Buku karya Hernowo Hasim ini menginspirasi kita untuk menulis meskipun kita bukan penulis profesional. Menulis adalah bagian tak terpisahkan dari hidup manusia sebagai makhluk berbahasa.
Anda mungkin pernah merasa kesusahan saat mendapat tugas menulis makalah di kampus, tersiksa karena harus mengerjakan laporan di kantor, atau buntu karena mengalami writer’s block saat akan mengarang cerpen atau novel. Ya, menulis bagi sebagian kita adalah aktivitas yang menyulitkan, menyiksa, melelahkan, dan membosankan. Bayangkan kita harus duduk berjam-jam, kadang menekuk punggung, menatap layar laptop untuk mengetik kata demi kata, kalimat demi kalimat. Pikiran kita dipaksa kerja rodi untuk menemukan ide, kata yang pas, kalimat yang efektif, paragraf yang sinkron, atau tak jarang cuma bengong menanti ilham turun dari langit.
Namun, bagi Hernowo Hasim (1957-2018), menulis justru bisa mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan. Di usia 40 tahun, praktisi di dunia penerbitan itu makin asyik menulis. Dia yang awalnya bergelut merancang tampilan fisik buku berhasil menulis 24 judul buku dalam empat tahun. Bahkan, buku-bukunya laris di pasaran. Di antaranya Mengikat Makna, Andaikan Buku itu Sepotong Pizza, dan Quantum Writing.
Kenikmatan menulis mulai Hernowo rasakan saat menemukan konsep free writing atau “menulis bebas” dari psikolog asal Amerika Serikat James W Pennebaker. Konsep itu kemudian dia kombinasikan dengan ide “menulis dalam proses” dari Natalie Goldberg dan “menulis untuk membuang” dari Peter Elbow. Ada sejumlah konsep menulis lain yang memikat perhatiannya. Tapi, tampaknya tiga nama itulah yang mewarnai sebagian besar bukunya Free Writing: Mengejar Kebahagiaan dengan Menulis.
- Judul: Free Writing: Mengejar Kebahagiaan dengan Menulis
- Penulis: Hernowo Hasim
- Penerbit: B First (PT Bentang Pustaka)
- Terbit: 2017
- Tebal: xi + 216 halaman
Dari ketiga konsep dan istilah di atas, free writing bisa disarikan sebagai aktivitas menulis apa saja dalam kurun waktu tertentu setiap harinya (Hernowo menyarankan 10 hingga 15 menit) tanpa harus memikirkan gagasan besar, koherensi paragraf, efektivitas kalimat, keindahan kata-kata, dan bahkan tanpa melihat kembali apa yang telah ditulis atau mengoreksi kesalahan ketik. Intinya, free writing adalah “menulis tanpa berpikir”, “menulis tanpa aturan”, “menulis tanpa bentuk”. Pokoknya, tumpahkan saja apa yang kita pikirkan dan rasakan dalam waktu 10 menit setiap harinya secara konsisten.
Free writing adalah menulis tanpa diselingi kegiatan lain, seperti merancang kerangka tulisan atau mengedit. Kedua hal itu dalam konsep free writing adalah kegiatan yang sama sekali terpisah dan tidak boleh menginterupsi kegiatan menulis. Jika sudah fasih menerapkan free writing, anda akan tenggelam di dalam prosesnya dan menemukan kenikmatan.
Sebenarnya menulis seperti digambarkan di atas sudah lama dilakukan sejumlah pengarang. Ketika mengungkap proses kreatifnya, Nh Dini, misalnya, mengatakan dia selalu membawa buku catatan ke mana pun dia pergi. Begitu terbetik ide dia akan selalu menuliskannya ke dalam buku catatan itu. AS Laksana bahkan menganjurkan kita “menulis buruk”. Tulisan buruk, dia bilang, masih jauh lebih baik daripada tulisan sempurna tapi tak pernah ada. Ambisi menulis bagus akan membebani kita, dan akhirnya kita tak pernah mulai menulis. Pengarang lainnya, Budi Darma, bercerita dia akan segera menulis begitu merasakan ada yang harus dia tumpahkan. Dia akan tenggelam dalam proses menulis seharian dan bahkan sepekan penuh, dan kemudian tidak akan pernah memikirkan ulang apa yang dia telah tulis.
