Ts’ai Lun dan Kertas

in Bukupedia by

Seandainya tahu bahwa apa yang ia temukan akan begitu penting bagi umat manusia, Ts’ai Lun tentu tetap mandi bersih dan memakai pakaian indah tetapi tidak terjun ke politik praktis dan tidak minum racun bunuh diri.

Ts’ai Lun mungkin salah satu orang yang melakukan bunuh diri dengan elegan. Sebelumnya ia mandi bersih-bersih, mengenakan baju terindah, lantas minum racun mematikan.

Mulanya Ts’ai Lun hanyalah pegawai biasa kerajaan Cina. Kurang lebih pada 105 Masehi, ia mempersembahkan contoh kertas yang ia buat dari pohon murbei kepada Kaisar Ho Ti.

Kertas belum pernah ada sebelumnya. Menyadari betapa besar manfaat kertas, Kaisar girang sekali. Ketimbang media tulis sebelumnya, kertas mudah dilipat dan tentu saja lebih enak dipakai. Sebelumnya buku dibuat dari bambu, yang karuan saja membuat buku jadi berat dan kikuk. Malah ada buku yang dibuat dari kain sutera, yang tentu saja jadi mahal untuk rakyat jelata. Sedang di Barat dan Arab, buku dibikin dari papirus, juga kulit kambing atau lembu—yang selain langka juga mahal.

Karenanya tak heran Ts’ai Lun lantas dinaikkan pangkatnya, dihadiahi gelar bangsawan, dan dengan sendirinya menjadi cukong. Tapi belakangan Ts’ai Lun terlibat politik praktis anti-istana, yang membuatnya didepak. Ia lantas, ya itu tadi, bunuh diri minum racun.

Menakar pentingnya penemuan kertas, Michael Hart menempatkan Ts’ai Lun pada nomor tujuh dalam buku “Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah” (diterjemahkan Almarhum Mahbub Djunaidi, salah seorang kolumnis terbaik Indonesia, diterbitkan Pustaka Jaya, 1982). Nomor satu, kita tahu, Nabi Muhammad Saw, disusul berturut-turut oleh Isaac Newton, Nabi Isa, Budhha, Kong Hu-Cu, St. Paul—dan baru tokoh kita ini, Ts’ai Lun.

Tetapi Hart heran kenapa Ts’ai Lun begitu kurang dikenang. Bahkan tak sedikit ensiklopedia besar yang tak menyinggung namanya sepatah pun. Ada pula sangkaan bahwa Ts’ai Lun cuma tokoh rekaan. Tapi penyelidikan membuktikan bahwa Ts’ai Lun nyata dan bukan sejenis jin dalam dongeng.

Tempat Ts’ai Lun yang nomor tujuh itu tepat di atas Johann Gutenberg, sang penemu mesin cetak. Mulanya Hart bingung mana yang lebih penting antara Ts’ai Lun dan Gutenberg. Akhirnya ia memutuskan bahwa Ts’ai Lun lebih penting. Alasannya, kertas tak melulu dipakai untuk media tulisan. Ts’ai Lun hidup jauh lebih dulu, dan kalaupun mesin cetak tak ditemukan, penggunaan kertas akan tetap penting untuk menulis.

Di Cina, penggunaan kertas kemudian meluas pada Abad ke-12. Dalam beberapa abad, Cina mengekspor kertas ke negara-negara Asia lain dan memegang monopoli komoditas ini karena memendam rapat rahasia pembuatan kertas. Tetapi pada 751, beberapa ahli pembikin kertas tertawan oleh orang Arab, dan membocorkan rahasia itu. Tahun itu pula kertas sudah dibikin di Samarkand, dan pabrik kertas sudah didirikan pada 793 di Baghdad pada era Khalifah Harun Al-Rasyid.

Menjelang akhir Abad ke-9, tulis Ziauddin Sardar dalam Mengenal Islam: For Beginner (Mizan, 1997), kertas sudah menjadi standar untuk komunikasi tertulis. Bahkan, seorang pengembara Persia yang datang ke Kairo menceritakan bagaimana pedagang telah membungkus sayuran dan rempah-rempah dengan kertas.

Sesudah itu, perkembangan kertas tak terbendung lagi. Pada Abad ke-14 sudah berdiri pabrik kertas di Eropa, terutama di Spanyol, Italia, Perancis, dan Jerman. Kombinasi dua teknologi, kertas dan mesin cetak, tak ayal memudahkan dan memurahkan penyebaran pengetahuan dan informasi. “Revolusi Informasi Pertama” yang disebut-sebut oleh Alvin Toffeler itu tak pelak lagi adalah buah manfaat gabungan dua teknologi ini.

Alhasil, umat manusia selama berabad-abad hidup dengan kertas, dan kertas menjadi salah satu komoditas penting. Karenanya tatkala harga kertas membumbung seperti pesawat jet belakangan ini, tak ayal banyak orang lalu berkepentingan.

Ts’ai Lun, dari alam kuburnya, tentu tak menduga apa yang ia temukan ternyata begitu penting bagi umat manusia. Seandainya tahu, ia tentu tetap mandi bersih dan memakai pakaian indah tetapi tidak terjun ke politik praktis dan tidak minum racun. Namun, nasib orang siapa tahu?[]

Putut Widjanarko adalah Vice President Mizan Publika. Ia meraih gelar doktor di bidang ilmu komunikasi massa di Scripps College of Communication, Ohio University, pada 2007 dengan disertasi berjudul “Homeland, Identity, and Media: A Study of Indonesian Transnational Muslims in New York City.”

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*