Di Qom, Iran, ada perpustakaan ternama yang didirikan ulama besar, Mar’asyi Najafi. Perpustakaan dengan koleksi kuno terlengkap ini ada berkat Mar’asyi yang mencintai buku. Dia bahkan sampai tak punya uang untuk berhaji agar bisa mendapatkan buku-buku langka.
Pada sebuah gedung di pinggir jalan berdekatan dari haram Fathimah binti Musa Al-Ma’sumah di Qom, Iran, ada sebuah perpustakaan yang harus masuk daftar untuk dikunjungi. Ada dua alasannya. Pertama, koleksi buku dan manuskripnya tentang dunia Islam merupakan salah satu yang terlengkap. Kedua, riwayat hidup pendiri perpustakaan tersebut, Mar’asyi Najafi, yang luar biasa.
Qom terkenal sebagai pusat hauzah, atau semacam pesantren, di Iran. Di kota ini, pelajar-pelajar Iran dan pelajar dari pelbagai dunia selama satu abad telah menempuh pendidikan keagamaan dalam berbagai bidang. Perpustakaan itu persis berada di jantung hauzah dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari pelajar di Qom.
Meskipun Iran memiliki berbagai perpustakaan lain milik pemerintah, Perpustakaan Ayatullah Mar’asyi Najafi punya beberapa keistimewaan yang sulit ditandingi. Kisahnya bisa menggetarkan para pecinta buku dan ilmu pengertahuan.
Semuanya bermula dari seorang bernama Shihabuddin Mar’asyi Najafi. Namanya kemudian menjadi nama untuk perpustakaan itu. Dia seorang ulama dan mufti besar berdarah Iran yang lahir di Najaf, Irak, pada 1896. Dia kemudian hijrah ke Qom bersama orangtuanya dan wafat pada 1990 di kota tersebut.
Selama hidup, Mar’asyi dikenal sebagai sosok pecinta ilmu dan buku. Dia berusaha dengan kekuatan dirinya sendiri mengumpulkan buku dan manuskrip sampai akhir hayatnya di usia 93 tahun.
Hingga wafat, Mar’asyi hanya meninggalkan harta kurang daripada 50 ribu rupiah. Sebab, semua hartanya sudah dia habiskan untuk membeli dan mengoleksi buku. Mungkin Mar’asyi satu-satunya ulama besar yang tidak sempat berhaji karena tidak memenuhi syarat kewajiban haji, yakni kemampuan finansial. Ini karena setiap kali mendapatkan uang, dia selalu menghabiskannya untuk membeli buku.
Buku, terutama manuskrip bersejarah dengan harga tak ternilai di perpustakaan itu, dikumpulkan betul-betul berkat determinasi seorang Mar’asyi tanpa bantuan agensi dan donor. Mar’asyi memburu buku demi buku hingga ke berbagai penjuru dunia dengan kekuatan ikhtiar dan kaki sendiri.
Beberapa kisah perburuan bukunya banyak direkam. Tak jarang, Mar’asyi mengumpulkan uang untuk membeli buku dengan cara terus berpuasa selama beberapa tahun. Dia bahkan menerima ijaroh atau jasa sewa orang lain untuk mengganti salat, puasa, atau menamatkan pembacaan Al-Quran berkali-kali untuk membeli buku.
Terus seperti itu. Kebutuhan materi dan hidupnya ditekan seminimal mungkin untuk bisa menabung demi buku.
Meskipun dalam struktur keagamaan masyarakat dia menduduki predikat sebagai mufti agung, demi tujuan mengoleksi buku, Mar’asyi memilih menjadi pekerja pabrik di malam hari. Kisah bagaimana dia berhasil mengumpulkan buku demi buku dicatatnya dengan rapi. Termasuk buku-buku yang dia beli dengan jalan menahan lapar dan mengikis keinginan-keinginan hidup.
Mar’asyi sendiri membuat karya buku sejumlah 150 jilid dalam berbagai tema. Mungkin ada banyak bibliofil gila buku dan kaya raya, tapi tak semua mampu mengoleksi manuskrip yang kaya, beragam, dan begitu bernilai dengan kekuatan sendiri, seperti yang dilakukan Mar’asyi.
Bahkan, pernah seorang konglomerat dari Spanyol menawar koleksi kitab suci Zabur bertulis tangan berbahasa Latin peninggalan 800 tahun silam dengan seluruh kekayaannya. Tapi, Mar’asyi menolaknya dengan sopan.
