“Nope” dan Masyarakat Tontonan

in Film by

“Nope” bukan sekadar cerita tentang alien. Ia komentar sosial tentang “masyarakat tontotan”, kritik yang dikemukakan filsuf Guy Debord pada 55 tahun silam dalam The Society of the Spectacle.

JORDAN Peele kayaknya senang membuat penonton keluar dari bioskop dengan segudang tanya dalam benak mereka. Apa sih maksud film ini? Film aneh!

Itu setidaknya yang saya rasakan, dan mungkin banyak orang rasakan, usai menyaksikan Nope, film feature ketiga Peele.

Jika dibandingkan dengan dua karya terdahulunya, Get Out (2017) dan Us (2019), Nope menjadi ladang penyemaian banyak simbol, subteks, dan interteks. Dalam Nope, Peele seakan lebih banyak bermain-main dengan lapisan-lapisan makna untuk menyampaikan komentar sosialnya—ciri khas penulis dan pemeran sketsa komedi ini—daripada dalam Get Out dan Us.

Hasilnya, Nope adalah film yang lebih mengaktifkan sel abu-abu penonton tapi dengan cara yang lebih menghibur daripada dua karya sebelumnya.

  • Judul Film: Nope
  • Sutradara: Jordan Peele
  • Penulis: Jordan Peele
  • Pemain: Daniel Kaluuya, Keke Palmer, Steven Yeun
  • Rilis: 22 Juli 2022 (Amerika Serikat)
  • Durasi: 130 menit

Nope berkisah seputar upaya dua kakak beradik Haywood, Otis “OJ” Haywood (Daniel Kaluuya) dan Emerald “M” Haywood (Keke Palmer) dan sebagian warga Agua Dulce, sebuah lembah di pedalaman California, dalam menghadapi kejadian yang tidak biasa dan mengerikan. Trailer film ini yang dirilis Universal Pictures dua bulan sebelumnya mengindikasikan Nope sebagai film tentang survival menghadapi makhluk misterius yang mengancam. Tapi, setelah menontonnya, seperti tadi saya sudah bilang, Anda akan mengernyitkan dahi saat beranjak dari kursi bioskop dan bergumam, ini maksudnya apa ya?

Film dibuka dengan adegan di sebuah studio televisi. Seekor simpanse Gordy yang didandani layaknya manusia tampak berlumuran darah. Di sisi kanannya, kaki seseorang teronggok begitu saja tak berdaya. Lalu, ada sepatu yang tampaknya nyaris tak mungkin berdiri tegak pada bagian tumitnya.

Adegan itu disajikan tanpa konteks. Baru belakangan penonton tahu apa yang dimaksud oleh adegan itu ketika adegan itu diulangi lebih lengkap di pertengahan film. Rupanya itu bagian dari ingatan Ricky “Jupe” Park (Steven Yeun), bekas aktor cilik dan pemilik taman hiburan di Agua Dulce, “Jupiter’s Claim”. Di masa lalu, pada sekitar tahun 1990-an, Ricky kecil (Jacob Kim) yang memerankan Mikey Houston dalam serial komedi televisi Gordy’s Home menyaksikan bagaimana Gordy, si simpanse, secara brutal menyerang rekan-rekannya sesama pemain serial tersebut.

Ricky selamat dari serangan itu setelah bersembunyi di bawah meja sambil menatap nanar ke arah sepatu yang berdiri tegak pada tumitnya tadi. Di akhir insiden mengerikan itu, Gordy menemukan Ricky tapi tak menyerangnya dan malah menjulurkan cakar berdarahnya ke arah Ricky seolah-olah menginginkan adu kepalan tangan (fist bump).

Di bagian adegan ini saja, Peele, yang juga menulis skenario film ini, telah menyajikan setidaknya satu simbol berupa sepatu berdiri tegak pada tumitnya dan interteks kepada film blockbuster Steven Spielberg E.T. the Extra-Terrestrial (1982) dimana adegan ikoniknya memperlihatkan seorang anak yang “beradu jari” dengan figur alien. Hanya dalam Nope, Peele ‘mengadopsi’ adegan ikonik itu dengan latar belakang set syuting film yang berdarah-darah.

