JELAJAH LITERASI

“The Wire”: Serial Terbaik Abad ke-21

in Film by

Serial besutan David Simon ini awalnya minim apresiasi tapi justru kini dianggap yang terbaik. Serial ini berhasil menggambarkan realitas sistem yang mengabdi pada yang kuat dan memukuli yang lemah.

Di sebuah serambi pinggiran jalan Baltimore, Maryland, Amerika Serikat, Detektif Jimmy McNulty (Dominic West) berbincang dengan seorang remaja kulit hitam. Topiknya, anak muda yang baru saja dibunuh. Dua orang dari latar belakang sosial yang berbeda itu terlihat kongkow-kongkow tak jauh dari TKP, sembari mengamati para petugas koroner memulasari mayat si anak muda yang dijuluki “Snot Boogie” (baca: Lelehan Ingus).

Si anak muda biasa bermain dadu di lingkungan itu. Suatu hari dia melihat tumpukan uang tercecer di jalanan dan memutuskan untuk mencurinya. Lazimnya, lanjut si pemuda kulit hitam berkisah ke McNulty, para pemain lain hanya akan menangkap si anak muda dan memukulinya. Tapi rupanya hari itu ada orang yang merasa jenuh dan memutuskan untuk menembaknya di tempat.

“Jika memang Snot Boogie selalu mencuri uang, mengapa kau biarkan dia bermain di sini?” tanya McNulty.

“Ya mau tak mau,” tukas si pemuda kulit hitam. “Ini kan Amerika, Bung!”

Pemuda itu bertutur dengan gaya seakan-akan kata-katanya telah menjawab segala persoalan. Memang itulah premis serial The Wire besutan David Simon. Masalah nyata di jalanan selalu merupakan bagian integral dari masalah sistemik yang lebih besar.

Serial yang ditayangkan di HBO mulai 2 Juni 2002 hingga 9 Maret 2008 tersebut awalnya kurang memperoleh apresiasi. Tapi, perlahan sambutan dan pujian berdatangan. Puncaknya, pada Oktober 2021, BBC mengumumkan hasil jajak pendapat yang menyimpulkan bahwa 60 episode The Wire adalah serial terbaik Abad ke-21.

  • Judul Serial: The Wire
  • Kreator: David Simon
  • Genre: Drama, Drama Kriminal, Tragedi
  • Pemain: Dominic West, John Doman, Idris Elba, Frankie Faison, Michael K Williams
  • Episode: 60 (5 musim)
  • Rilis: 2 Juni 2002
  • Durasi: 55-60 menit per episode

Untuk mendapatkan kesimpulan tersebut, BBC mengumpulkan tak kurang dari 206 kritikus, pakar televisi, dan pelaku industri film dari 43 negara. The Wire memuncaki daftar 100 serial terbaik sepanjang abad ini. Ia mengungguli serial lain yang lebih populer, seperti Game of Thrones, Breaking Bad, The Office, The Leftover, atau The Queen Gambit.

The Wire mengungkap realitas lain dari polisi berikut birokrasinya. Tak seperti serial lain tentang polisi yang cenderung menampilkan heroisme penegak hukum, ia justru mengisahkan karakter-karakter polisi yang “membumi”, birokrasi yang rumit, hubungan polisi dengan institusi-institusi penegak hukum lain, dan posisinya di struktur kekuasaan. Alur kisah dalam tiap musim bersambungan secara menarik dan memperlihatkan tantangan demi tantangan yang dihadapi tiap karakter dalam konteks yang berbeda-beda.

Ada lima tema utama dalam The Wire, yang semuanya memperlihatkan komplikasi persoalan yang harus dihadapi tiap karakter. Tema pertama adalah perdagangan narkoba. Kedua berkaitan dengan korupsi di sistem pelabuhan. Ketiga bersinggungan dengan pemerintahan dan birokrasi kota yang penuh intrik dan patgulipat. Keempat tentang pendidikan dan sekolah yang sarat dilema dan paradoks. Kelima tentang media dan pemberitaan yang mampu menenggelamkan hero dan menaikkan pecundang.

David Simon, kreator serial ini, memilih memproduksi The Wire di Baltimore justru karena keakrabannya dengan kota tersebut. Dia jurnalis The Baltimore Sun selama 12 tahun. Homicide: A Year on the Killing Streets (1991) dan The Corner: A Year in the Life of an Inner-City Neighborhood (1997) adalah dua bukunya yang mengisahkan kehidupan jalanan kota tersebut. Yang terakhir kemudian dia adaptasi sendiri menjadi serial untuk HBO pada 2000.

Selain menggunakan deretan pemeran yang pada umumnya tidak terlalu dikenal, Simon juga melibatkan tokoh masyarakat asli Baltimore dan Maryland sebagai bintang tamu dan pemeran. Meskipun dibingkai sebagai drama kriminal, serial ini berhasil menggambarkan kehidupan khas kota metropolitan di Amerika dan bagaimana relasi sosial-politik terbangun di dalamnya. Ia juga memperlihatkan bagaimana kinerja lembaga-lembaga pemerintah berdampak pada kehidupan individu warga masyarakat. Serial ini pada akhirnya memperlihatkan bagaimana individu polisi, buruh pelabuhan, pengedar narkotika, politisi, hakim atau pengacara, semuanya menyerah dan berkompromi dengan sistem yang membelenggu mereka.

