JELAJAH LITERASI

“Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia”: Kritik atas Dominasi Narasi Nasionalis-Sekular seputar Kemerdekaan Indonesia

in Wacana by

Buku ini berangkat dari kritik terhadap dominasi narasi nasionalis-sekuler tentang revolusi kemerdekaan Indonesia. Tapi, pada saat yang sama, ia melihat kesenjangan ideologi revolusi antara muslim taat di akar rumput dan elite.

Sanwar masih gadis enam belas tahun ketika menikah dengan Anwar Jalil, seorang guru mengaji di sebuah madrasah dekat kampungnya, di Kota Padang Panjang…

Kalimat mirip cerpen atau novel itu mengawali buku Kevin Fogg, Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia. Buku yang dipilih penerbit Grup Mizan dalam daftar Buku Pilihan 2021 itu secara intensif memakai materi sejarah lisan dengan mewawancarai ratusan pelaku sejarah dan saksi, baik dari kalangan akar rumput maupun elite politik. Fogg lalu menggunakan catatan-catatan kearsipan dan sumber-sumber terbitan untuk melengkapi sejarah lisan tersebut.

  • Judul Buku: Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia
  • Penulis: Kevin W Fogg
  • Penerbit Noura Books
  • Tahun Terbit: 2020
  • Tebal: 435 halaman

Melalui kisah Sanwar di atas dan banyak materi sejarah lisan lain, Fogg—seorang peneliti dari Universitas Oxford, Inggris—berupaya menggambarkan bahwa citra nasionalis-sekuler yang tampak dalam setiap perayaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus sangat berbeda dengan pengalaman jutaan muslim di seantero Indonesia pada masa revolusi Indonesia (periode perjuangan membebaskan Indonesia dari rekolonisasi Belanda antara 1945 hingga 1949). Sanwar dan suaminya, misalnya, mengetahui Republik Indonesia merdeka bukan melalui berita-berita tentang proklamasi dari radio atau suratkabar tapi dari ustaz kampung mereka. Orang-orang seperti mereka pulalah yang bertempur di medan perang karena perintah perang suci yang dikeluarkan oleh para guru agama, demi mempertahankan kemerdekaan dari orang kafir di bulan paling suci bagi umat Islam, Ramadhan.

Bagi Fogg, konteks revolusi Indonesia tidak cukup terjelaskan jika kita hanya melihatnya dari perspektif Presiden dan Wakil Presiden pertama di Jakarta atau pemimpin nasionalis non-sektarian lainnya. Kita juga harus mendengar pengalaman dan menyelami perasaan jutaan muslim di Indonesia pada masa itu.

Judul asli buku ini adalah Indonesia’s Islamic Revolution. Di situ, Fogg jelas-jelas menggunakan frasa “Revolusi Islam Indonesia”. Ini sebuah pilihan judul yang bisa dibilang berani, dan entah mengapa kemudian sedikit ‘dijinakkan’ oleh Penerbit Noura Books dengan frasa “spirit Islam”.

Fogg menyajikan argumen mengapa dia memilih frasa “Revolusi Islam Indonesia”.

Orang-orang Islam di akar rumput yang berpartisipasi dalam perang kemerdekaan Indonesia melihat perang itu sebagai perjuangan untuk tujuan Islam dan mengorganisasi diri dengan cara-cara Islam. Ada instruksi eksplisit berupa fatwa-fatwa jihad dari para pemimpin Islam. Muslim akar rumput percaya bahwa kewajiban berperang mengikat kaum beriman dan yang gugur akan menjadi syuhada. Retorika para pemimpin Islam pada masa itu telah menjustifikasi perang kemerdekaan sebagai revolusi Islam.

Kemudian, mereka menyalurkan semua itu melalui laskar-laskar Islam. Laskar yang paling terkenal adalah Sabilillah dan Hizbullah. Laskar-laskar ini, menurut catatan sejarah, bahkan memiliki persenjataan yang lebih lengkap daripada satuan-satuan militer resmi di daerah.

Lebih jauh, untuk menunjukkan bahwa perjuangan militer pada masa itu memiliki citra rasa Islami, Fogg mengajukan semacam data statistik. Menurutnya, sekitar seperempat hingga setengah penduduk Indonesia yang bertempur di perang kemerdekaan adalah mereka yang disebut “kaum santri” atau “muslim taat”. Dia mendasarkan ini pada hasil pemilihan umum 1955, dimana sekitar 44 persen pemilih memberikan suara kepada partai-partai Islam.

