JELAJAH LITERASI

“The Tinder Swindler” dan “Inventing Anna”: Identitas dalam Kapitalisme

in Film by

The Tinder Swindler dan Inventing Anna menunjukkan bahwa polesan citra-diri dan endorsement kalangan tertentu adalah bagian dari pembentuk identitas dalam kapitalisme. Inilah kultur “fake it till you make it” yang dilejitkan media sosial.

Anda mungkin tak akan pernah mendengar nama Shimon Hayut jika dalam tiga pekan terakhir tidak menyaksikan kisahnya dalam The Tinder Swindler.

Simon merupakan subjek dari film dokumenter terbaru Netflix itu. Dia menampilkan dirinya di aplikasi kencan online Tinder sebagai “Simon Leviev”, putra seorang pedagang berlian kaya raya asal Israel. Tentu saja, dia berharap bisa meyakinkan wanita-wanita kaya di aplikasi itu untuk tertarik kepadanya. Dia kemudian akan meyakinkan mereka bahwa “musuh-musuhnya” akan melakukan hal-hal yang mengerikan, dan bahkan membunuhnya. Karena ketakutan, para wanita yang dia kencani lewat Tinder itu pun rela mengeluarkan puluhan ribu dolar untuk membantu Simon, dan uang itu pun tidak pernah kembali.

The Tinder Swindler langsung merangsek ke peringkat teratas Netflix. Dokumenter garapan Felicity Morris (produser serial Netflix, Don’t F**k with Cats: Hunting an Internet Killer) ini mampu mengumpulkan 45,8 juta jam atau lebih daripada 5.000 tahun waktu tonton hanya dalam sepekan setelah peluncurannya di 92 negara.

Layanan streaming rupanya tengah gandrung menampilkan para penipu, terutama yang berasal dari kehidupan nyata. Contoh lainnya adalah Inventing Anna—juga rilisan terbaru di Netflix. Serial drama berdasarkan kisah nyata produksi Shonda Rhimes (Bridgerton) ini mengisahkan Anna Delvey, yang aslinya adalah Anna Sorokin. Delvey yang diperankan Julia Garner (Ozark) menipu lusinan sosialita, lembaga keuangan, dan hotel di New York hingga ratusan ribu dolar dengan mengaku sebagai bangsawan-pewaris asal Jerman.

Sebelumnya, Netflix juga merilis dokumenter Fyre: The Greatest Party That Never Happened tentang Billy McFarland yang menipu anak-anak orang kaya untuk datang ke pesta musik privat di Kepulauan Bahama (sosok McFarland uniknya juga hadir di serial Inventing Anna karena ternyata Delvey pernah menumpang tinggal di apartemen McFarland). Lalu, layanan streaming Hulu dilaporkan akan merilis serial The Dropout yang lagi-lagi menceritakan seorang penipu bernama Elizabeth Holmes. Wanita 38 tahun itu memperoleh jutaan dolar dari investor setelah perusahaan teknologi kesehatan yang dia dirikan, Theranos, mengklaim berhasil merevolusi teknologi blood testing. Klaim itu terbongkar palsu dan Holmes tengah menanti vonis pada September 2022 dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Baik Fyre Festival maupun Inventing Anna menjadi angsa bertelur emas bagi Netflix. Fyre ditonton oleh lebih daripada 20 juta rumah tangga sedangkan Inventing Anna (lewat model perhitungan baru Netflix) dilaporkan mampu menghasilkan 196 juta jam atau 22.374 tahun waktu tonton hanya dalam sepekan setelah perilisannya.

Mengapa tontotan tentang seorang penipu, scammer, con-artist atau apa pun namanya dari kehidupan nyata bisa sedemikian digemari? Tayangan seperti The Tinder Swindler dan Inventing Anna memang mengadon sekaligus tiga tema paling digemari penonton: percintaan (kencan), kejahatan, dan kenyataan (true story).

Ada penjelasan lebih jauh dari Emily Baker, seorang editor televisi dalam tulisannya “From Tinder Swindler Simon Leviev to Anna Delvey, TV is obsessed with scammers”. Yakni, apa yang dalam dunia psikologi disebut dengan “schadenfreude”. Istilah apa pula ini?

