

Lebih daripada satu dekade kemudian, siapa menyangka orang tak berhenti membicakan Eyes Wide Shut. Slant Magazine pada 2012 menempatkan film ini dalam daftar 100 film terbaik dekade 1990-an. BBC pun menobatkannya sebagai salah satu dari 100 film Amerika terbesar sepanjang masa. Pembacaan dan penafsiran atas film ini juga bermacam-macam, menarik, dan bahkan terkadang liar. Salah satu yang terliar adalah bagaimana film ini dianggap berbicara tentang komunitas rahasia elite global. Pembacaan ini bahkan berujung pada teori konspirasi seputar kematian Kubrick. Sutradara yang mengawali karir sebagai fotografer ini disebut dibunuh karena terlalu banyak tahu dan mengungkap rahasia elite global dalam film itu—anda tak salah jika tak percaya kepada teori ini karena film toh tetap melenggang mulus masuk bioskop. Kita kemudian tahu, Eyes Wide Shut justru menjadi karya Kubrick paling populer.

Yang membuat Kubrick menjadi salah satu sineas paling berpengaruh di Hollywood adalah perhatiannya kepada detail yang mengagumkan. Ini jelas terlihat dalam film ini. Tak heran jika para pengusung teori konspirasi rajin mengulik setiap adegan, dialog, properti, dan kostum dalam film ini untuk menguatkan teori mereka. Di Hollywood, Kubrick memang terkenal sutradara cerewet. Dia suka mengulang satu adegan berkali-kali. Gaya ini membuatnya sering bertengkar dengan para aktor. Bahkan, Eyes Wide Shut mengantongi rekor sebagai film dengan proses syuting terpanjang: 400 hari.

  • Judul Film: Eyes Wide Shut
  • Sutradara: Stanley Kubrick
  • Penulis: Stanley Kubrick, Frederic Raphael
  • Pemain: Tom Cruise, Nicole Kidman, Sydney Pollack
  • Rilis: Juli 1999
  • Durasi: 159 menit

Film ini dibuka dengan adegan tak sampai semenit Alice Harford (Nicole Kidman) melepas seluruh pakaian hingga bugil, dengan kamera menyorot dari belakang. Adegan pembuka ini tampak ingin mengatakan kepada penonton bahwa film akan memasuki bagian paling privat dari kehidupan karakter-karakternya: yang intim dan erotis.

Tapi, membatasi film ini sebagai thriller erotis justru menutupi banyak keunggulannya. Banyak yang bisa diulas dari film ini, dan banyak pula sudut pandang yang bisa digunakan. Saya akan membatasinya pada dua hal, yang menurut saya paling menonjol.

Pertama, bagi saya, pertanyaan mendasar film ini adalah apakah seseorang terpaksa bersetia kepada moral dengan merepresi hasrat? Pertanyaan ini lahir dari dialog penting dalam film antara Alice dan suaminya, seorang dokter muda, tampan, dan sukses: William “Bill” Harford (Tom Cruise). Adegan ini terjadi setelah Alice dan Bill menghadiri pesta Natal di kediaman orang superkaya, Victor Ziegler (Sydney Pollack). Di pesta tersebut, Alice dan Bill mengalami seduksi seksual eksternal masing-masing. Dua model, Gayle (Louise Taylor) dan Nuala (Stewart Thorndike) menggoda Bill. Sementara, pria Hungaria, Sandor Szavost (Sky Dumont) mencoba memikat Alice.

Saat merayu Alice, Sandor menyebut nama Ovid, penyair Romawi yang terkenal antara lain lewat gubahan puisi-puisi cinta dalam The Art of Love. Kuplet-kuplet cinta tersebut sebenarnya cara Ovid menyampaikan semacam “teknik” bagaimana pria memikat wanita, dan bagaimana mempertahankan daya pikat itu. Sandor juga bertanya, mengapa wanita secantik Alice, yang bisa memikat banyak pria, mau menikah. Di sini, Sandor menunjukkan kontras antara hasrat seksual dengan kesetiaan dalam pernikahan. Di masa lalu, pernikahan adalah satu-satunya jalan bagi wanita untuk memenuhi hasrat seksualnya. Sementara saat ini, terutama di masyarakat Barat, hasrat itu bisa mereka eksplorasi bebas, dan kepada pria mana pun.

