Cerpen Nh Dini
Nh Dini (1936-2018) kerap mengarang dengan tema percintaan antarbangsa. Tema ini selalu ia warnai dengan cerita perselingkuhan dengan fokus perhatian pada sosok perempuan. Demikian pula cerpen “Istri Konsul” (1989) yang dinukil dari buku kumpulan cerpen berjudul sama.
SEJAK masuk mobil, mereka tidak berbicara. Masing-masing duduk di pojok meminggir, menjauhi yang lain. Hilda mencakup rambut di tengkuk ke dalam genggamannya.
Panas bukan main! Tubuhnya yang terbungkus kain sarung pinjaman dari kantor polisi sudah kuyup oleh keringat. Dirasakan peluh mengalir di lambung turun ke perut dan paha. Panas negeri tropika tidak pernah disukainya. Tapi sudah hampir satu tahun dia di sana mengikuti suami. Terhormat menjadi istri seorang konsul. Terhormat hingga malam itu.
“Sebaiknya kau pulang ke Eropa secepat mungkin,” suara Tuan Konsul akhirnya memecahkan kesunyian.
Hilda tidak menjawab. Kepalanya berat. Pelapukan mata seakan-akan lekat. Di mulut dirasakan campuran pahit dan kecut dari bekas minuman keras yang terlalu banyak turun ke tenggorokan.
Dia tidak ingin berbicara.
Apakah yang akan bisa dikatakan? Malam itu merupakan puncak dari kecerobohan yang sanggup dikerjakannya. Klimaks dari tumpukan kekeruhan hati. Kalaupun itu bisa disebut kekeruhan. Karena yang ada di sana bercampur aduk. Lebih tepat dikatakan ruwet-bundet tak berujung tidak berpangkal. Jalurnya tali-temali kehidupan masa lalu ingin dia lupakan. Namun, mau tidak mau itu tersimpul dan terikat dengan ujung-ujung baru yang setiap kali terbentuk. Demikian seterusnya. Lalu tibalah saat di mana bulatan tali itu menggumpal padat, menyumbat rongga dada.
*
Seingatnya, Hilda tidak dapat menemukan permulaan dari pengalaman-pengalamannya. Tiba-tiba saja dia menjadi istri Serge. Cinta tidak memegang peranan dalam hal ini. Memang dia tidak pernah memerankan sesuatu pun dalam kehidupan Hilda. Kadang kala dia mengira menemukan cinta. Terjerat dan terpikat oleh bayangan atau ilusi dari pengertian kata itu. Lalu menuruti naluri kewanitaan serta keromantisannya sebagai manusia, Hilda melarutkan diri. Yakin dengan setengah harapan bahwa itulah yang dikatakan sebenarnya hidup bercinta, berkasih-kasihan. Berbuat seakan-akan mengabdi kepadanya. Tetapi pada akhir pengalaman yang biasanya pendek itu dia menyadari bahwa perkataan itu sekaligus hambar dan serius. Terlalu sering diucapkan sehingga maknanya menghilang. Menjadi hampa.
Permulaan yang bisa terpegang adalah lumrah, biasa.
Di umur terlalu muda, diperkosa oleh bapak tirinya, dia menjadi wanita tanpa pengenalan kemesraan kekasih. Berpindah dari lelaki satu ke lelaki lain, Serge adalah yang paling penuh perhatian serta punya uang. Ditambah kedudukannya sebagai pejabat tinggi kedutaannya.
Waktu itu, Hilda bekerja di tempat lain dan memiliki kecakapan seorang sekretaris yang dapat dibanggakan. Hubungan kantor sering menyebabkan mereka bertemu. Karena Hilda hampir selalu dibawa-bawa oleh majikan untuk mengatur ini-itu urusan kantor, mencatat serta mengingatkan hal-hal penting. Sering kali pula urusan bahasa diselesaikannya sebagai penerjemah.
Malam-malam tidak jarang mempertemukan mereka. Bersalaman di suatu resepsi atau koktail. Pada kesempatan lain, di waktu-waktu undangan makan malam ataupun siang. Bercakap-cakap merupakan hubungan lebih mengena, karena orang dapat menelaah watak, mengenal kedangkalan atau kedalaman jiwa. Lalu sampai ke undangan-undangan intim, berdansa serta minum-minum di rengkuhan cahaya temaram.
Pekerjaan Hilda sederhana, mengetik dan menulis. Tetapi pengetahuan bahasa Inggris dan Jermannya memberinya kemungkinan mendapatkan tempat terpandang di kantor yang lumayan bayarannya. Meskipun tanpa ijazah dari sesuatu kursus pun. Pada zaman itu orang masih lebih menghargai kepandaian nyata daripada kertas-kertas tanda kelulusan. Tak pula ketinggalan keseluruhan diri Hilda yang bisa ditampilkan. Cara-cara bicara yang memikat serta meyakinkan. Dia cekatan mengerjakan urusan kantor. Mengatur segalanya. Organisasi pertemuan dan rapat dirampungkan dengan rapi serta memuaskan majikan maupun pihak tamu.
Lepas dari dunia kerja, dia juga tahu menyambar kesempatan yang tersuguh. Berupa apa pun. Keluar malam, diajak siapa pun, dia selalu sedia. Apalagi keluar waktu-waktu akhir pekan. Baik bergerombol maupun berduaan.
Hilda bukan wanita yang sukar, yang terlalu memilih. Laki-laki tua, muda, pendek, tinggi, cakap maupun sedang ketampanannya tidak menjadi halangan bagi dia. Asal muka tidak bopeng atau terlalu jelek, jadilah! Itu pun ditambah kemungkinan adanya janji pengganti kerugian: Hilda tidak menolak rezeki yang datang. Sesuatu yang menguntungkan bukanlah milik semua orang. Keluar bersama seseorang berarti menghabiskan waktu luang ke luar kota tanpa mengeluarkan biaya. Dia benci merentang-rentang gaji supaya bisa mencapai akhir bulan. Wataknya yang boros tidak bisa membikinnya wanita yang tertib dalam pembukuan. Meskipun sebenarnya penghasilannya bisa disebut besar untuk hidup seorang diri.
Sudah terkenal bahwa majikan sering kali berpacaran dengan sekretaris di kantornya. Bagi Hilda, itu pun telah menjadi hal yang rutin. Merupakan sebagian dari alur hidupnya. Dan pada salah satu dari waktu-waktu ber-Sabtu-Minggu itulah dia berkenalan lebih jauh dengan Serge. Bersama beberapa teman, dia diundang ke suatu rumah di luar kota tempat peristirahatan seorang kenalan. Di situlah mereka berdua santai, manusia dan manusia, tanpa ada kekangan urusan kantor atau perusahaan serta tata cara basa-basi. Dari waktu itu, Serge menelepon dan mengundangnya secara teratur.
Laki-laki itu hidup sendirian, bercerai dari istrinya yang memberinya seorang anak. Hilda tidak peduli urusan mereka. Yang diperhatikan ialah Serge elegan, dalam sikap dan tingkah terhadapnya.
Sesudah menghabiskan akhir pekan bersama yang pertama, Serge tidak pernah melepaskannya tanpa pemberian hadiah: kiriman kembang, ajakan berbelanja ke toko pakaian, atau sumpalan serjumlah uang ke dalam tas Hilda.
Serge bukan seorang kekasih panas berkobar. Tapi imbalan lain yang diberikan kepada Hilda mencukupi kebutuhan. Maka pada suatu pagi di musim panas, wanita itu mengawini pejabat kedutaan, satu dari wakil negeri-negeri Eropa. Sekaligus menjadikannya pemilik paspor negeri tersebut. Maka pengalaman Hilda sebagai penduduk dunia internasional pun bertambah.
Perjalanan itu dimulai dari nenek moyangnya yang berasal dari Jerman, pergi ke Amerika ketika benua itu baru dikenal orang. Hilda lahir di sana sebagai keturunan kaum pendatang, imigran yang turut membangun dan membentuk negeri besar. Dia berwarganegara Amerika yang berbicara Inggris dan Jerman. Kini menjadi istri Serge, dia berbicara bahasa satu lagi. Dan penanjakannya ke dunia pergaulan dimulai di sana. Pengetahuan seluk-beluk bergaul diajarkan oleh buku-buku etika, sesuai dengan tingkatan kelas masyarakat.
Hilda menjadi wanita muda yang terpandang. Istri seorang diplomat. Sekali bertemu, kesan yang dipunyai orang ialah kerapian dan keanggunan. Dia juga terhormat.
