JELAJAH LITERASI

“Seperti Dendam…”: Film yang Taat Novel

in Film by

Penggarapan apik dari sisi sinematografi, tapi skenarionya masih terlalu patuh pada plot dan alur novelnya, sehingga pengisahannya terasa tak utuh.

Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas akhirnya rilis di bioskop Indonesia sejak 2 Desember 2021. Saya kebetulan menontonnya pada kesempatan pertama karena memang telah lama menanti ketika mendengar kabar produksi film ini sejak pertengahan tahun lalu.

Ya, ini film adaptasi novel Eka Kurniawan dengan judul sama. Film ini dibesut oleh Edwin, sutradara peraih Citra lewat Posesif pada 2017.

Saya pernah mengulas novelnya di situs web ini. Menurut saya, pengisahan novel Seperti Dendam berpusat pada penis ereksi atau lingga.

Fenomena ereksi diulas habis oleh filsuf cum psikolog Sigmund Freud. Penis—terutama yang bisa ereksi tentu saja—dianggap sebagai kelebihan pria yang didengki oleh wanita. Begitulah menurut Freud. Makanya, dia membuat istilah penis envy.

Eka lalu menjadikan perkara lingga sebagai titik pangkal pengisahannya. Novel Seperti Dendam menyatakan bahwa semua masalah kehidupan ini bermula dari lelaki yang tak mampu mengendalikan keinginan penis mereka. “Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala,” begitu kata Ajo Kawir, karakter utama novel ini.

Nah, Ajo Kawir dalam novel itu—dan tentu saja dalam filmnya—adalah gambaran antitesis dari lingga yang kerap dicitrakan sebagai ciri kejantanan. Dia impoten. Dia mencoba mengompensasi kondisi itu dengan keberanian tiada tara dalam berkelahi, dan bahkan membunuh. “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” begitu kalimat pembuka pada novel yang dinarasikan Edwin dengan cara menggelikan, melalui gambar di belakang bak truk yang tiba-tiba mengerling dan berbicara.

  • Judul Film: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
  • Sutradara: Edwin
  • Penulis: Edwin dan Eka Kurniawan
  • Pemain: Marthino Lio, Ladya Cheryl, Sal Priadi, Reza Rahadian, Ratu Felisha
  • Rilis: 2 Desember 2021
  • Durasi: 114 menit

Saya bisa bilang Edwin berhasil mengemas novel Eka yang karikatural, lucu, jorok, dan sekaligus brutal ini melalui teknik-teknik sinematografi yang apik dan menyegarkan. Nuansa-nuansa toksik kejantanan di era 1980-an dan 1990-an mampu dia lukiskan dengan sangat baik: adegan balapan dan pertarungan tangan kosong yang cukup detail dan realistis—sekaligus lumayan barbar sehingga bisa membuat saya sedikit meringis. Suasana 1980-an dan 1990-an seperti terlahir kembali dalam film ini. Ada adegan orang berkirim salam melalui lagu di radio, lagu-lagu percintaan di era itu, lelaki tengil dan preman ngehe juga tak ketinggalan (terutama berhasil ditampilkan dengan baik oleh Reza Rahadian yang memerankan Budi Baik).

Film juga secara implisit menghadirkan kritik atas kebijakan-kebijakan politik rezim Soeharto: penembakan misterius (petrus) dan keluarga berencana, misalnya. Petrus, atau kebijakan “diam-diam” Orde Baru menembaki para bramacorah dan preman bertato, juga adalah pangkal masalah mengapa kemaluan Ajo Kawir (Marthino Lio) tidak bisa ngaceng. Dia dipaksa oleh dua polisi untuk menyaksikan mereka memerkosa Rona Merah, seorang perempuan gila istri dari preman yang menjadi korban petrus.

Namun, dari kelebihan penggarapan sinematografisnya, film Seperti Dendam terasa sumpek oleh plot yang terlalu banyak dan mengalir cepat. Menurut saya, penonton yang belum pernah membaca novelnya bakal kesulitan mengikuti alur pengisahan Edwin dalam film ini. Mereka bisa jadi merasakan ketaktuntasan dalam film ini.

Novelnya memang memiliki banyak plot. Plot-plot itu dicacah Eka menjadi fragmen-fragmen singkat. Kemudian fragmen-fragmen itu disusun dalam urutan waktu yang unik. Peristiwa akan datang dihimpit oleh dua peristiwa yang terjadi di masa lalu dan saat ini.

