Tragedi Oktober 1965: Fragmentasi Masyarakat, Kebangkrutan Komunisme, dan Kegagalan Nasakom

in Nukilan by

Dalam satu bagian dalam bukunya Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto, jurnalis dan sejarawan Salim Said memandang bahwa peristiwa Gestapu 1965 sebagai kegagalan “Nasakom”, proyek persatuan nasional Presiden Sukarno. Ini juga menunjukkan penyakit fragmentasi sosial di masyarakat Indonesia yang belum cukup terobati. 

TRAGEDI 1965 tidak bisa dimengerti terpisah dari konteks sejarah Indonesia modern yang bermula pada awal Abad ke-20. Pertama, haruslah disadari sepenuhnya konsep “Indonesia” adalah konsep baru yang secara berangsur menggantikan konsep “Hindia Belanda”. Konsep “Hindia Belanda” sendiri adalah konsep kreasi Belanda yang mereka perkenalkan pada Abad ke- 19. Sebelum itu, Nusantara ini belum suatu kesatuan yang daripadanya ada persepsi diri yang mendasari persatuan yang menciptakan konsep “Kita” bagi penduduk Nusantara. Sejumlah perang melawan kekuasaan kolonial Belanda hanya merupakan perang para raja yang pada dasarnya tidak berdasar konsep suku, wangsa, atau agama. Ini penjelasan utama Belanda dengan mudah melumpuhkan kekuatan para raja dengan memecah belah mereka.

Sejarah mencatat, konsep pertama tentang “Kita” lahir dari Perang Padri (Sumatra Barat, awal Abad ke-19) yang memandang diri mereka sebagai kekuatan Islam melawan Belanda yang kafir. Konsep “Kita” sebagai Islam kemudian merambat ke Aceh (Perang Aceh) dan Jawa Tengah (Perang Diponegoro) yang keduanya melihat diri mereka–terutama sebagai kekuatan Islam melawan Belanda yang kafir.

Dengan latar belakang inilah, kita mudah mengerti jika gerakan massal pertama di Indonesia adalah Sarekat Islam. Waktu itu, pada umumnya apa yang kemudian menjadi bangsa Indonesia, para warganya lebih melihat diri mereka sebagai bangsa Islam. Ini tentu berdasar pada kenyataan mayoritas manusia lndonesia menganut agama Islam. Konsep “Indonesia” secara perlahan baru muncul pada dekade kedua Abad ke-20. Mula-mula di kalangan para mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda (1924) yang memuncak pada Sumpah Pemuda 1928.

Jadi, apa yang sekarang kita kenal sebagai bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa buatan yang sejarahnya bermula pada awal Abad ke-20. Adalah suatu kenyataan, warga bangsa ini pluralistik dalam hampir semua aspek: suku, bahasa, tradisi, budaya, dan agama. Perbedaan dan keadaan pluralistik itu bukan sesuatu yang tidak menjadi tantangan dalam proses menjadi Indonesia yang bersatu, solid, dan rukun. Barangkali menyadari rangkaian perbedaan inilah, seruan utama dan awal dalam lagu kebangsaan kita adalah “Marilah Kita Bersatu”.

Ketika Proklamasi dibacakan oleh Ir. Sukarno pada 17 Agustus 1945, usia konsep “Indonesia” belumlah setengah abad. Kesadaran terhadap rangkaian perbedaan yang menjadi ciri terpenting bangsa baru itu menyebabkan metafor sapu lidi sangat menonjol pada masa Revolusi. Sapu lidi dipakai sebagai contoh bagi perlunya persatuan. Lidi di luar ikatannya amat mudah dipatahkan.

Mengingat dan menyadari latar belakang kemajemukan masyarakat Indonesia mudah dimengerti sulitnya persatuan yang tadinya dibayangkan dan didambakan para elite, tatkala mereka menghadapi kekuatan Kolonial Belanda atau fasisme Jepang sekalipun. Dalam kenyataannya, bangsa majemuk Indonesia dengan kemakmuran yang rendah dan karena itu peradaban yang belum berkembang, menderita “penyakit” Fragmented Society.