Jika membaca paparan Hernowo dalam buku ini, free writing tampaknya lebih pas dikategorikan sebagai “seni” ketimbang aktivitas intelektual yang bersifat metodologis belaka. Jika menggunakan teori otak kiri-kanan yang dirumuskan neuropsikolog Roger Sperry, free writing lebih mengandalkan otak kanan daripada otak kiri. Otak kiri suka mengatur-atur kita untuk tertib dan patuh pada aturan, sedangkan otak kanan bersifat bebas, spontan, tidak teratur atau acak, dan cenderung berpikir menyeluruh. Jadi, jika dikatakan menulis tanpa berpikir, maksudnya adalah menulis dengan lebih memaksimalkan otak kanan daripada otak kiri. Itu bukan berarti menulis tanpa berpikir sama sekali. Sebab, bagaimanapun, menulis pastilah aktivitas berpikir.
Jika bukan seorang penulis dan tak ingin menjadi penulis, anda tetap bisa memperoleh manfaat dari aktivitas free writing. Dengan menulis bebas, menurut Hernowo, anda bisa melepaskan diri dari stres, tekanan, dan trauma. Itu karena, dengan free writing, anda akan membuang setiap emosi negatif yang anda rasakan. Anda bisa menumpahkan sumpah serapah, amarah, dan caci maki tanpa harus memikirkan konsekuensinya. Sebab, free writing memang lebih ditujukan untuk diri sendiri ketimbang untuk orang lain.
Sebaliknya, jika anda seorang penulis atau bercita-cita hendak menjadi penulis, free writing bisa menyelamatkan anda dari kondisi writer’s block atau kebuntuan dalam menulis. Berbeda dari anggapan umum orang bahwa menulis adalah mewujudkan ide dan gagasan dalam bentuk tulisan, free writing justru menganggap tangan kitalah yang berperan terlebih dulu dalam mengeluarkan ide. Baru kemudian otak merekam ide yang telah berhasil dikeluarkan itu. Artinya, kedua tangan kitalah yang memaksa otak menghasilkan ide. Tanpa membiasakan menggerakkan tangan untuk menulis atau mengetik, otak akan buntu. Tanganlah jembatan yang menghubungkan otak dengan gagasan.
Hernowo dalam buku ini kemudian menggabungkan konsep free writing dengan konsep “mengikat makna” yang dia pernah rumuskan dalam buku terdahulunya. Menurut dia, aktivitas free writing tak bisa berjalan lancar dan konsisten jika tak diiringi dengan aktivitas membaca. Membaca adalah bahan bakar yang membuat free writing makin mulus.
Mengapa demikian?
Ketika membaca, kita sebenarnya tengah memasukkan kata-kata ke dalam memori kita. Makin banyak kita membaca, makin banyak pula perbendarahaan kata yang melekat pada benak kita. Dengan banyak membaca, kata-kata akan mengalir deras dari pikiran bak air bah saat kita menulis. Perasaan dan pikiran kita menemukan jalannya untuk keluar dalam bentuk kata-kata yang pas. Tanpa membaca, perasaan dan pikiran kita sulit menemukan ekspresinya dalam bentuk kata-kata, sehingga aktivitas free writing tersendat-sendat.
Ketika membaca, kita sebenarnya tengah memperhatikan cara penulis menyusun kata-katanya, kalimat-kalimatnya, dan paragraf-paragrafnya. Kita pada hakikatnya sedang menikmati sekaligus mempelajari bagaimana seorang penulis memilih kata, membuat kalimat efektif, dan menata paragraf koheren. Dengan banyak membaca, pikiran kita menjadi terbiasa dengan diksi yang menarik, kalimat yang efektif, dan paragraf yang koheren, sehingga saat menulis kita secara otomatis mempraktikkan itu. Tentu saja, dalam konteks ini, kita harus memilih buku atau tulisan karya penulis-penulis andal dan berpengalaman, seperti halnya kita memilih koki terbaik untuk menikmati masakan terlezat.
Membaca juga memperkaya kita dengan pengalaman, wawasan, gagasan, dan perasaan orang lain yang tentu saja unik. Ketika pikiran kita makin kaya dengan semua itu, maka kita tak akan kesulitan dalam menumpahkan gagasan kita sendiri. Gagasan penulis buku yang kita baca berinteraksi dengan gagasan yang mungkin sudah mengendap dalam pikiran kita, sehingga kemudian menghasilkan gagasan baru yang segar.
