JELAJAH LITERASI

“Da 5 Bloods”: Penindasan Berlapis

in Film by

Spike Lee meramu sejarah serdadu kulit hitam Amerika di Vietnam dalam latar masa kini melalui Da 5 Bloods. Lee seakan menyeru bahwa keterlibatan kulit hitam dalam “white men’s war” di luar negeri ikut menyumbang kepada ketertindasan mereka di dalam negeri.

AFRIKA Selatan di akhir abad ke-19. Dua penjajah kulit putih, Kerajaan Britania Raya dan bangsa Boer (imigran asal Belanda), sepakat berperang tanpa melibatkan penduduk pribumi sebagai kombatan. Kesepakatan tak tertulis itu dikenal dengan “white men’s war”. Mereka bukan ingin melindungi pribumi dari dampak perang. Mereka hanya takut warga asli kulit hitam pada akhirnya memberontak melawan mereka.

Rencananya, warga pribumi hanya akan terlibat sebagai kuli angkut, pekerja dapur umum, atau kurir. Tapi lacur, kesepakatan itu cuma basa-basi. Kenyataannya, warga pribumi mereka jadikan umpan meriam lawan masing-masing. Pribumi pun lebih menderita akibat perang ketimbang para kolonialis kulit putih tersebut. Ini memang “perang kulit putih” tapi “pertarungan kulit hitam” (white men’s war, black men’s fight). Kulit hitam baku bunuh demi penguasa kolonial kulit putih mereka masing-masing.

White men’s war, black men’s—atau lebih luas non-white men’sfight tak hanya terjadi di Afrika Selatan. Pasukan kolonial seringkali diisi oleh warga pribumi. Inggris dengan Gurkha, pasukan orang-orang asli anak benua India, menjelajahi samudra untuk memperbesar koloni. Di Hindia Belanda, militer Kerajaan Belanda menggunakan orang-orang kulit sawo matang dari Jawa untuk menyerang Aceh dan menaklukkan Bali.

White men’s war, black men’s fight inilah yang disajikan Spike Lee dalam film terbarunya, Da 5 Bloods. Film ini ramuaan dari berbagai genre (petualangan, perang, dan drama psikologi) plus pelajaran sejarah, dan esai politik. Lee menyisipkan cukup banyak cuplikan rekaman seputar Perang Vietnam dan catatan sejarah kulit hitam dari Pembantaian Boston pada awal Abad ke-18 hingga protes besar warga kulit hitam pada 1968 di 122 kota di Amerika.

  • Judul Film: Da 5 Bloods
  • Sutradara: Spike Lee
  • Penulis: Danny Bilson, Paul de Meo, Spike Lee, Kevin Willmott
  • Pemain: Delroy Lindo, Jonathan Majors, Clarke Peters, Norm Lewis, Isiah Whitlock
  • Rilis: 12 Juni 2020 (Netflix)
  • Durasi: 154 menit

Film dimulai dengan montase rekaman gambar berbagai momen sejarah, di antaranya pernyataan beberapa warga kulit hitam menentang Perang Vietnam. Ada Malcolm X, Angela Davis, dan Muhammad Ali. Sejarah mencatat pada masa itu dukungan warga kulit hitam terbilang besar untuk perang, berkat propaganda massif anti-komunis. Lee pun menunjukkan data 32 persen serdadu yang dikirim ke hutan-hutan tropis Vietnam adalah kulit hitam, padahal mereka hanya 11 persen dari populasi seluruh negeri. Protes anti-perang itu kemudian dibungkam. Ali dan Davis dipenjara. Malcolm dibunuh secara misterius. Rangkaian peristiwa berujung pada pembunuhan Martin Luther King, Jr, salah satu penentang perang, pada 1968.

Film kemudian mengisahkan lima sekawan serdadu kulit hitam. Mereka Norman (Chadwick Boseman), Otis (Clarke Peters), Paul (Delroy Lindo), Melvin (Isiah Whitlock), dan Eddie (Norm Lewis). Mereka bagian dari Divisi Infantri I, atau yang dijuluki “Big Red One”. Ini salah satu pasukan reguler paling tua dalam sejarah militer Amerika era modern, yang kerap digelar pada kesempatan serangan pertama.

