Bagi Henry Manampiring, filsafat seharusnya bertujuan untuk pengembangan diri. Filsafat tak semestinya dibatasi dalam tembok akademik, diksi yang sulit, dan permainan bahasa. Dalam Stoisisme, dia menemukan hal itu meski tetap jujur mengakui masih menyimpan problem dari filsafat kuno ini.
Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini bisa dibilang fenomenal. Belum genap berusia satu tahun sejak terbit pertama kalinya pada Desember 2018, buku karya Henry Manampiring itu kini sudah naik cetak 10 kali. Jumlah itu belum termasuk versi digital, yang hingga Oktober 2019 menempati buku non-fiksi terpopuler di aplikasi Gramedia Digital.
Henry mengatakan, dia tak pernah menyangka buku ini bisa memikat cukup banyak pembaca, apalagi di tengah kondisi minat baca masyarakat yang katanya rendah. “Topik buku ini kan tidak seksi, bukan roman, bukan cerita percintaan,” kata Henry ketika menerima redaksi ALIFYA di sebuah restoran padang di bilangan Jakarta Selatan.
Filosofi Teras sendiri buku kelima Henry, dan tentu saja yang paling laris di pasaran. Karya-karya dia sebelumnya adalah Cinta Tidak Harus Mati, 7 Kebiasaan Orang yang Nyebelin Banget, The Alpha Girl’s Guide, dan The Alpha Girl’s Playbook.
Dia merasakan Stoisisme membawa pengaruh luar biasa terhadap dirinya. “Seperti menampar saya,” katanya. Istilah dia, Stoisisme telah membebaskan, memberdayakan, dan membuat emosinya selalu akuntabel.
Meski demikian, dia jujur masih menyimpan problem terkait filsafat kuno ini. Karena itu, dia belum berhenti mempelajari dan mendalaminya.
Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda bertemu dengan Stoisisme? Apakah memang kebetulan seperti yang Anda ceritakan dalam buku ataukah sebelumnya sudah mengetahui bahwa filsafat ini sedang menjadi tren di Barat?
Benar-benar kebetulan. Saya enggak tahu dan enggak pernah tertarik sebelumnya. Saat di toko buku, saya melihat buku itu (How to be a Stoic karya Massimo Pigliucci) dan kondisi mental saya ketika itu belum sehat. Setelah membacanya dan mempelajarinya lebih jauh, saya merasakan perbedaan.
Apa yang pertama kali membuat Anda tertarik kepada buku Pigliucci?
Judulnya bukan “Filsafat Stoa”, tapi “how to be”, semacam instruksi, elu mau enggak menjadi seperti ini.
Anda sudah tahu sebelumnya apa itu “stois”?
Tidak sama sekali. Zero. Saya pernah mendengar itu sebagai kata Inggris dengan “s” kecil, dan kata itu identik dengan “orang yang tidak menunjukkan perasaan”, padahal arti ini sama sekali enggak ada hubungannya dengan filsafat itu. Lalu saya balik buku itu dan membaca bagian belakangnya (bagian sinopsis–red). Dikatakan di situ, ini untuk mendapatkan ketenangan di tengah gejolak dunia saat ini. Saya pikir buku ini bisa membantu saya. Setelah saya baca, buku ini mengena sekali dan seperti menjadi jawaban, membantu mengobati depresi saya. Saya mulai resapi, hayati, dan praktikkan. Hasilnya, saya pulih lebih cepat dan dokter juga kagum karena pengobatan saya menjadi lebih cepat.
Apa manfaat itu Anda dapatkan hanya setelah membaca buku Pigliucci?
Tidak. Begitu selesai dengan Pigliucci, saya langsung riset, membaca buku-buku (tentang Stoisisme) yang lain, dari buku kontemporernya sampai teks-teks kunonya, tentunya yang sudah dalam bahasa Inggris, seperti buku Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius. Juga, saya baca artikel-artike di internet. Semakin tenggelam, semakin saya menghayati Stoisisme.
Lalu, setelah itu langsung mempraktikkan filsafat itu atau Anda masih perlu menyusun sendiri bagaimana praktiknya?
Langsung praktik.
