JELAJAH LITERASI

“Al-Luma’ fi at-Tashawwuf”: Ensiklopedia Apolegetik Kaum Sufi

in Klasik by

Karya klasik Abu Nashr as-Sarraj ini membantah tuduhan bahwa tasawuf bukan ajaran Islam. As-Sarraj bahkan menunjukkan bahwa semua ilmu bermuara pada ilmu tasawuf.

SYAHDAN. Di Masjid Shuniziyya di Baghdad (masjid khusus kaum sufi di dekat Kazhimiyyah, Baghdad—masjid ini sayangnya kini sudah tak berjejak), seorang lekaki diberi kamar khusus pada bulan suci Ramadhan. Di dalam kamar itu, dia diriwayatkan mengkhatamkan Al-Quran lima kali setiap malam. Setiap malam juga, seorang pelayan mengantarkan sepotong roti ke kamarnya. Begitu tiba Hari Raya Idul Fitri, lelaki itu pergi, dan si pelayan menemukan 30 potong roti yang tak pernah disentuh di dalam kamar tersebut.

Itulah salah satu kisah yang diriwayatkan dalam Kasyf al-Mahjub karya Hujwiri. Lelaki yang dimaksud tak lain adalah Abu Nashr as-Sarraj, penulis-sufi yang terkenal lewat karyanya, Al-Luma’ fi at-Tashawwuf (“Buku Cahaya”). Abdullah bin Ali bin Muhammad bin Yahya Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi ash-Shufi—begitu para penulis biografi menulis nama lengkapnya—dikenal sebagai sufi yang mempraktikkan asketisme. Dia berguru kepada Ja’far al-Khuldi, Abu Bakar Muhammad bin Dawud al-Duqqi, dan Ahmad bin Muhammad as-Sa’ih (Reynold A Nicholson menduga nama terakhir adalah as-Salimiy—bukan as-Sa’ih).

Meskipun sangat menguasai ilmu fikih, As-Sarraj lebih dikenal sebagai ahli dalam ilmu tasawuf. Bahkan, di kalangan para sufi pada Abad ke-4 Hijriah, As-Sarraj dianggap sebagai salah satu penulis paling otoritatif mengenai doktrin-doktrin kaum sufi.

Menurut peneliti University of Cambridge, Reynold A Nicholson—yang menulis pengantar panjang dalam terjemahan bahasa Inggris Al-Luma’ (E.J. Brill, Leiden, Belanda, 1914)—sangat sedikit sekali informasi pribadi tentang As-Sarraj. Para penulis biografi, seperti Abu Abdur Rahman as-Sulami (Thabaqat ash-Shufiyya), melewatkan nama As-Sarraj (baru belakangan dalam karyanya, Tarikh ash-Shufiyya, al-Sulami menambahkan nama As-Sarraj). Nama As-Sarraj hanya dicantumkan secara singkat dalam Tadzkirat al-Awliya, Nujum, Tarikh al-Islam, Shadarat adz-Dzahab, dan Safinat al-Awliya.

Oleh karena itu, tak ada catatan kapan As-Sarraj lahir. Yang pasti, dia disebut kelahiran Thus, sebuah kota di timur laut Iran, yang juga kampung halaman sejumlah figur terkemuka peradaban Islam, seperti Ferdowsi (penggubah kumpulan syair Shahnameh), Imam al-Ghazali, Jabir bin Hayyan, Nasiruddin ath-Thusi, dan Abu Ja’far ath-Thusi (ahli fikih). As-Sarraj dilaporkan wafat pada 378 Hijriah, atau diperkirakan bertepatan dengan Oktober—November 988 Masehi, di Neyshabur, Iran.

