JELAJAH LITERASI

“Cannery Row”: Pesta Kecil Kaum Kusam

in Fiksi by

John Steinbeck merajut cerita persahabatan orang-orang malang dalam Cannery Row. Para gelandangan, pedagang kecil, pekerja seks, dan seorang ahli biologi yang kesepian—mungkin bukan suatu komunitas ideal, tapi di sinilah kemanusiaan tumbuh semerbak.

UPAYA penerjemahan karya besar pengarang-pengarang asing perlu diapresiasi meskipun mungkin secara bisnis tak menguntungkan. Bagi pengarang, atau Anda yang beraspirasi menjadi pengarang, karya itu bisa menjadi inspirasi. Bagaimana seorang pengarang bisa menghasilkan karya yang menginspirasi jutaan orang? Bagaimana karya itu terus dibicarakan sementara pengarangnya telah berkalang tanah? Bagi kita, para pembaca, karya itu bisa membawa pikiran kita mengembara ke tempat-tempat yang tak akan pernah tercantum dalam brosur-brosur pariwisata. Ya, siapa yang mau mengunjungi Cannery Row dalam novel John Steinbeck Cannery Row? Sebuah kampung pinggir laut yang kumuh, bau anyir, serba karatan, dan disesaki orang-orang kusam: gelandangan, pedagang kecil, dan para pekerja seks—meskipun latar cerita novel ini, yang kini benar-benar dinamai Cannery Row, sekarang dijadikan destinasi wisata. Lebih daripada itu, karya seperti Cannery Row bisa membuka cakrawala berpikir kita kepada budaya hidup dan cara pandang orang serta bangsa lain. Bukankah dalam hidup kita niscaya harus saling mengenal dan memahami yang lain?

Terjemahan Cannery Row diterbitkan Penerbit Bentang pada 2017. Penerjemahnya Eka Kurniawan, pengarang yang disebut sebagai “bintang terang” dalam kesusastraan Indonesia saat ini. Dalam tulisannya di The Guardian, Eka menyatakan novel yang pertama kali terbit di Amerika Serikat pada 1945 itu adalah karya pengarang asing paling berpengaruh dalam kepengarangannya. Melalui Cannery Row, Eka mulai mengenal cara bertutur lain dalam kesusastraan—sesuatu yang sama sekali berbeda dari yang pernah ia baca dalam cerita-cerita silat dan horor. Karena ingin mengetahui bagaimana Steinbeck merajut cerita ini, Eka memutuskan menerjemahkannya—penerjemahan ia akui sebagai salah satu caranya belajar mengarang selain mendaur ulang karya asing ke dalam bahasa Indonesia. Eka menerjemahkan Cannery Row pada tahun pertama kuliahnya di Yogyakarta. Ketika Penerbit Bentang memperoleh hak penerjemahan novel ini dan meminta Eka menerjemahkannya, dia mengatakan harus menyunting ulang nyaris seluruh penerjemahan awal.

  • Judul Buku: Cannery Row
  • Penulis: John Steinbeck
  • Penerjemah: Eka Kurniawan
  • Penerbit: Bentang
  • Terbit: 2017
  • Tebal: 235 halaman

Tanpa membandingkan kata per kata dan kalimat per kalimat dengan novel aslinya, hasil terjemahan Eka pada enam bagian pertama terasa tersendat-sendat dalam memantik imajinasi saya layaknya streaming video yang mengalami buffering. Saya menduga ini karena, pada enam bagian ini, Steinbeck melukiskan latar ceritanya—sebuah kampung pinggir laut di Monterey, California—dengan detail mengagumkan. Dia tak hanya melukiskan alam kampung yang dijejali pabrik-pabrik pengalengan sarden itu, tapi juga benda-benda khasnya, binatang-binatangnya, dan tentu saja tingkah polah orang-orangnya. Eka bisa jadi berjibaku mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia pada bagian-bagian ini. Tapi, pada 26 bagian sisanya, hasil terjemahan Eka menari-nari lincah di kepala saya.

