Film anyar Charlie Kaufman ini membingungkan. Tapi, ia membuka bagi kita dunia interteks yang demikian luas: lukisan, puisi, drama, dan film.
CHARLIE Kaufman gila! Kata lebih tepat untuk itu sebenarnya out of mind (yang dalam bahasa Indonesia ya memang gila). Film terbarunya I’m Thinking of Ending Things membingungkan, sulit dipahami. Saya harus menontonnya tiga kali untuk setidaknya sampai pada beberapa kesimpulan “sok tahu”.
Sebelum ini, saya telah menyaksikan dua film yang skenarionya Kaufman tulis: Being John Malkovich (1999) dan Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004). Ketiganya—I’m thinking ditulis sekaligus disutradarai Kaufman—sama-sama sulit dimengerti.
Dalam ketiga film itu, Kaufman mempermainkan realitas. Dia sepertinya berpikir, kenapa film harus menceritakan realitas. Kalau ingin mengetahui realitas, bukankah kita tak perlu menonton film? Kita cukup menyaksikan siaran berita atau membaca koran, bukan?
Film adalah imajinasi, fiksi. Jadi, gunakan media ini untuk berimajinasi dan berfantasi seliar mungkin! Kira-kira begitu pikiran Kaufman. Sekeras-keras upaya sineas membuat filmnya tampak riil, filmnya tetap akan dianggap cuma reproduksi atas realitas.
Kaufman juga doyan mengulik sisi-dalam manusia: suara-suara yang berbisik dalam jiwa dan memori manusia. Sesuatu yang teramat personal tapi diam-diam universal. Hanya, manusia resistan untuk mengungkapkannya kepada manusia lain.
- Judul Film: I’m Thinking of Ending Things
- Sutradara: Charlie Kaufman
- Penulis: Charlie Kaufman
- Pemain: Jesse Plemons, Jessie Buckley, Toni Collette, David Thewlis
- Rilis: 4 September 2020 (Netflix)
- Durasi: 134 menit
Dua hal di atas membuat tiga film Kaufman tersebut sulit saya ikuti. Dalam I’m Thinking, terdapat dua adegan panjang di dalam mobil dengan sudut kamera terbatas. Jujur, saya sempat mengantuk menyaksikan adegan ini.
Adegan itu sebenarnya tak membosankan. Akting Jesse Plemon dan Jessie Buckley berhasil menggambarkan kompleksitas hubungan sepasang kekasih. Dialog keduanya juga sangat filosofis. Persoalannya, adegan itu terlalu panjang dan melelahkan.
Ada film yang hanya menghibur. Setelah menontonnya, kita akan merasa senang meskipun tema dan cara bertuturnya klise. Ada pula film yang bisa menghibur sekaligus memberi asupan kepada pikiran dan jiwa. Kita akan merasa senang sekaligus merenung.
Tapi, ada jenis film yang ogah menghibur dan malah membuat kita depresi dan bingung. Saya bisa memastikan I’m Thinking adalah jenis film yang satu ini.
Kita biasanya mengabaikan film jenis terakhir, seperti yang saya lakukan di awal. Tapi, ia seakan terus menggoda kita. Dan uniknya setiap kali kita menyaksikannya, ada saja hal baru yang kita dapatkan. Jenis film seperti ini seperti terus hidup dalam proses pemaknaan kita.
Dari banyak hal yang bisa diulas dari I’m Thinking, ada satu kualitas yang memikat perhatian saya—setelah menyaksikannya tiga kali tanpa berupaya membaca novel berjudul sama karya Iain Reid yang menjadi inspirasi film ini. Kualitas itu adalah teknik intertekstualitas yang digunakan Kaufman, baik antarteks di dalam film itu sendiri maupun dengan teks lain di luar film.
Intertekstualitas dalam film ini mengantarkan kita kepada dunia teks yang amat luas, baik itu berupa lukisan, puisi, drama, dan film. Ia juga bisa membantu kita memahami film ini.
Di menit-menit awal, kita dibawa ke dalam pikiran Lucy atau Louissa atau siapa pun namanya (Jessie Buckley). Ia mengajak kita menjelajahi sudut demi sudut sebuah rumah.
