Sejarawan Eric Hobsbawm menulis bahwa paruh kedua abad ke-20 dunia menyaksikan perubahan sosial paling dramatis yang akan memutuskan kita dari dunia masa lalu dan itu adalah kematian kaum tani.
Melalui Undang-undang Pokok Agraria 1960, Indonesia menetapkan 24 September lalu sebagai Hari Tani Nasional. Hari itu diperingati sebagai refleksi sejarah perjuangan dan pembebasan petani dari kesengsaraan. Ironisnya, pada hari itu pula kita sadar kesengsaraan petani tidak pernah semata pengalaman retrospektif di masa kolonial melainkan sesuatu yang terus aktual.
Kehidupan petani Indonesia yang identik dengan kemiskinan karena tuna lahan oleh perampasan lahan secara sistemik, ketimpangan akses lahan dan ditambah faktor krisis iklim kini justru menubuh menjadi kenyataan sehari-hari daripada sekadar retrospektif.
Selama ini pengertian tentang petani dan kehidupan agraria secara antropologis dan ekonomi-politik menjadi pengertian yang tidak pernah monolitik melainkan beragam bahkan berkontestasi. Karena alasan inilah misalnya, kaum aktivis pergerakan agraria di Indonesia sejak tahun 90-an secara sadar memilih menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris kata petani menjadi ‘peasant’ bukan farmer atau smallholder karena konotasinya yang lebih radikal.
Di dalam tulisan ini imajinasi penulis tentang petani dan makna agraria dipengaruhi pendapat Gunawan Wiradi, ahli agraria Indonesia yang mengkritik makna sempit agraria (kata latin ager: tanah atau lapang) hanya sebatas tanah pertanian namun wilayah yang terdapat tanaman, air, sungai, hewan, mineral dan bahan tambang. Kegiatan petani yang mencakup agraria tidak terbatas pada pengolahan tanah seperti sawah dan ladang tapi termasuk beternak, menangkap ikan, menggembala, dan memanen hasil hutan. Suatu sistem sosial yang tidak terbatas pada hubungan manusia dengan tanah tapi juga hubungan antar manusia yang terbentuk di atas tanah.
Di dalam dunia nyata kehidupan agraris itu dapat kita saksikan melalui mereka yang hidup dari pertanian namun kini terus-menerus mengalami penyingkiran bahkan kekerasan seperti terjadi di Rempang, Seruyan, Wadas, Sorik Marapi, Morowali Utara, Laman Kinipan, suku Awyu di Papua Selatan dan warga di Pulau Obi di Halmahera. Konflik agraria tersebut berpusat pada isu pertambangan, perkebunan, kehutanan dan infrastruktur. Beragam penetrasi kapital telah secara agresif memperluas wilayah geografisnya di wilayah pedesaan Indonesia untuk mendapatkan sumber daya alam, tenaga kerja yang murah, dan membuka pasar baru.
Mencermati bentuk dan pola konflik agraria yang marak terjadi di Indonesia dapat diketahui isu sentral tetap berpusat pada perebutan lahan yang berlokasi di wilayah pedesaan (agraris). Namun sejak dua dasawarsa lebih perjuangan agraria tidak lagi sekadar berorientasi pada isu pertanian namum meluas pada gerakan melawan perusahaan pertambangan dan kini melawan kapitalisme negara melalui Proyek Strategis Nasional. Termasuk pula melawan perusahaan konservasi yang berusaha mencari untung dari market externalities melalui skema konservasi lahan dan model ecosystem services yang kemudian banyak dikritik sebagai adaptasi neoliberalistik karena kontradiksi yang diciptakannya. Yaitu ketika kapitalis yang merusak menunjuk dirinya sendiri sebagai agen conservasionist dan mendapatkan keuntungan dari kerusakan yang telah diciptakannya. Keadaan yang semakin kompleks ini membuat gerakan agraria dan petani kontemporer seperti dianalisis Jun Borras (2016) telah mentransformasi diri dalam aliansi bersama gerakan lingkungan di era perubahan iklim, dan gerakan adat serta kedaulatan pangan dalam memperjuangkan nasib mereka secara politik dan hukum.