Cannery Row dipandang kritikus bukan karya terbaik Steinbeck. Puncak kepengarangan peraih Nobel Sastra 1962 itu adalah The Grapes of Wrath (1939)—yang sekaligus memenangi hadiah Pulitzer untuk fiksi. Novel yang mengisahkan keluarga buruh tani di masa Depresi Besar itu bahkan menjadi kanon literatur Barat dan diajarkan di kelas-kelas sekolah menengah di Amerika.

Namun demikian, Cannery Row bisa dibilang karya Steinbeck yang paling dicintai, terutama tentu saja oleh penduduk Monterey. Bersama Robert Louis Stevenson (pengarang Strange Case of Dr Jekyll and Mr Hyde), Steinbeck menjadikan kota di pesisir pantai Pasifik ini menjadi salah satu lokasi bersejarah dalam kesusastraan Amerika. Jika nama Harper Lee (To Kill a Mockingbird) sulit disapih dari Monroeville di Alabama, demikian pulalah hubungan Steinbeck dan Monterey.

Meskipun sebagian besar garis waktunya linier, Cannery Row uniknya tidak memiliki jalinan cerita yang kronologis. Setiap karakter memiliki kisahnya masing-masing, yang disajikan Steinbeck secara berganti-ganti. Dia bahkan menyisipkan bagian-bagian yang hampir bisa dikatakan tak berkaitan dengan cerita utamanya. Misalnya, cerita tentang Josh Billings, seorang pengarang yang mati di Monterey lalu isi perut jenazahnya dibuang seorang dokter—sekaligus pengurus mayat—ke selokan. Seorang anak kecil dan seekor anjing kemudian menggondol isi perut itu ke arah pantai untuk dijadikan umpan memancing.

Anda akan tahu bahwa bagian ini bisa Anda lewatkan tanpa kehilangan konteks cerita utamanya. Tapi, Anda tetap akan menyadari bahwa cerita Josh Billings ini tetap menarik. Anda akan lebih terkejut jika mengetahui bahwa Josh Billings adalah figur di dunia nyata. Dia nama pena dari pengarang Amerika Henry Shaw, yang meninggal dunia di Monterey pada 1885. Steinbeck tampaknya menuliskan cerita itu sebagai penghormatan kepada Henry Shaw, dan kepada Monterey dengan warisan kesusastraannya.

Jadi, ketika Anda mulai membaca novel ini, saya menyarankan Anda untuk bersabar dan tetap membacanya hingga separuh isinya. Di titik ini, Anda akan mulai tenggelam dalam penuturan Steinbeck. Lalu Anda akan mulai terkagum-kagum dengan kelucuan subtil dan ketajaman persepsi sosial sang pengarang. Anda akan mulai merasa menjadi bagian dari warga Cannery Row, membayangkan diri Anda di sana bersama Mack dan “anak-anaknya”, Dora Flood dan “gadis-gadisnya”, Lee Chong dengan segala kalkulasinya yang rigid dalam mengelola toko, dan Doc dengan kebijaksanaan dan kebaikan hatinya. Anda kemudian akan merasakan betapa hidup bahagia itu tak serumit yang kita pikirkan; tak seabstrak yang kita impikan. Kebahagiaan itu simpel, nyata, dan dekat. Ia seintim dan setulus hubungan kita dengan pasangan, tetangga, dan sahabat.

Steinbeck merumuskan kebahagiaan melalui kumpulan orang kusam nan malang serta pesta—sebuah kombinasi yang sangat tak lazim. Seberapa kuatnya kita menolak persepsi klise bahwa uang bisa mendatangkan kebahagiaan, kita akan selalu berpikir, bagaimana bisa lima gelandangan “tanpa keluarga”, “tanpa uang”, dan “tanpa ambisi” hidup ceria dan masih sempat-sempatnya berpikir membuat pesta untuk sahabat mereka. Niat Mack, Hazel, Eddie, Hughie, dan Jones menggelar pesta untuk Doc menjadi pusat penceritaan novel ini. Dari niat ini, kita tahu bahwa orang-orang kusam itu sangat menghargai kebaikan seseorang. Meskipun tak memiliki apa pun untuk membalasnya, mereka akan berupaya memberi yang terbaik yang mereka miliki untuk orang tersebut. Mereka saling membantu bukan hanya untuk mengadakan pesta bagi Doc, tapi bahkan di saat-saat sulit sekalipun. Dan orang-orang ini cuma gelandangan yang tinggal di bekas gudang yang mereka beri nama Palace Flophouse and Grill; para pekerja seks di Bear Flag Restaurant yang dikelola Dora Flood, pasangan suami-istri Malloy yang tinggal di bekas ketel uap, seorang pedagang kecil keturunan Tionghoa, dan tukang pukul kulit hitam. Mereka menganggap Doc, seorang ahli biologi kelautan yang menjual binatang-binatang di Western Biological Laboratory, sebagai tiang penyangga komunitas mereka, tapi Doc malah menganggap merekalah pahlawan baginya. Ya, protagonis dalam novel ini adalah setiap orang di Cannery Row.