Lalu tampak sebuah lukisan: Wanderer above the Sea of Fog (1818) karya pelukis Jerman Caspar David Friedrich. Lukisan ini sangat terkenal, terutama karena sering dijadikan contoh masterpiece di era Romantisisme.
Banyak yang menafsirkan lukisan itu menggambarkan ketidakpastian akan masa depan karena sosok pria di dalamnya memandang ke arah lautan kabut. “Aneh, aku merasa bernostalgia,” kata pikiran Lucy saat kamera menyorot lukisan itu.
Nostalgia adalah kerinduan seseorang akan sebuah memori jauh di masa lalu. Kerinduan kepada asal usul: keluarga, rumah, kampung halaman.
Sebuah lukisan tentang ketidakpastian masa depan dan nostalgia masa lalu menjadi pembuka misterius film ini.
Di tengah film, persoalan lukisan menjadi perdebatan antara ayah Jake (David Thewlis) dengan Lucy, yang menurut Jake (Jesse Plemon) berprofesi sebagai pelukis.
Lucy, atau siapa pun namanya, berganti-ganti bidang keilmuan dan profesi di sepanjang film. Dia disebut belajar rabies; dia penyair; dia belajar fisika kuantum; dia pelukis; dan dia belajar penuaan pada manusia. Karakter Lucy adalah satu contoh bagaimana Kaufman bermain-main dengan realitas. Nama karakter ini dan profesinya berubah-ubah tanpa satu pun karakter lain merasa heran.
Kembali ke soal lukisan. Lucy melukis lanskap tanpa sosok manusia untuk mengekspresikan perasaan. Ayah Jake mendebatnya. Bagaimana mungkin lukisan pemandangan tanpa sosok manusia bisa menggambarkan perasaan pelukisnya? Ketika mengomentari lukisannya sendiri, Friedrich pernah berkata, “Seniman seharusnya tak hanya melukis apa yang ada di hadapannya tapi juga melihat apa yang ada di dalam dirinya.”
Di sini, saya memandang Kaufman meletakkan Wanderer above the Sea of Fog dalam adegan filmnya bukan tanpa maksud. Seakan ada pernyataan bahwa kita harus mengungkap apa yang kita rasakan dan pikirkan. Apa pun itu.
Persoalan lukisan makin intens. Di ruang bawah tanah rumah orang tua Jake, Lucy menemukan barisan poster lukisan lanskap karya pelukis romantis Ralph Albert Blakelock. Anehnya lukisan pada poster itu identik dengan karya Lucy yang ia tunjukkan fotonya kepada ayah Jake. Di bawah poster-poster itu, Lucy juga mendapati lukisan karya Jake yang berupaya meniru lukisan Blakelock.
Di titik ini, saya makin yakin bahwa Lucy, atau siapa pun namanya, tak lain adalah Jake versi wanita. Lucy adalah imajinasi Jake.
Petunjuk ke arah itu sebenarnya telah ditebar Kaufman sejak awal film. Dalam perjalanan ke rumah orang tua Jake, di dalam mobil, Lucy membacakan puisi karyanya, “Bonedog”. Lalu di rumah orang tua Jake, di kamar masa kecil Jake, Lucy menemukan buku kumpulan puisi Rotten Perfect Mouth (2015) karya Eva HD. Buku itu terbuka pada halaman tertentu. Ketika membalik buku itu, Lucy mendapati puisi “Bonedog”.
Ketika pertama kali kita tahu nama perempuan muda itu adalah Lucy, Lucy tiba-tiba menerima telepon dari Lucy. Kemudian, saat melihat foto Jake kecil pada bingkai di dinding, Lucy bahkan seperti melihat dirinya sendiri dalam foto tersebut.
Kaufman juga menggunakan intertekstualitas untuk menjelaskan hubungan petugas kebersihan (Guy Boyd) dalam film ini. Si petugas kebersihan tampil dalam adegan-adegan yang menyela plot utama.
Di dalam mobil, Jake menyetel radio. “Many A New Day” terdengar dari radio. Lagu ini merupakan bagian dari drama musikal Oklahoma! sebagaimana dijelaskan Jake. Adegan kemudian berpindah ke sekolah di mana si petugas kebersihan menyaksikan drama yang sama.
Dalam adegan di gerai es krim, Jake tak mau memesan es krim dan meminta Lucy melakukannya. Dia tampaknya mengenal para pelayan gerai dan tak ingin menemui mereka.
