JELAJAH LITERASI

Ziarah Lebaran

in Nukilan by

Cerpen Umar Kayam

Ziarah Lebaran” merupakan salah satu dari 17 “Cerpen Pilihan Kompas” 1995. Y.B. Mangunwijaya mengulas Umar Kayam sangat jitu membuat klimaks dan antiklimaks impian nyaman seseorang dengan realitas nyata. Cerpen ini contoh teknik bercerita pendek yang baik.

PADA Lebaran pagi itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka makan hidangan khas yang dimasak eyang putri. Opor ayam, sambal goreng ati, dendeng ragi, dan lontong, beserta bubuk kedelai. Mereka makan dengan lahap karena masakan eyang memang selalu enak. Yusuf selalu senang setiap kali dia datang menginap di rumah mertua perempuannya itu. Selain dia senang dapat melepas rindunya kepada Eko, anak tunggalnya itu, dia juga senang merasa ikut dimanja dengan berbagai hidangan dan penganan oleh mertuanya. Seakan hidup, bagi mertuanya itu, hanyalah memanjakan cucu tunggal dan menantunya. Kenapa tidak, desah Yusuf. Sejak Siti, istrinya, dan jauh sebelumnya mertua laki-lakinya, meninggal, apalah kesibukan dan perhatian ibu tua itu selain tertumpu kepada cucu tunggal dan menantu yang menduda itu.

“Tentu, Yang, pahanya satu lagi. Eko kan sukaannya paha.”

Yusuf melihat anaknya menyergap paha ayam yang ditawarkan eyangnya. Karena sergapan itu kuah opor itu muncrat ke sana kemari. Kalau Siti masih ada, pikirnya, pasti akan ditegurnya anaknya itu. Tetapi eyang putri…

“Sudah, Bu. Sudah cukup saya. Semuanya seperti biasa enak. Nuwun, Bu.”

“Lho, kok sudah, Sup. Tumben.”

Sambil menggelengkan kepalanya Yusuf berpikir apakah betul dia menolak itu karena memang sudah kenyang atau karena beban pikiran lain. Segera saja dia memutuskan pasti karena beban pikiran lain.

***

Mula-mula, waktu keberaniannya sudah terkumpul dan dengus hawa hidungnya sudah terasa panas, begitu saja Yati, teman sejawatnya itu diciumnya. Waktu dilihatnya Yati tidak melawan dan hanya memejamkan matanya Yusuf menjadi lebih berani lagi. Diciumnya berkali-kali mulut dan pipi gadis itu. Naluri atau nafsu laki-laki yang sudah menduda tiga tahun itu, agaknya sudah tidak dapat ditahan-tahan lagi. Dan sejak itu mereka semakin sering bertemu, berkencan melihat film, makan di restoran, bahkan sekali dua kali menginap di hotel.

“Yat, kau suka anak kecil enggak?”

“Tergantung anaknya bagaimana dan anak siapa.”

“Wah.”

Pelan-pelan, bertahap, Yusuf menyatakan cintanya kepada Yati. Diyakinkannya perempuan itu bahwa dia tidak mau hit and run dalam hubungan cinta mereka. Dia ingin mengawini Yati. Dia ingin Yati menjadi ibu Eko. Dan waktu Yati akhirnya menjawab: mau, mau, … Yusuf memutuskan untuk mengakhiri masa dudanya dan menggendong kembali Eko ke rumahnya.

***

Acara Lebaran selalu sama. Sembahyang Ied di lapangan kompleks perumahan, sungkem bermaaf-maafan dengan eyang putri, makan pagi, ziarah ke makam ayah mertuanya dan makam Siti. Ziarah ke makam orang tuanya sendiri nyaris hanya sekali-sekali dilakukan. Kenapa ya, pikirnya. Mungkin karena orang tuanya sudah begitu lama meninggal, mungkin karena adik-adiknya (sembari mengumpatnya) yang selalu menziarahi dan mengurus makam-makam itu. Atau karena makam Siti, istrinya yang cantik berambut panjang sekali itu, lebih mengikatnya untuk diziarahi. Atau karena Eko yang diasuh ibu mertuanya? Melepas rindu kepada anak tunggal, yang hanya sempat dikunjungi setahun sekali lewat perjalanan kereta api yang melelahkan dan untel-untelan, bukankah juga sangat, sangat penting.

“Wah, setiap tahun kok semakin banyak saja kere-kere berderet di kuburan,” gumam ibu mertuanya.

Di dalam hati Yusuf mengiyakan pernyataan itu. Kok di kota sekecil itu kere-kere bertambah, pikirnya. Mau dientaskan bagaimana itu, gumamnya.

“Kok, kere-kere yang di makam semuanya cacat, Yang?”

Yusuf tersenyum bangga. Pikirnya, anaknya untuk usianya sangat tajam pengamatannya.

“Kalau tidak cacat tentu mereka bisa bekerja, tidak mengemis, Ko.”

Di makam Siti mereka mencabuti rumput yang di sana-sini tumbuh. Lantas mereka menabur bunga. Kemudian Eko mengambil alih upacara.