Terkait istilah “santri”—atau yang kerap juga disebut sebagai “muslim taat” dalam buku ini—Fogg tampaknya meminjam pengertian Ahmad Syafii Maarif bahwa “muslim taat” adalah mereka yang menjadikan Islam sebagai inspirasi hidup, entah pengetahuan mereka tentang Islam meliputi ide ortodoksi ataupun tidak. Dengan begitu, Fogg sepertinya berada di antara barisan intelektual yang menganggap tipologi keberagamaan muslim Jawa menurut Clifford Geertz sudah tak lagi relevan.

Geertz dalam The Religion of Java (1960) membagi masyarakat muslim di Jawa dalam tiga kategori: santri, abangan, dan priyayi dimana santri merupakan kelompok muslim yang dianggap taat menjalankan ritual Islam secara ketat. Bagi Fogg, “muslim taat” juga bisa meliputi mereka yang memiliki kecenderungan kepada kepercayaan tradisional, aktivitas mistik, jimat, dan kesaktian. Dia mengatakan, orang Islam yang melakukan kegiatan mistik dan meyakini jimat tidak kalah taatnya dalam menjalankan ortopraksi Islam dengan orang Islam yang menghindari segala praktik mistik.

Nah, bagi Fogg, hasil pemilu 1955—dimana 44 persen pemilih memberikan suara kepada parta-partai Islam—menandai penerimaan mereka bahwa Islam harus menginspirasi kehidupan negara.

Pilihan Fogg untuk menjadikan hasil pemilu 1955 sebagai dasar bisa dibilang cukup problematik mengingat dia tampaknya lebih bersepakat dengan Maarif dalam mendefinisikan “muslim taat”. Apakah Fogg ingin menyatakan bahwa mereka yang memilih PNI atau bahkan PKI tidak termasuk “muslim taat” atau tidak terinspirasi oleh nilai-nilai Islam? PKI, misalnya, bagaimanapun lahir dari tubuh Sarekat Islam meskipun pada 1955 telah ditinggalkan banyak tokoh seniornya.

Persoalan itu makin tampak ketika Fogg secara menarik mengungkap ‘kesenjangan’—Fogg menggunakan istilah ‘perbedaan’—antara ideologi revolusi kaum santri akar rumput yang terlibat langsung dalam peperangan dengan ideologi revolusi kaum santri elite di level politik. Secara diskursus, kesenjangan ideologi itu terlihat pada ide milenarianisme. Pada Abad ke-20, kaum santri elite hasil didikan Barat berupaya menggantikan justifikasi-justifikasi “juru selamat” atau “ratu adil” dengan bentuk-bentuk model baru yang cenderung lebih bersifat rasional. Secara praktik, kesenjangan itu terlihat saat kaum santri akar rumput memakai jimat dan merapal mantra sebagai praktik-praktik yang mereka anggap Islami dalam melawan pasukan Belanda yang bersenjatakan lebih canggih, sementara kaum santri elite menekankan rasionalitas dan modernitas.

Ini salah satu pengungkapan dan kisah menarik dalam buku ini. Laskar-laskar Islam, seperti Sabilillah dan Hizbullah yang terafiliasi dengan Masyumi yang mengusung ortodoksi Islam, kerap berburu jimat dan mantra selama revolusi. Jimat itu biasanya berupa kain yang bertuliskan aksara Arab. Kain itu lalu diikatkan pada lengan, dahi, atau bambu runcing, senjata khas revolusi.

Sementara itu, pemimpin politik Islam di level elite, seperti Agus Salim (tokoh sentral di Sarekat Islam dan PSII sekaligus eks birokrat didikan Belanda), mencibir praktik-praktik magis semacam itu. Agus Salim mencela para pemburu jimat dan mantra sebagai orang-orang yang kurang memiliki komitmen keagamaan. Sentimen semacam ini, menurut Fogg, menandai perpecahan pada masa revolusi saat hal-hal supranatural dipraktikkan pejuang muslim taat di medan perang tapi direndahkan sebagai sesuatu yang tidak Islami oleh muslim taat di level elite.

Ide milenarianisme dan penggunaan jimat serta mantra bukanlah hal eksklusif yang diterima dan dipraktikkan kaum santri dalam tipologi Geertz. Dalam Wali Berandal Tanah Jawa, George Quinn mencatat bahwa keyakinan kepada kedatangan “sang juru selamat” justru menghubungkan kaum abangan dan priyayi (jika istilah ini dianggap sebagai karakter keberagamaan muslim Jawa, dan bukan kelas sosial) kepada ajaran Islam. Di situs keramat seperti hutan Gunung Lawu, yang diyakini bakal menjadi tempat kemunculan “Sultan Erucakra” (Imam Mahdi versi Jawa—red), terjadi pertemuan antara budaya lama, Hindu-Buddha, dengan budaya baru, Islam. Dalam buku ini, Fogg juga mengakui bahwa pejuang komunis dan nasionalis melakukan hal serupa: menggunakan jimat dan merapal mantra.