Christian Lund (2021) menjelaskan jalur penyelesaian hukum sesungguhnya relevan dan penting bagi masyarakat saat mengalami konflik dan sengketa agraria di Indonesia. Warga petani memiliki kesadaran untuk mempelajari dan menggunakan aturan hukum secara saksama untuk menemukan pasal-pasal yang dapat memberikan perlindungan kepada mereka. Tapi selanjutnya mereka sering tidak berdaya mendesakkan agar hukum benar-benar ditegakkan. Mereka sering terbentur kenyataan pahit bahwa keadilan cuma sekadar retorika menjelang pemilu sementara sehari-hari hukum dan aparatnya berpihak kepada yang kuat dan bermodal.
Penegakan hukum atas kasus-kasus konflik dan sengketa agraria sering berubah menjadi kekerasan sebab pola penanganan oleh polisi dan pelibatan tentara serta-merta selalu mendukung perusahaan daripada terlebih dahulu melakukan penyelidikan hukum yang adil. Tania Li dan Pujo Semedi dalam bukunya Plantation Life (2021) meresonansi riwayat pemihakan istimewa pemerintah Indonesia kepada perusahaan perkebunan dengan mengungkapkan hadirnya pejabat pemerintah daerah dari pelbagai kedinasan untuk menjadi anggota ‘Tim Koordinasi’ yang secara legal bertugas membantu perusahaan dan menjadi semacam ‘orang perusahaan’ ketika perusahaan mengalami masalah termasuk saat berkonflik dengan warga petani. Negara yang otomatis berpihak kepada perusahaan tidak mungkin dapat diandalkan untuk menegakkan hukum.
Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan tiga tahun terakhir periode kedua Presiden Joko Widodo konflik agraria dari perusahaan pelat merah justru meningkat. KPA juga mencatat terjadi peningkatan kriminalisasi terhadap pejuang hak tanah sepanjang 2022 sebanyak 497 kasus dibanding 2021 sebanyak 150 kasus. Eksistensi petani secara sistematis terancam dari pelbagai penjuru kepentingan pembangunan berikut penetrasi kapital yang menyertainya.
Sejarawan Eric Hobsbawm (1994) menulis bahwa paruh kedua abad ke-20 dunia menyaksikan perubahan sosial paling dramatis yang akan memutuskan kita dari dunia masa lalu dan itu adalah kematian kaum tani. Namun sebaliknya, menurut data FAO (2023) masih ada 1.23 milyar orang berada di sektor pertanian dan hampir setengah dari populasi dunia hidup di rumah tangga yang terhubung dengan pertanian pangan.
Di Indonesia sendiri ada 45 persen atau sekitar 125 juta orang hidup di pedesaan. Indonesia adalah negara keempat pemilik populasi pedesaan terbesar di selatan dunia (global south). Pertanian masih menjadi tumpuan di 24 dari 38 provinsi di Indonesia meskipun data BPS mengungkapkan ada 55 persen rumah tangga petani yang masuk golongan gurem karena memiliki lahan pertanian hanya 0.5 hektar.
Petani Menua dan Macetnya Regenerasi
Jumlah petani Indonesia menurut BPS (2023) berjumlah 40 juta orang dan mereka yang berhenti menjadi petani setiap tahunnya berjumlah sekitar 1.5 juta orang. Petani Indonesia terus mengalami penuaan. Sekitar 90 persen lebih petani berusia di atas 40 tahun. Usia rata-rata petani Indonesia sekarang ini di kisaran 47 hingga 50 tahun. Petani berusia 20 hingga 39 tahun hanya berjumlah sekitar 2.7 juta orang. Jika ini terus terjadi 10-15 tahun ke depan regenerasi petani akan mengalami krisis.
