JELAJAH LITERASI

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi dari Penggemar Buku

in Bukupedia by

Industri perbukuan menghadapi krisis akut di tengah tekanan pandemi Koronavirus dan pajak. Berikut ini surat terbuka seorang pekerja perbukuan kepada Presiden Joko Widodo.

SAYA adalah warga negara biasa yang ingin mengutarakan sejumput kegelisahan. Saya menulis surat terbuka ini karena saya merasa tak punya cara lain yang lebih formal dan prosedural. Saya yakin sepenuhnya bahwa saya tidak sedang mengutarakan masalah pribadi, tapi masalah banyak orang, utamanya para pelaku industri buku di Indonesia.

Pertama-tama, saya percaya bahwa Bapak adalah Presiden Indonesia yang punya aspirasi perubahan. Sejak awal Bapak menyuarakan perlunya perubahan serius dalam segenap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dan Bapak pun membuktikan secara serius aspirasi itu dengan sejumlah gebrakan dan terobosan nyata.

Bapak pun kini telah menumpuk banyak prestasi dan reputasi. Bapak dikenal bekerja keras, mau mengetahui seluk-beluk masalah secara langsung, berdedikasi tinggi dan bertekad baja. Bapak tidak seperti kebanyakan pejabat yang seperti asyik menikmati jabatan sampai kerap lupa fungsi sejati jabatan dan wewenangnya. Kita sebagai bangsa Indonesia tentu sudah sepatutnya bersyukur punya Presiden seperti Bapak.

Saya dan sebagian besar anggota keluarga dan kawan terdekat adalah pendukung Bapak sejak Bapak menyatakan maju sebagai calon gubernur Jakarta. Meski kemudian sebentar-sebentar kami mengalami kekecewaan melihat pilihan-pilihan politik Bapak, kami percaya Bapak tetaplah pilihan terbaik. Bapak juga terus menunjukkan kinerja yang konsisten di tengah begitu banyak tantangan dan tentangan. Kerja keras dan tekad bulat Bapak adalah alasan utama kami tetap percaya Bapak bakal mampu mengantar bangsa ini keluar dari karut-marut yang ada—modal yang mustahil digantikan dengan sekadar retorika dan wacana.

Dengan terus bersyukur atas segenap karunia Ilahi atas bangsa, teriring doa yang tulus agar Bapak dapat tetap melakukan yang terbaik bagi bangsa dan negara, izinkan saya mengutarakan kegelisahan yang bergelinjang-gelinjang di lubuk hati ini.

Bapak Presiden yang saya hormati dan saya cintai,

Saya lahir dari keluarga penggemar dan penikmat buku. Besar dan tumbuh di lingkungan penggemar dan penikmat buku. Bergaul dan bersabahat dengan para penggemar dan penikmat buku. Hingga kini kebanyakan idola saya adalah para penulis buku, seperti yang baru saja meninggal dunia, Almarhum Jalaluddin Rakhmat (yang lebih dikenal dengan sapaan Kang Jalal), Pramoedya Ananta Toer, Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, dan lain sebagainya. Karya-karya mereka menemani masa-masa duka dan suka, damai dan gaduh batin saya.

Saya tumbuh di era keemasan industri buku, yakni era 1980-an dan 1990-an. Generasi kami biasa berkumpul membedah buku, membahas biografi penulisnya, membincangkan kritik terhadapnya dan sebagainya. Terkadang, saking sukanya, kami cuma membeli dan menumpuk buku untuk dipandangi dan dielus-elus. Generasi kami, yang tentu Bapak pernah kenali dan temui, memang hobinya ditemani dan dikelilingi oleh buku, sambil bermimpi suatu saat tumpukan terbaca tuntas. Generasi kami merasakan betul fungsi buku sebagai sahabat abadi, di kala suka maupun duka.

Sejak usia dini banyak dari generasi kami yang bercita-cita menjadi penulis buku. Kami percaya betul bahwa warisan buku melampaui harta apa pun juga. Dan memang terbukti, hingga hari ini, di zaman serba terbuka ini, kita masih saja mengenang dan menghidupkan nama para penulis Yunani kuno yang beberapa ribu tahun lalu meninggal. Nama Homer, Hippocrates, Plato, Aristoteles, Euclid, dan Archimedes masih bergaung hingga kini. Sebaliknya, kecuali benar-benar pakar sejarah Yunani, hanya sedikit yang ingat nama penguasa atau konglomerat Yunani.