Kapan dan kenapa ada keinginan untuk menulis tentang Stoisisme?
Kira-kira dua tahun lalu. Alasannya, saya gemas karena tak ada buku tentang Stoisisme dalam bahasa Indonesia. Saya sudah cari di internet dan toko-toko buku besar di Indonesia. Saya cari di rak filsafat, dan hasilnya nihil. Saya merasa, kok sayang pemikiran yang bisa sangat berguna bagi banyak orang ini tidak ditulis dalam bahasa Indonesia. Bagaimanapun, orang yang bisa membaca bahasa Inggris kan sedikit. Jadi, modal saya ya cuma gemas aja.
Kemudian, entah ini karena kehendak Yang di atas atau hanya kebetulan, di tengah saya menulis buku ini, kira-kira April tahun lalu, Salihara mengadakan seri pembahasan filsafat Stoisisme, yang dibawakan oleh Romo Setyo (A Setyo Wibowo yang juga menulis pengantar untuk Filosofi Teras–red) dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Jadi, pas gitu. Beliau sendiri akhirnya menulis buku tentang ini yang diterbitkan Penerbit Kanisius. Sayangnya, buku beliau kurang terekspos. Mungkin karena bahasa beliau yang lebih filosofis sementara saya kan pakai bahasa sehari-hari.
Berapa lama proses penulisannya?
Satu tahun persis. Saya mulai pada Desember 2017 dan terbit pada Desember 2018.
Anda sepertinya cukup serius menyiapkan buku ini. Ada survei. Ada wawancara. Juga buku ini lumayan tebal sampai lebih dari 300 halaman dan gaya bahasanya bertutur. Bagaimana proses kreatifnya?
Ini kan buku kelima saya. Saya merasa menemukan gaya bahasa saya kasual, tidak formal. Bukan apa-apa, bahasa baku saya juga enggak baguslah. Saya bukan Ivan Lanin. Jadi memang apa adanya. Tapi, dengan gaya bahasa itu, saya juga ingin menjangkau kaum milenial muda. Saya hanya berpikir, tingkat literasi kita kan masih rendah. Minat baca kita masih jauh dibandikan dengan negara lain. Jika demikian, jika gaya bahasa saya tidak membumi, ya pasti bakal makin sulit. Jadi, semua buku saya bahasanya ya kayak orang ngobrol.
Soal wawancara, saya pernah menggunakan ini sebelumnya di buku Alpha Girl. Saya merasa saya menulis buku filsafat sementara saya bukan lulusan jurusan filsafat. Ini berarti kapasitas saya bukan sebagai akademisi tetapi sebagai orang yang sharing pengalaman. Nah, kalau saya sharing sendirian, kok rasanya kurang nendang gitu. Kalau enggak juga enggak apa-apa sih, tapi tetap kayaknya subjektif. Jadi, saya mau memperkaya buku saya dengan perspektif orang lain. Apalagi saya merasa ini seperti mental trick juga. Jadi, saya interview psikiater, pengusaha, dan Cania (Citta Irlanie). Dia kan mengelola media politik tapi mampu menghadapi hujatan dengan tenang. Jadi, saya ingin menunjukkan, meskipun ini filsafat tua, ternyata ada kebenarannya juga dari perspektif orang lain. Tujuan saya menulis buku ini ingin menunjukkan bahwa konsep ini bukan di awang-awang. Konsep ini berjejak dan untuk dipraktikkan.
Soal survei, itu memang dilakukan untuk buku ini. Pekerjaan saya memang meriset perilaku konsumen. Survei itu dilakukan online, dan sudah saya sampaikan dalam buku, survei itu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara metodologi statistik. Jadi, sifatnya online di akun saya dan tersebar sendiri, sehingga tidak representatif.
Jadi, semua direncanakan?
Ya, relatif direncanakan. Tapi jika ditanyakan kepada saya sekarang, jujur saya ingin memendekkan (jumlah halaman) buku ini. Ada pertimbangan komersial agar buku tidak terlalu tebal, sehingga halaman harus terjaga. Karena itu, ada yang bilang buku saya ini font-nya terlalu kecil. Orang yang usianya sudah 40 tahun ke atas banyak yang mengeluh. Kalau saya diberi kesempatan, saya ingin mengeditnya.