Ben White (2012) antropolog pertanian di Indonesia mengisahkan petani kecil tak mampu menyerahkan tanah pertanian kepada anak-anak mereka karena masa tunggu yang begitu lama. Pemuda rata-rata harus melewati usia muda dan menunggu sampai usia 40-an hingga akhirnya mengambil alih lahan pertanian keluarga. Keadaan ini membuat pemuda meninggalkan pertanian dan bermigrasi musiman ke kota menjadi tukang bangunan, pedagang keliling dan tukang ojek. Bertani menjadi pekerjaan paruh-waktu bagi pemuda. Bekerja sambilan dan jamak (pluriactivity) menjadi norma di rumah tangga petani muda. Akses terhadap lahan di usia muda menjadi salah satu faktor kunci generasi muda mau melanjutkan masa depan pertanian keluarga.
Wajah masyarakat agraris Indonesia tentu tidaklah homogen namun sarat kontradiksi dan ketidaksetaraan yang mencolok. Eric Wolf (1966) di dalam bukunya Peasant membuat semacam pemaknaan antropologis tentang arti petani yang terus relevan hingga kini. Ia menulis di dalam etnografinya petani adalah “penggarap di pedesaan yang surplusnya ditransfer ke kelompok penguasa yang dominan”. Ketika petani berupaya mendapatkan tanah, petani harus berurusan dengan tuan tanah. Dalam upaya menjual hasil panen, mereka harus berurusan dengan tengkulak. Saat kehabisan pangan atau uang dan mencoba bekerja untuk orang lain mereka harus menerima upah murah dan eksploitasi. Begitulah kehidupan petani kecil yang jarang bisa mandiri. Wolf menggambarkan kehidupan petani yang tidak terisolasi dari kehidupan sosial dan kekuatan ekonomi yang berada di luar kendali mereka.
Selama lebih dua dasawarsa penetrasi kapital melalui perkebunan monokultur dan pertambangan menjadi wajah sehari-hari pedesaan Indonesia. Penetrasi itu disertai ongkos sosial dan lingkungan yang mengkhawatirkan. Keadaan yang disebut oleh Tania Li (2019) saat meneliti korporasi perkebunan di Indonesia ‘ketika tanah dibutuhkan tapi orangnya tidak’. Petani kecil semakin terperangkap menjadi buruh upah murah dan menjadi bagian langsung dari operasi ‘corporate food regime’ (Philip McMichael 2013). Ketika korporasi menguasa, maka pangan menjadi urusan keuntungan pribadi dan kemudian secara sistematis menyingkirkan rumah tangga petani.
Memberdayakan Pertanian Keluarga
Di tengah kuatnya corporate food regime yang dirasakan semakin memperparah krisis pangan, FAO menyerukan dunia untuk memperkuat pertanian keluarga (family farming) di dalam resolusi ‘UN Decade of Family Farming 2019-2028’. Pertanian keluarga dan produksi pangan yang bersifat lokal dan subsisten dianggap sebagai solusi untuk menjamin keamanan pangan, memperbaiki penghidupan petani dan melindungi lingkungan yang berkelanjutan. Petani keluarga yang memiliki lahan sendiri dan terikat dengan sistem sosial adat mereka dalam mengelola per unit lahan telah terbukti lebih produktif dan inklusif dibanding jenis pertanian lain. Mereka juga dinilai lebih tangguh dibanding pertanian korporasi dalam memberantas kelaparan (zero hunger) dan lebih arif untuk merawat bumi, menjaga keragaman hayati, dan mencapai Sustainable Development Goals. Jika pemerintah sadar pentingnya pertanian keluarga dan memberi perhatian sama adilnya kepada petani —terutama petani muda, seperti mereka memberi perhatian istimewa kepada pertanian korporasi maka pertanian keluarga menurut FAO adalah masa depan dunia.