Kisah Bibliofil Tak Terkalahkan
Saat memasuki kamar direktori manuskrip di Perpustakaan Mar’asyi Najafi, kita bisa melihat berbagai jenis kitab ditulis dari kulit hewan dan kertas kuno tentang tradisi intelektual Islam, kitab-kitab suci berbagai agama, hadis-hadis, dan ilmu pengetahuan lain seperti filsafat, geometri, astronomi, sastra, dan bahkan ilmu serangga. Semuanya tulisan tangan. Koleksi kitab tulisan tangan di situ sangat mencengangkan. Terhampar di ruang kaca tulisan tangan kitab-kitab penting mulai dari Abad 2 Hijriah hingga sekitar 300 tahun lalu.
Mar’asyi Najafi mengumpulkan semua jenis manuskrip itu untuk menjaga kekayaan peradaban dan kebudayaan Islam dan pengabdian di jalan Allah sebagai tujuan utamanya. Perpustakaan itu pun lalu menggunakan namanya. Tapi sesuai wasiatnya, perpustakaan itu diwakafkan untuk umat serta siapa saja tamu asing yang ingin menggunakannya.
Beberapa tahun belakangan ini tamu asing yang ingin memasuki perpustakaan semakin ramai. Sehingga, tamu asing kini harus terlebih dahulu membuat surat kepada kantor perpustakaan sekitar satu pekan sebelumnya. Kunjungan mancanegara ke Perpustakaan mengalami lonjakan luar biasa.
Di pagi itu tampak terlihat kunjungan rombongan tamu dari Jepang dan Afrika. Bekal surat akan membuat tamu asing dilayani dengan waktu khusus dan didampingi oleh pemandu cekatan yang menjelaskan apa saja mengenai koleksi buku dan manuskrip di dalam perpustakaan itu.
Perpustakaan tersebut memiliki berbagai lantai, gedung, dan direktori, mulai dari perpustakaan umum, agama, koleksi visual, dan yang terpenting adalah direktori manuskrip atau kitab dengan tulisan tangan. Khusus direktori manuskrip, ada sekitar 40.000 manuskrip, 20.000-an di antaranya dikumpulkan sendiri oleh Mar’asyi Najafi.
Menurut penuturan pustakawan di perpustakaan tersebut, Mar’asyi mengatakan ada tiga faktor yang membuat perpustakaan itu tetap berdiri meskipun ditempa gonjang-ganjing, termasuk perang Iran-Irak yang meluluhlantakkan Qom oleh puluhan rudal.
Faktor pertama, perpustakaan itu didirikan sebagai pengabdian kepada Allah. Faktor kedua, kerinduan Mar’asyi Najafi dan keluarganya kepada Fathimah Ma’shumah, adik Ali bin Musa Al-Ridha (Imam ke-8 Umat Syiah) yang dikuburkan tak jauh dari perpustakaan tersebut. Faktor ketiga, doa baik orang tuanya.
Mar’asyi mengenang, dahulu setiap kali ingin membangunkan orangtuanya, dia tak berani menyentuh dan mengeluarkan suara. Cara dia membangunkan mereka adalah dengan melakukan rukuk dan menempelkan pipinya ke kaki ayahnya agar hangat dan membuat ayahnya terbangun. Itulah yang membuat Mar’asyi mendapatkan doa-doa terbaik dan keridaan orangtua.
Sebagai salah satu tokoh terkemuka di Iran, dia adalah penyokong penting revolusi Islam Iran dan Ayatullah Khomeini. Pada 1964, saat Ayatullah Khomeini hijrah ke Najaf, Mar’asyi sosok utama yang menyambut dan membuka jalan bagi ide-ide revolusi di Najaf.
Mar’asyi wafat pada 7 Safar 1411 H/29 Agustus 1990 di usia 96 tahun. Sebagaimana selama hidupnya Mar’asyi selalu mendahulukan ilmu dan membeli buku daripada memenuhi kepentingan-kepentingan duniawinya, ketika meninggal, dia tak sempat merepotkan orang banyak, apalagi sampai menghabiskan waktu dan dana.
Di ujung hayatnya, Mar’asyi memberi wasiat yang sangat terkenal kepada keluarganya. Dia tidak ingin dikuburkan di haram Sayyidah Ma’sumah meskipun bertugas menjadi imam salat di sana selama 70 tahun. Dia lebih memilih dikuburkan di pelataran depan perpustakaan agar dia selalu menyatu dengan derap langkah dan napas para peneliti dan pecinta ilmu.[]