JELAJAH LITERASI

Mengapa Orang Menulis?

in Bukupedia by

Esai Alice Adams

Menulis itu melelahkan, dan hasilnya tak memberi jaminan kekayaan dan ketenaran. Lalu, kenapa masih saja ada orang-orang yang tetap melakukan ini? Novelis Inggris, Alice Adams, memberi jawabannya dalam artikel inspiratif ini.

Semua penulis itu sia-sia, egois, dan malas, dan di dalam motif paling dasar mereka ada misteri. Menulis buku adalah perjuangan mengerikan, melelahkan, seperti pertarungan panjang melawan penyakit yang menyakitkan. Seseorang tidak akan pernah melakukan hal seperti itu jika tidak didorong oleh semacam iblis yang tidak dapat ditolak atau dimengerti.

~ George Orwell, “Why I Write”, 1946

MENGARANG novel adalah proses menyakitkan dan berdarah yang merenggut seluruh waktu luang Anda, menghantui Anda pada saat-saat tergelap di malam hari dan umumnya berakhir pada banyak tangisan karena tumpukan surat penolakan yang terus berdatangan. Setiap pengarang harus melalui ini, setidaknya sekali dan dalam beberapa kasus berkali-kali sebelum karyanya diterbitkan, dan karena penerbitan karyanya itu sendiri tidak memberi jaminan kekayaan atau ketenaran, wajarlah jika kita bertanya, orang macam apakah yang mau mengorbankan dirinya untuk hal seperti itu?

Jawaban awal saya sendiri mirip dengan Orwell. Dia adalah seseorang yang cukup diganggu oleh dorongan untuk melakukannya sehingga tidak punya pilihan lain. Saya pernah berpikir untuk menyerah jutaan kali sebelum menyelesaikan novel saya. Saya ingin menyerah, untuk merebut kembali hidup saya dari si iblis, tetapi setiap kali mencobanya, saya menemukan kesimpulan yang tak terhindarkan bahwa, bagi saya, satu-satunya hal yang lebih buruk daripada seumur hidup menjadi budak dalam ketidakjelasan yang tidak dihargai (itulah hasil paling mungkin pada saat itu) adalah menjalani kehidupan tanpa pernah menulis.

Saya tidak bercita-cita menjadi penulis. Ketika saya kecil, menjadi novelis tampak seperti karir paling mulia tetapi seperti ingin menjadi bintang film, sebuah mimpi liar yang tidak realistis. Saya ingat pertama kali mendapati diri saya benar-benar tenggelam ke dalam sebuah cerita, sebuah fiksi ilmiah distopia yang saya tulis untuk tugas sekolah, di mana manusia meninggalkan planet mereka yang rusak untuk mencari rumah baru di atas pesawat ruang angkasa antargalaksi besar yang disebut Arks. Saya tersentuh oleh penderitaan karakter-karakter saya, terpesona oleh luasnya alam semesta yang saya bayangkan, dan pilu oleh tragedi dan pengorbanan yang menyertai misi mereka. Fakta bahwa itu cerita buruk yang sangat sentimental tidak mengubah fakta bahwa menuliskannya memberi saya curahan, pengalaman yang sulit digambarkan dari ketenggelaman total ke dalam aktivitas mental, yang benar-benar menghilangkan kekhawatiran dan gangguan yang lain. Dan menyelesaikannya memberi saya semua kepuasan penciptaan: inilah cerita yang saya lahirkan ke dunia, sebuah karya “seni” kecil tapi lengkap yang tidak akan pernah ada jika saya tidak menuliskannya.

Bagaimanapun, saya kemudian meninggalkan sekolah dan masuk ke dalam kehidupan nyata. Saya punya masa muda untuk disia-siakan, dan kemudian setelah itu datang pekerjaan dan tagihan yang harus dibayar. Untuk sementara, saya menikmati fantasi menjadi pustakawan tetapi pada akhirnya bekerja sebagai analis di perbankan, di mana ada lebih sedikit buku tetapi lebih banyak uang. Pekerjaan itu menarik tetapi juga menuntut, dan menyesaki ruang untuk hal-hal lain dalam hidup saya.