Apa kekuatan dari Stoisisme?
Ada tiga. Pertama, ia membebaskan, dan yang kedua memberdayakan. Ketiga, ia menuntut akuntabilitas.
Kenapa membebaskan? Stoisisme mengungkap bahwa sebenarnya, jika mau, kita bisa mengendalikan emosi kita. Sebelum saya mengenal filosofi ini, emosi saya selalu saya salahkan kepada orang lain. Kalau marah, saya menyalahkan WhatsApp Group. Kalau saya kesal, ini pasti salah calon presiden. Kalau saya jengkel, ini pasti salah bos. Kalau saya bete, istri yang salah. Jadi, selalu menyalahkan pihak lain untuk kondisi saya. Hampir semua kita seperti itu kan. Begitu juga kalau bahagia, kita selalu atribusikan kepada hal-hal di luar kita. Kenapa happy? Ya, saya nemu duit tadi.
Nah, para filsuf stois bilang itu suatu kekeliruan. Yang elu bisa kontrol kan pikiran elu doang. Judgement. Sisanya kita enggak bisa kendalikan. Kata mereka, enggak rasional kita mencantolkan kesusahan dan kesenangan kepada hal lain. Ini seperti menampar saya. Stoisisme menunjukkan bahwa sebenarnya bukan hal-hal lain yang mengganggu kita tapi opini kita sendiri.
Saya selalu mengatakan begini. Kita jalan malam-malam dan berpapasan dengan orang bertato. Ada yang takut, tapi ada juga yang malah mengajak ngobrol, apalagi kalau tatonya bagus. Ini menunjukkan bahwa respons atau persepsi orang bisa berbeda-beda terhadap impresi yang sama. Nah, persepsi kan enggak ada di orang yang bertato ini kan. Itulah mengapa saya bilang Stoisisme sebagai pembebasan.
Kemudian, Stoisisme mengajarkan mekanisme bagaimana kita sampai punya emosi negatif tadi. Kata mereka, kalau kita sampai merasakan emosi negatif, yang kita mesti periksa lebih dulu adalah opini kita. Karena itu, mereka bilang emosi negatif itu lahir dari nalar yang salah. Kita lihat di media sosial, apa-apa bisa membuat orang marah. Menurut stois, elu enggak bisa langsung marah seperti itu. Elu punya opini apa tentang itu. Jadi, ini memberdayakan karena emosi kini berada di dalam kendali kita.
Ini sama dengan konsep awareness yang sedang populer. Jadi, orang marah itu berbeda dengan orang yang menyadari bahwa dia sedang marah. Yang kedua (sadar sedang marah) ini susah dilakukan. Tak ada konsep dalam semalam tapi bisa dilatih.
Dari situ kita masuk ke kekuatan ketiga, yakni akuntabilitas. Karena kita bisa kendalikan emosi, maka emosi kita akuntabel.
Saya rasa ini yang dibutuhkan banyak orang saat ini. Dunia ini mudah terpicu. Kita cepat sekali khawatir, mudah diprovokasi, baperan. Yang diajarkan Stoisisme itu, jangan terlalu cepat blaming. Mungkin yang harus kita cek lebih dulu adalah persepsi kita.
Pernah terpikir untuk membuat terapi atau menjadi motivator self-help dengan berdasarkan filsafat stoa?
Buku saya sendiri ditaruh di rak pengembangan diri, bukan di rak filsafat. Tapi enggak apa-apa karena, kalau di rak filsafat, buku ini bisa enggak laku.
Tapi, ada hal yang menarik. Kalau kita bicara filsafat sekarang, menurut saya, sudah terjadi pergeseran makna. Filsafat jadi asing. Kira-kira, ini apa sih. Sekelompok orang tua minum kopi, ngerokok, ngobrol ngalor ngidul tentang topik yang enggak ada hubungannya dengan hidup kita. Setelah saya pelajari, ternyata itu kekeliruan.