Itulah yang Hernowo sebut dengan “mengikat makna”, yakni proses interaktif antara membaca dan menulis. Setelah membaca, kita menuliskan pengalaman saat membaca, pemahaman terhadap bacaan, dan ide kita sendiri yang terbangkitkan oleh aktivitas membaca itu.
Satu hal yang menarik dalam konteks membaca ini adalah Hernowo memberi tip bagaimana membaca ekfektif. Hernowo menyarankan kita membaca perlahan. Dia bilang membacalah seperti sedang mengemil kacang goreng. Kacang goreng makin gurih dinikmati jika dikunyah perlahan-lahan, dan bukan sekali telan.
Nah, membaca juga seperti itu. Coba nikmati gaya bahasa penulisnya, kata per katanya, kalimat per kalimatnya. Jika ada kalimat yang bagus, kita bisa membacanya berulang-ulang dan merenungkan maknanya.
Kemudian, Hernowo bilang, kita perlu membaca buku secara lantang, atau setidakya suara kita terdengar oleh telinga sendiri. Membaca lantang ini menurut para ahli efektif untuk meningkatkan kemampuan berbahasa dan minat baca. Itulah mengapa orang tua dianjurkan membacakan cerita atau dongeng kepada anak-anak sejak usia dini.
Orang dewasa juga perlu membaca lantang. Dengan membaca lantang, kita bisa memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berbahasamu. Ya, membaca lantang memang erat berkaitan dengan kemampuan berbahasa lain, seperti berbicara, mendengar atau menyimak, dan menulis.
Begini penjelasannya. Ketika membaca buku secara lantang, kita sebenarnya sedang berbicara kepada diri sendiri dengan struktur bahasa buku tersebut. Ini akan melatih kita berbicara tertata dan menemukan kosakata-kosakata baru yang akan memperkaya kemampuan kita dalam berbicara dan berkomunikasi dengan orang lain. Karena itulah, membaca lantang sangat dianjurkan bagi siapa saja yang ingin meningkatkan kemampuan komunikasi.
Membaca lantang juga bisa meningkat kemampuan kita dalam menyimak pembicaraan. Ini karena kedua telinga kita akan terus terlatih untuk menyimak susunan kata dan kalimat. Telinga kita juga akan terbiasa mendengar kata-kata baru dan kata-kata yang sulit dieja.
Meskipun gagasan free writing bukan hal baru, dan telah dipraktikkan banyak penulis, Hernowo mengemasnya menjadi konsep yang lebih menarik karena menggabungkannya dengan konsep “mengikat makna”. Kelebihan buku ini juga ada pada bagaimana Hernowo secara perlahan menuntun membaca untuk melihat bagaimana dia sendiri mempraktikkan free writing dari hari ke hari, dari pekan ke pekan, dan dari bulan ke bulan. Dia bahkan melampirkan tulisan hasil kegiatan free writing-nya.
Namun, buku ini bisa disusun lebih ringkas. Hernowo kerap mengulang konsep free writing, seperti tulis saja yang kamu rasakan, jangan melihat kembali apa yang telah ditulis, jangan mengedit, jangan mengoreksi kesalahan ketik, atau konsisten menulis selama 10 menit. Hal-hal seperti itu mungkin diulang-ulang Hernowo karena penting. Tapi, pengulangannya agak berlebihan, sehingga sebagian buku ini terasa membosankan.
Pada akhirnya, buku ini layak anda miliki dan tentu saja anda baca. Ia memberi inspirasi kepada kita untuk menulis apa pun profesi kita. Sebab, menulis bukan hanya aktivitas eksklusif milik penulis atau pengarang profesional.
Menulis adalah bagian dari aktivitas berbahasa manusia, siapa pun dia. Tanpa menulis, kemampuan berbahasa kita tak akan meningkat.
Sebaliknya, dengan menulis, kita bisa melepaskan diri dari tekanan dan stres. Dengan menulis, kita bahkan sangat mungkin menemukan kesenangan dan kebahagiaan.
Jadi, menulislah karena kita semua manusia.[]