Secara ekonomi politik ada tiga skenario kebijakan untuk mengarusutamakan pertanian keluarga. Kebijakan pertama mempromosikan kebijakan redistribusi pertanahan, misalnya melakukan reforma agraria kepada mereka yang tidak memiliki tanah dan hampir tidak memiliki tanah. Kedua, melindungi wilayah masyarakat yang mempunyai akses terhadap tanah namun terancam oleh berbagai proses ekonomi pasar. Tugas utamanya melindungi akses yang ada melalui serangkaian intervensi kelembagaan: hak teritorial masyarakat adat, sertifikasi tanah masyarakat, reformasi hak guna usaha. Ketiga, memulihkan orang-orang yang terusir dari tanah mereka melalui berbagai bentuk pemaksaan. Tugasnya memulihkan akses terhadap lahan. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai jenis kebijakan restitusi tanah, kompensasi, rehabilitasi dan pemenuhan rasa keadilan.
Masalah Ekonomi Politik Petani
Kini pertanyaan besarnya dapatkah ketiga skenario tersebut diwujudkan di dalam sistem kapitalisme yang percaya lumbung pangan hanya dapat disediakan oleh pertanian korporasi dibantu negara (food estate) dan bukan oleh pertanian keluarga. Selama ini model pembangunan Indonesia yang berwatak ekstraktif memperlakukan pertanian keluarga berhadapan dalam situasi menang-kalah dengan pasar melalui perusahaan perkebunan yang dianggap lebih mampu mengolah tanaman komoditas dan pangan dan lebih efisien dalam menjawab kebutuhan industrial dari pasar dunia.
Pandangan itu jelas ahistoris. Jauh sebelum datangnya kolonialisme ke Indonesia petani nusantara sudah berkiprah memasok komoditas ke pasar global. Pertanian keluarga di Indonesia punya sejarah panjang antuasiasme terhadap produksi cash-crop: karet, kopi, coklat, pala, cengkeh dan kelapa. Baru kemudian pada 1870 saat masuknya perkebunan kolonial, petani keluarga dipaksa menjadi budak dan dibuat tidak mampu menghasilkan pertanian yang efisien.
Dalam studi Tania Li dan Pujo Semedi (2021) petani keluarga terbukti lebih efisien sementara perusahaan perkebunan dipenuhi oleh penyakit korupsi dan pencurian mulai dari lapisan paling atas hingga bawah. Kondisi ini membuat produksi membengkak dan kinerjanya menurun. Sebaliknya petani keluarga mereka sangat efisien dalam mengelola aset produksi mereka. Tidak ada petani yang mencuri pupuknya sendiri.
Selama ini pertanian dan perkebunan dibangun di atas mitos yang sangat rasialis. Petani keluarga di wilayah adatnya dianggap tidak mampu mengelola tanaman pasar global, bodoh dan malas (Syed Hussain Alatas, 1977). Asumsi rasis ini bersemayam sejak era kolonial hingga kini. Perkebunan adalah pihak yang paling efisien yang mengelola pertanian. Padahal argumen efisiensi di perkebunan itu dicapai dengan mengkonsentrasikan sumber daya di tangan mereka dibantu oleh subsidi, insentif, dan regulasi dari negara yang sangat memanjakan.
Petani keluarga menurut studi-studi perkebunan dan agraria merasa dijajah oleh perkebunan. Perkebunan merampas tanah mereka melalui skema-skema peraturan, kebijakan politik dan paksaan. Perusahaan menjanjikan pekerjaan namun pekerjaan tersebut disaring secara gender dan dirasialkan. Perempuan dipekerjakan karena dianggap lebih mudah diatur dan dapat diupah rendah. Sementara lelaki orang tempatan dianggap berpotensi menjadi biang masalah dan dibiarkan tak bertanah dan tak bekerja. Pekerja lelaki dibawa dari Jawa, NTB, dan keturunan transmigran Jawa.
Jika pun dipekerjakan petani pedesaan didorong masuk dalam skema korporasi (adverse incorporation) yang menyebabkan masing-masing dari mereka terlibat dan tergantung dan tidak mandiri. Para petani dari petani ladang dan karet diikat bertani sawit di perkebunan sebagai petani plasma. Di dalam sistem itu petani harus menjual hasilnya ke perusahaan tapi infrastrukturnya ditelantarkan. Panen sawit sering gagal dibawa karena jalan rusak berat.