Nilai-nilai itu sayang harus disertai oleh satu syarat: apabila dia tidak mabuk. Minum-minum yang semula dikerjakan sebagai pengantar waktu makan, sebagai penghangat di saat udara bermusim keras, sedikit demi sedikit menjadi kebiasaan yang menjerat. Hilda bisa menelan banyak minuman. Tetapi reaksi tubuh dan otak menjadi kejutan bagi lingkungan. Kadang-kadang membikinnya bahagia, ringan hati, tertawa bergembira. Tetapi di lain waktu, membikin dia murung, marah-marah, mencaci-maki mereka yang ada di dekatnya. Tak ada kepastian apa yang akan dia lakukan pada saat-saat seperti itu. Lalu Hilda yang anggun dan terpandang berubah menjadi Hilda yang urakan, yang sewaktu-waktu bisa menjatuhkan nama Tuan Konsul yang terhormat.
Sebagaimana lumrahnya, di sekeliling pasangan itu terbentuklah kelompok-kelompok. Dan seperti dalam kebanyakan hal, itu terbagi menjadi golongan hanya sebagai pengkritik, pelindung, atau semata mata pengamat. Karena menjadi anggota sesuatu kedutaan selalu merupakan arah tertujunya sorotan mata. Ditambah pula Hilda adalah seorang perempuan. Apa pun yang diperbuat, seorang wanita lebih menarik pandang daripada laki-laki. Lebih menjadi sebab cibiran bibir sebagai tujuan sindiran ataupun cemoohan. Lelaki yang mabok dianggap pantas, kurang menjadi pokok perbincangan dan sasaran omongan orang. Sedangkan tanpa adanya tanda-tanda tersendiri itu pun pasangan Serge-Hilda cukup mempunyai dasar untuk dibicarakan karena perbedaan umur yang nyata.
Sementara itu, Hilda mengarungi empat tahun perkawinan bersama Serge.
Setelah menjabat tugas di Eropa, Tuan Konsul dipindah ke negeri Cina. Di sana lelaki itu mendapatkan kawan baru, candu. Isapannya dimulai di tempat-tempat umum, bersama rekan diplomat yang sama-sama “ingin tahu”. Percobaan satu disusul yang lain. Dorongan rasa malu karena tidak mengalami “hal” seperti orang lain, berakibatkan pencekikan nyawa sendiri. Lalu mengisap candu menjadi kebiasaan, rutin. Seperti halnya makan, minum, dan bernapas.
Di malam hari, setelah selesai bersantap, Tuan Konsul biasa membaca di ruangan studi. Kadang-kadang sambil mendengarkan musik. Kadang-kadang tidak. Demikianlah kehidupan orang-orang cerdik cendekia. Di waktu-waktu ada undangan keluar, kesempatan buat menikmati buku-buku itu terputus. Hanya bisa dilakukan di tempat tidur, beberapa saat sebelum mata terpejam oleh rasa lelah maupun kantuk. Tetapi waktu telah mendesak acara lain. Sebab itu, Serge biasa mengalahkan bacaan jika harus bertugas menerima panggilan makan di luar. Dia lebih memilih mengisap pipa berisi gumpalan candu sambil setengah berbaring menunggu jemputan awan khayalan.
Mulailah waktu-waktu kebosanan.
Tahun keempat dalam hidup bersama lebih sering merupakan masa-masa rapuh. Kalau pasangan dapat sampai pada tahap lima tahun, sering kali disebabkan karena ada seorang daripadanya yang lebih banyak mengikuti keputusan atau cara hidup lainnya. Perkataan mengalah lebih tepat. Dalam hal mereka berdua, Hildalah yang selama itu tunduk. Dunia yang dia masuki baru baginya. Serge tidak mengharuskannya, tetapi dengan halus dan cara pengikatan kebendaan yang dia ketahui bisa menaklukkan Hilda, mewajibkannya berbuat begini dan begitu. Dan wanita yang sedang menanjak mekar usia itu pun menerima aturan-aturan yang diterapkan bagi pendamping-pendamping diplomat negeri yang beradab.
Sejak kehadiran candu dalam keduaan mereka, Hilda mencoba turut membiasakan diri mengikuti alur suaminya. Sekali dua kali mencicipi asap asing itu. Tetapi tidak menemukan rasa lena yang selalu dipamerkan Serge. Lalu sesuatu pun berubah. Hilda semakin meregang dan menjauh. Suaminya meninggalkan dia untuk semakin berpelukan dengan kebiasaan barunya.
Hilda tidak pernah bisa hidup seorang diri. Kesendirian adalah latar belakang yang membekalinya kehausan kasih sayang. Itu agaknya tertutup oleh masa-masa indah perkawinannya. Tiba-tiba kini kabur dan tersapu awan kelabunya opium. Di kala dia menghendaki kehangatan pelukan dan belaian tangan lelaki, Serge lemas memandanginya dengan mata sayu tanpa bara. Hilda kehausan, Serge telah sampai entah di surga yang ke berapa. Suami itu sudah sampai di puncak kepuasannya bersama asap candu.
Orang tidak pernah menjumpai kesukaran untuk kembali ke kebiasaannya yang telah ditinggalkan. Tantangan dan suguhan kesempatan menjadikan dorongan pula. Tanpa bersusah payah menyanggah maupun menanggulanginya, Hilda menerima laki-laki lain sebagai teman berkasih-kasihan. Tidak ada yang serius. Semua hanya hubungan sementara yang sama-sama membutuhkan pada suatu saat. Hilda tidak pernah mengurusi soal perasaan. Apabila ada anak-anak muda yang terlalu merengek serta menginginkan kelanjutan pergaulan mereka, Hilda bisa memutuskan rasa berahi mereka dengan keahlian yang dimilikinya. Umurnya tidak segar lagi pada waktu itu. Tetapi dia bisa memilih siapa-siapa yang dia kehendaki. Meskipun dia masih diburu oleh sifat keborosannya, dia sudah mempunyai tambahan milik, yaitu jaminan kedudukannya yang kokoh di sisi suami.
Laki-laki yang berani menggauli istri seorang konsul setidaktidaknya tahu tata cara berterima kasih. Seandainya Hilda mau tidur dengan sopir atau penjaga malam, dia juga bisa membereskan persoalan sehingga yang bersangkutan tidak mengharapkan lebih dari apa yang telah terjadi.
Omongan orang pun bertambah oleh karenanya.
Lelaki yang mata keranjang atau hidung belang, maupun yang menerima sebutan apa pun juga sebagai penunjukkan sifat kerakusan memiliki wanita lebih dari satu, juga sering dijadikan bahan pembicaraan. Tetapi seorang perempuan lebih-lebih lagi. Karena semua pihak memusuhi serta mengejeknya. Ya, laki-laki, ya, sesama jenisnya. Kesalahan apa pun dan sekecil debu pun selalu lebih tampak mencolok mata jika itu dikerjakan oleh seorang wanita.
Istri Tuan Konsul yang malang itu pun bertambahlah ketenarannya. Semua membicarakan dia dan mengupas sudut-sudut kekurangan serta cacatnya. Tak satu pun memiliki pandangan yang berdasarkan keobjektifan kenyataan. Karena sekali lagi, Hilda adalah seorang perempuan. Dia tidak berhak mempunyai latar belakang yang bernoda. Apalagi untuk kemudian memberanikan diri menjadi istri seorang konsul negeri terkemuka!
*
Suatu ketika di akhir musim panas, telepon berdering.
Anak tirinya, Bruno, ada di lapangan terbang. Baru tiba dari Australia. Mereka tahu Bruno akan datang. Tetapi belum dipastikan tanggal atau harinya. Serge tidak di kota. Sehubungan dengan tugasnya, dia mengikuti rombongan diplomat ke sebuah pabrik. Pemerintah negeri tuan rumah biasa mengundang perwakilan-perwakilan asing dan membanggakan hasil produksi mereka yang positif. Dan Serge tidak akan pulang sebelum senja, karena pabrik itu terletak jauh dari ibu kota. Seperti biasanya pula, mobil dan sopir mengantarkan Tuan Konsul.
Hilda pergi ke lapangan terbang menjemput Bruno.