Kembali kepada dialog Alice dan Bill, Alice bereaksi saat Bill mengatakan, dia bisa memahami mengapa Sandor menginginkan istrinya. “Karena kamu wanita yang sangat cantik,” kata Bill. Alice tampak merasa aneh dengan pernyataan itu. Dia lalu bertanya, “Jadi kalau begitu, aku bisa menyimpulkan kau mau bercinta dengan para model itu.”

Bill terhenyak, seperti petinju kena jab balasan musuh di atas ring. Dia mencari-cari jawaban pas. Dia akhirnya mengatakan, dia tak akan pernah bercinta dengan wanita lain karena mencintai Alice dan telah menikah. Jawaban ini malah memicu kemarahan Alice. Wanita itu merasa jawaban tersebut bukan hanya tak memuaskan, tapi menggelisahkan. Itu berarti Bill memilih tidak bercinta dengan dua model itu hanya karena diri Alice dan pernikahan mereka, dan bukan karena Bill sendiri tak berhasrat.

Alice terus mencecar Bill dengan asumsi bahwa pasien-pasien perempuannya sangat mungkin berfantasi seksual terhadap Bill. Bill menepis dengan mengatakan, tak seperti pria, wanita tak pernah berpikir seperti itu. Alice tertawa miris. “Andai saja pria tahu,” katanya. Lalu dia mengungkapkan, bahwa pada suatu momen liburan keluarga, seorang perwira angkatan laut melirik, dan Alice terpikat. Dia bahkan merasa siap melepas apa pun yang dia miliki saat ini, termasuk Bill dan putri mereka, Helena (Madison Eginton), demi bisa bercinta semalam saja dengan si perwira. Sejak saat itu, Alice tak pernah bisa berhenti membayangkan si perwira. Pengungkapan ini mengejutkan dan akan menghantui Bill sepanjang film. Bayangan-bayangan istrinya bercinta hebat dengan perwira itu terus muncul di dalam kepalanya.

Dalam dialog di atas, Kubrick seakan membangkitkan kembali perdebatan filosofis tentang hasrat versus moral. Bill menegaskan pandangan etika Immanuel Kant. Bagi Kant, perbuatan bermoral diukur berdasarkan rasionalitas tentang apakah perbuatan itu baik pada dirinya sendiri. Ia lepas dari penilaian apa pun yang berada di luar rasio: perasaan, emosi, subjektivitas, dan hasrat. Manusia tak bertanggung jawab atas apa yang berada di luar kendali rasio atau kewajiban moralnya. Contoh ekstremnya begini: jika ibu anda sakit dan anda tak punya uang untuk membeli obat atau membayar biaya pengobatan, apa yang akan anda lakukan apabila pilihannya hanya mencuri atau membiarkan ibu anda sekarat. Etika Kantian akan memilih yang kedua karena mencuri secara rasional-objektif adalah perbuatan buruk.

Prinsip moral Bill adalah menikah itu berarti tidak boleh selingkuh, sekalipun itu hanya dalam hasrat. Hasrat harus dipendam dan direpresi. Hasrat itu buruk karena tidak rasional.

Sebaliknya, bagi Alice, penolakan Bill untuk bercinta dengan wanita lain hanya disandarkan pada sesuatu di luar dirinya: pada pertimbangan rasional cintanya kepada Alice dan pernikahan. Bagi Alice, itu menunjukkan bahwa cinta Bill aksidental, dan bukan esensial: sesuatu yang terjadi hanya karena tak ada alternatif atau kesempatan lain.

Pandangan Alice ini mirip dengan kritik Hegel terhadap Kant. Bagi Hegel, Etika Kantian justru sama sekali tidak memberi dasar alamiah kepada pilihan moral manusia karena seseorang harus menekan hasrat demi memenangkan rasio. Kant, menurut Hegel, telah menjerumuskan manusia ke dalam pertarungan abadi antara rasio melawan hasrat.