Peele tampak memposisikan film ini sebagai percakapan, baik langsung maupun tidak langsung (interteks dan subteks), dengan karya-karya Spielberg, bapak blockbuster Hollywwod. Tapi itu dia lakukan dengan memilintir adegan-adegan ikonik dalam film Spielberg, seperti dalam adegan Gordy’s Home tadi.

Sebagian contoh lainnya adalah gagasan tentang makhluk asing yang menyantap apa saja yang ada di bawahnya lalu memuntahkan ampasnya. Ini mengingatkan kita kepada Tripod dalam War of the Worlds (2005), juga karya Speilberg, yang memangsa manusia dan menyemperotkan saripati mangsanya itu sebagai benih bagi gulma makanan alien. Hanya Jean Jacket—nama makhluk dalam Nope yang diberikan oleh OJ—sepenuhnya biologis sementara Tripod setengah mesin.

Nope juga mengandung interteks bagi karya lain Spielberg: Jaws (1975). Meskipun kedua film ini tentang predator puncak yang mengintai di alam biru liar, hiu dalam Jaws berada di kedalaman samudra sementara monster dalam Nope terbang di ketinggian langit.

Namun, dari semua simbol, teks, dan subteks yang ditebar oleh Peele, ada yang kerapkali dia ulang atau tekankan di beberapa bagian film, yaitu apa yang disebut dengan spectacle (tontonan). Di pembukaan film, Peele mencantumkan kutipan dari Kitab Nahum 3:6: “Aku akan melemparkan barang keji ke atasmu, akan menghina engkau, dan akan membuat engkau menjadi tontonan (spectacle)”. Dalam adegan Ricky Park menggelar pertunjukan untuk menyaksikan Jean Jacket, dia berseru kepada kerumunan penonton, “Kalian akan menyaksikan tontonan yang luar biasa (absolute spectacle).”

Nope juga berulang kali mempersoalkan “tatapan”. Jean Jacket, misalnya menurut OJ, tidak akan memangsa jika manusia tidak menatap ke arahnya. Kuda Haywood juga bertingkah ketika menatap refleksi dirinya pada cermin, dan ini yang menyebabkan OJ dan Emerald kehilangan pekerjaan di Hollywood. Lalu seorang reporter TMZ muncul dengan helm reflektif. Bentuk Jean Jacket di akhir film pun kemudian berubah menjadi seperti kamera IMAX, yang Peele dan sinematogafer Hoyte van Hoytema gunakan untuk memproduksi film ini.

Jadi, Nope adalah film tentang spectacle (tontonan) alih-alih makhluk asing mengerikan dari planet lain. Kata ini, spektakel (dan KBBI telah mengadopsinya menjadi kata dalam bahasa Indonesia) mengingat kita kepada sebuah traktat filsafat yang ditulis oleh filsuf-seniman asal Perancis, Guy Debord, The Society of the Spectacle (1967).

Dengan mengembangkan konsep kritik Marxis tentang fetisisme produk, reifikasi, dan alienasi, Debord mengatakan spektakel bukanlah hanya ruang visual dimana akumulasi gambar (baik bergerak maupun tidak) terjadi. Spektakel, menurut Debord, adalah relasi sosial manusia yang digantikan oleh akumulasi gambar.

Segala sesuatu yang dulunya dialami, dipikirkan, dan dirasakan oleh manusia secara langsung kini digantikan oleh sekumpulan gambar dan citra: tontonan. Menulis traktat tersebut dengan latar belakang perkembangan kapitalisme setelah Perang Dunia II (tentu saja Debord tidak menyaksikan kelahiran internet dan media sosial), Debord sudah dapat ‘memprediksi’ bahwa modus hidup manusia akan berubah dari yang awalnya being, menjadi having (memiliki), dan lalu appearing (tampil).

