“De Oost”: Belajar dari Westerling agar Tak Menjadi Bangsa Penjajah

in Film by

Menonton De Oost seharusnya membuat kita menyelami bagaimana menjadi penjajah agar kita tak menjadi seperti mereka. Jangan-jangan, setelah lebih daripada tujuh dekade merdeka, kita justru saat ini menjadi bangsa yang menindas sesama bangsa sendiri.

RAYMOND Pierre Paul Westerling turun dari Jeep Willys-nya. Dua anak buahnya menyiapkan sebuah meja dan bangku di tengah lapangan. Westerling kemudian duduk bak seorang hakim. Di hadapannya, puluhan penduduk desa menelungkup di bawah todongan senapan serbu pasukan Depot Speciale Troepen (semacam satuan elite di bawah KNIL).

Westerling dengan tenang mengeluarkan pistol colt dari holster di pinggangnya dan meletakkannya di atas meja. Dia juga mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari saku seragam militernya. Buku itu dia klaim berisi daftar nama para ‘teroris’ yang mengacau keamanan di Sulawesi Selatan.

“Puang Side,” teriak Westerling (diperankan dengan baik oleh Marwan Kenzari) membacakan sebuah nama dari buku itu. Seorang warga desa menengadahkan kepala lalu serdadu DST menyeretnya ke hadapan Westerling.

“Apakah kamu Puang Side,” tanya sang ‘hakim’ Westerling.

“Benar, Tuan,” jawab si warga desa.

Dor! Vonis mati pun jatuh seketika itu juga.

Itulah adegan yang menggambarkan “Westerling Method” dalam film De Oost (The East). Film ini karya sutradara Belanda keturunan Maluku, Jim Taihuttu (40 tahun). Dia pernah mendapatkan predikat sutradara terbaik dalam Nederlands Film Festival 2013 melalui Wolf. De Oost produksi barengan Belanda-Indonesia. Shanty Harmayn lewat BASE Entertainment mewakili Indonesia.

  • Judul Film: De Oost (The East)
  • Sutradara: Jim Taihuttu
  • Penulis: Jim Taihuttu, Mustafa Duygulu
  • Pemain: Martin Lakemeier, Marwan Kenzari, Denise Aznam
  • Rilis: 26 November 2020 (Belanda)
  • Durasi: 140 menit

“Westerling Method” adalah cara Westerling, komandan DST, menumpas kelompok-kelompok perlawanan pendukung kemerdekaan Indonesia, negara yang baru diproklamasikan satu tahun sebelum DST memulai operasi brutalnya. Cara ini diterjemahkan Westerling dari keyakinannya sendiri bahwa: “Satu-satunya cara menghancurkan teror adalah dengan lebih banyak teror lagi.”

Kata-kata itu dia ucapkan kepada Johan de Vries (Martijn Lakemeier), sang protagonis film ini. Dalam autobiografinya Challenge to Terror (1952), Westerling mengatakan, mengeksekusi seseorang itu penting sebagai peringatan. Tapi, yang lebih penting daripada itu adalah metodenya.

Tak digambarkan oleh Taihuttu dalam film ini, Westeling dalam bukunya mengisahkan pemandangan yang jauh lebih mengerikan. Dia pernah memenggal kepala seorang warga desa yang dia curigai sebagai pemberontak. Dia dan pasukannya kembali ke desa dengan kepala orang itu ditancapkan pada sebilah tombak.

Korban Westerling di seantero Sulawesi Selatan pun berjatuhan sepanjang pertengahan 1946 hingga awal 1947. Buku-buku pelajaran sejarah di Indonesia menyebut angka legendaris: 40.000 jiwa. Pemerintah Belanda hanya menyebut angka 3.000 jiwa. Westerling yang menyebut angka versi Indonesia sebagai “hullaballo” mengaku mengeksekusi langsung 100 orang.

Namun, De Oost bukan film sejarah tentang Si “Turki” (julukan Westerling karena ia lahir di Istanbul, Turki). Film ini menyajikan cara pandang lain tentang periode kelam Belanda di awal-awal Indonesia merdeka.

Periode itu merupakan persimpangan jalan antara menjadi bangsa yang dijajah untuk kemudian menjajah; antara korban keganasan untuk kemudian menjadi pelaku kekejaman. DST (yang terdiri dari serdadu KNIL, baik Indo-Eropa maupun Maluku, dan serdadu militer Belanda) sebagiannya berisi para serdadu yang baru saja memerdekakan Belanda dari cengkeraman Nazi Jerman. Mereka berperang bersama kelompok-kelompok pejuang kemerdekaan. Datang ke Indonesia, mereka kali ini justru berhadapan dengan pejuang-pejuang kemerdekaan. Orang-orang yang mereka sebut “teroris” itu datang dari jenis yang sama dengan yang Nazi sebut “teroris”.

Taihuttu mengisahkan persimpangan jalan itu melalui karakter fiktif Johan de Vries. Johan adalah serdadu Belanda yang dikirim ke Indonesia sambil membawa kenangan pahit dan kemarahan kepada ayahnya sendiri. Ayahnya adalah aktivis pendukung Nazi Jerman yang menjajah negerinya sendiri. “Dia sudah mati bagiku,” kata Johan tentang sang ayah yang sebenarnya masih hidup di penjara setelah Belanda dimerdekakan dari Nazi.