The Wire menjadi berbeda dengan serial lain karena memperlihatkan kompleksitas kehidupan kota sebagaimana adanya. Simon menggarap serial drama polisi ini menyerupai film semidokumenter tentang kehidupan kota di Amerika dari sudut pandang karakter-karakter utamanya.

Simon mengambil inspirasi serial ini dari pengalaman nyata Ed Burns, penulis pendamping The Corner sekaligus bekas polisi di divisi narkotika dan pembunuhan Kepolisian Baltimore ketika teknologi penyadapan canggih mulai diperkenalkan untuk menyelidiki kasus-kasus kejahatan yang melibatkan kekerasan. Keputusasaan Ed Burns menghadapi seluk-beluk birokrasi di tengah mengganasnya aksi-aksi kekerasan pengedar narkotika tergambar jelas pada karakter Detektif McNulty.

Simon menyajikan kepada penonton karakter polisi “membumi”. McNulty adalah polisi yang memang selalu merasa bertanggung jawab kepada masyarakat. Tapi, berbagai masalah menggerogoti pribadinya. Dia tenggelam dalam kecanduan alkohol. Kehidupan rumah tangganya berantakan. Dia frustasi mengadapi birokrasi kepolisian yang selalu menyikapi apa pun sebagai urusan biasa-biasa saja.

McNulty polisi cerdas. Berbagai kasus pelik dia pecahkan dengan cepat dan tepat. Tapi, tekanan sistem dan kendala birokratis pelan-pelan membuatnya menjadi musuh dalam selimut. Puncaknya, McNulty merekayasa prosedur kepolisian untuk mendapatkan perhatian atasan hingga kemudian plotnya terbongkar di media massa. Rekan-rekan McNulty yang semula bersimpati kepadanya pada akhirnya membiarkannya terkucil.

Sekalipun terkucil dan akhirnya dipecat dari kepolisian, nama dan reputasi McNulty membuatnya sulit untuk begitu saja dilupakan. Berbagai kelemahannya, termasuk alkoholisme dan kegemarannya meniduri perempuan, tak membuatnya kehilangan fokus dalam tugas. McNulty dikagumi sekaligus dibenci. Dia mampu membedakan mana prosedur kepolisian yang berujung pada rasa keadilan dan mana prosedur yang sejatinya hanya buang-buang waktu.

The Wire memang tidak berbicara tentang heroisme polisi dan aparat penegak hukum lain. Berbeda dengan banyak serial tentang polisi, misalnya Miami Vice, ia memperlihatkan keseluruhan spektrum.

Ia menggambarkan bahwa ada sistem yang beroperasi di mana pun kita bertugas dan untuk siapa pun kita bekerja. Entah kita bekerja untuk penegakan hukum atau bekerja untuk gembong narkotika. Semua pihak harus tunduk pada sistem dan aturan mainnya masing-masing. Semua harus punya fatsun dan prosedur yang ditaati. Ada para penegak hukum yang taat sistem dan ada pula penjahat yang beroperasi dalam sistem.

Serial ini kemudian menghadirkan orang-orang yang sudah jenuh dengan sistem, prosedur, birokrasi, atau apa pun namanya. Demi tujuan yang mereka anggap mulia, orang-orang ini berupaya mengakali sistem dan bergerak menuntaskan “misi mulia” mereka masing-masing. Ada tokoh McNulty di sini dan ada Omar Little (Michael K Williams) di sana; Ervin Burrell (Frankie Faison) and William Rawls (John Doman) di sini, dan ada pula Avon Barksdale (Wood Harris) dan Stringer Bell (Idris Elba) di sana.

Di lingkungan paling miskin dan terbelakang di Baltimore, misalnya, Anda tetap dipaksa tunduk pada birokrasi dan aturan main—entah sebagai penegak hukum ataupun pengedar narkotika. Sepanjang lima musim, The Wire memperlihatkan adanya struktur disfungsional dalam penegakan hukum, politik, pendidikan, serikat buruh, media, dan bahkan geng pengedar narkotika.

Dalam tiap kasus, serial ini menyampaikan alur cerita yang menjelaskan bagaimana sistem-sistem itu tegak mengabdi pada yang kuat, sembari menggerus kepentingan orang-orang lemah yang secara tidak adil atau tidak sengaja terjaring dalam perangkapnya. Dalam keadaan seperti itu, rasisme sistemik, birokrasi mandul, dan ketidakpedulian pemimpin menjerat kehidupan orang-orang di perkotaan—dan barangkali sekarang juga pedesaan berkat kemajuan sistem informasi.

Tidaklah salah jika The Wire membetot perhatian dan apresiasi tertinggi di kalangan pemirsa, pemerhati film, pelaku industri, dan kritikus. Apa yang ia hadirkan telah memperlihatkan paradoks penegakan hukum di seluruh penjuru dunia, bukan hanya di Baltimore, Amerika. Penegakan hukum bukan hanya soal prosedur dan administrasi objektif yang ketat, tapi juga harus memberi ruang bagi perasaan subjektif manusia yang hendak membela kalangan paling lemah dan marjinal.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top