Di waktu itu dia sudah menenggak minuman keras lebih dari semestinya. Dasar gairah yang tidak pernah tertanggal dari dirinya menjadi lebih terasah oleh kehadiran pemuda gagah seperti Bruno. Dulu terakhir kali Hilda bertemu dengan anak tirinya, belum ada tanda-tanda kelebihan. Dua tahun pertumbuhan bagi umur-umur muda bisa membikin satu keajaiban. Pemuda yang pemalu, diam dan kaku, kini berkepala tegak dengan pandang penuh kepercayaan diri. Padanya tampak kehadiran yang sangat menggiurkan dan menggoda.
Seharian mereka bersama. Kabar-berkabar hingga waktu makan. Kebetulan pembantu hanya seorang yang bertugas. Hilda memanfaatkan tidak pulangnya Serge untuk memberi libur pembantu-pembantu lain. Yang tinggal diminta menyiapkan sisa-sisa selada dan irisan daging dingin dari kemarin malam. Mereka berdua menghadapi makanan seadanya di kamar studi. Campuran wiski sebagai aperitif pengantar waktu makan, bergelas-gelas anggur merah sebagai peserta makanan, menyebabkan wajah Hilda merah dan riang. Dari kabar-mengabar, percakapan menjadi lebih intim. Dari olok-olok ke sentuhan tangan, ke rangkulan dan rabaan maksiat. Akhirnya, mereka terdampar di dipan yang empuk mengundang.
Mereka bercintaan di siang hari bolong. Lepas dari kebiasaan kekasih-kekasih di zaman itu yang kebanyakan memilih waktu malam. Mereka memang tidak merencanakannya. Berbagai macam kebetulan tersuguh. Seolah-olah diatur oleh komputer entah di langit ataupun di dunia mana. Seakan-akan diprogramkan pula bahwa wanita yang pada usia mudanya diperkosa bapak tiri itu pada umur yang keempat puluh dua menjadi kekasih anak tirinya.
Semuanya terjadi dengan cepat. Barangkali banyak ketidaksadaran dari kedua pihak.
Ketika sore Hilda merasa pikirannya lebih cerah, berusaha bangkit dari dipan di kamar studi, dia sudah sendirian. Mandi dan berdandan seperlunya semakin membikinnya merasa segar. Tetapi semakin tidak karuan rasa hatinya.
Dia berjalan mengukur panjang lebar kamarnya. Kembali duduk. Bangkit lagi memutari ruangan. Ada tantangan untuk keluar. Tetapi bagaimana? Sudut hati yang biasa memasa-bodohkan norma-norma pergaulan itu kini terisi sejumput perasaan aneh. Dia hampir mengakui bahwa itu adalah rasa malu. Dia ingin keluar, pergi ke teras. Atau kembali ke kamar studi. Atau ke mana saja asal tidak mengurung diri di kamar tidur. Tapi dia takut ketemu Bruno. Tidak tahu sikap apa yang harus dia tunjukkan. Hilda yang selama lebih dari dua puluh lima tahun bergaul dengan laki-laki dan merasa mengerti bagaimana lelaki itu! Kini tiba-tiba dia khawatir menghadapi seorang pemuda.
Hilda berdiri di depan jendela. Dari sana pandangannya lepas ke juluran jalan-jalan di antara dinding rumah dan gedung. Sepi waktu itu. Akhir musim panas sudah sejuk udaranya. Orang-orang yang baru pulang dari kerja lebih suka mengeram di tempat kediaman masing-masing. Atap-atap perkampungan tampak rapi berderet. Kepulan asap naik di sana-sini. Penduduk telah mulai memanasi makanan malam.
Terdengar ketukan di pintu.
“Ya. Masuk!” Hilda menyahut.
Tentulah pembantu yang menaikkan pakaian yang telah dicuci dan disetrika hari itu. Dia akan beranjak dari jendela. Ketika berpaling untuk mengatakan sesuatu, Bruno tepat berada di hadapannya. Langsung merengkuh dan merangkulnya. Reaksi pertama Hilda ialah menegangkan diri. Tetapi cepat berubah. Kelakuan Bruno yang tidak disangka-sangka melumatkan semua rasa enggan, kaku dan malu yang tadi berkecamuk.
Lama keduanya berdekapan tanpa bicara.
“Aku minta maaf,” akhirnya pemuda itu berkata sambil merenggangkan diri.
Mereka berpandangan.
“Untuk apa?”
Memang seketika itu Hilda tidak mengerti mengapa Bruno meminta maaf.
“Tadi siang aku mata gelap.”
Hilda tidak tahu bagaimana menjawabnya.
“Menyesalkah kau?” tanyanya.
Bruno tampak berpikir. Hilda segera mendahului, “Aku tidak menyesal.”
“Aku juga tidak.”
Kedua tangan Hilda memegang muka Bruno. Diciumnya bibir anak muda itu. Maksudnya untuk kecupan sekilas, cepat, sebagai tanda kedekatan. Tetapi Bruno tidak berdiam diri. Sekali lagi Hilda tenggelam dalam ketegapan dada yang kokoh, rangkulan yang kuat. Ciuman Bruno hangat, lalu menjadi bernafsu.
Hilda berhasil menyentakkannya dari keasyikan yang mulai membahayakan.
“Tidak. Jangan di sini,” katanya.
Pandang Bruno mencekam matanya.
“Jangan sekarang,” sekali lagi dia berkata, menjelaskan, “Serge bisa datang sewaktu-waktu.”
Petang itu, mereka makan bertiga di ruang studi.
Di meja kecil berkursi empat, di mana siang tadi dua kekasih berhadapan. Serge kelihatan semakin tua oleh panjangnya hari bertugas di luar. Sebagai kontras, di sebelah kanan, Bruno menyala dengan kesegarannya. Sampai-sampai Hilda pun tersulut oleh sinarnya. Desas-desus yang biasa menyebutnya tampak terlalu tua buat usianya, malam itu patut dibantah. Tanpa bersolek, wajahnya cerah oleh sesuatu cahaya rahasia.
Semakin waktu melonjok, semakin banyak cairan anggur yang terminum. Percakapan menjadi semakin giat antara Hilda dan Bruno. Keletihan semakin menguasai kelancaran pikiran Serge. Beberapa saat suami yang baik masih bertahan menceritakan kunjungannya ke pabrik baja milik negara tuan rumah. Mengabarkan betapa semangat dan giatnya para karyawan berbakti mengolah besi di dalam ruang yang panas membara.
Sementara itu Hilda memandanginya. Kemudian matanya beralih ke arah Bruno. Nyata-nyata keduanya mirip. Bruno adalah Serge dalam bentuk lebih muda dan lebih sempurna. Baik kehadiran tubuh maupun pengucapan wajah. Tanpa menyertakan isi otak, Bruno dapat dicalonkan sebagai lelaki yang bisa ditampilkan. Dengan umur, pengalaman serta usaha di bidangnya, orang bisa mencapai keterampilan. Bruno akan dapat mencakupnya. Berada di dekatnya, Hilda dapat merasakan adanya kepercayaan terhadap diri sendiri. Tahun dan lingkungan yang positif akan semakin mengasah watak seseorang.
Untuk kesekian kalinya, Hilda mengira menemukan cinta sambilan yang tak akan berlangsung lama. Kota Peking memiliki tempat-tempat menarik. Museum atau gedung dan bangunan sebagai tanda megahnya kebudayaan lampau. Hilda mengulangi kunjungannya ke semua itu untuk mengantar Bruno. Dan tiba-tiba semua itu mempunyai daya tarik lain. Tetapi Hilda lebih memilih taman-taman. Di sana mereka berjalan, duduk, agak lepas dari kemuraman warna biru tua atau kelabu yang menjadi seragam anak negeri. Mereka bisa berkasih-kasihan menyembunyikan diri di balik semak tanaman dan dari mata penjaga taman.
Untuk pertama kali dalam pengalamannya yang panjang bersama lelaki, Hilda merasakan berbaring di atas daun-daun gugur di akhir musim. Di situ pula dia dimiliki oleh lelaki tanpa keseganan basa-basi. Tak ada kekhawatiran terhadap rasa kotor maupun jijik menyentuh tanah lembab. Lepas dari kelembutan, bersikap kasar dan memaksa. Perempuan lain, atau seorang istri konsul lain yang “beradab barangkali akan menolak atau menjerit diperlakukan oleh Bruno seperti pada waktu-waktu kunjungan ke taman itu. Mereka bercinta bebas dari keharusan-keharusan ataupun aturan-aturan susila menurut ukuran salon dan tata cara borjuis.