Karena praktik hidup asketisnya, As-Sarraj dijuluki “Si Burung Merak Kaum Miskin”. Ia juga dikenal sebagai sufi pengembara. Sejumlah negeri Islam pernah ia kunjungi dan tinggali, antara lain Basrah dan Baghdad di Irak, Damaskus (Suriah), Ramla (Palestina), Antiokhia (Turki), Tyre (Lebanon), Tripoli (Libya), Kairo dan Dimyath di Mesir, Bastam, Shustar, serta Tabriz di Iran.

As-Sarraj sebenarnya menulis banyak karya tentang sufisme. Tapi, sayangnya hanya Al-Luma’ yang masih terjaga hingga kini. Sisanya, menurut Nicholson, hilang bak ditelan bumi.

Dalam Al-Luma’, As-Sarraj menjelaskan mengapa dia menulis kitab ini. Dia mengatakan karya ini lahir karena permintaan seorang sahabat—yang tak dia sebutkan namanya. Sang Sahabat ingin As-Sarraj menjawab dan mendedah kontroversi yang muncul di kalangan masyarakat terhadap kalangan sufi pada masa itu.

Alhasil, Al-Luma’ utamanya berisi argumen As-Sarraj—yang secara ekstensif mengutip pernyataan dari banyak sufi pada masanya dan pendahulunya—bahwa prinsip-prinsip sejati tasawuf bersesuaian dengan—dan dikonfirmasi oleh—doktrin-doktrin dalam Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. As-Sarraj juga berargumen bahwa sufi sejati adalah mereka yang meneladani Nabi Saw dan para sahabatnya. Menurut Nicholson, Al-Luma’ dengan demikian merupakan karya apologetik (pembelaan) kaum sufi atas tuduhan-tuduhan bahwa mereka telah keluar dari ajaran Islam.

Tak ada keterangan kapan Al-Luma’ ditulis oleh As-Sarraj dalam masa hidupnya, sementara manuskrip yang diperoleh Nicholson bertanggal 10 Rabi’ ats-Tsaniy 683 Hijriah, atau bertepatan dengan 26 Juni 1284 Masehi. Tapi, pada halaman awal kitab ini, diperinci nama-nama yang telah mentransmisikan manuskrip tersebut.

Kitab ini berisi lebih daripada 470 halaman dan terdiri dari 152 bab. Berikut sekilas tema dari bab-bab tersebut.

Nomor Bab Tema
Bab 1–9 Hubungan tasawuf dengan ajaran Islam. Perbedaan ahli hadis, ahli fikih, dan sufi. Karakter khusus sufi. Doktrin tasawuf berakar pada Al-Quran dan hadis Nabi Saw.
Bab 10–11 Asal muasal nama sufi
Bab 12–14 Tasawuf sebagai ilmu esoteris Islam. Hakikat, makna, dan turunannya.
Bab 15–18 Tauhid dan Makrifat.
Bab 19–37 Tahapan-tahapan (maqamat) dan kondisi-kondisi (ahwal) mistik.
Bab 38–46 Makna-makna tersembunyi Al-Quran dan bagaimana semua itu ditafsirkan oleh kaum sufi.
Bab 47–50 Meneladani Nabi Saw. Karakter dan keutamaannya.
Bab 51–55 Metode penafsiran sufistik atas Al-Quran dan hadis Nabi Saw, beserta contohnya.
Bab 56–62 Sahabat Nabi Saw sebagai pola kehidupan mistik. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ahl ash-Shuffat dan sahabat lainnya.
Bab 63–88 Adab kaum sufi: dalam berwudu, salat, zakat, puasa, haji, hubungan sosial, makan, berpakaian, bekerja, menikah, dan lain-lain.
Bab 89 Jawaban-jawaban berbeda yang diberikan kaum sufi tentang banyak hal terkait doktrin tasawuf.
Bab 90 Surat, atau bagian-bagian surat, yang dituliskan sufi kepada sufi lain.
Bab 91 Contoh pengantar surat sufistik.
Bab 92 Contoh puisi sufistik.
Bab 93 Salat dan permohonan kepada Allah Swt.
Bab 94 Wasiat yang diberikan sufi kepada sufi lain.
Bab 95–96 Pendengaran (sama’)
Bab 97–112 Pengalaman spiritual (wajd)
Bab 113–118 Keajaiban (karamat)
Bab 119–120 Penjelasan istilah-istilah teknis tasawuf.
Bab 121–132 Penjelasan mengenai ekspresi pengalaman spiritual yang digunakan kaun sufi.
Bab 133–152 Riwayat tentang doktrin menyimpang kaum sufi tertentu.

