“Kebebasan Berekspresi dalam Islam”: Menafsir Ulang Hukum Murtad dan Penodaan Agama

in Wacana by

Dalam beberapa dekade terakhir, kasus-kasus kemurtadan dan penodaan agama dalam Islam terus bermunculan. Kasus-kasus tersebut sering menimbulkan kekisruhan, dan bahkan dapat menghilangkan nyawa seseorang. Bagaimana sebenarnya ajaran Islam memperlakukan murtad dan penodaan agama?

Buku Kebebasan Berekspresi dalam Islam membahas kasus-kasus kemurtadan dan penodaan dengan mengambil beberapa contoh kasus hukum yang terjadi di Pakistan, Mesir, Indonesia, Sudan, dan Iran. Para editor buku ini mencatat bahwa hukum atas penodaan agama dan kemurtadan tidak hanya dapat digunakan untuk menghukum seseorang yang dianggap murtad atau telah menghina simbol agama, tapi juga dapat dipakai baik untuk membungkam pemikiran dan debat sekaligus menekan kelompok minoritas keagamaan, baik di dalam maupun di luar Islam. Kedua hukum tersebut juga kerap dipakai sebagai argumen ampuh bagi kepentingan politik dan ekonomi, atau untuk motif balas dendam.

  • Judul Buku: Kebebasan Berekspresi dalam Islam: Menggugat Hukum Kemurtadan Penodaan Agama
  • Editor: Muhammad Khalid Masud, Kari Vogt, Lena Larsen, Christian Moe
  • Penerbit: Mizan
  • Terbit: April 2023
  • Tebal: 376 halaman

Berikut ini beberapa contohnya.

Pakistan

Asia Bibi, seorang buruh tani beragama Kristen, memberi air minum kepada tetangganya yang Muslim. Tetangganya itu menolak dengan alasan Asia seorang Kristen. Tidak menerima alasan itu, Asia ribut dengan si tetangga hingga berujung di jalur hukum. Kemudian, akibat tekanan massa yang marah, pengadilan di Pakistan menjatuhkan hukuman gantung kepada Asia. Dasarnya, dia dianggap telah menodai agama. Peristiwa ini terjadi pada 2010 di Punjab, Pakistan.

Gubernur Provinsi Punjab saat itu, Salman Taseer, berusaha menengahi agar Asia Bibi dimaafkan dan memulai upaya reformasi hukum. Nahas, pada 2011, Salman justru ditembak mati oleh pengawalnya sendiri, yang menganggapnya murtad karena telah membela Asia. Pengawal itu akhirnya diadili dan dihukum karena pembunuhan tersebut. Namun, masyarakat Pakistan terbelah antara mereka yang melihatnya sebagai pengkhianat dan mereka yang menyebutnya sebagai syuhada.

Peristiwa di atas terjadi akibat adanya undang-undang penodaan agama di Pakistan. Shahbaz Bhatti, satu-satunya menteri beragama Kristen di kabinet pemerintah Pakistan waktu itu, membela Asia dan melakukan perlawanan terhadap undang-undang penodaan agama. Akibatnya, dia sendiri dibunuh dengan 70 kali tembakan oleh kelompok militan dan putranya diculik.

Setelah menjalani hukuman beberapa tahun di penjara, Asia akhirnya memenangi peradilan banding di Mahkamah Agung Pakistan. Keputusan ini menjerumuskan negara itu ke dalam krisis politik. Demi keselamatannya, Asia harus pergi meninggalkan negaranya, Pakistan, menuju Kanada.

Mesir

Jika Asia Bibi termasuk golongan minoritas yang rentan, sebaliknya Nasr Abu Zayd adalah seorang intelektual Muslim yang memahami Al-Qur’an secara mendalam. Dia juga seorang guru besar bahasa Arab yang mengajar ilmu-ilmu keislaman di University of Cairo.

Namun, ia terpaksa melarikan diri dari Mesir dengan istrinya setelah pihak pengadilan membatalkan pernikahan mereka atas dasar tuduhan murtad karena tulisan-tulisan ilmiahnya mengenai Al-Qur’an.

Sudan

Pada Mei 2014, Meriam Ibrahim divonis hukuman mati karena murtad dan hukuman cambuk karena zina oleh pengadilan Sudan. Tuduhan kemurtadan yang diterima Meriam didasarkan pada klaim bahwa dia terlahir sebagai Muslim, mengikuti agama ayahnya yang Muslim. Meriam sebenarnya dari sejak muda dididik mengikuti agama Ibunya yang Kristen.