Ciri utama masyarakat yang demikian ialah tidak adanya trust (kepercayaan) antarfragmen-fragmen dalam masyarakat. Salah satu penjelasan kegagalan Dewan Konstituante menciptakan sebuah konstitusi yang disepakati, bersumber pada kenyataan fragmentasi itu. Juga kegagalan sistem parlementer bisa dijelaskan oleh keadaan fragmentasi tersebut.

Dengan latar belakang inilah, kita harus mengerti lahirnya konsep Nasakom yang diperkenalkan Presiden Sukarno. Konsep persatuan tersebut bukan konsep baru. Sukarno menciptakannya pada masa mudanya (tahun 1926). Latar belakang politik internasional ketika Nasakom diperkenalkan pertama kali amat berbeda dengan kondisi ketika Nasakom didoktrinkan Sukamo pada masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa tersebut, Perang Dingin sedang berkecamuk dengan ganas dan Indonesia—seperti banyak negara lainnya—jelas tidak bebas dari dampak “perang” demikian.

Menkohankam/Kasab AH Nasution bersama tokoh-tokoh Nasakom (Ketua PNI Ali Sastroamidjojo, Ketua NU Idham Chalid, dan Ketua PKI DN Aidit di Jakarta 1963 (Foto: repro dari buku Gestapu 65)

Sebagai respons terhadap Nasakom yang “dipaksakan” oleh permerintahan otoriter Presiden Sukarno, masyarakat Indonesa yang fragmented berangsur terpecah-pecah ke dalam dua kubu. Kubu Komunis dan anti-Komunis. Kedua kubu yang berseteru secara tajam sadar konflik fisik suatu hari akan datang. Tak terhindarkan. Kenyataan itu mendorong kedua kubu melakukan “mobilisasi”. Singkatnya, keduanya bersiap “perang”.

Dan seperti yang telah diperhitungkan dan diantisipasi, pada 1 Oktober 1965 pihak Komunis—Gestapu—bertindak memukul lebih dahulu. Sebuah pertumpahan darah yang amat dramatis terjadi pada pagi hari. Yang jadi korban pembantaian ialah para jenderal pimpinan Angkatan Darat. Mereka menjadi sasaran pembantaian karena dianggap sebagai penentang Nasakom dan penghalang utama kemajuan Komunis yang secara berangsur mempersiapkan diri merebut kekuasaan. 

Pada 1 Oktober 1965 pagi itu sebenarnya yang terbantai bukan hanya pimpinan Angkatan Darat, melainkan juga konsep Nasakom itu sendiri. Pada sore hari, 1 Oktober itu juga, lagu “Nasakom Bersatu” yang selama bertahun-tahun dikumandangkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) dinyatakan sebagai lagu terlarang. Sejak hari itu, orang-orang Komunis juga mulai menjadi sasaran likuidasi.

Singkat cerita, sulit untuk tidak mengatakan Gestapu 1965 adalah bukti konkret kegagalan doktrin persatuan nasional berdasarkan Nasakom. Dengan kata lain, konsep dan ajaran persatuan nasional Sukarno gagal mengatasi konflik antara Komunis dan kekuatan anti-Komunis. Akibatnya tragis dan bersimbah darah. Puncaknya, Sukarno pada 1968 secara sempurna kehilangan kekuasaan.

Pada mulanya Presiden Sukarno bersikeras menolak kegagalan Nasakom. Dan karena itu, dia bertahan terhadap tekanan pembubarkan PKI. Sikap mempertahankan PKI (hingga dibubarkan oleh Pangkopkamtib Jenderal Soeharto pada Maret 1966) mendorong masyarakat bertindak sendiri “menghabisi PKI sampai ke akar-akarnya”. Ini artinya pertumpahan darah, pembantaian massal. Alasannya, mereka takut jika PKI bertahan, tidak dibubarkan, Ialu melakukan aksi berdarah sebagai yang dulu mereka lakukan ketika Peristiwa Madiun 1948. Semboyan yang terdengar di kalangan kaum anti-Komunis waktu itu, terutama di Jawa Tengah dan Timur, “Membunuh lebih dahulu atau dibunuh”.