Johan datang ke Indonesia dengan membawa kemarahan itu. Kemarahan itu makin dipupuk oleh pidato para komandannya yang menyebut Indonesia masih berada dalam pengaruh “Nazi Jepang”. Para pejuang kemerdekaan pro-republik ini adalah didikan “Nazi Jepang” yang ingin berkuasa dengan meneror kedamaian penduduk.

Serdadu Belanda, dan termasuk Johan, datang dengan “niat baik”. Mereka ingin menyelamatkan penduduk dari teror para pejuang. Mereka ingin memberi kedamaian di negeri “Timur” itu. Merekalah para pahlawan yang akan membebaskan negeri itu dari tangan-tangan para boneka “Nazi Jepang”.

Di sini kita bisa melihat “niat baik” menjadi jubah indah untuk menyelubungi aksi-aksi kolonial. “Mereka pikir, mereka bisa memerintah sendiri negeri ini”. “Kami datang untuk menyelamatkan kalian”. “Kami datang untuk memberi pencerahan”. “Kami datang untuk memberdayakan kalian”. “Kamilah yang paling tahu apa yang terbaik bagi kalian.”

Kalimat-kalimat semacam itu menunjukkan bahwa kolonialisme, disadari atau tidak, berurat akar pada hasrat (kadang bersifat subtil) memandang rendah yang lain dan menganggap diri sendiri lebih daripada yang lain (anda boleh menyebut hasrat ini sebagai “rasisme” atau apa pun). Inilah pangkal problem-problem kemanusiaan saat ini meskipun kolonialisme dianggap telah lama ditinggalkan. Ia kini bersalin rupa menjadi beragam bentuk, yang di antaranya bahkan berwajah “nasionalisme-sauvinistik” (bukankah di Papua, kita juga menganggap diri lebih tahu dan lebih baik daripada orang Papua?).

Kembali kepada film ini. Di Indonesia, alih-alih menemukan semangat “penyelamatan” itu, Johan justru mendapati apa yang ia takutkan. Alih-alih memerangi teror, justru Serdadu DST-lah para teroris itu. Johan pun mulai membenci, bukan hanya sang komandan, Westerling, atau kolega serdadunya, tapi bahkan juga dirinya sendiri. Ia menemukan dirinya menjadi sosok ayah yang selama ini justru ia benci karena menjadi bagian dari kekejaman Nazi. Hanya berselang kurang dari dua tahun setelah membebaskan negeri mereka dari monster bernama Nazi, serdadu-serdadu Belanda ini menjelma menjadi monster yang sama.

Dalam Beyond Good and Evil (1886)—buku yang sebagiannya berisi aforisme filosofis—Friedrich Nietzsche mengatakan, “Dia yang bertarung dengan monster harus berhati-hati agar dia tidak menjadi monster. Dan jika engkau menatap jauh ke dalam jurang, jurang juga akan menatap ke dalam dirimu.” (Diterjemahkan dari edisi terjemahan oleh Helen Zimmern). Inilah yang terjadi pada Westerling, Johan, dan serdadu DST. Mereka membiarkan kemarahan dan kebencian melahap nurani mereka, sehingga mereka menjadi monster yang sama dengan yang mereka perangi.

Menonton De Oost tak hanya membuat kita memahami sisi pandang berbeda dari agresi militer Belanda atau yang mereka sebut aksi polisional pada awal kemerdekaan Indonesia. Film ini juga seharusnya menjadi cermin bagi diri kita, bagi bangsa Indonesia. Kita tak hanya harus memahami bagaimana menjadi bangsa terjajah tapi juga menyelami bagaimana menjadi bangsa penjajah, agar kita terutama tidak menjadi yang terakhir. Jangan-jangan, setelah lebih daripada tujuh dekade merdeka, kita justru saat ini menjadi bangsa yang menindas sesama bangsa sendiri.

Dalam satu adegan, Westerling mengungkap mengapa manusia tak pernah bisa berdamai. Katanya, “Damai berarti semua merasa puas dan cukup. Tapi manusia tak seperti itu. Mereka tak pernah puas.” Saya tentu saja tak sependapat dengan pernyataan itu. Damai adalah kecenderungan fitri jiwa manusia. Tapi, pernyataan itu mengandung peringatan: selama tak pernah merasa cukup, kita akan selalu menindas dan menjajah yang lain.

Pernyataan berikut ini mungkin ironis dan tidak lazim. Menurut saya, kita harus belajar dari Westerling dan monster-monster lain dalam sejarah, agar kita tak menjadi salah satu dari mereka. Film Jim Taihuttu sedikit-banyak telah membuka jalan ke arah itu.

De Oost memang sangat sedikit memotret narasi para pejuang kemerdekaan. Orang Indonesia dalam film ini digambarkan periferal (sebagai warga biasa yang meminta bantuan tentara Belanda, pemberontak, dan pelacur). Tapi, narasi nasionalistik tentang pejuang pro-republik toh sudah banyak kita saksikan dalam film-film karya sineas Indonesia, dan bahkan sebagian besarnya sangat herois-simplistik.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*