Dilihat dari daftar tema di atas, bisa dibilang Al-Luma’ merupakan ensiklopedia tasawuf yang paling awal ditulis dalam sejarah peradaban Islam, selain bantahan as-Sarraj atas berbagai anggapan dan tuduhan terhadap kaum sufi. As-Sarraj menunjukkan bahwa tasawuf adalah bagian absah dari ajaran Islam, berurat akar dari Al-Quran dan hadis Nabi Saw serta praktik Nabi Saw dan para sahabatnya.

Tasawuf lebih jauh merupakan ilmu esoteris (batin) ajaran Islam di sisi ilmu hadis dan ilmu fikih sebagai ilmu eksoteris (lahir) ajaran Islam. Tasawuf juga niscaya ada karena sumber-sumber ajaran Islam, baik Al-Quran maupun hadis Nabi Saw, memiliki makna batin selain makna lahirnya.

Bahkan, dalam salah satu bagian, As-Sarraj berpendapat bahwa semua ilmu di dunia ini berujung pada ilmu tasawuf. Ilmu-ilmu lain—as-Sarraj kerap membandingkan tasawuf dengan ilmu hadis dan ilmu fikih—menurutnya bisa dikuasai oleh ahli tasawuf (seperti dirinya yang juga ahli fikih), tapi ilmu tasawuf hanya ada di kalangan para ahli realitas mistik.

Dia menulis:

“Titik akhir semua ilmu berada dalam ilmu hakikat. Ketika seseorang telah sampai pada ilmu ini, ia akan masuk ke dalam samudera yang tak bertepi, yaitu ilmu rahasia hati, ilmu makrifat, ilmu rahasia nurani, ilmu batin, ilmu tasawuf, ilmu kondisi spiritual, dan perbuatan-perbuatan takwa.”

Lalu, As-Sarraj pun mengutip firman Allah Swt:

Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh lautan itu akan habis sebelum kalimat-kalimat Tuhanku habis (ditulis), meskipun Kami datangkan lagi tinta sebanyak itu (pula) (QS. Al-Kahfi ayat 109).

Ada satu hadis Nabi Saw yang seringkali dikutip oleh As-Sarraj untuk membuktikan bahwa tasawuf adalah anak kandung ajaran Islam. Nabi Saw bersabda: “Seandainya kalian tahu apa yang aku ketahui, tentu kalian tidak akan banyak tertawa dan tentu akan lebih banyak menangis. Kalian tidak akan bisa merasakan kenikmatan dengan perempuan dan tidak akan betah tidur di atas tempat tidur, sehingga kalian akan keluar ke gurun pasir untuk berlindung kepada Allah.”

Hadis tersebut, menurut As-Sarraj, menunjukkan bahwa ada ilmu khusus yang Allah ajarkan kepada Nabi Saw, tapi belum layak diketahui oleh umum. Jika kalimat “seandainya kalian tahu apa yang aku ketahui” merujuk kepada ayat Al-Quran, Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu (QS. Al-Ma’idah ayat 67), maka pastilah Nabi Saw akan mengajarkan ilmu itu kepada umatnya secara umum.

Oleh karena itu, menurut As-Sarraj, ada orang-orang tertentu yang layak menerima ilmu khusus tersebut. Misalnya, diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Rasulullah mengajariku tujuh bab ilmu yang tidak seorang pun selain aku mengetahuinya.” Dalam sejarah, kita tahu, sepeninggal Nabi Saw, banyak sahabat Nabi Saw bertanya kepada Ali jika menghadapi persoalan rumit.