Seandainya Presiden Sukarno cepat membubarkan PKI, besar kemungkinan pembantaian orang-orang Komunis secara massal, bisa berhasil dihindarkan. Mayor Jenderal TNI Ibrahim Adjie, Panglima Siliwangi, cepat membubarkan PKI di wilayahnya. Akibatnya, Jawa Barat berhasil terhindar dari pembantaian massal terhadap golongan Komunis. Jawa Barat juga tertolong oleh struktur masyarakatnya yang dominan Islam (partai politik Islam Masyumi memenangi Pemilu 1955 di Jawa Barat), artinya masyarakat tidak terpecah antara kaum Abangan dan kaum Santri seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Konflik Santri versus Abangan tidak dikenal di Jawa Barat. Konflik demikian hampir merata di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Konflik demikian memainkan peran besar pada meluasnya pembantaian kaum Komunis yang memang kebanyakan tergolong kaum Abangan.

Selain trauma pengalaman berdarah pembantaian Madiun 1948, menjelang Gestapu 1965 masyarakat Indonesia—yang memang tak terpisahkan dari kemelut Perang Dingin—dibanjiri tulisan tentang kekejaman Komunis di Uni Soviet, Tiongkok, dan Eropa Timur. Bacaan-bacaan ini—sumbernya besar kemungkinan dari intel Barat—berperan besar meningkatkan ketakutan publik kepada golongan Komunis. Ketakutan demikian jelas menambah “semangat” memberantas PKI dan para pengikutnya.

Sebagai catatan tambahan terhadap pembantaian kaum Komunis pada masa pasca-Gestapu, saya melihat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, PKI kemudian terbukti memang tidak mempersiapkan dan melibatkan massanya menghadapi Gestapu. Ini karena kebijakan PKI, khususnya DN Aidit, mendesain Gestapu sebagai hanya “masalah internal Angkatan Darat”. Artinya, bukan atau belum sebuah gerakan PKI untuk merebut kekuasaan yang mengharuskan mereka memobilisasi dan mempersiapkan anggotanya yang konon berjumlah tiga juta dengan simpatisan 20 juta.

Berbeda dengan jalan yang ditempuh Tiongkok, PKI tidak yakin bisa berkuasa lewat jalan kekerasan. Mereka menghadapi Angkatan Darat yang dipimpin para jenderal yang sangat anti-Komunis, karena itu mereka merencanakan menang lewat pemilihan umum (jalan parlementer) yang direncanakan akan diadakan pada 1970. Gestapu bagi PKI adalah hanya langkah menyingkirkan pimpinan Angkatan Darat yang anti-Komunis untuk membuka jalan bagi para jenderal pengikut Sukarno menguasai Angkatan Darat. Dengan tentara yang tidak anti-Komunis (seperti Marsekal Madya Omar Dani yang memimpin Angkatan Udara waktu itu atau Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra yang Sukarnois), perjalanan PKI memenangi Pemilihan Umum 1970 diperhitungkan Aidit akan lebih mulus.

Peranan tentara dalam pembantaian orang-orang Komunis juga harus dicatat. Mereka terutama hanya berperan pada daerah-daerah yang masyarakatnya memang mempunyai pertentangan yang tajam antara yang Komunis dan anti-Komunis. Keadaan seperti ini terutama ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seperti sudah kita ketahui pada kedua provinsi ini ada pertentangan yang tajam antara kaum Santri—umumnya anti-Komunis—dan golongan Abangan yang cukup banyak yang pro-Komunis.

