JELAJAH LITERASI

“The Batman”: Orang Baik Versus Orang Baik

in Film by

Karakter antagonis dalam film-film superhero saat ini cenderung digambarkan memiliki posisi moral yang kompleks. Mengapa mereka pada akhirnya harus berhadapan dengan pahlawan super?

I’m vengeance.” Begitu kata Batman alias Bruce Wayne (Robert Pattinson) sehabis memukuli dengan brutal seorang penjahat kelas teri di jalanan Gotham City. Adegan dari The Batman, gubahan sutradara Matt Reeves terhadap karakter komik ciptaan Bob Kane dan Bill Finger, itu menunjukkan Batman macam apa yang ada dalam imajinasi Reeves.

Reeves menginginkan sang jagoan berjubah kembali ke akarnya: jutawan yang terus dihantui kenangan buruk nan menyiksa dari pembunuhan kedua orang tuanya. Bruce dalam The Batman menjalani hidup menyendiri di Wayne Manor tanpa teman atau pacar. Dia berkeliaran malam-malam dalam kostum menyeramkan berburu penjahat jalanan. Lingkar matanya hitam begitu topeng kelelawar itu dibuka. Kulitnya pucat pasi. Matanya tampak tak sanggup menatap cahaya pagi hari karena terbiasa melek malam hari.

  • Judul Film: The Batman
  • Sutradara: Matt Reeves
  • Penulis: Matt Reeves, Peter Craig
  • Pemain: Robert Pattinson, Zoe Kravitz, Paul Dano, Jeffrey Wright, John Turturro, Colin Farrel, Andy Serkis
  • Rilis: 4 Maret 2022
  • Durasi: 176 menit

Bruce dalam The Batman tampak lebih membumi. Kita tak lagi menyaksikan Bruce dalam balutan tuksedo menggandeng perempuan – dan bahkan Cristopher Nolan masih memunculkan adegan seperti ini dalam trilogi The Dark Knight. Hidup Bruce a.k.a Batman dalam The Batman sepenuhnya digerakkan oleh kebencian kepada kejahatan. Tak ada sisi lain dalam kehidupannya. Kalaupun ada interaksi sosial, itu pun pasti berkaitan dengan aksinya berburu kriminal, entah dengan polisi James Gordon (Jeffrey Wright) atau Selina Kyle alias Catwoman (Zoe Kravitz).

Di sisi seberang, Reeves juga memilih untuk memberi nuansa baru pada karakter Edward Nashton alias Riddler. Dalam komik, Edward memiliki ego mengerikan, kebutuhan akan perhatian, dan dorongan yang tak tertahankan untuk membuktikan bahwa dia lebih pintar daripada siapa pun, terutama Batman. Tapi dalam The Batman, Edward (Paul Dano) tampil sebagai antagonis yang simpatik, yang memiliki tujuan mulia dalam aksi-aksinya, dan yang tak sekadar ingin membalas dendam karena pernah terzalimi. Riddler dalam The Batman bukan orang baik yang menjadi jahat karena teraniaya seperti Arthur Fleck dalam Joker (2019).

Edward adalah seorang akuntan forensik yang terinspirasi Batman dalam memerangi kejahatan. Dia memiliki agenda membongkar kejahatan besar yang dilakukan warga elite Gotham. Dia kemudian menuntun Batman dan Gordon ke dalam kasus besar itu melalui teka-tekinya.

Dalam kacamata “etika kebajikan” Aristoles (virtue ethics), baik Batman maupun Riddler adalah orang ‘bajik’. Keduanya memiliki karakter kebajikan, yakni mencintai kebenaran dan membenci kejahatan.

Lantas, kenapa keduanya berada pada jalur yang berhadap-hadapan, yang saling menafikan?

Pandangan virtue ethics seringkali dianggap tidak praktis dalam menentukan apakah seseorang baik atau jahat. Dalam kenyataan, dua karakter “bajik” bisa saling berlawanan.

Pada diri Batman maupun Riddler, dua hal bajik saling berkonflik. Batman berupaya menegakkan keadilan tapi pada saat yang sama sang kelelewar besar itu tak punya setitik belas kasih kepada penjahat – memukuli mereka secara brutal atau menyetrum mereka dengan pistol listrik. Sementara berupaya mengungkap kebenaran, Riddler membunuh Walikota Gotham (Rupert William Penry-Jone), Komisaris Polisi Gotham (Alex Ferns), Jaksa Agung Gotham (Peter Sarsgaard), dan si bos mafia Carmine Falcone (John Turtorro) – dan kemudian menyiarkan aksi ini secara online untuk memprovokasi kekacauan sekaligus memasang sejumlah bom mobil di seantero Gotham.