Kalau saya punya mesin waktu dan bisa kembali ke 2.000 tahun lalu, saya akan ajak Socrates, Aristoteles, Plato, dan para filsuf stois ke zaman kita, dan ke toko buku. Mereka akan melihat bagaimana buku-buku filsafat dipisahkan dari buku pengembangan diri. Saya yakin mereka akan sedih. Mereka kira-kira akan bilang, lho ini mengapa buku saya dipisahkan dari rak pengembangan diri. Sebab, filsafat itu pada zaman dulu justru bertujuan untuk mengembangkan diri, untuk mengaudit diri, bukan untuk sekadar memikirkan apa meja ini benar ada apa enggak. Itu dunia modern yang bikin filsafat seperti itu. Tapi, filsafat klasik, seperti filsafat Yunani Kuno dan Romawi Kuno, itu the way of life.
Cara mereka mendeskripsikan filsafat mereka saja itu sudah terapi. Jadi, mereka bilang, kalau kamu ke dokter karena tubuh sakit, maka datanglah ke filsuf jika jiwamu sakit. Jadi, filsuf ya mestinya seperti itu, menjadi tempat orang berkeluh kesah, orang yang mencari pencerahan, dan tempat curhat. Bukan dikunci di dinding-dinding ilmiah dunia akademik. Tapi sekarang kita berhadapan dengan diksi yang sulit dalam filsafat, pemainan kata-kata, epistemologi, eksistensialisme, atau apalah. Kita bertanya, apa manfaatnya semua itu. Ternyata kan enggak mesti seperti itu.
Kalau ditanya apa saya mau jadi terapis, saya mau sekali tapi saya tidak pede.
Kenapa?
Saya sadar diri juga. Saya melihat diri saya sebagai murid. Sementara saat baca teks-teks aslinya, yang ngomong itu kan sudah level guru. Sebenarnya ada dalam psikologi yang terinspirasi oleh Stoisisme, yakni aliran terapi CBT (cognitive behavioral therapy). Ini anak cucu pemikiran Stoisisme. CBT ini mengejar dan mengecek pikiran orang, sisi kognitifnya.
Dalam Filosofi Teras, Anda seperti masih menemukan problem. Salah satunya, soal determinisme. Terkesan filsafat ini deterministik. Bagaimana? Apa sudah terselesaikan problem itu?
Saya masih dalam proses pencarian karena problem determinisme ini sudah di level intermediate atau advanced. Saya pernah bertukar pikiran dengan Mas Qaris Tajudin dari Tempo Institute. Dia datang dari latar belakang Islam dan suka sekali dengan Stoisisme. Dia bilang dia pernah mempelajari filsafat ini di Mesir, tapi bukan bagian etikanya. Dia lebih mempelajari bagian teologinya. Terus dia mengatakan bahwa kata takdir itu banyak disalahpahami. Takdir itu disalahdipahami sebagai sesuatu yang “sudah ditulis”, predestinasi. Jadi, ya udah kita cuma makhluk, hanya mengikuti.
Mas Qaris bilang bukan itu maknanya. Takdir itu artinya sesuai takaran, sesuai ukuran, jadi tidak absolut begitu. Jadi, maknanya, setiap perbuatan kita akan bertemu dengan hukum atau prinsip alam yang akan menciptakan efek sesuai kadarnya. Misalnya, jika saya menyetir mobil secara ceroboh dan menabrak seseorang sampai dia meninggal, itu terjadi karena variabel-variabel yang saya ikut serta di dalamnya. Jadi, enggak bisa saya membela diri dan mengatakan, peristiwa itu sudah ditakdirkan.
Terus terang dalam soal ini, sekali lagi saya belum selesai mempelajari Stoisisme. Di kalangan para penafsir filsafat ini, ada perbedaan pandangan. Para stois kan kaum panteis. Artinya, Tuhan bagi mereka itu bukan pribadi yang terpisah. Tuhan itu menyatu. The Universe is God.
Tapi bukankah ada juga yang menyebut nama Zeus?