Jadi itu selama sepuluh tahun; dalam satu dekade setelah meninggalkan sekolah, karya sastra saya nol. Tapi rasa gatal itu masih ada, dorongan untuk menuliskan kata-kata di atas kertas, untuk membangun kisah tentang hal-hal yang saya pedulikan, untuk mencari makna melalui narasi. Akhirnya saya mulai mengutak-atik lagi, perlahan dan tanpa tujuan tertentu pada awalnya, kemudian lebih serius saat saya tenggelam dan mulai menghabiskan seluruh waktu luang saya untuk itu. Itu diawali dari keragu-raguan hingga menjadi tungku yang membakar seluruh waktu luang dan energi mental saya. Tapi apa yang menguasai saya? Untuk apa saya menulis?

Saya pernah membaca penulis lain, saya lupa siapa, mengatakan bahwa tulisannya adalah semacam lolongan serigala kepada kawanannya, dan saya pikir itu ada benarnya. Saya menulis untuk kawanan saya, sekelompok pembaca imajiner yang sedikit mirip dengan saya. Mereka cukup sering mengacaukan banyak hal dalam hidup mereka, dan mereka tidak selalu berkilau dan bahagia, karena kehidupan, bahkan yang paling biasa-biasanya saja, memiliki pertempuran hebatnya masing-masing—tumbuh dewasa, menemukan makna, hidup dengan kehilangan, kecanduan, kecacatan, kemandulan—tetapi mereka tetap bertempur dengan keberanian dan humor.

Seringkali terjadi keributan tentang apakah sastra memiliki tanggung jawab untuk menjadi penyembuh. Tanggung jawab, menurut saya, adalah kata yang terlalu berat. Anda hanya dapat menulis apa-apa yang membuat Anda tergerak untuk menuliskannya. Tetapi saya berpikir bahwa tulisan nihilistik ataupun karya yang meringankan penderitaan tidak memiliki nilai untuk ditambahkan ke dalam upaya manusia. Adalah upaya seumur hidup untuk menjaga agar wajah Anda tetap tegak menatap cahaya, dan saya lebih suka membantu daripada menghalangi orang untuk melakukan itu. Hampir semua orang yang berusia di atas tiga puluh tahun pasti tahu apa artinya memandang semesta yang tampak tidak peduli dan merasa putus asa, dan seperti A.S. Byatt katakan dalam wawancara dengan Paris Review, tragedi itu bagi orang-orang muda yang belum mengalaminya secara nyata; tapi mereka mampu menanggungnya. Jadi, saya berada di kelompok “ya”: saya ingin orang-orang merasakan harapan usai membaca tulisan saya, bukan bahwa hidup ini akan mudah dan bebas dari penderitaan tetapi di luar penderitaan yang tak terhindarkan, hidup juga bisa mengandung banyak harapan dan kegembiraan.

Kembali ke Orwell:

Sepanjang yang orang tahu bahwa iblis itu (yang mendorong seorang penulis) adalah naluri yang sama yang membuat bayi menangis meminta perhatian. Namun benar juga bahwa seseorang tidak dapat menulis apa pun yang dapat dibaca kecuali dia terus-menerus berjuang untuk menghilangkan kepribadiannya sendiri. Prosa yang bagus seperti kaca jendela.”

Seperti halnya kehidupan, ada misteri besar di jantung penulisan. Ayah saya sering mengatakan bahwa ketika memainkan permainan catur terbaiknya, dia dapat mendengar malaikat bernyanyi. Saya sering mencemooh hiperbola seperti itu, tetapi paling tidak, dari sepersekian persen waktu yang saya curahkan untuk menulis, saya mengakui bahwa saya merasa lebih sebagai saluran daripada pencipta, seolah-olah saya tidak melakukan pekerjaan itu tetapi hanya saluran yang melaluinya karya itu tiba di dunia.