Namun, ketika membaca novelnya, pembaca bisa menemukan benang merah sehingga bisa merasakan keutuhan pengisahan. Masalahnya, film jelas bukanlah novel. Ketika menyaksikan film, penonton tak bisa jeda. Alur film terus berjalan, dan tak kenal kasihan melibas perhatian penonton yang mungkin masih mencari-cari apa maksud ceritanya.

Sebenarnya novel Seperti Dendam berpusat pada plot utama impotensi Ajo Kawir. Jika boleh beranda-andai, saya membayangkan Ediwin dan Eka, yang juga ikut menulis skenario film, memusatkan pengisahan film ini pada plot utama itu, dengan lebih dulu menghadirkan cerita tentang bagaimana dan mengapa “burung” Ajo Kawir tak mau bangun. Trauma yang dialami Ajo Kawir pada malam jahanam itu—ketika dipaksa menyaksikan pemerkosaan Rona Merah oleh dua polisi—menurut saya adalah jangkar cerita Seperti Dendam.

Plot itulah bagian terpenting dari kisah ini. Ia menjadi benang merah antara persoalan kemaluan yang tak bisa ngaceng dengan berbagai persoalan yang dipicu oleh libido (masih berhubungan dengan lingga, kan) kekuasaan. Sayangnya, plot utama ini tak tuntas digambarkan Edwin. Tak ada adegan pemaksaan itu (ataukah adegan ini disensor?). Hasilnya, penonton yang belum pernah membaca novelnya bisa jadi masih bertanya-tanya apa sebab Ajo Kawir impoten.

Pada gilirannya, film ini jadi terasa kurang menggambarkan perkembangan karakter Ajo Kawir. Dia toh pada akhirnya merasakan ketenangan berkat kemaluannya yang juga tenang. Padahal, sebelumnya impotensi justru membawa dia kepada keinginan harus mengompensasi kekurangan itu dengan menjadi jagoan. Dialog-dialog lucu antara Ajo Kawir dan penisnya juga tak banyak ditunjukkan dalam film ini, sehingga penonton tak bisa melihat titik balik Ajo Kawir itu.

Satu plot lain yang bisa melengkapi plot utama tadi adalah kisah tentang Iteung (Ladya Cheryl). Perempuan ini bukan hanya jago silat, tapi juga memendam trauma akibat kekerasan seksual yang dia alami dari gurunya, Pak Toto. Akibat kekerasan tersebut, Iteung seperti haus akan lingga, padahal suaminya, Ajo Kawir, tak sanggup menuntaskan dahaga itu. Plot ini kurang tergambarkan dalam film. Edwin memilih menghadirkan plot ini melalui cerita karakter-karakter lain, yakni Budi Baik dan Jelita. Padahal, menurut saya, plot ini adalah kunci mengapa Iteung ingin menuntaskan “dendam” kepada dua polisi yang menyebabkan suaminya impoten.

Dari sisi pengisahan, Edwin sebenarnya berhasil menyisipkan tokoh setengah mistik, Jelita, ke dalam film. Lewat interpretasinya atas novel, Edwin bisa membuat saya tahu bahwa Jelita tak lain adalah penjelmaan Rona Merah yang diperkosa polisi dan mati. Hanya persoalannya, kenapa Edwin memilih dua pemeran berbeda untuk “dua” karakter yang identik ini, yakni Djenar Maesa Ayu untuk Rona Merah dan Ratu Felisha untuk Jelita?

Saya pada akhirnya bertanya-tanya, mengapa Edwin dan juga Eka mematuhi plot demi plot dalam novel ketika membuat skenario film ini. Menurut saya, ini pilihan berisiko. Selain karena film memiliki durasi terbatas, tak seperti membaca buku, menonton tak bisa diselingi dengan jeda untuk berefleksi demi mencerna alur pengisahan. Akibatnya, penonton yang belum pernah membaca novelnya berpotensi tak bisa mencerna kebulatan kisahnya. Ini tentu saja asumsi subjektif saya.

Meskipun demikian, film Seperti Dendam tetap menarik untuk disaksikan. Gaya sinematiknya menyegarkan, membangkitkan kembali nostalgia ke era 1980-an dan 1990-an, dan digarap apik, terutama pada bagian adegan perkelahian. Tapi, sayangnya, film ini belum bisa mengadaptasi secara mulus tema pengisahan novelnya karena terlalu menuruti plot dan alur pada novel, dan ingin memasukkan seluruh plot itu ke dalam film yang berdurasi kurang dari dua jam.

Edwin—dan entah mengapa juga Eka—menurut saya seperti tak berani menafsir ulang novel itu agar nyaman dan utuh dinikmati secara visual.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top