JELAJAH LITERASI

Pesantren Hasil Asimilasi Pendidikan Hindu-Buddha

in Nukilan by

Dalam tulisan yang dinukil dari bukunya Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto berpendapat bahwa pesantren merupakan hasil upaya asimilasi tradisi pendidikan Islam dengan Hindu-Buddha yang dilakukan Wali Songo. Pendapat ini didasarkan kepada temuannya bahwa banyak kemiripan antara tradisi baru dan lama itu dalam konsep pendidikan, etiket siswa-guru, dan latihan pengendalian diri.

Salah satu proses islamisasi melalui dakwah Islam yang dilakukan para penyebar Islam melalui pengambilalihan sistem pendidikan lokal berciri Hindu-Buddha dan Kapitayan seperti dukuh, asrama, padepokan menjadi lembaga pendidikan Islam yang disebut “pondok pesantren”, tercatat sebagai hasil dakwah yang menakjubkan. Dikatakan menakjubkan karena para penyebar Islam—yang merupakan guru-guru ruhani dan tokoh sufi yang dikenal dengan sebutan Wali Songo itu—mampu memformulasikan nilai-nilai sosio-kultural religius yang dianut masyarakat Syiwa-Buddha dengan nilai-nilai Islam, terutama dalam memformulasi nilai-nilai tauhid Syiwa-Buddha (adwayasashtra) dengan ajaran tauhid Islam yang dianut para guru sufi.

Dengan kewaskitaan seorang arif yang sudah tercerahkan, para guru sufi mengambil alih sistem pendidikan Syiwa-Buddha yang disebut “dukuh”, yaitu pertapaan untuk mendidik calon pendeta yang disebut wiku. Naskah-naskah kuno berbahasa Kawi yang berjudul Silakrama, Tingkahing Wiku, dan Wratisasana yang berasal dari era Majapahit, yang memuat tatakrama yang mengatur para siswa di sebuah dukuh dalam menuntut pengetahuan, mengajarkan bahwa yang disebut gurubakti adalah tatakrama yang berisi tata tertib, sikap hormat dan sujud bakti yang wajib dilakukan para siswa kepada guru ruhaninya. Para siswa, dalam tatakrama itu, misal, tidak boleh duduk berhadapan dengan guru, tidak boleh memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang diucapkan guru, mengindahkan nasihat guru meski dalam keadaan marah, berkata-kata yang menyenangkan guru, jika guru datang harus turun dari tempat duduknya, jika guru berjalan mengikuti dari belakang, dan sebagainya. Ketundukan siswa kepada guru adalah mutlak.

Gagasan gurubakti dalam silakrama mencakup tiga guru (triguru), yaitu orangtua yang melahirkan (guru rupaka), guru yang mengajarkan pengetahu ruhani (guru pangajyan), dan raja (guru wisesa). Gagasan triguru ini sampai sekarang masih bisa kita temukan dalam masyarakat muslim Madura yang mengenal konsep (bapa-babu-guru-ratu). Yang paling beroleh penghormatan dari ketiga guru itu adalah guru pangajyan, karena guru pangajyan telah membukakan kesadaran kedua untuk mengenal kehidupan di dunia dan akhirat hingga mencapai moksha. Khusus untuk guru pangajyan di dukuh-dukuh yang mengajarkan laku spiritual dan berhak melakukan diksha (baiat) disebut dengan gelar “susuhunan”. Demikianlah, guru-guru sufi pada masa silam mendapat gelar susuhunan; dukuh kemudian disebut pesantren—tempat para santri belajar—dimana kata santri sendiri adalah adaptasi dari istilah sashtri yang bermakna orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra) sebagaimana dikemukakan C.C. Berg (dalam Gibb, 1932:257); sementara tatakrama dalam menuntut pengetahuan (gurubhakti) mirip dengan aturan-aturan yang terdapat dalam kitab Ta’limul Muta’alim karya Syaikh az-Zarnuji.