Hilda menerima perbuatan itu sebagai kebaruan. Karena dia pun bosan oleh tingkah laku yang serba hipokrit dari laki-laki lain. Yang hormat serta memperlakukannya secara lembut yang disebabkan oleh kedudukannya sebagai istri Serge, seorang konsul wakil negerinya.
Selama lebih sebulan mereka berkasih-kasihan di bawah langit Peking. Hilda masih bertahan agar tidak tergolak oleh tipuan fatamorgana. Karena dia sayup-sayup mulai sering mendengar perkataan “cinta” berdengung di hatinya. Berdampingan, hidup bersama dengan laki-laki secara intim membikin seorang wanita terbujuk dan bermata gelap. Menjadi terikat oleh kebiasaan-kebiasaan. Termanja oleh suasana kedekatan yang dikehendakinya semakin mesra dan semakin terbuka.
Ya. Perkataan cinta pada waktu itu disangkanya mulai tepat buat menggambarkkan perasaannya terhadap Bruno. Belum pernah dia menjumpai pengalaman sama dengan lelaki lain.
Ketika Bruno berangkat meneruskan pelajaran ke Australia, Hilda merasa kesepian. Dia merindukan Bruno. Alangkah anehnya melayani hati yang sebelumnya disangka tidak mengenal bahasa itu. Keringanan yang biasa bermukim di sana, kini menghilang. Untuk pertama kali dalam hidupnya Hilda mengamati laki-laki yang menjadi lingkungan dunianya di Peking dengan pandang kurang perhatian. Benar memang tidak banyak pilihan. Orang-orang asing dari kalangan sederajat tidak besar jumlahnya di sana. Demikian pula wartawan atau pengunjung. Tetapi dari itu semua, di waktu-waktu yang lalu Hilda selalu menunjukkan rasa tertarik. Selalu menemukan seorang atau dua yang bisa diajak menghabiskan keisengan bersama. Dalih pergi ke Hong Kong untuk berbelanja tidak pula ketinggalan buat melanjutkan kencan-kencan yang hangat.
Namun, Hilda tidak berubah menjadi saleh seratus persen.
Orang tidak dapat berubah dalam sekejap, membelakangi kebiasaan masa lampaunya. Tetapi Hilda merasa bahwa dalam dirinya ada sesuatu yang berubah. Umur empat puluhan membawakan kebaruan bersama pengenalannya dengan anak suaminya. Bruno hampir lima belas tahun lebih muda. Merupakan peremajaan yang mengagetkan perempuan seperti Hilda. Bersama pemuda itu, dia menjadi sekaligus ibu, kakak, kekasih yang kadang-kadang tegas memberi nasihat, membetulkan kekeliruan, memberi petunjuk, atau manja dan berkobar menanggapi gairah lelaki. Jauh di lubuk hati, Hilda tidak bisa mematikan naluri keibuannya. Sampai di mana pun pengalaman seorang perempuan, berbicara dengan orang yang dikasihi lebih condong ke arah bahasa yang sering dipergunakan jika menghadapi anak-anak.
Demikianlah Hilda dengan Bruno.
Demikianlah Hilda pada hari-hari terakhir bertanya kepada kekasihnya, “Apa kau mencintaiku?”
“Ya, aku mencintaimu.”
Dialog itu berulang kali. Menjadi rutin dan barangkali membosankan bagi Bruno. Tapi tidak bagi Hilda. Karena seseorang yang mabuk cinta selalu bahagia mendengar kekasihnya berkata bahwa dia mencintai maupun dicintai.
Musim dingin di Peking keras dan kering. Para diplomat merasa tersekap karena kesempatan keluar makan angin semakin mengurang. Hilda juga merasa diri terkurung, tertekan. Kunjung-mengunjung mengurang. Kalaupun masih ada, percakapan di lingkungan itu selalu berkisar mengenai hal yang sama. Membosankan. Hilda ingin mencari kelainan. Hilda ingin mencari matahari. Dan mataharinya kebetulan berada di Australia.
Serge jarang menentang kemauan istrinya. Usianya yang jauh lebih banyak tidak mengizinkan menjadi suami yang berkeras kepala apalagi pelit. Sebagai konsul dia banyak meminta pengertian cara hidup dari Hilda. Tetapi dia tahu pula dengan apa dia bisa mengimbanginya. Dia mengerti kelemahan dan kekurangan istrinya. Namun, dia tahu menghargai sebegitu sedikit kebaikan yang ada pada wanita itu. Serge mengawininya dengan dasar untuk tidak hidup menjadi tua seorang diri. Dia menemukan kawan yang dia anggap sesuai. Ini Hilda mengetahuinya. Mereka berdua menganggap bahwa persatuan mereka berupa kelengkapan, meskipun pada umumnya orang luar melihat kepincangan-kepincangan. Dengan latar belakang yang berantakan, Hilda merasa beruntung menerima lamaran Serge. Mereka bersama membangun kekawanan tersendiri. Lebih-lebih setelah Serge menemukan candu. Akhirnya, laki-laki itu menyadari bahwa Hilda membutuhkan sesuatu yang lain daripada impian, bayangan.
Semakin umur menjadi lanjut, Serge semakin tercekam oleh opium, dan semakin pula tidak berkesanggupan memenuhi kebutuhan jasmaniah istrinya. Tubuhnya menjadi lemah, malas digerakkan. Dia menjadi lambat dan lamban. Sedangkan Hilda masih menghendaki kesigapan. Apalagi dalam bercinta.
Jadi, Serge melepas istrinya ke Australia.
Di sana ada matahari. Dan di salah satu kotanya, ada Bruno. Hilda menyewa kamar di kota itu pula. Mereka sering bersama-sama. Tetapi Bruno mempunyai kesibukan sendiri di kampus. Hari bersambungan menjadi pekan, lalu tiba-tiba telah mencapai sebulan Hilda pergi. Dia belajar untuk tidak cemburu melihat anak tirinya bergaul bebas dengan teman-teman seperguruan. Berusaha menyembunyikan hati yang tertekan karena selama dia menunggu di kamar sewaan, dia mengetahui bahwa Bruno duduk-duduk makan serta berbincang dengan teman sekolahnya. Bruno juga seperti kebanyakan laki-laki, tidak bisa hidup tanpa wanita. Hilda menyadari bahwa kekasihnya tidak mengabaikan tantangan mahasiswi-mahasiswi sebayanya. Dengan susah payah, Hilda menahan diri untuk tidak memperlihatkan kecemburuannya. Dan untunglah Bruno memiliki kepekaan dan perhatian. Sebanyak mungkin mengindahkan serta melayani Hilda selama ada di kota yang sama.
Pada suatu hari, Serge menerima telepon jarak jauh dari Hilda. Wanita yang ada dalam perjalanan umur ke setengah abad dan telah merasa dirinya mencapai kemandulan itu tiba-tiba merasa dihuni seorang manusia kecil. Seorang Bruno kecil.
Cuaca cerah, komunikasi terang, jelas tanpa gangguan. Namun, tidak bisa ketegangan dicegah jika membicarakan sesuatu yang dianggap menyentuh kehormatan atau harga diri. Di luar dugaan Hilda, Sergelah yang mendahului kehilangan kesabaran.
“Aku berani mengatakannya kepadamu, karena kukira kau tidak akan marah-marah,” kata Hilda.
Menurut perkiraannya, suaminya mengetahui bahwa selama ini dia tidak dapat hidup tanpa hubungan seks. Suaminya selalu membayangkan bahwa dia mengerti siapa-siapa saja lelaki di lingkungan mereka yang menarik perhatian Hilda. Seolah-olah ada perjanjian tersendiri, mereka membicarakan orang tersebut, memasukkannya menjadi bagian hidup mereka. Sampai datang saatnya Hilda bosan, atau orang itu pergi maupun berangkat ke lain tempat, maka nama itu tiba-tiba menghilang dari percakapan sehari-hari pula. Ada kesopanan dari pihak keduanya untuk hanya menyinggung hal-hal secara cepat dan sekilas-sekilas. Karena sekali lagi norma-norma pergaulan dalam kalangan itu mewajibkan mereka berlaku demikian. Hilda mengetahui dan mengharapkan Serge selalu memaafkan kecerobohan-kecerobohannya, pergaulannya dengan lelaki lain. Asal tidak menjadi sebab skandal yang membawa-bawa kedudukannya sebagai konsul.
“Kalau aku bisa memperkirakan reaksi begini darimu, tentulah diam-diam aku sudah menggugurkannya. Tanpa ramai-ramai seperti ini,” kata Hilda lagi.