Pemimpin lima sekawan itu adalah Norman. Dia digambarkan tentara tangguh dalam pertempuran dan punya motivasi kuat, sehingga mampu meyakinkan kawan-kawannya untuk bertahan dalam ganasnya palagan di hutan tropis. Lebih dari itu, Norman seringkali menyuntikkan pengetahuan sejarah kulit hitam di Amerika. Salah satunya ketika dia menyatakan bahwa orang pertama yang berkorban bagi Amerika adalah kulit hitam. Dia Crispus Attuck yang tewas ditembak tentara Inggris di Boston ketika pemberontakan terhadap kekuasaan Inggris di Amerika pecah untuk pertama kalinya pada 1770. Norman bahkan mendidik mereka untuk tak percaya dengan propaganda anti-komunis. “Dia seperti Malcolm dan Martin bagi kami,” kata Otis.

Keempat kawannya menyapa Norman: “Stormin Norman”. Sapaan ini mengingatkan kita kepada julukan Norman Schwarzkopf Jr, jenderal kulit putih komandan Operasi Badai Gurun di Irak pada 1991. Apakah Lee sedang bermain “satire” di sini? Tampaknya begitu.

Da 5 Bloods menjadi antitesis bagi banyak film Perang Vietnam yang sarat beban “white men’s savior”. Dalam film, Lee bahkan tak sungkan mencibir film-film seperti Rambo dan Missing in Action sebagai film palsu, yang ingin memenangkan Perang Vietnam (setelah Amerika kalah telak). Sylvester Stallone dan Chuck Norris, bintang utama tiap-tiap film tersebut, cuma menyelamatkan tawanan perang khayalan. “Jika ada film tentang pahlawan perang sejati, aku akan mengantre pertama,” kata Otis. Lalu, dia menyebut Milton Olive, tentara kulit hitam 18 tahun yang melompat ke arah granat demi menyelamatkan pasukannya di Vietnam. Film kemudian menampilkan foto Olive berikut keterangan layaknya sebuah dokumenter.

Dengan mengangkat kisah serdadu kulit hitam dalam Perang Vietnam, Lee tampak ingin menunjukkan bahwa kulit hitam punya jasa besar bagi Amerika. Tapi, itu bukan hal terpenting. Lee justru seperti menyeru bahwa penindasan itu berlapis. Saking kompleksnya lapisan itu, yang tertindas tak bisa memahami siapa musuh sebenarnya dan diumpankan untuk berperang satu sama lain.

Penindasan tak sesederhana yang dibayangkan. Penindas bukan orang bodoh. Mereka menindas dengan meminjam tangan orang lain, yaitu mereka yang juga tertindas. Tentara kulit hitam dikirim ke tempat yang jauhnya ribuan kilometer untuk memerangi bangsa non-kulit putih sementara di dalam negeri sendiri menghadapi penindasan berupa diskriminasi rasial sistemik. Orang-orang Vietnam di selatan dipaksa berperang melawan saudara mereka di utara gara-gara intervensi militer Amerika.

Dalam perang, lima sekawan itu kemudian patah arang saat mendengar kabar pembunuhan atas Martin Luther King. Mereka mendengar kabar itu bukan dari atasan, tapi dari Voice of Vietnam, radio Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara), pendukung utama Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan atau “Viet Cong”.

Itu bukan isapan jempol tapi reka ulang sejarah. Militer Amerika memang menutupi kabar pembunuhan King dari prajurit kulit hitam. Voice of Vietnam menggunakan tragedi itu untuk melemahkan semangat para “Black’s GI” di palagan.

Di bagian ini, Lee menggambarkannya cukup jenaka. Hanoi Hannah (Veronica Ngo), penyiar perempuan VoV yang terkenal pada masa perang, bersiaran sambil mengisap rokok dari Hanoi. Siaran itu secara khusus ditujukan kepada “Black’s GI”. “Di Memphis, Tennessee, seorang pria kulit putih membunuh Dr Martin Luther King yang dengan berani menentang diskriminasi rasial di Amerika. Dr King juga menentang Perang Amerika di Vietnam…sementara kalian berperang melawan kami begitu jauh dari tempat kalian dibutuhkan.”

“Kita menghadapi musuh yang salah,” kata Otis usai menyimak siaran tersebut. “Orang kulit putih sudah keterlaluan,” timpal Eddie.

Pembunuhan atas King mengempiskan spirit para serdadu kulit hitam. Tak sedikit surat yang mereka kirim ke kampung halaman menceritakan betapa mereka tak lagi punya gairah berperang1. Sejak saat itu, keikutsertaan warga kulit hitam dalam militer Amerika menurun2.