Ayah Meriam meninggalkan Ibunya sejak Meriam masih muda, dan setelah itu Meriem dibesarkan sebagai seorang Kristen. Sambung menyambung dengan tuduhan murtad, ketika menikah dengan pria Kristen, pernikahan Meriem dianggap batal, dan karenanya dianggap telah berzina.  Anak-anaknya—seorang balita serta bayi yang lahir saat dia dipenjara—menjadi bukti kasus perzinaannya, dan pengadilan menjatuhinya hukuman cambuk sebanyak 50 kali.

Indonesia

Indonesia bukanlah negara yang mendasarkan hukum positifnya kepada hukum Islam. Namun, keberadaan fatwa yang dilahirkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) mampu memengaruhi hukum positif tersebut. Meskipun tidak sampai menjadi produk hukum, fatwa tersebut mampu memengaruhi proses penegakan hukum.

Pada 1984, MUI pernah mengeluarkan rekomendasi mengenai Syi’ah, yang isinya menunjukkan perbedaan-perbedaan mendasar antara Sunni dan Syi’ah. Meskipun rekomendasi tersebut tidak secara terang menyebut Syi’ah sesat, pada tahun-tahun mendatang dieskalasi ke dalam bentuk fatwa sesat. Pada 2012, MUI Sampang mengeluarkan fatwa tentang kesesatan Syi’ah, tanpa berkonsultasi dengan MUI. Tiga minggu kemudian, MUI Jawa Timur juga mengeluarkan fatwa yang sama.

Akibat fatwa-fatwa tersebut, sekitar 200 keluarga Syi’ah di Sampang harus mengungsi ke Balai Olahraga Sampang, terusir dari kampung halamannya sendiri. Pada Juni 2013, pemerintah setempat memaksa masyarakat Syi’ah Sampang pindah dari kamp sementara mereka di Sampang ke Sidoarjo, 113 kilometer dari Sampang.

Alih-alih mencari solusi konflik, Menteri Agama pada waktu itu, Suryadharma Ali, malah memihak fatwa MUI Jawa Timur dan menyalahkan Syi’ah atas insiden tersebut, serta menyatakan mereka menyimpang.

Berdasarkan identifikasi dari Syafiq Hasyim, salah satu penulis dalam buku ini, penentuan aliran sesat di Indonesia bukan berdasarkan teori hukum Islam, melainkan lebih kepada politik identitas. Sebab, jika kita hendak mengacu kepada “Risalah Amman”, jelas dinyatakan bahwa berdasarkan konsensus dunia Muslim, Syi’ah adalah bagian sah dari umat Islam. Sebaliknya, pada tingkat praktis Islam Indonesia, Syi’ah malah dianggap sebagai sekte yang menyimpang.

Jalan Keluar

Buku ini kemudian mencoba memberi jalan keluar berupa penafsiran ulang atas dalil-dalil terkait. Ada sedikitnya delapan ayat tentang kemurtadan dalam Al-Qur’an (QS 2:217, 3:86-90, 4:137, 5:5, 5:54, 9:74, 16:106, 47:25-28).

Yang paling terkenal adalah ayat berikut ini.

Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu (orang beriman) sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu jika mereka sanggup. Siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran, sia-sialah amal mereka di dunia dan akhirat. Mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya (2:217).

Dari semua ayat yang dimaksud, tidak ada satu pun yang menyebut hukuman kemurtadan diberlakukan di dunia (seperti hukuman penjara, cambuk, eksekusi mati, pengasingan, atau larangan berpartisipasi dalam urusan sosial-politik). Semua konsekuensi duniawi untuk kemurtadan yang disebutkan bersifat non-fisik dan sama sekali tidak berkaitan dengan hukuman ḥudūd (hukuman yang ketetapannya ada di dalam Al-Qur’an). Orang murtad yang mati dalam kekufuran, seperti halnya orang kafir, amal baiknya akan sia-sia dan tidak akan menyelamatkan dirinya di akhirat.

Lalu bagaimana dengan tindakan Nabi?

Pada kenyataannya, belum pernah ditemukan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi memerintahkan membunuh orang karena orang itu murtad. Ketika orang-orang tertentu dijatuhi hukuman mati atas perintah Nabi—menurut beberapa riwayat sejarah—hal itu bukan karena kekufuran atau kemurtadan mereka, melainkan karena keterlibatan mereka dalam membunuh (Muslim), atau memerangi, menganiaya, atau membahayakan (Muslim) dengan memata-matai atau melakukan pelanggaran lainnya.

Ada sebuah hadis terkenal yang sering dijadikan landasan fikih tentang hukuman atas kemurtadan. “Dilarang menumpahkan darah seorang Muslim kecuali dalam salah satu dari tiga peristiwa berikut: kekufuran setelah keimanan, perzinaan setelah kesucian, dan pembunuhan.” (HR Bukhari: 6878, HR Muslim: 1676).