Pengetahuan Bill akan hasrat seksual Alice kepada pria lain membuka matanya lebar (eyes wide open) setelah selama ini mencoba mengingkari (eyes wide shut) bukan hanya kemungkinan wanita memiliki hasrat seperti pria tapi juga hasratnya sendiri. Di sini, ia tak jujur kepada dirinya sendiri dan Alice. Dalam adegan sebelumnya dengan dua model, Bill sebenarnya bisa saja bercinta dengan mereka. Hanya sebuah interupsi eksternallah yang mencegah Bill mengkhianati pernikahannya. Bahkan, setelah Bill mencoba menjelajahi hasrat seksual dengan sejumlah wanita, seperti Marion (Marie Richardson), Domino (Vinessa Shaw), dan Sally (Fay Masterson), dan bahkan dengan banyak perempuan sekaligus dalam pesta seks sebuah perkumpulan rahasia di sebuah puri di Somerton, hanya faktor eksternal yang menghalangi semua itu terjadi, dan bukan karena Bill kokoh dengan etika Kantian.

Kedua, petualangan Bill di kehidupan malam New York berujung pada penemuan sebuah perkumpulan rahasia. Mereka mempraktikkan ritual (dengan musik, simbol, dan kostum) pesta seks. Mereka mengenakan topeng ala festival di Venesia, Italia, pada Abad ke-13 hingga Abad ke-18. Mereka, menurut penjelasan Victor, adalah “orang-orang yang jika kuberi tahu, kamu tak akan bisa tidur tenang”. Dari perkataan ini, kita bisa memahami mereka orang-orang superkaya, elite politik, dan para selebritas papan atas.

Di sini, Kubrick menyajikan kontras baru antara hasrat dan moral yang terjadi dalam sebuah gesellschaft (society), dan bukan dalam gemeinschaft (community)dua terminologi yang diperkenalkan sosiolog Ferdinand Tonnies untuk menunjukkan dikotomi ikatan sosial—seperti keluarga Harford. Meskipun perkumpulan rahasia itu di permukaan tampak sebagai “komunitas terbatas”, interaksi di dalamnya jelas menunjukkan ciri-ciri sebuah gesellschaft. Seks dilakukan secara impersonal. Orang-orang bercinta dengan mengenakan topeng; tak mengenal satu sama lain. Mereka berciuman tapi tak ada bibir yang bertemu. Hanya topeng beradu topeng. Mereka bersenggama tanpa melihat wajah; hanya daging yang bersentuhan. Tak ada intimasi. Hanya hasrat yang banal. Ini berbeda dengan cinta dalam pernikahan di mana hubungan berlangsung personal dan intim, atau seperti Soren Kierkegaard bilang, pernikahan adalah perjumpaan dalam ruang-waktu. Dalam ruang-waktu, pernikahan menemukan musuh, kemenangan, dan keabadiannya. Karena ruang-waktu, pernikahan bisa hancur tapi bisa juga bertahan. Sebab, ruang-waktu memberi pernikahan memori bersama. Sebaliknya, hasrat seksual impersonal menawarkan sensasi palsu tentang kenikmatan di luar ruang-waktu. Ia tak meninggalkan makna dan jejak apa pun.

Perkumpulan rahasia itu juga merepresentasikan hipokritas masyarakat kelas atas, yang kerap menampilkan diri menjunjung prinsip moral, seperti halnya Bill. Kewajiban moral, seperti yang diidealkan etika Kantian, di sini hanya tampak di atas permukaan. Di bawah permukaan, mereka memuja hasrat setinggi-tingginya. Dan Bill, meskipun seorang dokter sukses belum termasuk ke dalam lingkaran elite tersebut. Itulah kenapa dia ditolak dan nyaris dibunuh. Penggunaan topeng ala orang Venesia juga melambangkan kemunafikan ini. Konon topeng Venesia ini dulu digunakan kelas elite di kota pelabuhan makmur itu untuk menyembunyikan identitas kala mereka bercabul ria. Saat berada di “dunia atas”, para elite klub rahasia ini mengingkari (eyes wide shut) apa yang mereka lakukan di “dunia bawah”, dan itulah kenapa Victor—yang tampaknya bagian dari klub tersebut—memperingatkan Bill agar tidak mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Sebaliknya, bagi Bill, pengalaman antara hidup-mati itu membuatnya sadar (eyes wide open) tentang realitas-realitas yang selama ini tersembunyi dan bahkan coba dia ingkari (eyes wide shut). Adegan berikutnya menunjukkan Bill menceritakan semuanya kepada Alice. Topeng yang ia kenakan saat di pesta seks—dan yang semula hilang—terbaring begitu saja di atas bantalnya (Kubrick tak menjelaskan bagaimana topeng ini ditemukan). Ini seolah simbol bahwa dalam kehidupan pernikahan, semestinya tak ada yang disembunyikan; topeng harus dilepaskan, seperti kejujuran Alice menceritakan mimpi dan imajinasinya tentang si perwira.