Melalui Cannery Row, Steinbeck memberi tahu kita bahwa tonggak kebahagiaan dalam kehidupan ini adalah kebersamaan: sebuah komunitas. Betapa pun beratnya beban hidup ini, jika berada dalam sebuah komunitas sejati dan tulus, kita tak akan pernah merasa kesepian dan menderita. Komunitas di Cannery Row tidak terbangun berdasarkan ikatan materiel, ideologi, atau keagamaan. Ia terbangun karena kebaikan dan penghormatan. Orang-orang seperti apa pun bisa hidup bahagia dalam komunitas ini karena mereka tak akan dinilai berdasarkan latar belakang sosial atau pekerjaan mereka. Di sini, Steinbeck seperti ingin mengatakan bahwa baik-buruk bukanlah perkara status atau identitas sosial seseorang, tapi kebaikan apa yang orang itu berikan kepada orang lain dan masyarakat.

Doc yang penyendiri—dan kadang bertingkah aneh—tetap dicintai karena setiap orang tahu mereka selalu bisa meminta bantuan kepadanya. Mack dan kawanannya yang cuma gembel tetap disapa selayaknya manusia karena mereka tahu para penghuni Palace Flophouse itu punya ketulusan tak tertandingi untuk membantu siapa pun. Suatu waktu Doc berkata tentang Mack dan “anak-anaknya”: “Lihat mereka. Itulah filsuf-filsufmu yang sebenarnya…Kupikir mereka bertahan hidup di dunia yang tak biasa ini lebih baik daripada orang lain. Pada waktu orang-orang mencabik-cabik diri mereka menjadi serpihan-serpihan dengan ambisi dan kegamangan serta iri hati, mereka hidup santai. Semua yang biasa kita anggap orang sukses adalah orang-orang yang sakit, dengan perut jelek, dan jiwa buruk, tetapi Mack dan anak-anaknya itu sehat dan bersih secara ajaib. Mereka bisa melakukan apa yang mereka inginkan. Mereka bisa memuaskan selera mereka tanpa meminta hal yang lain.”

Lalu, ada Dora dan para gadisnya yang tak dianggap sebagai sampah masyarakat hanya karena mereka bisa tidur dengan siapa pun demi tiga dolar. Mereka tetap disapa dengan sopan karena orang-orang tahu para penghuni Bear Flag itu rela membantu warga ketika wabah kelaparan dan flu datang dengan memasakkan dan mengantarkan makanan ke rumah-rumah.

Namun, Steinbeck tidak menggambarkan semua itu sebagai utopia. Masalah dan perselisihan tetap terjadi dalam komunitas kecil itu. Cannery Row bak ombak di pantai Pasifik. Ia tetap mengalami pasang naik dan pasang surutnya.

Pada akhirnya, ada satu kutipan yang saya suka dari novel ini, yang bagi saya mewakili keseluruhan pesan yang ingin disampaikan Steinbeck. Doc berkata, “Selalu tampak aneh buatku. Hal-hal yang kita kagumi dari orang-orang, keramahan dan kemurahan hati, keterbukaan dan kejujuran, pengertian dan pemahaman merupakan kebersamaan yang salah dari sistem kita. Dan, sifat-sifat yang kita benci itu, ketajaman, ketamakan, keserakahan, kepicikan, kesombongan, dan cuma memperhatikan diri sendiri merupakan sifat-sifat keberhasilan. Sementara itu, orang-orang mengagumi kualitas dari sifat-sifat pertama, mereka mencintai hasil dari yang kedua.”[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Fiksi

Go to Top