Ini hanya sebagian dari kebenaran.
Semula dia memang ingin menggugurkan benih tersebut. Tetapi uangnya tinggal sedikit, cukup buat hidup sepekan lagi, lalu kembali ke Peking. Hal itulah yang mendorongnya menelepon Serge. Dia memerlukan uang.
Dari ujung lain, Serge terdiam sebentar. Kemudian terdengar suaranya, lebih tenang. Rangsangan yang menyentuh rasa harga dirinya telah mereda.
“Apakah kau sudah pasti benar? Tidakkah ini hanya soal keterlambatan saja?”
“Kukatakan tadi aku sudah ke dokter! Pemeriksaan dan tes semua positif.”
Sekali lagi, Serge tidak berkata sesuatu pun. Hilda mempergunakan kesempatan itu buat mengatakan maksudnya.
“Kirimlah uang dengan telegram melalui bank di Hong Kong. Karena kalau harus di klinik, akan dibutuhkan sejumlah besar biaya. Atau kalau kau tidak mengirimkannya, aku bisa meminjam dari teman-teman di Canberra.”
Serge tetap diam. Lalu kedengaran umpatannya, perlahan, seolah-olah ditujukan ke diri sendiri. Hilda hanya bisa mengulangi rayuannya, sambil sekali-sekali menyela meminta maaf.
“Kau tahu bahwa aku selalu berhati-hati. Tapi kali ini entahlah. Memang untuk sementara aku tidak minum pil. Lagi pula pada umur seperti umurku! Bayangkan!”
Rasa-rasanya perbantahan atau penjelasan itu tidak akan habis-habisnya. Akhirnya, Hilda memutuskan, “Sudahlah! Kalau kau tidak mau mengirim uang, aku bisa mengusahakannya sendiri. Kau tahu bahwa aku juga banyak teman di Australia. Mereka tentu ada yang mau membantuku.”
Serge tersinggung. Malu istrinya sampai meminjam kepada orang lain. Meskipun tanpa disebut untuk apa uang itu. Tetapi istrinya, istri seorang konsul sampai ketahuan meminjam uang, ah, jangan hendaknya itu terjadi pada dirinya!
Lalu dicapailah kata persetujuan. Serge akan menelepon keesokan harinya, pada jam yang ditentukan. Lebih dari sepuluh jam pemikiran tentulah akan membawakan hasil. Keputusan apa yang patut diambil? Tindakan mana yang lebih baik? Orang biasa berkata bahwa malam mengandung nasihat. Jika berangkat tidur dengan suatu persoalan, seseorang berharap agar keesokan harinya akan bisa menemukan jalan keluar.
Serge menunjukkan dasar wataknya yang dermawan.
Dia tidak menyetujui istrinya menggugurkan bayi. Bagaimanapun juga, bibit itu adalah anak Bruno, cucunya sendiri. Dia mengetahui hubungan “cinta” tersebut. Meskipun tak pernah secara terbuka dan terang-terangan kedua kekasih itu beraksi di depannya, namun Serge juga pernah menjadi muda. Pernah berkelakuan sebagai lelaki perayu, kekasih yang bersembunyi-sembunyi. Dia pikir lebih baik Hilda berkasih-kasihan dengan Bruno daripada dengan lelaki lain. Selama tidak keluar dari lingkungan keluarga, semua bisa diatur, pikirnya. Tapi tak terkirakan olehnya pada waktu itu bahwa akan terjadi “kecelakaan”, seperti yang kemudian lazim disebutkan orang dalam pembicaraan-pembicaraan.
Kandungan Hilda utuh. Tetapi dia harus cepat-cepat kembali ke Tiongkok. Setidak-tidaknya muka harus “diselamatkan”. Lingkungan pergaulan harus melihat bahwa Hilda mulai hamil ketika suami istri itu bersama-sama. Dan harus dijaga agar selama perut belum terlihat menggembung, Hilda tidak ketahuan bergaul intim dengan lelaki lain. Baik dengan pengunjung maupun dengan pria-pria di kalangan diplomasi yang bertugas di Peking.
Dimulai dari waktu itu, Hilda tiba-tiba seperti kembali ke masa-masa kealiman, ketenangan. Dia sering di rumah.
Kalau keluar, berdua dengan suaminya atau bersama teman-teman wanita dari kedutaan lain. Menonton film, opera anak negeri maupun mengunjungi pameran. Selalu bersifat saleh, teratur dan diketahui oleh suaminya.
Pada waktu itu pulalah dia kembali mengisap candu. Serge menginginkan supaya Hilda lebih sering berada di sisinya. Malam di kala tidak ada kewajiban keluar sehubungan dengan kerjanya sebagai wakil negara, setelah makan dan minum-minum, mereka mengurung diri di ruang studi. Pada kali-kali pertama, Hilda di sana untuk sekadar hadir. Membaca, merajut, berbicara sambil menggunakan keterampilan jari-jarinya. Tapi dia bukan wanita berbakat “kerja rumah tangga”. Di masa-masa mudanya terlalu biasa mengatur dan mengurus kantor. Tidak mempunyai pengalaman hidup dengan seorang ibu yang tekun mendidik anak-anak perempuannya buat menyukai kesibukan rumah.
Maka oleh kebosanan atau kesempitan prakarsa, akhirnya Hilda menuruti usul Serge mengisap opium di sana-sini. Sedikit demi sedikit, menjadi teratur, menjadi pasti. Setiap dua isap, Hilda menemukan rasa lain. Kemudian menjadi rutin. Semakin hari isapan itu bertambah lama, menjadi alur kebiasaan yang rata dan bertahap, menguasai kehendak yang bertambah besar. Demikianlah suami istri itu, tubuh setengah terbaring, masing-masing lena di kursi panjang.
Di sekeliling ada suasana intim benda-benda antik dari kayu dan batu-batu giok, dinding penuh bendelan buku kuno berharga yang berisikan sastra-sastra Cina klasik. Di ruang itu tercipta suasana pasangan yang rukun, bersatu oleh kenikmatan yang bisa dicapai orang-orang bercinta. Ikatan yang mereka dapatkan setarap dengan ekstase, orgasme, yang tibanya sering kali bersamaan. Keduanya mengawang, antara sadar dan tiada, kemudian menghilang terbawa asap. Barangkali itulah yang disebut orang surga ketujuh!
Serge dipindah ke negeri tropis di Asia.
Pindahan bagi orang-orang kalangan kedutaan biasanya juga bersamaan dengan kesempatan berlibur. Serge membawa Hilda ke Eropa, ke tanah air. Selama sebulan mereka di sana. Mengunjungi ibu kota mode dan kebudayaan dunia, Hilda bagaikan kembali mengalami bulan madu. Perlengkapan bayi dibelikan. Demikian pula untuk dirinya sendiri Hilda menyiapkan pakaian spesial selagi berperut gendut. Seorang istri konsul berarti wakil dari tata busana negerinya. Dia harus tetap tampak pantas meskipun sedang mengandung.
Kemudian mereka berangkat ke pos yang baru.
Hidup tenang berduaan diteruskan. Negara yang sama sekali baru bagi mereka sangat mempesona. Setiap akhir pekan dan liburan beberapa hari digunakan buat mengunjungi segala pelosok. Perjalanan pengantin seolah-olah diteruskan pada waktu itu. Suasana keindahan alam, tari, dan musik negeri menambah keeratan manusia-manusia yang cocok dan berkasihan. Hilda hampir-hampir merasa bahagia. Karena yang sebenarnya perkataan itu sama halnya dengan penafsiran “cinta”. Dia sering kali terjebak mengira menemukannya. Ataukah karena dia tidak pernah bisa menyimpannya rapat-rapat di dalam genggaman?
Pada waktu-waktu di ibu kota, undangan keluar berhubungan dengan tugas suami juga diteruskan. Selain perkenalan dengan para diplomat lain, mereka membentuk hubungan yang cukup baik dengan para pejabat tinggi negeri tuan rumah. Tidak sedikit ahli-ahli setempat dalam berbagai bidang yang pernah bersekolah atau melawat ke Eropa maupun Amerika. Hilda mulai mempunyai beberapa kenalan baik.
Demikian pula Serge. Masing-masing mempunyai cara dan karisma untuk menarik simpati orang. Pendek kata, semuanya berlaku menuruti jalan semestinya. Tidak ada yang keluar dari rencana. Tidak ada yang patut dikhawatirkan. Dan hidup mereka berdua pun aman tenteram. Malam-malam jika tidak ada tugas keluar, meneruskan pula kebiasaan di Peking atau di tempat liburan sewaktu di Eropa. Perabot studi yang intim dibawa pindah ke negeri itu. Kembali mereka rukun dan adem dikelilingi kekunoan dari ukiran kayu, kebeningan serta warna-warninya batu giok, bundelan buku sastra Cina.