Kita tidak lagi bekerja untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup yang wajar, tapi untuk memiliki produk yang fungsinya akan makin memudahkan hidup kita. Kemudian, dalam kapitalisme tahap akhir (post-war capitalism), semua modus kepemilikan itu, menurut Debord, akan berakar dari hasrat utamanya untuk tampil (appear) dan menjadi tontonan (spectacle).

Iklan dan endorsement di media sosial tidak sekadar menjual produk berdasarkan fungsi dan kualitasnya tapi citra dan gambaran apa yang bisa kita peroleh dari memiliki produk itu: cantik, ganteng, sukses, bahagia, dan lain-lain. Kita tidak lagi memiliki sesuatu sekadar karena fungsi dan kualitasnya tapi karena hasrat kita untuk ingin dilihat oleh orang lain.

Citra dan spektakel-lah yang kemudian membentuk hidup manusia, dan bukan sebaliknya. Spektakel menjadi subjek sementara manusia semata objek.

Spektakel, menurut Debord, tidak tertarik dengan kesubtilan, kompleksitas, dan kontrakdiksi dari pengalalam langsung yang nyata. Ia menyajikan kepada kita gambaran yang tunggal, yang telah disimplifikasi.

Lihat bagaimana produsen Hollywood—dan juga mungkin kita sebagai penonton—tidak mau tahu kuda dan simpanse seperti Gordy serta hewan-hewan lain dalam film mesti diperlakukan. Spektakel hanya mempertontonkan kepada kita gambaran simplikatif dari hewan-hewan itu. Kita sudah merasa cukup dengan itu alih-alih mencoba mengalami dan memahaminya secara langsung seperti yang OJ lakukan sepanjang hidupnya sebagai pelatih kuda—OJ mengerti apa yang dia sebut sebagai teritori atau wilayah yang tak bisa kita langgar agar hewan-hewan itu tidak menjadi bencana bagi kita.

Spektakel menurut Debord menggerus pengalaman hidup menjadi semata gambar dan citra yang simplifikatif. Akibatnya, kualitas hidup menurun dan daya kritis menguap.

Obsesi kepada penampilan dan akumulasi citra berdampak, baik bagi produsen maupun konsumen spektakel. Peele pernah mengatakan mustahil untuk bekerja lama dalam industri film tanpa meninggalkan luka (scar).

Ricky Park yang pernah mengalami langsung tragedi spektakel pada masa kecilnya kehilangan daya kritis (ini terlihat dari ingatannya tentang sepatu berdiri tegak dan fist bump-nya dengan Gordy yang mungkin cuma refleksi dari kondisi psikologis yang coba dia tekan) sehingga merasa memiliki kemampuan untuk menjinakkan Jean Jacket karena dulu selamat dari serangan Gordy (bad miracle).

Obsesinya kepada spektakel telah menjadikan Ricky seperti itu. Begitu juga yang dialami sinematografer Antlers Holst (Michael Wincott) dan jurnalis TMZ (Devon Graye).

Di media sosial saat ini, kita suka menampilkan versi diri kita yang sudah disunting dan terseleksi. Mungkin kebanyakan kita tertarik menggambarkan diri sebagai orang yang bahagia, sukses, dan mesra dalam hubungan. Kita terus terobsesi dengan citra seperti itu, untuk terus tampil seperti itu, alih-alih menjalani hidup nyata yang tak sepenuhnya bahagia, sukses, dan mesra. Debord bilang, dengan spektakel, semua kehidupan sosial diafirmasi melalui penampilan.

Dalam traktatnya, Guy Debord tidak pernah menyiratkan dia membenci pemanfaatan teknologi. Dia menentang secara khusus penggunaan teknologi persepsi untuk keuntungan ekonomi.