Schadenfreude adalah kesenangan, kegembiraan, atau kepuasan diri yang diperoleh ketika kita mengetahui atau melihat kesulitan, kegagalan, atau kehinaan orang lain. Istilah ini dipinjam dari bahasa Jerman. Ia merupakan kombinasi dari schaden, yang berarti ‘kerusakan atau bahaya’, dan freude, yang berarti ‘kesenangan’. Istilah ini pertama kali digunakan dalam tulisan bahasa Inggris pada 1852 sementara di Jerman sendiri pada dasawarasa 1740-an. Dalam bahasa Indonesia, katakanlah istilah ini sama dengan, “senang lihat orang susah, susah lihat orang senang”.

Secara psikologis, schadenfreude katanya lebih sering terjadi pada mereka yang memiliki harga-diri rendah (low self-esteem). Menyaksikan orang lain gagal dapat memberi seseorang dorongan harga-diri dan kepercayaan-diri.

Sebaliknya, bagi mereka yang mempunyai harga-diri yang kuat (high self-esteem), pencapaian dan kegagalan orang lain tidak akan berpengaruh pada harga-diri dan kepercayaan-diri mereka. Biasanya orang seperti ini memiliki sedikit minat emosional pada bagaimana kinerja orang lain, apakah positif atau negatif.

Kita bisa menyaksikan bagaimana reaksi sebagian besar orang saat tiga wanita korban penipuan Simon Hayut mengungkap apa yang mereka alami melalui dokumenter tersebut. Tak sedikit orang yang mencap mereka: gold-digger (mata duitan).

Alhasil, sebagian besar kita sulit untuk bersimpati kepada korban Simon Hayut. Ini karena harga-diri dan kepercayaan-diri kita kembali terdongkrak setelah sebelumnya dilukai oleh mereka yang lebih melihat ketampanan, kecantikan, kekayaan, dan kemakmuran sebagai perlambang kesuksesan atau lebih jauh lagi perlambang identitas-diri. Di era media sosial seperti saat ini, mereka yang tak memiliki semua itu—atau tak memoles citranya seperti itu—bisa hilang bak ditelan bumi alias tak dianggap.

Jika demikian, schadenfreude tampaknya adalah emosi negatif. Tapi, nanti dulu. Bagi Theodor Adorno, seorang filsuf dan sosiolog, schadenfreude justru emosi yang manusiawi. Dia menjelaskan schadenfreude sebagai kegembiraan tak penting yang muncul tak terduga dalam diri manusia ketika melihat kesengsaraan orang lain.

Dalam bukunya When Bad Things Happen to Good People, Harold S. Kushner memandang schadenfreude sebagai perasaan universal, bahkan sehat, yang tidak dapat dihindari. Pasti kita (diam-diam tentu saja) pernah mengalami emosi yang tak mengenakan dari perasaan lega ketika sesuatu yang buruk menimpa orang lain, dan bukan kita. Bahkan, saat teman kita sakit, seringkali kita tak bisa menahan perasaan bersyukur bahwa hal itu terjadi padanya, dan bukan pada kita, meskipun kita tak menginginkan teman itu sakit.

Mengapa Kushner menyebut perasaan itu sehat? Menurut psikologi, schadenfreude sebenarnya sudah muncul sejak manusia berusia dua tahun. Ia menjadi mekanisme pertahanan sosial alamiah dalam apa yang disebut “inequity aversion”.

Istilah terakhir tersebut merujuk kepada preferensi manusia kepada keadilan dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Sudah menjadi fitrah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci keburukan. Maka, kita bisa merasakan senang ketika yang baik menang dan yang jahat kalah. Kita bisa merasa gembira ketika yang menindas dihukum atau ditimpa kesulitan.

Di titik ini, kita bisa memahami mengapa tak sedikit orang yang lebih bersimpati kepada Anna Delvey ketimbang Simon Hayut sebab korban Delvey adalah kaum elite, sosialita, orang kaya-berpengaruh, dan lembaga keuangan bonafid. Bahkan, Shonda Rhimes sendiri membuat serial ini lebih berpihak kepada Delvey melalui cerita betapa terobsesinya seorang jurnalis, Vivian Kent (diperankan oleh Anna Chlumsky berdasarkan sosok nyata jurnalis Jessica Pressler yang pertama kali mengangkat kisah Delvey ke permukaan) kepada Delvey dan pembelaan yang dilakukan oleh pengacara Delvey, Todd Spodek (Arian Moayed).