Dari lima sekawan itu, hanya pemimpin mereka, Stormin Norman, yang pulang tinggal nama. Empat yang tersisa pada masa kini kembali ke Vietnam untuk mencari dan memulangkan tulang belulang Norman ke kampung halaman. Tapi, keempatnya juga diam-diam memiliki maksud lain. Mereka berupaya menemukan sekotak emas batangan senilai jutaan dolar yang mereka kubur sebelum Norman tewas. Emas itu berasal dari Amerika untuk membayar kesetiaan penduduk lokal. Niat mereka awalnya mulia. Mereka masih mengingat kata-kata Norman, “Kita sudah berkorban demi negara ini sejak awal, berharap kelak kita diberi tempat yang layak. Tapi, kita selalu ditindas… Amerika berutang kepada kita. Kita membangun negara brengsek ini! Kita ambil emas ini untuk semua tentara kulit hitam yang tak kembali, untuk saudara-saudari yang diculik dari Afrika ke Jamestown, Virginia, dari 1619. kita berikan emas ini ke kaum kita.”

Dari empat sekawan yang kembali ke Vietnam, Paul menjadi anomali. Dia pendukung Donald Trump, dan bahkan dengan bangga menggenakan topi “MAGA” yang termasyhur itu. Dia membela kebijakan Trump mendirikan tembok di perbatasan untuk membendung imigran. Lee juga menjadikan Paul gambaran sempurna dampak sebuah perang ilegal. Dia masih terperangkap dalam jerat propaganda masa lalu. Dia tetap menyebut orang Vietnam dengan gook, panggilan rasis seperti negro. Berbeda dengan Paul, ketiga kawannya sudah menyebut perang puluhan tahun lalu itu dengan “Perang Amerika”, istilah yang digunakan pemerintah komunis Vietnam. Otis, Melvin, dan Eddie telah terbebas dari sihir para penindas mereka.

Sedikit catatan, legalitas Perang Vietnam sejak lama dibahas ahli hukum internasional. Asas jus ad bellum, atau “alasan legal berperang”—yang di antaranya diturunkan dari filosofi Thomas Aquinas—menggariskan perang baru bisa dibenarkan jika bersifat defensif. Kalaupun ofensif, syarat moral lainnya mesti dipenuhi, yakni menyelamatkan nyawa manusia dari ancaman pemusnahan massal dan mengembalikan perdamaian. Di Vietnam, Amerika sama sekali tak memiliki dalih tersebut. Satu satunya alasan yang kerap dikemukakan adalah niat baik (good intention) menyetop ekspansi komunis di Asia Tenggara. Persoalannya, alasan nyata untuk ofensif, yakni insiden di Teluk Tonkin, ternyata fiktif. Ini baru belakangan diakui Pentagon. Sayang, insiden Teluk Tonkin luput dari penceritaan Lee.

Lebih daripada itu, Amerika menggelar perang brutal, melabrak asas jus in bellum atau “apa yang legal dilakukan dalam perang”. Amerika menebar senjata kimia Agen Oranye, menjatuhkan bom Napalm, dan membantai penduduk sipil. Semua ini digambarkan Lee lewat cuplikan rekaman video dan foto, termasuk pembantaian di dusun My Lai yang terkenal itu.

Dampak perang ilegal, baik dari sisi jus ad bellum maupun jus in bellum, terwakili penuh dalam diri Paul. Dalam sebuah monolog cukup panjang (yang dilakukan Delroy dengan sangat baik), Paul mengungkap bahwa Agen Oranye dan beberapa senjata kimia lain yang ditebar militer Amerika tak hanya telah membuatnya sekarat secara fisik (Paul mengidap kanker karena mengisap senjata kimia itu) tapi juga telah membunuh jiwanya.

Tak tanggung-tanggung, dalam film ini, jangkauan pelajaran sejarah Lee merentang hingga ke masa sebelum Perang Vietnam, yakni saat negeri itu masih di bawah kontrol kolonialisme Perancis. Ada karakter-karakter Perancis. Mereka Desroche (Jean Reno), seorang pebisnis, dan tiga aktivis: Hedy Bouvier (Melanie Thierry), Seppo Havelin (Jasper Paakkonen), dan Simon (Paul Walter Hauser). Si tua Desroche mewakili generasi kolonial Perancis dengan “Vive la France”-nya—dan sempat bersitegang dengan Paul soal peran Amerika dan Peracis dalam Perang Dunia II. Sementara, Hedy, Seppo, dan Simon merepresentasikan generasi muda Perancis yang mencoba menebus dosa moyang mereka di Vietnam dengan membersihkan ranjau darat. “Gadis borjuis yang merasa bersalah,” kata Hedy.