(Baca juga Bandit Saints of Java: Perlawanan dari Petilasan)

Selain gurubhakti, seorang siswa dalam menuntut pengetahuan diwajibkan menjalankan ajaran yamabrata, yakni ajaran yang mengatur tata cara pengendalian diri, yang meliputi prinsip hidup yang disebut ahimsa (tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak membunuh), menjauhi sifat krodha (marah), moha (gelap pikiran), mana (angkara murka), mada (takabur), matsarya (iri dan dengki), dan raga (mengumbar nafsu). Di dalam naskah Wratisasana, disebutkan lima macam yamabrata yang mencakup ahimsa, brahmacari, salya, aharalaghawa, dan asteya. Meski prinsip ahimsa dimaknai tidak menyakiti dan tidak membunuh dan seorang wiku harus memiliki sifat kasih sayang terhadap semua makhluk, tetapi ditegaskan bahwa seorang wiku (siswa ruhani) boleh melakukan himsakarma (qisash), yaitu membunuh atau menyakiti orang jahat yang berlaku kejam terhadap dirinya dalam usaha bela diri. Namun himsakarma tidak boleh dilakukan terhadap penjahat yang sudah tertangkap dan tidak berdaya. Wiku yang disiksa, ditindas, dianiaya, dipukuli, dicaci-maki, harus membalasnya secara setimpal.

Seorang wiku diharuskan bersifat satya yaitu jujur, tidak bicara kotor (wakparusya), ucapannya tidak menyakitkan hati, tidak memaki, tidak menggerutu, tidak menyumpahi, dan tidak berdusta (ujarmadwa). Satya juga bermakna taat dan setia melakukan brata yang terkait dengan makanan, minuman, tata cara berpakaian, tempat tinggal, hingga perhiasan yang disebut sebagai satyabrata. Di antara isi satyabrata yang sangat mirip syariat Islam adalah yang menyangkut halal dan haramnya makanan (tan bhaksanan) dan minuman (apeya-peya). Seorang wiku diharamkan memakan daging babi peliharaan (celengwanwa), anjing (swana), landak, biawak, kura-kura (kurma) badak (warak), kucing (kuwuk), tikus (tekes), ular (sarpa), macan (rimong, sardhula), kukur (ruti), kalajengking (teledu), kera (wre), rase, tupai (wut), katak (wiyung), kadal (dingdang kadal), hewan melata, burung buas (krurapaksi), burung gagak (nilapaksi), lalat (Ialer), kepinding (tinggi), kutu (tuma), ulat atau cacing tanah (bhuhkrimi), dan sebagainya. Seorang wiku juga tidak boleh memakan makanan yang tidak suci (camah) atau menjijikkan dan yang diragukan kesuciannya Selain makanan, seorang wiku juga wajib menghindari minuman keras yang memabukkan seperti arak, nira, anggur, brem, dan ciu. Demikianlah, ajaran yamabrata ini sampai sekarang dapat kita saksikan dalam kehidupan para santri di pesantren meski santri bukanlah calon pendeta.

Ajaran niyamabrata tak jauh beda dengan yamabrata, yaitu pengendalian diri. Tetapi niyamabrata memiliki makna tingkat lebih lanjut. Silakrama menyebut, niyamabrata bukan saja melarang wiku marah tetapi sudah pada tingkat tidak suka marah (akrodha). Secara ruhani, siswa selalu ingin berhubungan dengan guru (guru susrusa), memohon kebersihan batin (sausarcara), mandi tiap hari menyucikan diri (madyus acuddha sarira), bersembahyang memuja Syiwaditya, melatih menyemayamkan Tuhan di dalam hati (maglar sanghyang anusthana), berdoa (majapa), dan mahoma. Di dalam ajaran tasawuf, yamabrata dan niyamabrata dapat dibandingkan dengan takhalli (usaha membersihkan diri dari nafsu-nafsu rendah—pen) dan tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat Ilahi—pen) sehingga seorang penempuh jalan ruhani mencapai tajalli (penyingkapan diri-pen), yakni beroleh pencerahan mengetahui Kebenaran Sejati. Demikianlah, ajaran tasawuf dapat diterima masyarakat karena ada anggapan umum bahwa pengetahuan ruhani Islam tidak berbeda dengan Syiwa-Buddha.

Ajaran aharalaghawa adalah bagian dari niyamabrata yang bermakna tidak berlebihan. Ini dalam konsep Jawa disebut madyaora ngoyo lan orang ngongso—tidak berlebihan dan tidak melampaui batas (di dalam Islam disebut wasathan). Aharalaghawa lebih dimaknai makan tidak berlebihan (tidak makan jika tidak lapar dan makan pun tidak boleh kenyang), memakan makanan suci, membatasi makan daging (bhogasarwamangsa), bersyukur dengan makanan yang dimakan (santosa), tidak rakus (wubhuksah), dan tidak malas dalam menjalankan kewajiban (apramada).