Penelitian Tania Li dan Pujo Semedi (2021) menyebut petani Indonesia mengalami kekerasan infrastruktural. Kini terdapat 49% petani Indonesia yang tak memiliki tanah (landless) karena tanahnya diduduki perkebunan. Petani menjadi golongan proletariat dengan memburuh belaka (landless labor). Sistem perkebunan plasma yang mereka jalani terus mengembangkan sistem mafia berupa relasi pemerasan. Petani plasma mengalami pencekikan produksi dan distribusi. Orang perusahaan mengatur sistem produksi dan distribusi dan memanfaatkan posisinya untuk menarik penghasilan haram/rente melalui akses produksi dan infrastruktur. Misalnya, sesiapa yang lewat akses perkebunan membawa hasil panen harus membayar. Petani juga diajarkan membuat koperasi yang salah kaprah. Koperasi digunakan untuk memotong penghasilan petani.
Jika ada usulan yang mencoba memberi peran yang lebih adil dan berkelanjutan kepada petani dan pihak perkebunan maka jalannya adalah menyerahkan pertanian kepada petani keluarga sementara proses berikutnya (industrialisasi) diserahkan kepada perusahaan perkebunan dibarengi dengan perubahan kebijakan pemerintah yang lebih adil kepada petani keluarga.
Hari ini jika kita melihat peta Indonesia, kita akan melihat titik-titik wilayah konsesi lahan milik perusahaan untuk perkebunan di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang terus membesar dan menyebar. Kini wilayah konsesi yang diberikan kepada korporasi sudah mencapai 22 juta hektar dan itu berarti sepertiga dari wilayah pertanian Indonesia sudah dikuasai oleh korporasi perkebunan. Jika kita terus membiarkan pendudukan oleh perusahaan ini terjadi, masa depan pedesaan dan pertanian keluarga di Indonesia akan semakin tercengkeram di bawah pendudukan perusahaan perkebunan dengan segala problem sosial, ekonomi dan lingkungan yang mereka ciptakan. Sekarang pilihannya ada di depan mata kita. Apakah kita memilih untuk terus mengkhawatirkan investasi dan memasok komoditas ke pasar dunia seraya berbangga menjadi rantai penting pemasok komoditas bagi kapitalisme global. Ataukah kini saatnya kita memikirkan nasib warga petani di pedesaan beserta alam serta keragaman hayatinya yang sebagiannya rusak bahkan sirna? Kita tahu persis pilihan mana yang lebih terhormat.
*Peneliti antropologi pembangunan, agraria dan perubahan iklim di Van Vollenhoven Institute, Leiden University.
Rujukan
Alatas, S.H., 2013. The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism. Routledge.
Borras, S.M., 2016. Land politics, agrarian movements and scholar-activism. Inaugural Lecture, 14.
White, B., 2012. Agriculture and the generation problem: rural youth, employment and the future of farming. ids Bulletin, 43(6), pp.9-19.
Hobsbawm, E., 1994. The age of extremes: 1914-1991. Hachette UK.
Introducing the UN Decade of Family Farming: https://www.fao.org/family-farming-decade/home/en/
Lee Peluso, N., Afiff, S. and Rachman, N.F., 2008. Claiming the grounds for reform: agrarian and environmental movements in Indonesia. Journal of Agrarian Change, 8(2‐3), pp.377-407.
Li, T.M. and Semedi, P., 2021. Plantation life: corporate occupation in Indonesia’s oil palm zone. Duke University Press.
Lund, C., 2021. Nine-tenths of the law: Enduring dispossession in Indonesia. Yale University Press.
McMichael, P., 2013. A food regime genealogy. In Critical Perspectives in Rural Development Studies (pp. 129-158). Routledge.
Wiradi, G., 2009. Metodologi studi agraria: karya terpilih Gunawan Wiradi. SAINS Press.
Wiradi, G., 2009. Reforma agraria: dari desa ke agenda bangsa. IPB Press.
Wolf, Eric., 1966. Peasants (Prentice-Hall)