Dan tentu saja candu.
Tubuh Hilda kokoh dan sehat. Tak ada kesukaran selama pertumbuhan bayi di kandungan. Sebulan sekali bakal ibu itu pergi ke Bangkok untuk pemeriksaan. Dia bermaksud melahirkan di kota tersebut. Karena pada waktu itu orang-orang asing masih takut mempercayakan kesehatannya kepada dokter-dokter asli negeri tempat Serge bertugas. Kemahiran dokter-dokter di sana tidak meyakinkan pejabat-pejabat kedutaan asing. Apalagi kalau itu merupakan satu kelahiran!
Bruno juga sempat datang dari Australia.
Alangkah anehnya bagi mata orang luar seandainya mereka mengetahui bahwa bayi yang ada dalam kandungan Hilda itu yang sebenarnya adalah cucu Serge. Sedangkan dia mengetahui pula, dan berhadapan serta berbicara dengan Bruno dengan ketenangan seorang bapak! Ataukah seorang kakek? Tetapi mereka bertiga hidup damai. Menciptakan suasana kekeluargaan yang dalam. Sampai-sampai bisa tercium dari tempat sejauh apa pun! Hanya di dalam kamar studi yang temaram, dan tertutuplah kehidupan bertiga itu bisa dilihat di mana kecanggungannya. Karena Hilda dan Bruno meneruskan bercinta. Selagi Serge mengawang terayun-ayun dalam buaian asap Hilda yang tetap mengisap menanggapi kepanasan darah muda kekasihnya. Dan lingkaran yang aneh itu berlangsung selama Bruno berkunjung ke sana.
Bayi lahir pada waktunya. Berwujud manusia kecil yang lengkap, kokoh, dan sehat seperti ibu-bapaknya. Serge membusungkan dada oleh rasa bangga. Dikirimlah kartu. Hampir semua pegawai Kementerian Luar Negeri menerima berita tersebut. Demikian mencolok kebanggaan itu sehingga orang-orang yang pernah mengenal Serge dan istrinya menyangsikan kesehatan pikiran si suami. Dia yang demikian cendekia, tidakkah mengira atau melihat tanda-tanda bahwa sekelilingnya sebenarnya tidak sebuta itu benar! Lingkungan diplomasi maupun departemen sudah hampir seluruhnya mengetahui siapa dan bagaimana wanita yang menjadi istrinya. Lelaki dengan siapa perempuan itu pernah mengecap kenikmatan-kenikmatan sementara kebanyakan tidak bisa membungkam diri, berkokok, dan berteriak menyiarkan pengalaman mereka.
Maka ketika diterima kartu kelahiran “anak” Tuan Konsul Serge, terdengarlah komentar di sana-sini: anak siapa? Anak Tuan Konsul ataukah istrinya?
Sampaikah itu ke telinga Serge? Bagaimanapun juga, dia tampak tidak peduli. Yang utama bagi dia ialah tidak ada yang berterus terang di hadapannya. Dia berlaku dan bersikap sebagai bapak sebenarnya yang baik. Baginya, Hilda adalah istri yang disahkan oleh undang-undang. Bruno adalah anaknya. Dua dan dua menjadi empat. Yang lahir dari Hilda berarti cucunya, ahli warisnya.
Hilda membawa pengasuh dari Bangkok.
Dia tidak mengetahui seluk-beluk bayi, pemeliharaan ataupun pertumbuhannya. Paling tidak, dia ingin belajar dari pengasuh tersebut, di samping membaca buku dokter Spock, yang merupakan pedoman kebanyakan ibu-ibu bangsa Amerika di waktu itu.
Bayi menerima perhatian semua orang. Menjadi boneka hidup yang disayang dan dimanja. Di waktu tidur, tidak jarang Hilda berjingkat mendekat untuk mengawasi serta mengamatinya. Menghindari kesukaran, ibu itu tidak mau menyusuinya. Serge juga sependapat. Karena dengan kewajiban-kewajiban keluar yang tidak bisa dipastikan, pemberian makan setiap tiga jam tidak pula akan dapat terjamin.
Lalu pengasuh bayi memperhatikan sesuatu.
Anak itu menangis setiap malam sekitar pukul sepuluh. Minum susu, air bermadu maupun gendongan tidak dapat meredakan jeritannya. Wanita berpengalaman itu pun membuka semua pakaian bayi. Dikira ada semut atau binatang kecil lain yang menggingit daging yang masih peka itu. Tapi tak satu bekas pun tampak di kulitnya. Kemudian dipergunakan cara lain, ialah memandikan anak itu. Barangkali kesegaran air dapat menenangkan perasaannya.
Namun, segala usaha tiada berguna. Rumah Tuan Konsul penuh dengan tangis keras, berteriak marah sehingga mukanya menjadi merah padam. Demikian selama kurang lebih dua puluh menit, setengah jam. Setelah itu, berubah ke sedu sedan kelelahan. Untuk berakhir dengan isakan yang mengguncangkan seluruh tubuh mungil itu. Pada waktu itulah pengasuh tahu bahwa tangisan segera berakhir. Dia mengusapkan handuk basah ke wajah bayi supaya terasa segar dan kembali tertidur.
Serge prihatin. Sakit apakah anak itu? Jangan-jangan jantungnya yang tidak sehat. Ataukah alat-alat pencernaan yang kurang sempurna? Barangkali ginjalnya? Tentulah ada sesuatu yang menyebabkan dia menjerit seperti itu. Apabila minuman tidak bisa menghentikannya, pastilah dia menderita sesuatu yang lain.
Dalam hal demikian, orang tua selalu mengkhawatirkan penyakit yang berhubungan dengan anggota tubuh yang tidak dapat terlihat mata. Apalagi Hilda sudah mencapai umur yang menuju ke lima puluh tahun. Kemungkinan adanya kesalahan pada jasmani bayi semakin besar.
Lebih dari setengah tahun di tempat tugasnya yang baru, mereka sudah mempunyai banyak kenalan. Mereka juga mendapat keterangan-keterangan mengenai kepintaran dokter-dokter setempat. Baik yang lulusan zaman kolonial maupun kaum muda yang keluar sekolah tinggi setelah negeri itu merdeka. Tidak pula terhitung mereka yang pernah menerima biaya pemerintah negara-negara Eropa maupun Amerika. Seolah-olah lulusan sekolah luar negeri menjamin ketelitian dan kecerdasan seseorang!
Tetapi Hilda mempercayai hal itu. Semula dia mengusulkan agar bayi dibawa ke Bangkok dan diperiksakan dokter di sana. Atau sekalian ke Eropa. Namun, setelah berunding, keduanya setuju untuk “mencoba” kemahiran dokter dalam negeri. Masing-masing kedutaan biasa mempunyai dokter sendiri. Tetapi untuk bayinya, Hilda tidak pergi ke dokter tersebut. Dari pejabat-pejabat penting setempat dia mendapatkan nama seorang dokter tua yang telah diundang melawat ke luar negeri berkali-kali. Dia mengajar di sekolah tinggi di samping membuka praktek. Serge dan Hilda sudah sering pula bertemu dengan mahaguru ini di resepsi-resepsi atau kesempatan undangan makan. Kelihatan sebagai seorang lelaki yang pandai dan banyak pengalaman. Hilda senang berbicara dengan dia karena mempunyai kenangan sama mengenai kota-kota di Amerika yang pernah mereka kunjungi.
Jadi, Hilda memutuskan untuk memeriksakan bayi ke profesor itu. Rabaan tangan yang ahli di perut memberi hasil kepastian bahwa semua alat pencernaan ada di sana. Degup jantung menuruti alur yang normal. Pancaindra semua diteliti dan diperiksa. Dua kali dokter mengulangi gerakannya. Sepintas lalu semua baik-baik. Semua alat yang diperlukan manusia untuk hidup normal, bekerja dengan sempurna. Benar-benar tidak ada alasan mengapa bayi harus terkejut dan menjerit-jerit sekitar jam sepuluh malam. Seakan-akan ada jam pembangun di dalam dirinya. Setiap hari mengingatkannya, disetel dengan urut-urutan yang teratur. Dokter pandai itu tidak memperlihatkan kebingungannya. Sedikit pun tidak menunjukkan rasa ketidakmengertian yang selama ini menguasai hati Serge dan Hilda.