Dalam pembelaannya (yang disorot dengan memikat dalam serial ini), Spodek antara lain mengatakan bahwa “semua orang berbohong meskipun itu sedikit”; “semua orang menipu”; dan yang lebih menohok lagi “siapa sih yang otentik di era media sosial ini?”. Lalu, Kent sekilas menyinggung soal “identitas di bawah kapitalisme” ketika mencoba menggali lebih dalam alasan Delvey melakukan semua penipuan itu.

Meskipun cuma anak kelas menengah ke bawah dari keluarga imigran Rusia di Jerman, Anna Delvey (atau aslinya sekali lagi Anna Sorokin) tahu bagaimana berlagak seperti orang kaya betulan. Dia bahkan merasa berhak atas semua kemakmuran yang dipertontonkan di televisi, majalah, dan media sosial itu. Bak gayung bersambut, orang-orang kaya dan berpengaruh, tak terkecuali lembaga-lembaga keuangan kapitalis bonafid, di New York menyukainya karena dia tampak memiliki segala modal sosial yang dicitrakan lewat berbagai artefak kemakmuran. Delvey atau Sorokin mampu menciptakan “vibe” sebagai orang beruang. Dia rajin memberi tip 100 dolar kepada pelayan hotel. Pakaiannya sempurna, bermerek terkenal, dan terbaik dari yang terbaik. Dia mengerti mana seni yang bagus. Dia tahu merek wine paling mahal dan tentu saja paling enak.

Kisah Delvey sebenarnya membongkar jargon kosong kapitalisme tentang kemakmuran. Para kapitalis, dan kemudian disokong oleh industri budaya, biasanya mempromosikan kisah kerja keras dan pencapaian luar biasa dari individu-individu miskin yang memulai dari nol. Kondisi kita saat lahir, menurut jargon kapitalis, tidak seharusnya memengaruhi akses kita kepada peluang dan kemakmuran. Inilah yang seharusnya menjadi salah satu keunggulan utama kapitalisme atas feodalisme.

Namun sayangnya, semua itu cuma jargon. Uang tetaplah dihasilkan oleh uang. Delvey tak mungkin dipercaya institusi keuangan seperti Citibank dan Fortress—keduanya nyaris memberi pinjaman puluhan juta dolar—jika tak berpose bak bangsawan-pewaris dengan segala artefak kemakmuran (mulai dari pakaian, kuliner, sepatu, tas, hingga kacamata) dan dipromosikan oleh kaum elite dan sosialita di New York. Demikian pula Holmes. Tak mungkin investor papan atas rela menanamkan uangnya di Theranos jika tak ada endorsement dari figur-figur berpengaruh seperti Henry Kissinger, George Shultz, Jim Mattis, dan Betsy DeVos.

Kita ingin percaya bahwa kesuksesan itu bisa dibuat oleh kelayakan dan kemampuan diri, tapi ternyata itu cuma romantisme omong kosong. Di bawah kapitalisme, kesuksesan dan bahkan identitas-diri ditentukan oleh seberapa gemerlap kita memoles citra-diri dan seberapa banyak kalangan tertentu mempromosikan kita. Untuk itulah, orang seperti Simon Hayut, Anna Delvey, Elizabeth Holmes, dan juga Billy McFarland menjalani etos sejati kapitalisme mutakhir: fake it till you make it (berpura-puralah sampai kamu berhasil) daripada etos profesionalisme: learn it till you earn it (belajarlah hingga kamu menguasainya). Dan berkat media sosial, etos fake it till you make it makin dilejitkan hingga tingkat tanpa batas.

Kisah Anna Delvey atau Sorokin sebenarnya adalah kisah gelap yang masih berlanjut. Di kehidupan nyata, aksi Delvey berakhir di penjara. Tapi, orang tahu Delvey dibui cuma karena tidak cukup beruntung. Jika dia berhasil membodohi bank dan lembaga finansial lainnya untuk mendanai bisnisnya dan kemudian sukses, tak akan ada yang peduli dengan masa lalunya. Dan “keberuntungan” inilah yang diperoleh para kapitalis yang membobol bank tapi malah mendapatkan dana talangan dari negara. Bahkan, banyak dari para pemodal itu terlibat dalam kejahatan yang lebih buruk daripada sekadar menipu bank. Toh mereka sejauh ini lebih beruntung daripada Delvey atau Sorokin.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top