Ada yang berpendapat ketiga karakter aktivis di atas tak diperlukan dan hanya menambah-nambah durasi film hingga dua setengah jam. Tapi ketiganya justru cara Lee menyampaikan penindasan berlapis tersebut. Kolonialisme lama juga semestinya bertanggung jawab meskipun kini neokolonialisme meraja di bawah panji “The Stars and Stripes”. Keberadaan ranjau juga simbol bahwa perang tak pernah benar-benar usai bagi warga pribumi. Emas batangan yang dicari-cari itu juga lambang bahwa “perang adalah soal uang, dan uang adalah soal perang,” kata Norman.

Begitu empat sekawan tersisa plus anak Paul, David (Jonathan Majors), menemukan emas tersebut, ketamakan muncul. Kata-kata Norman “kita akan berikan emas ini kepada kaum kita” menguap ke udara, tak berbekas dalam ingatan. Mereka kemudian bertengkar mempersoalkan bagian. Terlebih, kian banyak orang tahu tentang emas itu, kian banyak yang mesti disingkirkan atau diberikan jatahnya. Film ini kemudian berubah menjadi gambaran perang kecil Vietnam di masa kini.

Menjelang akhir film, Paul akhirnya berdamai dengan hantu masa lalunnya. Dia bertemu kembali dengan Norman dalam imajinasinya. Norman kali ini tampil bak Yesus, Sang Juru Selamat, dengan cahaya terang di sekitar keberadaannya. Dia memaafkan Paul dan berkata, “Tuhan itu cinta, dan cinta itu Tuhan.” Kalimat ini menjadi penyingkapan bagi Paul. Dia akhirnya sadar dan berdamai dengan dirinya. “Kami bertempur dalam perang tak bermoral yang bukan perang kami, untuk kebenaran yang tidak kami miliki,” katanya sambil menggali kuburnya sendiri.

Seperti dalam karya sebelumnya, film ini menunjukkan Lee konsisten dalam banyak hal: meramu narasi realis dengan esai politik dan sejarah. Lee juga tetap memasukkan dolly shot yang menjadi ciri khasnya. Otis dan Michon (Sandy Huong Pham), anak perempuannya dari seorang wanita Vietnam Tien (Le Y Lan), digambarkan “mengambang” seolah lepas dari masa lalu dan menuju masa depan.

Selain itu, Lee memilih tak menggunakan CGI untuk membuat Otis, Melvin, Eddie, dan Paul menjadi lebih muda dalam adegan perang puluhan tahun lalu. Karena itu, keempatnya tampak kontras dengan Norman yang lebih muda. Tapi dalam foto, keempatnya dibuat lebih muda. Lee tampak menginginkan penonton lebih terkoneksi dengan tokoh-tokohnya, baik di masa lalu maupun masa kini. Lee bisa jadi juga ingin menggambarkan keengganan tokoh-tokohnya, terutama Paul, untuk berdamai dengan masa lalu, sehingga memori di masa lalu pun tetap memvisualkan mereka seperti saat ini.

Penggunaan lagu-lagu legenda Motown, Marvin Gaye, semakin melengkapi film ini. Lagu seperti What’s Going On dan What’s Happening Brother bukan saja sangat pas dengan tema film ini, tapi juga suara soul Gaye bisa mengingatkan kita akan kepedihan yang diseret peperangan sepanjang jalannya.

Lee mengakhiri film dengan mencuplik rekaman pidato King tepat satu tahun sebelum dia dibunuh. “Kita tak boleh membatasi visi untuk hak tertentu bagi kulit hitam…” Di sini, Lee bukan lagi sineas spesialis nasib kulit hitam tapi sudah menjadi seorang internasionalis. Dia telah menembus lapisan-lapisan penindasan. Dia seolah menyeru kepada kaumnya, penderitaan kalian di dalam negeri terhubung dengan penderitaan orang-orang lain di banyak negeri, yang dijarah agresi militer Amerika. Tak boleh ada lagi pertempuran untuk “white men’s war”.[]

1Phillip Woodall, “A Soldier in Vietnam Reacts to the Assassination of Martin Luther King,” HERB: Resources for Teachers, diakses 18 Juni 2020, https://herb.ashp.cuny.edu/items/show/711.

2Leslie M Alexander dan Walter C Rucker (editor), Encyclopedia of African American History, (Santa Barbara: ABC-Clio), 2010, hal. 1080.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top