Tiga pelayan wanita kemudian muncul. Kita tahu bahwa ketiganya adalah murid-murid di sekolah tempat si petugas kebersihan bekerja. Dua di antaranya terlihat mengolok-olok orang tua itu sementara satu lainnya digambarkan sebagai gadis pemalu.
Lalu di bagian akhir film, si petugas kebersihan berhalusinasi mengikuti seekor babi dalam bentuk animasi. Babi itu digerogoti belatung hidup-hidup. Babi itu bernasib sama dengan babi yang Jake kisahkan kepada Lucy di peternakan orang tuanya.
Jadi, si petugas kebersihan itu tak lain adalah Jake versi tua. Dialah juga yang suaranya terdengar tiap kali Lucy menjawab panggilan telepon.
Alhasil, saya menduga baik si petugas kebersihan maupun Lucy adalah imajinasi Jake. Dugaan lain, Jake versi tua (si petugas kebersihan) mengimajinasikan Lucy (Jake versi wanita) dan Jake versi muda. Jika mempertimbangkan sekuen waktu, maka dugaan kedualah yang paling mungkin.
Jika demikian, persoalannya adalah mengapa Lucy (Jake versi wanita) selalu memendam hasrat untuk berpisah dari Jake versi muda? Suara dalam pikiran Lucy selalu mengatakan bahwa ia ingin mengakhiri segalanya (I’m thinking of ending things). Tapi, pikiran ini tak pernah terucap hingga akhir film. Suara itu sebenarnya juga didengar samar-samar oleh Jake versi muda karena kedua karakter ini sebenarnya satu: Jake.
Persoalan lain, mengapa pula Jake versi tua kemudian digambarkan membunuh Jake versi muda dalam adegan halusinasi tarian balet?
Tampaknya, dua versi Jake (versi tua dan wanita) ingin mengakhiri hidup atau berpisah dari Jake versi muda. Kedua versi Jake itu seperti membenci Jake versi muda yang canggung dan membosankan.
Jake versi muda adalah kehidupan yang tak diinginkan Jake. Jake mendamba kehidupan dua versi lainnya. Tapi, itu tak mungkin sebab waktu telah berlalu, dan tak mungkin diputar.
Jake di masa kini—dalam realitas—hanyalah seorang tua penjaga sekolah. Sendiri dan kesepian. Tak ada yang memperhatikannya. Bahkan, tak seorang pun menganggapnya ada. Kalaupun ada, itu cuma dua anak sekolah yang mengolok-oloknya.
Ia dulu mungkin seorang yang berbakat dan cerdas: mempelajari banyak disiplin ilmu, kutu buku, serta menggemari sastra dan seni. Tapi, potensi-potensi itu tak mewujud. Ia pun gagal memikat seorang gadis karena tak berani mengatakan keinginannya.
Jake versi muda adalah simbol Jake yang riil; Jake yang gagal dalam hidup, termasuk dalam hubungan dengan orang tuanya. Jake versi wanita (Lucy) adalah Jake yang ideal dan tipe wanita yang ia inginkan—cerdas, terus terang, dan idealis—tapi tak akan pernah ia dapatkan.
I’m Thinking of Ending Things adalah film tentang Jake dan imajinasi serta pikirannya. Ia imajinasi tentang imajinasi. Seperti kata Jake kepada Jake versi Lucy, “Terkadang pikiran lebih mendekati kebenaran, realitas, daripada tindakan. Kau bisa berkata atau berbuat apa pun tapi tidak bisa memalsukan pikiran.”
Dengan kutipan itu, Kaufman seperti ingin mengatakan kepada kita, katakan apa yang kita pikirkan! Temukan suara kita sendiri dalam tindakan kita, dan bukan suara orang lain atau pikiran kita tentang suara orang lain.
Itulah yang tak terjadi pada Jake. Ia adalah cermin dari pikirannya tentang apa yang orang lain pikirkan, dan bukan cermin dari pikirannya tentang dirinya sendiri. Ia tak pernah bisa menemukan suaranya sendiri karena terperangkap dalam apa yang dia pikirkan tentang apa yang orang lain pikirkan tentang dia: mungkin itu penampilan yang canggung, wajahnya yang biasa-biasanya, atau orang tuanya yang aneh.[]