Hari itu dokter hanya berkata, “Kalau menurut pemeriksaan luar, tidak ada kesalahan sesuatu pun, Nyonya. Tubuhnya sehat. Dan kata Anda tadi, susu yang harus diminum setiap tiga jam juga disukai.”
“Betul, Dokter. Malahan ada waktu-waktu di mana dia seolah-olah masih menginginkan tambahan.”
“Saya kira jangan diberi karena pertumbuhannya sudah cukup baik. Berat badan cukup buat seorang anak berumur sebulan.”
“Ya. Susternya juga berkata demikian.”
Jadi? Apakah yang harus dikerjakan?
Hilda tidak sabar menunggu. Tetapi dia masih memiliki sedikit keengganan. Sewaktu dokter panjang lebar menerangkan perkembangan bayi yang belum biasa hidup di luar, menerangkan lagi hal lainnya yang tidak begitu ditangkap pengertian Hilda, ibu itu mulai menyesali kedatangannya. Akhirnya, toh tidak ada hasilnya! Seumpama dia bersikeras pergi ke luar negeri, membawa bayi ke dokter di sana, tentulah orang akan segera menemukan penyakit anaknya.
Suara mahaguru yang dianggap pandai oleh banyak orang itu menghilang dari pendengaran Hilda, asyik oleh penyesalan dan lamunannya sendiri. Sampai tiba-tiba keadaan menjadi sunyi kembali. Hilda tertegak. Sebentar dia menyadari bahwa dokter itu menunggu sesuatu.
“Bagaimana, Nyonya?” dokter itu lalu bertanya.
Hilda tidak mengetahui apa yang bagaimana, atau mengapa.
“Maksud Dokter?” tanyanya tergagap.
“Mengenai pemeriksaan darah dan sebagainya.”
Hilda tidak langsung menyahut. Dan dokter itu segera melihat bahwa kawan bicaranya kurang menangkap kehendaknya. Ataupun memang tidak mendengarkannya ketika dia berbicara.
“Menurut pendapat saya, lebih baik diadakan pemeriksaan yang lebih teliti di laboratorium. Harus diperiksa selengkap-lengkapnya, dari darah, air kencing, dan tinja bayi yang pertama di pagi hari jika mungkin. Kita harus melihat apa ada parasit. Di dalam darah juga dicari semua elemen yang menunjukkan data-data atau pengaruh.
“Itu memakan waktu berapa lama, Dokter?”
“Kalau Anda dapat memberikan bahan-bahan pemeriksaan besok pagi, atau sekarang umpamanya, saya akan bisa cepat pula mendapatkan hasilnya.”
Hilda tahu bahwa dokter itu juga seorang peneliti. Sering menghabiskan waktunya “bermain-main” di laboratorium.
“Kalau pemeriksaan itu memberi hasil negatif, baru kita akan mencoba tes neurologi.”
“Mungkinkah otaknya, Dokter?” Hilda tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Saya kira tidak, Nyonya. Ini saya katakan, seumpama tes urine dan darah menunjukkan tidak adanya penyakit apapun juga. Jadi, jangan Anda merasa cemas demikian. Mudah-mudahan tidak ada sesuatu pun yang terlalu gawat.”
“Tapi pasti ada! Kalau tidak, mengapa dia selalu menangis begitu keras setiap malam!”
Suara Hilda yang pasti bukannya menunjukkan keinginan supaya anak itu menderita satu penyakit, melainkan lebih berisi kekesalan.
Anaknya sudah dibawa pamong keluar ke ruang sebelah. Anak kekasih yang ditumbuhkan dalam suasana kekeluargaan yang aneh, cinta bertiga dengan cara yang berlainan. Hilda bukan orang yang taat beribadah. Tetapi sisa-sisa pendidikan yang pernah dikenalnya mengaitkan kepada nama Tuhan di saat-saat keputusasaan, ketakutan. Sekarang inilah dia keras-keras berpikir kepada-Nya. Berbicara penuh suara kesal menghadapi dokter pribumi pengalaman, sehingga dikira akan bisa menolong dia keluar dari kebisingan teratur di malam hari. Menunjukkan jalan mana yang mesti ditempuh agar bayi buah kasih yang tidak pernah diinginkannya itu menjadi manusia normal, tidur tenang sepanjang malam.
Hari-hari berikutnya berupa penungguan yang tidak menenangkan. Mau tak mau, di kala Serge dan Hilda berduaan, percakapan sampai ke analisa laboratorium. Dan itu memakan waktu pula karena diperlukan minimal berupa puluhan jam untuk mengetahui adanya kelainan yang membahayakan hidup anak itu.
Sudah menjadi kebiasaan Serge untuk memikirkan apa yang harus dikerjakan seandainya bayi menderita sesuatu penyakit hebat. Lebih baik pikiran disiapkan untuk menerima kabar buruk daripada berita baik. Karena yang terakhir itu pun seandainya terucapkan oleh dokter, mereka harus mencoba pemeriksaan lain, dokter lain maupun cara dan negeri lain. Jadi itu juga memerlukan rencana. Serge menyediakan beberapa rancangan seteliti mungkin. Hilda tidak banyak berbicara. Mendengar dan meng-iya-kan. Dia sendiri tidak sadar, ke mana sebenarnya pikirannya sering melayang. Ke Bruno? Ataukah ke anaknya? Barangkali ke keduanya?
Tetapi dia juga berpikir kepada Serge, suaminya. Keberuntungan manakah yang mempertemukannya dengan lelaki ini? Pertalian yang mereka miliki semakin erat dengan lahirnya bayi penangis, pengacau ketenteraman, perusak ketenangan malam-malam santai mereka. Dapat dikatakan anak dosa. Ataukah karena itu maka dia tidak normal? Jasmaniah tampak sempurna, barangkali urat sarafnya terganggu?
Untuk semuanya itu Serge tekun merencanakan jalan keluarnya. Tak satu kali pun terucapkan kata-kata sesalan, tuduhan maupun sejenisnya. Dia adalah penunjuk jalan. Hilda menyerahkan tangan ke dalam genggaman suami itu untuk dibimbing ke mana pun arah yang pantas supaya sampai ke tujuan sesempurna mungkin. Ada laki-laki demikian. Ada laki-laki yang memaafkan. Kalaupun manusianya masih menyimpan sekelumit kehitaman di dalam hati, itu tidaklah diperlihatkannya. Karena didikan mengatakan untuk berbuat begitu. Karena kesopanan mengharuskan untuk tidak memberi manusia di depannya dengan tambahan kritik atau celaan.
Ya. Pikiran Hilda malahan lebih banyak terarah kepada Serge, ke nasib baik dirinya karena pernah menyetujui lamaran lelaki itu. Segala, atau hampir segala kepuasan pernah dirasakannya. Pendek kata, Hilda hidup wajar terpenuhi segala keinginannya. Sekarang dia ingin supaya bayinya sehat, dan hidup menuruti alur waktu yang umum dianut. Artinya, jam sepuluh malam, seorang bayi harus tidur nyenyak.
Banyak pengalaman yang telah Hilda lupakan. Yang buruk maupun yang baik. Tetapi ada beberapa yang tercantel di benaknya. Terselip di belakang kepala, tak akan tertanggalkan. Yang terjadi di siang kemarin akan merupakan mimpi buruk yang tidak mudah hilang dari pikirannya.
Waktu itu dia mengambil hasil pemeriksaan anaknya. Bersalaman dengan dokter, dipersilakan duduk, hati wanita itu tidak mengharapkan sesuatu jawaban pun. Atau tanda-tanda apa pun yang bisa ditemukan. Anggapannya terhadap dokter dan laboratorium negeri itu sudah dipastikan sejak semula: tidak akan bisa menemukan sebab-sebab kerewelan bayinya.
Jadi, Hilda bersikap sesantai mungkin. Kegugupan hari-hari terakhir itu hanya terlihat jika dia duduk di ruang tamu di tempat kenalan sesama diplomat atau di rumahnya sendiri. Karena pada waktu itu tangannya tidak pernah kosong, selalu ada gelas berisi wiski. Sejumlah berapa pun, kalau bisa, hendak diteruskan diminum sepanjang hari.