Jadi, dengan anggukan hormat kepada Orwell, berikut beberapa alasan saya menulis:

  • Karena itu membawa saya keluar dari kepala saya sendiri, jauh dari masalah saya.
  • Karena itu memberi saya kesempatan, betapa pun jauhnya, untuk menciptakan sesuatu yang luhur dan transenden.
  • Karena saya terbakar oleh amarah kepada dunia, dan menulis tampaknya menjadi pelepasan yang lebih baik daripada kekerasan tanpa alasan.
  • Karena saya selalu ingin menjaring hal-hal fana sebelum mereka menguap menjadi ketiadaan: perasaan gembira dan tenang berada di taman saat senja musim panas, atau aroma lumut dari sweter kekasih.
  • Karena memasukkan sesuatu ke dalam kata-kata memaksa saya untuk mengartikulasikan pikiran saya dan membentuknya menjadi sebuah narasi, dan itu memberi makna pada hidup saya.
  • Karena meleburkan diri saya ke atas keyboard itu menjadi obsesi dan membuat saya ketagihan; saya duduk untuk melontarkan beberapa ratus kata lalu beberapa jam kemudian berhenti untuk menemukan di luar gelap dan saya basah dengan keringat, lemas di kursi tetapi penuh dengan kepuasan aneh, kosong, tenang, dan kenyang.
  • Alasan terakhir, dan mungkin yang paling penting: saya menulis karena buku telah membuka dunia saya dan menyelamatkan hidup saya lagi dan lagi, dan itulah sesuatu yang membuat saya ingin menjadi bagian darinya. Betapa menyedihkan menjadi manusia, sadar diri namun tidak memiliki jawaban untuk hampir semua pertanyaan penting: bagaimana saya harus menjalani hidup, adakah Tuhan, apakah Teori Besar Pemersatu untuk alam semesta, apa yang terjadi ketika kita mati? Dan tentu saja, tak peduli seberapa nyaman dahan tempat kita hinggap, kita selalu hanya satu tarikan tabir dari bencana, sepersekian detik, di mana kita tidak memerhatikannya sebelum melangkah ke jalan, sangat dekat sebelum kita tahu bahwa kita tak akan pernah melihat lagi orang yang kita cintai. Betapa gelapnya.

Begitupun, ke dalam kegelapan itu datanglah serpihan dan pecahan cahaya, tidak lebih terang daripada kilau yang sering terlihat, namun entah bagaimana semua itu membantu Anda untuk melihat jalan di hadapan. Bagi saya, kilau itu seringkali berasal dari buku.

Ketika saya ingin tahu bagaimana melihat dengan jelas dan berbicara dengan jujur, Diana Athill ada di sana untuk menunjukkannya kepada saya. Ketika saya ingin melihat percikan api dihasilkan saat sinisme dan idealisme bertubrukan, berjalan santai Martin Amis dengan rokok menjuntai di bibir. Ketika saya membutuhkan keberanian, Andrew Solomon membantu saya berdiri. Ketika saya ingin bergembira dalam keindahan alam dan kesunyian, Sara Maitland berdiri di sisi saya. Ketika saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menertawakan absurditas dari seluruh hal sialan itu, Jonathan Coe dan David Nobbs tidak meninggalkan saya. Dan ketika saya berduka, C.S. Lewis mengulurkan tangan selama beberapa dekade dan berkata, Here, take my hand. You are not alone.

Jadi itulah utang besar yang harus saya bayar, dan dalam banyak hal alasan saya menulis adalah: untuk mengulurkan tangan dan membantu orang berikutnya.[]

[Alice Adams adalah pengarang Inggris. Sebelum menjadi pengarang, alumnus jurusan filsafat ini telah mengerjakan banyak hal, dari menjadi pelayan hingga bankir investasi. Invincible Summer (2016) adalah novel pertamanya.]

[Diterjemahkan dari: Adams, Alice. “Why Does Anyone Write?”. Literary Hub. 29 Juni 2016.]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Bukupedia

Go to Top