Dalam proses kapitalisasi, arus akumulasi gambar mengalir tanpa henti. Spektakel yang pada kenyataannya didorong oleh kepentingan profit itu makin menggantikan pengalaman hidup yang nyata dengan sekadar “menatap tontonan”.

Kini kita melihat bagaimana internet dan media sosial memonetisasi perasaan, pikiran, persahabatan, dan bahkan bencana serta trauma atau hampir seluruh—ya seluruh—pengalaman kehidupan sosial manusia dalam kecepatan dan kuantitas yang tak pernah terbayangkan sebelumnya—bahkan oleh Debord sekalipun pada masa hidupnya. Pengalaman kita sekarang adalah aset yang bisa dikomodifikasi.

Dalam Nope, Peele menunjukkan dengan gambar dan dialog yang tegas bagaimana trauma dan bencana dikomodifikasi demi perolehan profit. Ricky Park mengoleksi benda-benda dari set Gordy’s Home sebagai memorabilia yang dipamerkan secara komersial. Lalu, OJ dan Emerald tergoda untuk mendapatkan gambar Jean Jacket selevel “Oprah shot”, kata mereka. Sebuah pilihan kata yang seakan menyindir acara talk show televisi kenamaan “The Oprah Winfrey Show”—dan Marry Jo Elliott (diperankan Sophia Coto), korban amukan Gordy, sepertinya merujuk kepada Charla Nash, korban amukan simpanse Travis di kehidupan nyata, yang pernah tampil di acara Oprah.

Itulah kemudian yang memicu keterasingan manusia. Debord mengatakan, semakin banyak dan sering menatap spektakel, kita semakin kehilangan hidup kita. Semakin menerima afirmasi diri kita dalam dominasi kebutuhan kepada citra, kita semakin tidak memahami eksistensi dan hasrat sendiri. “Semakin hidupnya menjadi produk, semakin dia terpisah dari hidupnya,” tulis Debord.

Catatan penting lain dari Debord adalah dia memandang kebutuhan abnormal kita kepada citra sebagai kompensasi dari perasaan berada di pinggiran eksistensi (the feeling of being on the margin of existence). Jadi, ketika kita menumpahkan perasaan kita di Twitter atau Facebook, yang terpenting bukanlah perasaan itu sendiri tapi hasrat kita kepada pengetahuan bahwa perasaan itu akan dilihat orang lain. Ketika kita mempos gambar keseharian hidup kita—bahkan dengan orang terdekat kita—di Instagram, yang terkompensasi adalah kecemasan kita tentang menjadi “bukan siapa-siapa”. Sebab, obsesi kepada spektakel membuat kita selalu merasa cemas bahwa jika tidak tampil, maka kita bukan siapa-siapa, alias tidak hidup.

Jadi yang hilang akibat spektakel adalah otonomi pribadi. Penonton dibuat seragam karena ‘dipaksa’ secara halus untuk memperoleh ‘kenyataan’ tunggal yang direpresentasikan oleh spektakel.

Untuk melawan spektakel, Debord menyarankan apa yang dia istilahkan sebagai detournement, terminologi yang secara beragam diterjemahkan sebagai “diversi”, “pembalikan”, atau “pembajakan”. Detournement, bagi Debord, adalah membuat spektakel baru yang lebih spektakuler dalam cara yang mencibir, mencemooh, dan menentang spektakel konvensional.

Itulah mungkin yang ingin dilakukan Peele dengan ‘mengadopsi’ dan mendiversi ide serta citra ikonik dari film-film blockbuster—terutama buatan Spielberg. Melalui Nope, dengan demikian, Peele tidak hanya mencibir spektakel konvesional melalui spektakel nyeleneh yang dia ciptakan tapi juga menyindir kita sebagai penontonnya.

Pidato Ricky Park, “Di sini, kalian akan menyaksikan sebuah spektakel yang luar biasa”, terasa tak ditujukan kepada kerumunan orang di Jupiter’s Claim tapi kepada kita sebagai penonton di bioskop.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*