Begitu pun halnya dengan yang terjadi pada semua peradaban kuno lain, seperti peradaban Mesir, Cina, India dan lain-lainnya. Hanya para penulis mereka yang terus dikenal dan dikenang. Mengapa? Tak lain dan tak bukan karena mereka mewariskan harta abadi: ilmu yang terkandung dalam buku-buku mereka. Para penulis itu telah mengalirkan energi yang tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Inspirasi yang terus memberi, kata orang. Devisa mereka tak pernah surut. Investasi mereka tak mengenal rugi.

Bapak Presiden yang saya hormati dan cintai,

Terlepas dari segala romantisme sebelumnya, inilah inti pesan yang sebenarnya ingin saya sampaikan: industri buku Indonesia kini mengalami krisis serius. Dari hulu sampai hilirnya. Sejak memasuki era media sosial, para penulis buku kena gergaji para penulis pesan singkat dan status di media sosial. Para penerjemah kalah set sama perangkat lunak cerdas bernama Google Translate. Dan pembaca buku kian dimanjakan dengan tontonan dan konten menghibur—yang kerap sama sekali tidak mendidik bahkan absurd. Anak-anak generasi sekarang makin enggan membaca serius, dan karenanya sulit sekali ada yang bercita-cita menjadi penulis hebat.

Semua faktor kemajuan teknologi dan invasi media sosial yang mengganyang industri buku sejak satu dekade lampau belakangan harus ditambah dengan tibanya pandemi Covid-19. Industri yang sudah cukup lama sakit-sakitan itu sekarang memasuki fase kritis. Uang serba susah di dunia penerbitan. Puluhan penerbit gulung tikar. Yang bertahan juga mengalami penurunan penjualan hingga 80 persen. Bila tak ada terobosan, perlahan tapi pasti industri penyokong nutrisi otak bangsa ini akan memasuki titik nadir.

Tentu saja, Bapak Presiden, tak ada jawaban mudah. Kita semua paham tak ada simsalabim untuk urusan kebijakan. Apalagi pasti Bapak sedang berjuang keras mengatasi bergunung-gunung kesulitan ekonomi akibat pandemi. Semua itu bisa kami maklumi belaka.

Tapi barangkali ada satu dua cara praktis yang bisa dilakukan pemerintahan Bapak. Misalnya, memperluas cakupan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 5 tahun 2020, dengan menghapus seluruh beban pajak bagi para pelaku industri buku beserta segenap bisnis pendukungnya. Bukan sebatas PPN tapi keseluruhan beban pajaknya. Mungkin dengan begitu, industri ini bisa kembali bernapas dan memberi tenaga bagi para penulis, penerjemah, penyunting, penyadur, dan semua yang terlibat dalam proses kreatif penulisan buku.

Sebagai ilustrasi. Sejumlah negara miskin, jauh lebih miskin daripada Indonesia, sejak lama sudah tidak mengenakan macam-macam pajak pada industri buku, dari hulu sampai hilirnya. Bahkan sebagian negara miskin itu, sependek pengetahuan saya, berdasarkan informasi dari kawan importir buku-buku bahasa Arab dari Timur Tengah, membebaskan pajak industri buku secara keseluruhan. Industri buku, termasuk aktivitas importasi buku, penjualan buku, penerbitan, dan pencetakan buku, tidak dikejar-kejar pajak seperti di Indonesia. Para penulis, penerjemah, penyunting, penerbit, distributor, pengimpor, penjual, dan pembeli buku, termasuk perusahaan tempat mereka bekerja, tidak dipungut pajak apa pun. Saya yakin Bapak punya banyak ahli kebijakan ekonomi, keuangan, atau perpajakan yang bisa mencari celah mengatasi masalah ini. Pasalnya, jika Bapak tidak segera menolong industri buku yang sedang sekarat, barangkali sebentar lagi kita semua harus mengucapkan Innalillahi wa inna ilayhi raji’un kepada industri buku.

Bapak Presiden yang saya hormati dan cintai,

Saya percaya Bapak mampu dan mau menolong industri buku yang sedang sekarat ini. ‘Legacy’ Bapak di sini pasti bakal tercatat dalam buku sejarah. Ratusan ribu penggemar dan penikmat buku di Indonesia akan mengenang Bapak, seperti kenangan mereka akan para penulis dan penyusun buku yang melegenda. Dan jangan khawatir, meski mungkin populasi mereka terus memunah, mereka adalah bagian bangsa yang mampu mengabadikan sejarah dengan pena dan kenangan mereka. Bagaimana tidak? Mereka adalah sahabat, penggemar, dan penikmat buku, harta abadi peradaban umat manusia.[]

Sumber foto: Twitter @jokowi

Musa Kazhim Alhabsyi adalah alumnus Master Hubungan Internasional, Universitas Indonesia

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Bukupedia

Go to Top