Anda mungkin akan mengatakan kekerasan Batman tak sebanding dengan kekerasan Riddler. Tapi, dalam kacamata etika Immanuel Kant, Batman tetaplah bukan orang baik atau setidaknya kurang baik. Memiliki perasaan senang ketika membuat orang (jahat) menderita bagi etika deontologi bukanlah situasi moral yang bajik. Dalam melakukan niat baiknya, seseorang harus berbuat sesuai dengan serangkaian prinsip moral, yang di antaranya menurut Kant adalah tidak melukai kehormatan orang lain meskipun orang lain itu orang jahat.

Batman dan Riddler sebenarnya adalah dua sisi dari koin yang sama. Keduanya sama-sama vigilante, orang yang mengambil hukum ke tangannya sendiri meskipun berada pada skala yang berbeda. Batman setidaknya masih berhubungan dengan Gordon, otoritas penegak hukum yang menampung penjahat-penjahat hasil jotosan Batman ke dalam sel-sel penjaranya.

Di sinilah titik pemisah antara Batman dan Riddler, antara Bruce dan Edward. Dalam aliran deontologi, ada satu pandangan – yang disebut treshold deontology – bahwa seseorang bisa meninggalkan tugas moralnya dalam situasi-situasi darurat. Kita tahu dalam The Batman dan film-film superhero lainnya situasi-situasi darurat itu biasanya adalah menyebarnya korupsi sehingga sistem penegakan hukum tidak berjalan, kerusuhan sosial (perang saudara), dan invasi negara (makhluk) asing.

Dalam situasi-situasi darurat demikian, menurut treshold deontology, vigilantisme bisa dibenarkan secara moral dengan sejumlah syarat. Syarat itu antara lain respons yang proporsional, melindungi warga masyarakat paling lemah, dan adanya upaya untuk kembali membangun tatanan hukum dan sosial. Batman – dan bukan Riddler – sesuai dengan syarat-syarat tersebut.

Dengan bekerja bersama Gordon, Batman masih menyimpan kepercayaan kepada otoritas meskipun dia tahu mayoritas penegak hukum di Gotham korup. Dia masih berharap tegaknya tatanan sosial dengan terus berhubungan dengan Gordon. Dia juga memiliki semacam kode etik untuk tidak membunuh orang. Kesimpulannya, dia pembela tatanan sosial meskipun bermain-main dalam dunia abu-abu vigilantisme.

Dalam The Batman, Reeves pun memberi sinyal bahwa Batman pada akhirnya menyadari perlunya dia mereformasi cara-caranya dalam melawan kejahatan dan keinginannya untuk lebih memberi harapan ketimbang membalas dendam. “Vengence won’t change the past. Mine or anyone elses. People need hope,” kata Bruce membacakan catatan hariannya sebagai Batman.

Jika penonton setia sinema superhero, Anda pasti mengamati kecenderungan menarik dari pembuat film-film itu. Kini sebagian besar karakter jahat memiliki posisi moral kompleks: Riddler dalam The Batman, Flasg Smasher dalam The Falcon and the Winter Soldier, Killmonger dalam Black Panther, dan bahkan Thanos dalam Avengers: Infinity War. Mereka bukan sekadar karakter yang akan melawan siapa saja perintang jalan dan tujuan mereka. Mereka bahkan bertindak bukan demi kepentingan sendiri (self-interest).

Namun, menurut film-film itu, mereka menjadi penjahat, dan bukan pahlawan, karena cara mereka dalam membuat perubahan, dan bukan tujuan perubahan itu sendiri. Mereka memilih jalan yang sangat menyimpang dari prinsip moral – dan karena inilah para pahlawan super kita harus menghentikan mereka. Andai saja bukan jalan itu yang mereka pilih, mereka tentu akan berada dalam satu geng dengan pahlawan super – dan tentu saja tak akan ada cerita yang bisa kita tonton.

Bahkan, dalam The Batman, Riddler justru menunjukkan kepada Batman gambaran besar ketidakadilan yang terjadi di Gotham, sementara pahlawan berjubah kita lebih asyik beradu jotos dengan penjahat kelas sandal jepit, alih-alih memberangus penjahat kelas kakap yang menggarong uang rakyat Gotham. Meskipun di akhir film, Batman sepertinya menyadari gambaran besar itu, The Batman – dan film-film superhero lain – tetap menunjukkan kepada kita bahwa para superhero ini hanya menghentikan penjahat ‘baik’ yang menempuh jalan yang salah. Mereka tidak menjadi pahlawan karena menyelesaikan masalah yang lebih besar, yang ironisnya diungkap oleh para penjahat seteru mereka.

Menyelesaikan masalah yang lebih besar – yang kebanyakan merupakan masalah sosial sistemik – mungkin bukan tugas yang pas bagi karakter superhero. Tapi, penonton setidaknya membutuhkan karakter superhero yang lebih berurusan dengan masalah besar yang dihadapi kemanusiaan saat ini – dan bukan sekadar momen sekilas khotbah soal moral atau deus ex oratory curahan pribadi dalam catatan harian.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top