Buku adalah alternatif untuk mengerti cara berpikir orang lain yang berada di luar lingkaran kita secara lebih mendalam.
KITA sekarang hidup pada era digital di mana informasi sangat mudah diakses. Karena kemudahan akses dan sharing content, maka perusahaan teknologi yang bergerak di bidang ini menggunakan Artificial Intelligence (AI) untuk menyajikan content yang personalised dan diramu secara spesifik untuk masing-masing orang.
Di satu sisi, AI dapat menyodorkan konten-konten dengan lebih cepat, sehingga kita bisa mempelajari hal-hal yang kita sukai secara jauh lebih efisien dan mendalam. Tapi, di sisi lain, hal ini juga menghalangi kita dari informasi-informasi bermanfaat dari bidang yang kurang atau tidak kita sukai (atau sama sekali tidak diketahui).
Kenapa praktik ini dilakukan oleh perusahaan teknologi? Fokus mereka adalah menjaga pengguna untuk bertahan selama mungkin di platform mereka, sehingga secara sengaja maupun tidak, algoritma ini membuat kita terjebak di “content comfort zone” masing-masing.
Karena banyaknya jumlah konten yang dibagi setiap harinya, maka tidak ada cara lain bagi mereka selain dengan membuat pengguna tenggelam dalam “content comfort zone”.
Satu hal lagi yang penting dibahas adalah turunnya attention span kita karena banjirnya konten yang dikonsumsi setiap harinya, sehingga kemampuan kita untuk “mendengar”, sabar, dan fokus juga menurun.
Ini juga mungkin penyebab turunnya kedalaman dari sebuah konten di zaman digital ini. Para pembuat konten dikondisikan oleh algoritma yang memaksa mereka menyuguhkan konten-konten yang “explosive” sejak awal, demi kepentingan meng-“engage” para pengikut. Hal inilah yang akhirnya menjadikan konten yang mereka buat sulit masuk ke pembahasan yang lebih mendalam.
Jadi, di mana posisi buku? Buku adalah alternatif untuk mengerti cara berpikir orang lain, yang berada di luar lingkaran kita atau di luar “content comfort zone”, secara lebih mendalam. Karena buku berisi berbagai macam fakta, opini, dan imajinasi yang dibahas secara detail oleh sang penulis, ia dapat memberi kita gambaran yang lebih menyeluruh terhadap seseorang atau suatu topik.
Hal ini memungkinkan bagi kita untuk dapat belajar lebih dalam dari sudut pandang orang lain. Setiap orang pun mempunyai penafsiran masing-masing terhadap suatu buku, yang bisa memancing diskusi, dan pada akhirnya, membuat orang lebih memahami karakter lawan diskusinya.
“A reader lives a thousand lives before he dies …. The man who never reads lives only one,” demikian tulis George R.R. Martin. Saya rasa, kutipan dari R.R. Martin ini bisa mengungkapkan manfaat membaca buku, sekaligus menggambarkan hal yang dirasakan orang ketika membaca. Yakni, bagaimana ketika membaca buku, kita menjadi apa yang kita baca, bermimpi dalam keadaan terjaga, tenggelam dalam dunia baru yang berbeda dengan apa yang dijalani sehari-hari.
Tulisan ini diharapkan bisa menjadi pintu untuk kita keluar dari comfort zone, dan mencoba memahami dunia secara lebih luas lagi. In my humble opinion, keseimbangan antara kebutuhan mengetahui dan mempelajari sesuatu secara lebih cepat melalui kerja AI, dan keharusan memiliki akses terhadap informasi yang tidak sejalan atau tidak masuk dalam “content comfort zone”—atau yang belum kita ketahui—sangatlah penting untuk pengembangan diri seseorang. Hal ini juga yang akan membuat kita menyadari bahwa di setiap perbedaan pandangan dan perspektif, pasti ada pelajaran yang bisa diambil. (PH)
Bersambung…..