Di kedua provinsi ini tentara terutama berperan menggalakkan, bahkan seringkali secara terbuka melibatkan diri mendukung golongan anti-Komunis. Di Solo, misalnya, pada Oktober 1965 RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat), yang kini bernama Kopassus melatih para pemuda anti-Komunis menghadapi PKI, setelah PKI dengan dukungan satu Batalion Kodam Diponegoro di Solo menembaki mereka yang berdemo anti-Komunis pada hari-hari awal Oktober 1965. Pembunuhan massal di Pulau Bali memerlukan pengertian kultural selain penjelasan politik. Tapi selain faktor kultural, di pulau itu memang juga terjadi kelumpuhan otoritas militer dan sipil hingga tidak berada dalam posisi bertindak mencegah konflik berdarah yang menelan banyak korban. Pembantaian baru dapat diatasi justru setelah tentara (RPKAD) didatangkan dari Jakarta.

Setengah Abad Kemudian

Akhir-akhir ini muncul kesadaran dan usaha perlunya rekonsiliasi mengatasi luka masa lama. Tapi pada saat yang sama juga tampak adanya aksi-aksi membatasi gerak mereka yang dipandang, bahkan dicurigai sebagai Kekuatan Kiri yang dipersepsikan sebagai sedang mencoba bangkit kembali. Pertemuan-pertemuan mereka digerebek, kegiatan kultural mereka dicegah, dan diskusi-diskusi mereka dibubarkan. Komunisme internasional memang sudah bangkrut setelah Uni Soviet bubar dan Tiongkok menjadi kapitalis. Dulu PKI, pada masa Perang Dingin, adalah bagian integral gerakan Komunis Internasional. Selama masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Sukarno yang menggunakan payung Nasakom, menempatkan PKI pada posisi yang sangat kuat. Bagi Presiden Sukarno, PKI diberi peran mendukung posisi Presiden Sukarno yang sejak awal Demokrasi Terpimpin berhadapan dengan militer yang anti-Nasakom.

Sembari menghadapi tentara, PKI yang kuat terlindung oleh Nasakom, memanfaatkan posisi kuat tersebut meneror mereka yang dipersepsikan sebagai kawan seiring militer, mereka yang anti-Nasakom. Lahirnya Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar, 1964, harus dimengerti daam konteks ini. Ormas-ormas yang dihimpun dan dilindungi Angkatan Darat dalam Sekber Golkar adalah kekuatan pinggiran yang jadi sasaran teror PKI.

Teror kaum Komunis—sejak Peristiwa Madiun 1948 hingga menjelang Gestapu 1965—berbekas mendalam pada ingatan kolektif kaum anti-Komunis. Kecemasan terhadap kemungkinan demikian itulah yang antara lain mendorong munculnya sikap tidak toieran sebagian besar anggota masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan yang dipersepsikan sebaga tanda-tanda ancaman kebangkitan kembali kekuatan Komunis di Indonesia. Kecemasan terhadap kebangkitan demikian itu harus dibaca sebagai dinamika panjang trauma terhadap pengalaman Peristiwa Madiun 1948 dan Gestapu 1965.

Tapi harap dicatat juga, sikap intoleran yang cukup marak terhadap kaum Kiri sekarang ini bukan melulu tertuju kepada gerakan Kiri. Kelompok lain juga menjadi sasaran intoleransi. Yang terakhir ini, antara laln, bersumber pada perbedaan tafsiran pelaksanaan syariat agama. Dengan latar belakang seperti inilah, kita harus mengerti perlakuan kasar dan intoleran yang dialami golongan Ahmadiah, Syi’ah, dan Gapatar di Tanah Air kita. Pertanyaan penting untuk dijawab, bukankah fenomena intoleransi ini merupakan bagian dari ekspresi kenyataan Fragmented Society yang terekspresi pada sikap saling tidak percaya antarkelompok dalam masyarakat Indonesa?[]

Dinukil dari: Salim Haji Said, Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto, (Mizan: Bandung, 2018), Hal. 193-199.

(Sumber foto utama: Tirto.id)

Salim Haji Said adalah jurnalis senior sekaligus pengamat politik militer dan sejarawan. Dia menyelesaikan studi sosiologi di Universitas Indonesia (1976), master hubungan internasional di Ohio University (1980), dan doktor ilmu politik di Ohio State University (1985).

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*