Namun, sebagaimana hadis-hadis lainnya, hadis tersebut mesti ditolak karena bertentangan dengan Al-Qur’an. Inilah ayat yang dimaksud:

Katakanlah, “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu: maka, siapa yang menghendaki beriman, hendaklah dia beriman, dan siapa yang menghendaki kufur, biarlah dia kufur.” Sungguh Kami menyediakan neraka bagi orang-orang zalim yang gejolaknya mengepung mereka (QS 18:29).

Ayat di atas sama sekali tidak menyatakan adanya hukuman duniawi atas kemurtadan, melainkan sebatas ancaman azab yang pedih di akhirat. Selain itu, dalam ayat berikut dinyatakan: Maka (Muhammad), berilah peringatan karena sungguh engkau hanyalah pemberi peringatan (QS 88:21-22, 50:43, 25:56-58, 13:40, 5:99).

Baik surah Makkiyah maupun Madaniyah, bahkan ayat paling terakhir diwahyukan sekalipun, menunjukkan bahwa Nabi hanya diutus untuk memberi panduan dan peringatan. Jika demikian, bagaimana mungkin seseorang memiliki mandat yang lebih besar daripada Nabi?

Lalu bagaimana dengan hukum penodaan agama? Adakah nash tertentu yang dapat menjadi landasan fikihnya?

Istilah sabb (dalam arti pelecehan) muncul dua kali dalam Al-Qur’an, yaitu dalam ayat berikut ini: Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan (QS 6:108).

Menariknya, Al-Qur’an tidak menyebut hukuman di dunia bagi penistaan seperti di atas.

Sebaliknya, literatur hadis menyebut soal penistaan. Sejumlah hadis menyebut dengan jelas hukuman mati bagi beberapa sosok terkemuka. Tapi, ini kemungkinan besar karena aktivitas politik mereka melawan komunitas Muslim.

Salah satu contohnya adalah pembunuhan atas Ka’ab b. al-Asyraf. Dia dibunuh karena aktivitasnya yang anti-Muslim serta fitnahnya terhadap Nabi dan para pengikutnya di Madinah.

Contoh terkenal ini sering dikutip untuk mendukung hukuman mati terhadap pelaku penodaan agama. Namun, kemungkinan besar dia dibunuh lebih karena mengobarkan perang terhadap komunitas Muslim. Ka’ab adalah seorang penyair yang dikenal sering menghina Nabi, ajarannya, dan simbol-simbolnya. Lebih-lebih, dia dianggap terlibat dalam rencana jahat untuk membunuh Nabi.

Sumber-sumber sejarah menjelaskan dua alasan pembunuhan Ka’ab. Yang pertama menggambarkan perannya dalam memutuskan aliansi antara suku Yahudi Bani Nadhir dengan Nabi Muhammad. Kemudian dia terlibat dalam membuat perjanjian bersama Abu Sufyan (pemimpin kafir Quraisy saat itu) dan sejumlah orang Yahudi. Mereka sepakat bahwa “orang Quraisy dan Yahudi harus bekerja sama melawan Muhammad”. Sesudah peristiwa ini dan pembunuhan Kaʿab, Bani Nadhir pun diusir dari Madinah.

Alasan kedua, diriwayatkan oleh Ikrimah (w. 723), menyatakan bahwa Bani Nadhir berkomplot untuk membunuh Nabi Muhammad. Mereka menyampaikan rencana tersebut kepada Kaʿab b. al-Asyraf, dan dia setuju. Inilah yang kemungkinan menjadi alasan Nabi diduga memerintahkan para sahabat untuk membunuh Ka’ab. Keberadaan Kaʿab membahayakan kelangsungan komunitas Muslim.

Jadi, pada intinya, kasus penodaan yang terjadi pada waktu itu terkait erat dengan aktivitas peperangan. Dengan kata lain, penista yang dimaksud sedang “mengobarkan perang terhadap Islam”.

Hal itu jelas berbeda dengan kasus Asia Bibi di Punjab, misalnya. Dia sama sekali tidak sedang mengobarkan perang. Latar belakangnya bisa sangat kompleks. Dalam kasus Asia Bibi, terdapat isu mengenai kelas, kasta, dan kemurnian. Semua itu bersengkarut dengan konsep-konsep keagamaan.

Anda boleh sepakat atau tidak terhadap buku ini. Bagaimanapun, buku ini telah menawarkan wawasan dan pandangan baru terkait hukum kemurtadan dan penodaan agama. Buku ini—yang merupakan kumpulan tulisan para cendekiawan, pakar, dan aktivis Muslim—membahas penalaran teologis, historis, dan penjelasan hukum di balik undang-undang negara yang paling ketat di seluruh dunia (terkait penodaan agama dan kemurtadan) untuk membuka cara berpikir baru secara kritis dan konstruktif.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*