Sekarang dia duduk berhadapan dengan mahaguru terkenal, di dalam kamar yang sempit dan panas. Tanpa suguhan sesuatu pun. Dokter itu juga kelihatan bersikap biasa. Tak ada tanda-tanda kegawatan yang menyebabkan kehadiran Hilda di sana. Basa-basi, dari percakapan satu ke kabar lain, lalu tiba-tiba keduanya sepi, sampai pada titik kediaman yang hampir membekukan. Tapi hanya sebentar.
Dokter itu bisa dan tahu menyelamatkan pertemuan yang dimaksudkan tidak resmi. Dia mencoba menatap wajah wanita di hadapannya, mengamati semua garis pengucapan yang ada di sana sambil terus bercakap-cakap. Mata di balik kaca tebal itu jelas menyembunyikan kehendak tertentu.
Setelah dia mengira tiba waktunya, dokter menundukkan kepala, melihat ke kertas di atas meja. Katanya perlahan, “Anak Anda akan dapat sembuh dari kebiasaannya menangis setiap malam. Tetapi dia harus menjalani perawatan yang lama dan teliti.”
Itu biasa. Itu normal. Siapa pun yang sakit bisa diobati jika memang ada obatnya. Jika ada biaya buat perawatan. Yang ingin Hilda ketahui ialah apa penyakit bayi itu.
“Sakit apa anak saya, Dokter?”
Dokter tidak segera menjawab. Matanya tetap tertanam pada kertas di depannya. Lalu, “Dalam tubuhnya mengalir darah yang mengandung beberapa persen opium bercampur alkohol. Yang terakhir tidak begitu penting persentasenya dan kurang mengganggu. Tetapi opium itulah yang mengganggu, merusak. Jadi, dia menangis setiap malam pada jam-jam di waktu mana ibu yang mengandungnya biasa mengisap candu.”
Hilda tidak bersuara, terhenyak di tempat duduknya.
Madat. Bayi yang belum dua bulan itu madat. Tanpa dikehendaki, ia adalah pengisap candu.
Udara di dalam kamar itu tiba-tiba menjadi semakin pengap. Menyesakkan napas. Dokter mengusap keringat di dahi dan leher. Dua kali sudah bingkai logam ditanggalkan untuk dihapus. Ada keengganan yang ketat, kaku, yang mengawang di antara dua pembicara itu.
Dokter tidak menatap Hilda lagi. Tetapi dia menjalankan kewajibannya, dan akan terus berbicara sampai selesai. Meskipun harus menyinggung rasa malu maupun rasa kehormatan istri seorang konsul. Dia menjelaskan mekanis jalannya alat-alat pencernaan serta pernapasan anak yang berada dalam perut ibunya. Seorang perempuan yang mengandung, berarti dia makan, minum, dan mengisap udara buat si bayi juga. Baik itu berupa air, kopi, alkohol, dan rokok sekalipun. Dia tidak menyebutkan candu. Seakan-akan perkataan itu adalah kata terlarang. Tabu yang ditakuti. Karena pada waktu itu, pemakaian narkoba belum merajalela di kalangan kaum muda seperti dua puluh tahun kemudian. Sehingga persoalan itu bisa dibicarakan dengan cara terus terang. Sehingga sebutan candu, heroin, mariyuana atau sejenisnya yang lain tidak menimbulkan reaksi ketidaksopanan bagi si pembicara. Karena pada waktu itu diperdagangkan sangat terbatas. Belum ada penyelundupan besar-besaran.
Hilda pulang. Pikirannya penuh, kusut tak teruraikan. Sampai di rumah, dicium dan ditimang bayinya, rantai penghubung antara Bruno dan dirinya. Kenangan cinta yang ditemukan di masa-masa kematangannya. Dan yang kini menjadi anak Serge, suami dermawan berhati luas. Bayi ini madat. Ketagihan, setiap malam dia menangis mendambakan rasa yang selama sembilan bulan menjadi bagian rutin kehidupannya di dalam kandungan.
Berita semacam itu tidak akan bisa disekap.
Langsung dia telepon Serge di kantor, dia pulang secepat mungkin. Berdua makan siang. Tetapi Hilda hanya bisa menelan dua iris kentang.
Sore, tiba-tiba Hilda menghilang.
Serge keluar dari kamar buku untuk mencarinya. Hilda tidak di rumah. Serge menunggu hingga petang. Barulah dia menelepon kenalan-kenalan dari kedutaan lain dan istri-istri pejabat yang namanya biasa disebut Hilda. Semua menyahut tidak menerima kunjungan Hilda.
Serge segera pergi ke hotel-hotel yang bertaraf internasional. Dia langsung masuk ke bar dan restoran di sana.
Tetapi Hilda tidak tertemukan. Karena Hilda membawa mobil sendiri, Serge berpikir barangkali istrinya ke luar kota, minum-minum di hotel atau rumah makan di pegunungan. Bahkan barangkali sampai ke kota lain. Di sana Hilda juga mempunyai kenalan. Tetapi Serge tidak tahu nomor telepon mereka.
Malam pukul sepuluh, seperti biasa bayi menangis.
Hilda belum juga pulang. Suami mulai cemas, memikirkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Dia segera menelepon kenalan dari Kementerian Luar Negeri. Dia ceritakan bahwa Hilda menerima berita buruk siang tadi sehingga menyebabkan dia menghilang, sampai malam itu belum pulang. Dia khawatir istrinya menderita pukulan rohaniah yang dahsyat sampai berbuat sesuatu yang tidak diinginkan.
Kenalan itu berjanji akan menghubungi semua bagian yang diketahui akan bisa membantu. Dia juga mengusulkan Serge untuk selalu siap. Karena siapa tahu harus berangkat sewaktu-waktu ke rumah sakit atau ke mana pun, hal yang diharapkannya tidak akan terjadi.
*
Pagi itu pukul setengah lima Serge ditelepon oleh kantor polisi. Hilda ditemukan tanpa pakaian selembar pun di bagian kota lama, daerah Pecinan, mabok berkeliaran bagaikan orang kehilangan akal. Tepat seperti perkiraan suaminya, malam kemarin Hilda menenggelamkan kekagetannya ke dalam botol minuman keras. Dari restoran satu ke bar lain di hotel-hotel megah yang ada di ibu kota negeri itu.
Akhirnya, terdampar di daerah perkampungan Cina. Mengenang dan memikirkan pengenalannya dengan Bruno, cinta akhir yang diteguhinya. Yang memberinya hasil seorang bayi dan diambil anak oleh suaminya. Dia hendak melupakan sekadar semalaman kesalahan yang telah terjadi.
Tetapi untuk pertama kalinya sejak dia menjadi budak alkohol, dia tidak bisa lupa. Tangis anaknya selalu terdengar, bising menyeluruhi rongga kepala dan dadanya. Minuman yang turun ke tenggorokan dan menguasai urat saraf, mencapai otak, tidak merangsang dan membikinnya sigap dan gembira seperti sedia kala. Sebaliknya, Hilda malahan menjadi sedih, murung, dan kepanasan. Satu demi satu baju ditanggalkan.
Mobil entah ditinggal di mana, dia berjalan kaki berdandankan pakaian Hawa sambil memandangi langit. Atap-atap kelenteng dan bangunan Tionghoa kadang-kadang menyadarkan dia kepada kenyataan dunia, terbentuk di dataran angkasa. Lalu dia menyebut nama kekasihnya, nama anaknya, dan nama suaminya sekalian. Semua itu menjadi kesatuan yang dia miliki. Barangkali yang dia sakiti dan dia bikin menderita.
*
Masih sayup-sayup antara sadar dan pengaruh alkohol, Hilda membuka perlahan pelapukan matanya.
“Bagaimana kau? Merasa lebih baik?” suara Serge perlahan terdengar.
Hilda hanya mengangguk perlahan.
“Kau akan mandi air panas. Sesudah itu semua akan menjadi lebih baik. Semuanya baik-baik. Kau lihat sajalah nanti!” kata Serge lagi.
Hilda merasakan tangan suaminya hangat menyentuh tangannya sendiri.
Memang benar kata Serge. Dia sebaiknya pulang ke Eropa. Di sana bayi akan dirawat di rumah sakit spesial untuk orang-orang yang kecanduan. Hilda akan menyertainya dan menjalani perawatan yang sama.
Siapa tahu, hidup akan tampak lebih cerah sesudahnya.[]
[Dinukil dari: Nh Dini, Istri Konsul: Kumpulan Cerita Pendek, (Bandung: Pustaka Jaya), 2014, hal. 9-38]
[Sumber foto: Koran Tempo]