Jadi, jika kita menerima bahwa “muslim taat” adalah mereka yang terinspirasi nilai Islam, maka jumlahnya bisa lebih daripada seperempat hingga setengah populasi pada masa perang kemerdekaan. Tapi, harus diakui, pengungkapan Fogg bahwa laskar-laskar “Islamis” juga mempraktikkan hal-hal magis merupakan sesuatu yang menarik.

Tipologi kaum santri akar rumput di medan tempur selama revolusi terasa tak jauh berbeda dengan penggambaran Peter Carey tentang Pangeran Diponegoro dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Diponegoro adalah bangsawan Jawa sekaligus muslim taat. Dia mengembara dari satu pesantren ke pesantren lain, dari satu kiai ke kiai lain. Dia tergerak untuk melawan Belanda karena terinspirasi ramalan yang menyatakan dirinya adalah wakil sang juru selamat. Diponegoro mempraktikkan mantra kesaktian, terutama yang terkait dengan dua kerisnya, Kiai Bondoyudo dan Kiai Nogo Siluman. Tapi, pada saat yang sama, Sang Pangeran menyukai anggur putih dan, dalam satu kisah yang diceritakan Carey dalam bukunya, meniduri seorang perempuan Tionghoa tukang pijatnya—sesuatu yang kemudian dia sesali karena merasa perbuatan itu telah memupus kekebalannya.

Spirit Islam menunjukkan bahwa kesenjangan ideologi revolusi antara kaum santri akar rumput dan kaum santri elite berbuah pada kegagalan upaya pemimpin politik Islam memberi “label” Islam pada konstitusi negara baru. Upaya menjadikan Piagam Jakarta sebagai dasar negara berantakan hanya dalam sehari setelah kemerdekaan. Konsesi-konsesi bagi kepentingan Islam terbatas pada bidang-bidang spesifik, terutama “hadiah” Kementerian Agama yang lebih dipandang sebagai kemenangan ulama tradisional ketimbang pemimpin politik Islam yang kebanyakan bukan ulama.

Meskipun demikian, upaya kaum santri elite mentransformasi politik Indonesia setelah kemerdekaan memiliki dampak yang masih bisa kita rasakan hingga kini. Fogg menyebutkan sejumlah dampak itu, seperti keterpecahan politik kaum santri (antara santri tradisional dengan santri reformis), penyerahan kepemimpinan politik kepada non-ulama (ulama, termasuk ormas yang menaunginya, biasanya ditempatkan sebagai “penasehat” partai), dan tren upaya penerapan ortodoksi Islam melalui negara. Untuk yang terakhir, Fogg mengakui tren itu sudah muncul sejak paruh pertama Abad ke-20, tapi revolusi Indonesia menjadi katalis yang mengerucutkan tren itu pada bentuk-bentuk keberislaman yang tekstual dan non-sinkretis—sesuatu yang bisa kita lihat saat ini, antara lain dalam pembentukan perda-perda syariah.

Spirit Islam layak anda baca karena berupaya menunjukkan bahwa revolusi Indonesia (perang kemerdekaan 1945-1949) dipahami secara beragam oleh partisipan yang berbeda-beda. Buku ini berupaya melihatnya dari sudut pandang muslim taat, baik di level akar rumput maupun elite.

Fogg mengingatkan kita bahwa historiogafi Indonesia lebih didominasi oleh narasi legitimasi rezim, kultus pribadi, dan prestise militer (terutama Angkatan Darat) sebagai pengawal kemerdekaan. Padahal, para pelaku lapangan yang signifikan jumlahnya adalah kaum santri pejuang kemerdekaan.

Spirit Islam berangkat dari kritik terhadap dominasi narasi nasionalis-sekuler tentang revolusi kemerdekaan Indonesia. Tapi, pada saat yang sama, ia melihat kesenjangan ideologi revolusi antara muslim taat di akar rumput dengan elite. Bagi muslim yang berjuang di medan tempur, ideologi Islam mereka dalam revolusi tidak mesti terwujud dalam negara Indonesia, sedangkan muslim elite berupaya keras memberi “cap” Islam pada negara yang baru lahir itu. Menurut Fogg, kesenjangan ini merupakan salah satu kelemahan besar politik Islam di Indonesia sejak pertengahan Abad ke-20.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Wacana

Go to Top