Dalam adegan pamungkas, terjadi dialog privat antara suami-istri yang anehnya dengan latar keramaian supermarket saat Natal. Dialog ini merekonsiliasi konflik Alice dan Bill dalam dialog panjang di awal film.

Alice tak mempersoalkan lebih jauh upaya Bill melampiaskan hasrat seksual kepada wanita lain. Dia mengatakan, mereka harus bersyukur karena mampu bertahan dari petualangan masing-masing, baik itu nyata ataupun hanya mimpi. “Realitas satu malam, dan bahkan seumur hidup, bisa menjadi kebenaran sepenuhnya,” kata Alice. “Tak ada mimpi yang pernah benar-benar hanya mimpi,” balas Bill.

Dialog ini seperti ingin menjelaskan mengapa Kubrick memberi judul film—yang diadaptasi dari novela Arthur Schnitzler Dream Story (1926)—dengan Eyes Wide Shut. Istilah figuratif atau majas ini adalah antonim dari eyes wide open. Jika yang terakhir bermakna ‘sadar, waspada, dan memahami realitas yang telah terjadi dan mungkin akan terjadi’, maka eyes wide shut (meski secara teknis mata tak mungkin memejam lebar) bisa dimaknai ‘mengingkari, menghindari, dan menolak realitas’. Mimpi Alice bercinta dengan si perwira dan imajinasi Bill tentang hal yang sama adalah realitas yang mungkin terjadi dalam pernikahan mereka. Begitu pula petualangan Bill hingga terdampar di sebuah pesta seks. Meskipun yang pertama cuma mimpi dan yang kedua kenyataan, kedua-duanya tetaplah realitas. Yang pertama realitas-subjektif Alice dan Bill sedangkan yang kedua realitas-objektif Bill (meskipun ada sejumlah kritikus menganggap petualangan Bill di kehidupan malam New York sebagai peristiwa menyerupai mimpi).

Pernikahan tidaklah lantas bisa membendung dan merepresi realitas hasrat tersebut. Yang perlu dilakukan Bill dan Alice hanyalah tak menyembunyikan hasrat itu tapi menyalurkannya kepada satu sama lain. “Ada hal yang amat penting yang harus kita lakukan secepatnya,” kata Alice. “F**k.”

Dengan menggunakan kata tersebut, Kubrick tampak ingin menunjukkan bahwa pernikahan tak semestinya memendam imajinasi pasangan akan fantasi seksual. Pernikahan tak seharusnya membosankan, dan seks di dalamnya cuma rutinitas. Kubrick tampaknya juga masih percaya dengan institusi pernikahan. Betapa pun rapuhnya ikatan itu—karena hasrat yang tak mungkin dipendam—pernikahan tetaplah cara paling rasional untuk menyalurkan hasrat itu. Inilah yang tak dilakukan kelompok elite dalam pesta seks. Alih-alih terbuka dan jujur dengan hasrat masing-masing, mereka justru memilih menutup mata dan melampiaskan hasrat mereka dalam hubungan penuh kepalsuan dan kering keintiman.

Dengan konklusi seperti ini, saya tak sependapat dengan kritik yang mengatakan bahwa Eyes Wide Shut adalah film tentang bagaimana kita menutup mata dari hasrat-hasrat kita demi kenormalan hidup. Bagi saya, film ini justru ingin mengatakan kita harus jujur dengan hasrat kita dan kemudian memilih mengeksplorasinya dalam cara rasional. Di titik ini, Kubrik seakan menyelesaikan “pertengkaran” filosofis antara Kant dan Hegel.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*