As-Sarraj berpendapat bahwa orang-orang tertentu yang menerima ilmu khusus itu akan terus ada sepanjang zaman. Orang-orang ini akan menjadi kutub, yakni sumber kebenaran dan tujuan para pencari kebenaran. Hal ini didasarkan pada perkataan Ali bin Abi Thalib kepada sahabatnya, Kumayl bin Ziyad: “Sungguh, demi Allah, bumi ini tidak akan pernah kosong dari orang yang akan menegakkan hujjah-hujjah Allah agar tanda-tanda kebesaran-Nya tidak hilang dan hujjah-Nya tidak terbantahkan. Mereka adalah orang-orang yang jumlahnya sangat sedikit namun sangat agung dan terhormat di sisi Allah.”

Untuk mencapai ilmu khusus itu, menurut As-Sarraj, seseorang tidak bisa hanya mengandalkan akal dan rasio. Dia harus menempuh perjuangan spiritual (mujahadah), mencapai keikhlasan dalam ketaatan, membersihkan hati dari segala penyakit, merasa cukup dengan Sang Pencipta, mematikan nafsu dengan cara melawan segala kemauan, memiliki adab dan kesopanan di hadapan Allah, berpaling dari dunia dan meninggalkan apa yang ada di dalamnya, dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah.

Sebagai perbandingan, As-Sarraj membedakan ahli makrifat (orang yang mencapai pengetahuan khusus tadi) dengan orang beriman. Orang beriman melihat dengan cahaya Allah sedangkan orang arif melihat Allah “secara langsung”. Hati orang beriman akan tenang dengan mengingat Allah sementara orang arif tidak akan tenang kecuali bersama-Nya.

Dia pun menulis:

“Iman adalah cahaya sementara makrifat adalah api (sumber cahaya—red).”

Secara garis besar, dalam Al-Luma’, As-Sarraj mengutip dan menginterpretasikan pendapat-pendapat sufi-sufi pendahulunya untuk membantah orang-orang yang pada masanya mendiskusi tasawuf secara sembrono. Menurut Nicholson, Al-Luma’ pada masanya—dan mungkin hingga kini—menjadi kumpulan bernilai dari karya-karya tasawuf pada masa awal perkembangannya, yang bisa saja dilupakan orang jika tak dicatat oleh As-Sarraj.

Nicholson mencatat setidaknya As-Sarraj merujuk kepada sembilan kitab tasawuf yang sebagian di antaranya sudah tak bisa lagi ditemukan wujudnya, seperti Kitab al-Wajd karya Abu Said bin Al-’Arabi. As-Sarraj juga mengutip dari tangan pertama sekitar 40 orang—sebagian besarnya adalah sufi terkecuali Ibn Khalawayh yang merupakan seorang filolog. Lalu, ada sekitar 200 nama sufi pendahulunya yang disebut oleh As-Sarraj dalam Al-Luma’.

Satu hal yang menarik menurut Nicholson adalah As-Sarraj di sejumlah bagian mengutip perkataan Abu Mansur al-Hallaj, sufi kontroversial yang dihukum mati di Tepi Sungai Tigris, Irak, pada 922 Masehi oleh Dinasti Abbasiyah dengan dalih blasfemi (sebagian sejarawan menyebut alasan sebenarnya adalah politik). Al-Hallaj diingkari oleh sebagian besar sufi pada masa itu meskipun kini dipandang sebagai salah satu figur besar dalam tasawuf. Nicholson menilai As-Sarraj tampak berupaya menjustifikasi ekspresi-ekspresi kontroversial sufi seperti Al-Hallaj meskipun As-Sarraj juga mengecam konsep hulul (kebersatuan diri dengan Tuhan) dalam doktrin sufi tertentu.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Klasik

Go to Top