“Karena Eko sudah bisa Al-Fatihah, Eko akan berdoa keras, eyang putri dan Bapak mengikuti.”

“Boleh, boleh, Ko.”

“Iyo, Le.”

Dan dengan lancar Eko, mungkin setengah pamer, mengucapkan Al-Fatihah diikuti eyang putri dan ayahnya. Sehabis itu Eko merangkul eyang putri dan eyang putrinya pun menciumi pipi cucunya. Sekali lagi Yusuf merasa bangga dan sadar juga bahwa anaknya memang sudah lebih besar daripada setahun yang lalu. Kemudian tanpa disangka Eko sambil menekuri makam ibunya berkata kepada makam ibunya.

“Ibu di sorga. Ini Eko, Bu. Eko sudah gede, Bu. Eko sekarang bisa jaga eyang putri di sini, Bu. Bapak jaga eyang putri dan Eko dari Jakarta, Bu. Oh ya, Bapak bawa oleh-oleh mainan Nintendo. Baguus sekali, Bu…”

Yusuf bangkit dari jongkoknya. Rasanya tulang-tulangnya lebih ngilu. Dipandangnya anaknya yang masih jongkok dan masih terus juga dielus-elus kepalanya oleh neneknya yang nampak terisak-isak menangis.

***

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, di kereta api yang penuh sesak orang-orang yang baru pulang dari mudik, Yusuf mendesah. Udara pengap, gerah, keringat di tubuhnya terasa lengket. Bau apak dan penguk lagi. Mungkin tahun depan, pada Lebaran lagi, dia akan lebih punya nyali, punya keberanian yang lebih mantap lagi untuk mengemukakan itu semua kepada ibu mertuanya, kepada Eko. Bahwa dia akan mengawini Yati, bahwa dia akan menggendong Eko ke Jakarta. Ya, tahun depan. Pasti, tekadnya.

Waktu dia menatap jendela kereta, dia berharap dapat menatap senyum Yati sekilas-sekilas yang dia harap juga akan merangsang berahinya. Tetapi tidak. Yang terlihat sawah-sawah kebanjiran, jembatan-jembatan putus, dan jalan-jalan yang semrawut oleh bus dan mobil.[]

[Dinukil dari: Cerpen Pilihan Kompas 1995: Laki-Laki yang Kawin dengan Peri. 2016. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hlm. 25-29]


Umar Kayam

LAHIR di Ngawi, Jawa Timur, Umar Kayam (1932-2002) adalah pengarang, akademisi, dan pejabat pemerintahan—perpaduan profesi yang jarang ditemui. Di birokrasi, Guru Besar Sastra UGM, Yogyakarta, ini pernah menjabat antara lain Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film (1966-1969) dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972).

Satu lagi yang mestinya dicatat. Dia juga aktor, pernah membintangi setidaknya empat film: Karmila (Ami Prijono, 1974), Kugapai Cintamu (Wim Umboh, 1977), Pengkhianatan G-30-S PKI (Arifin C Noer, 1982), dan Djakarta 1966 (Arifin C Noer, 1982). Di dua film terakhir, Uka—begitu dia biasa disapa kalangan dekatnya—berperan sebagai Presiden Sukarno. Dia juga menulis skenario untuk film Yang Muda Yang Bercinta (Sjuman Djaya, 1977) dengan aktor utamanya WS Rendra.

Umar baru memulai mengarang saat berkuliah di Cornell University, New York, Amerika Serikat. Dia tak terlalu produktif tapi karya-karyanya kerap memperoleh kritik positif. Cerpennya “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” mendapatkan hadiah sastra dari majalah Horison pada 1967. Cerpen ini kemudian diterjemahkan ke sejumlah bahasa asing dan bahasa daerah. Lalu, novel Para Priyayi (1991) membuatnya dianugerahi Hadiah Buku Utama dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1995. Karya lainnya adalah novelet Sri Sumarah dan Bawuk (1975) serta novel Jalan Menikung (1999) sebagai sekuel dari Para Priyayi—keduanya kemudian kerap disebut “Dwilogi Para Priyayi”.

Gaya khas Umar dalam mengarang adalah reportase pengamatan. Dia kerap bernarasi sebagai orang ketiga yang mengamati perilaku, ucapan, dan suasana tokoh-tokohnya. Dalam bercerita, Umar bisa dikatakan telaten dan detail, terutama bisa dilihat dalam Para Priyayi. Suasana alam pedesaan Wanagalih, misalnya, digambarkan begitu rinci.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Nukilan

Terbang

Cerpen Ayu Utami Dengan berlatarkan kecemasan terkait keamanan transportasi udara, Ayu Utami

Pemintal Kegelapan

Cerpen Intan Paramaditha Dalam cerpen ini, Intan Paramaditha meramu horor dan misteri

Cinta Sejati

Cerpen Isaac Asimov Anda yang pernah mencoba aplikasi atau situs web kencan

Sehabis Mimpi

Cerpen Ajip Rosidi Cerpen “Sehabis Mimpi” berlatar kehidupan pada 1950-an. Dalam cerpen
Go to Top