Bagian akhir sesudah aharalaghawa adalah asteya, yaitu tidak mengikutii hasrat hati untuk memiliki hak milik orang lain, bahkan terhadap hak binatang sekalipun. Silakrama menyebut, jika seorang wiku mengambil milik orang lain tanpa izin (panolong-nolongan), mencuri (malinga), mengutil (angutil) menadahi hasil kejahatan (anumpu), merampok (ambegal), melakukan tindak kriminal (corah), merampas (angalap), berkawan dengan pencuri (amitra), meminjam tidak mengembalikan (anelang drewyaning sanak tan pangulihaken), utang-piutang dengan bunga (rna-rni), berjudi (ajudi), dan perbuatan nista lain, maka ia akan jatuh martabat dan kehormatannya (panten). Wiku yang dinilai panten akan dikucilkan, tidak boleh dilihat (tan wenang tinghalana) dan tidak boleh diajak bicara (sabhasanen).

Berdasar uraian di muka, jelaslah bahwa dalam pendidikan seorang wiku (calon pendeta Syiwa-Buddha) di tempat yang disebut dukuh, terdapat kemiripan-kemiripan dengan pendidikan di pesantren-pesantren tradisional Islam, dimana aspek pendidikan lebih dititikberatkan kepada pembentukan watak dan budi pekerti siswa-siswa yang ditandai oleh lulusan-lulusan berwatak mulia, cerdas, berbudi pekerti luhur, jujur, tidak membenci, suka menolong, menjalankan syariat dengan baik, selalu bersyukur dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan.

Bertolak dari kemiripan-kemiripan nilai-nilai dan ajaran Syiwa-Buddha dengan Islam, para ulama sufi di era Wali Songo dapat dengan baik membumikan Islam di Jawa melalui asimilasi, dimana salah satu usaha yang dilakukan oleh ulama-ulama era Wali Songo tersebut adalah mengembangkan jumlah dukuh ke berbagai thani (sebutan desa di era Majapahit—pen). Yang paling jelas menyisakan legenda dan mitos pembangunan dukuh-dukuh ini adalah tokoh Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar, yang diketahui membangun puluhan dukuh bercitra caturbhasa mandala yang dinamai Dukuh Lemah Abang (tanah merah), Lemah Putih (tanah putih), Lemah Ireng (tanah hitam), dan Ksiti Jenar (tanah kuning). Dari dukuh-dukuh Lemah Abang yang ditinggali murid-murid dan pengikut Syaikh Lemah Abang, yang cenderung melakukan perlawanan terhadap kerajaan, lahir varian masyarakat Jawa yang disebut golongan Abangan, yang menurut Prof. Suripan Sadi Hutomo (1987) tergambarkan dalam Wayang Krucil yang menempatkan Syaikh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga sebagai tokoh dari golongan Abangan. Di Ampeldenta pun, letak dukuh berada di selatan masjid yang sampai sekarang dikenal dengan toponim Kampung Dukuh, yang letaknya sekitar satu kilometer dari lokasi Masjid Agung Ampel. Demikianlah, keberadaan pesantren sebagai asimilasi dari pendidikan dukuh-asrama-padepokan yang berlangsung hingga abad ke-21 ini, menyisakan nilai-nilai pendidikan dukuh yang bersumber dari sistem pendidikan Hindu-Buddha, Buddha, dan Kapitayan.[]

(Dinukil dari Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, [Pustaka IIMAN: Tangerang Selatan, 2018], Hal. 422-427)

(Foto utama: Masjid Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, Ponorogo, Jawa Timur. Sumber Foto: Wikipedia.org)

Agus Sunyoto adalah Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama (PP Lesbumi NU) 2015-2020. Dia juga penulis dan peneliti di bidang sastra dan sejarah. Karya terakhirnya adalah "Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah".

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Nukilan

Ziarah Lebaran

Cerpen Umar Kayam “Ziarah Lebaran” merupakan salah satu dari 17 “Cerpen Pilihan

Terbang

Cerpen Ayu Utami Dengan berlatarkan kecemasan terkait keamanan transportasi udara, Ayu Utami

Pemintal Kegelapan

Cerpen Intan Paramaditha Dalam cerpen ini, Intan Paramaditha meramu horor dan misteri

Cinta Sejati

Cerpen Isaac Asimov Anda yang pernah mencoba aplikasi atau situs web kencan
Go to Top