Itu sebenarnya lebih puitis, lebih ke simbol. Tapi sebenarnya ketika mereka (filsuf Stoisisme) menyebut Dewa dan Alam, keduanya interchangeable. God is Nature. Jadi, bagi mereka, apa pun yang terjadi di alam ini sudah ada dalam hukum-hukumnya. Karena itu, mereka itu tidak terlalu percaya kepada miracle. Buat mereka, mukjizat itu seperti Tuhan melanggar hukumnya sendiri, mengintervensi hukum alam. Itu tidak bisa mereka terima. Karenanya, tidak ada afterlife bagi mereka. Mereka tidak takut mati. Kematian itu biasa aja buat mereka.
Saya masih struggling sekali soal ini.
Anda mencoba memberi sentuhan kepedulian sosial kepada Stoisisme, tapi persoalan ini juga masih menjadi problem dan perdebatan di kalangan pecinta filsafat ini?
Ada kutipan bagus dari filsuf stois. “Apa yang baik bagi sarang lebah, itu pasti baik buat individu lebah. Itu bagus kan. Kita enggak mau dunia ini berantakan. Sebab, jika dunia berantakan, kita juga akan terkena dampaknya. Ini berarti kita harus terlibat.
Saya rasa ini problem tafsir, dan karena itu, bagi saya, ini bukan problem. Kita cukup melihat tingkah laku praktisinya. Bahkan, saya dengan Romo Setyo berbeda soal ini. Saya pernah bertanya kepada Romo Setyo, bagaimana dengan konsep keterlibatan sosial. Romo Setyo yang jelas-jelas ilmunya di atas saya bilang para stois itu tidak peduli karena yang penting itu membina yang di dalam diri. Yang di luar itu indifferent (tidak berpengaruh).
Tapi di sini, saya berbeda pendapat dengan beliau. Saya agak lancang karena saya cuma “anak baru”.
Kita bisa melihat banyak tokoh stois yang aktif berpolitik. Seneca, misalnya, adalah guru Kaisar Nero. Bahkan, dia mati karena dituduh mau memberontak oleh Nero, muridnya sendiri. Bersama dengan Seneca, sekelompok filsuf Stoisisme juga dihukum mati semua. Jadi dalam sejarah Romawi, mereka banyak mati di tangan penguasa karena protes. Mereka tidak terlihat apatis. Contoh lain, Cato the Younger itu berantem dengan Julius Caesar. Julius ini kan, mohon maaf, kayak Pak Harto. Dia ingin mengembalikan sistem republik ke kekaisaran. Nah, yang pertama berisik itu filsuf Stoisisme.
Secara konsep, saya berpegang pada konsep kosmopolitan dari Stoisisme. Dikatakan, kita enggak bisa enggak peduli terhadap keadaan dunia ini. Yang berikutnya, yang menjadi pegangan saya adalah empat virtue (kebajikan) itu, yakni kebijaksanaan, keberaniaan, keadilan, dan menahan diri. Jadi, stois itu harus bijak, berani, dan adil.
Tafsir Anda atas Stoisisme tampaknya progresif. Sebab, William Irvine (seorang penganjur baru Stoisisme di Amerika Serikat) mengatakan, jika dunia ini tidak adil, maka jangan dunianya yang diubah tapi pikiran orang atas dunia ini yang harus diubah?
Saya berseberangan dengan pikiran itu. Pikiran seperti itu gawat sih. Dunia dan lingkungan ini akan hancur. Itu jelas-jelas melanggar satu tenet Stoisisme sendiri, yakni bahwa kita harus hidup selaras dengan alam, dengan manusia lain. Kalau ada yang mau merusak itu, maka kita seharusnya terpanggil.
Hanya, jangan sampai kita emosional. Nah, itu yang saya setuju. Justru kalau emosional, perjuangan bisa destruktif. Seneca itu anti-kemarahan tapi tetap bisa memperjuangkan keadilan.
Bagaimana jika dikatakan tafsir Anda sudah melampaui (post) Stoisisme klasik?
Wah, saya tidak berani bilang begitu, atau saya bukan orang yang tepat untuk mengatakan itu. Sebab, banyak juga pemikir stois yang seperti saya karena tafsir seperti ini kan sudah ada di zaman klasik. Apa mereka post? Kan enggak. Konsep kosmopolitan itu juga klasik. Jadi, enggak bisa dibilang post. Ini kan hanya faksi-faksi dalam suatu ajaran.[]