Jodoh adalah misteri. Cuma Tuhan yang tahu. Begitu kata banyak orang, dan juga tampaknya Gia Pratama dalam #Berhentidikamu.
GIA Pratama seorang dokter. Perjalanan hidupnya hingga bisa dapat lisensi mengobati orang lurus-lurus saja. Berputar-putar dari rumah ke sekolah. Buku dan nonton sepakbola. Tak pernah dugem. Kalau pacaran, kata ayahnya, harus dengan tujuan menikah. Pokoknya, baik-baik saja.
Sampailah dia pada suatu perkara: jodoh. Pertanyaan mengenai ini terus menghantuinya sepanjang kisah dalam #Berhentidikamu.
Entah tergolong spesies mana buku ini. Gia dan penerbitnya pelit informasi. Tak ada kata pengantar, pendahuluan atau apa pun yang memberi penjelasan.
- Judul Buku: #BERHENTIDIKAMU
- Penulis: dr Gia Pratama
- Penerbit: Mizania
- Tahun: 2018
- Tebal: 280 halaman
Sekarang memang banyak penulis tak suka memberi pengantar. Ya, enggak apa-apa juga. Baca aja. Repot amat sih.
Tapi, pengantar kadang memberi kita perspektif. Misalnya, mengapa Gia perlu menuliskan sepenggal kisah hidupnya ini, dan mengapa juga kita perlu tahu dan membacanya. Atau bagaimana sebenarnya proses Gia menulis hingga menjadi sebuah buku. O iya, yang terpenting apa ini kisah nyata atau rekaan: fiksi.
Saya menduga ini kisah nyata. Tentu saja dugaan saya bisa salah. Tapi, dari kabar-kabar yang beredar, ini berawal dari utas yang Gia buat di akun Twitter-nya yang ber-follower ratusan ribu itu. Mungkin banyak orang menjalani kisah yang sama dengan Gia. Dan penerbit tertarik untuk menjadikannya buku. Sah-sah saja.
Kembali ke soal jodoh. Dalam sebuah perjalanan umrah, Gia bertemu dengan seorang gadis. Elsa namanya. Kebetulan, mereka berdua dalam satu biro travel yang sama. Gia langsung jatuh hati. Maklum, Elsa katanya mirip aktris Hollywood, Alexandra Daddario. Wow!
Tapi, lagi-lagi pertanyaan soal jodoh berkecamuk di pikirannya. Dibesarkan di keluarga “agak” konservatif, Gia selalu menghubungkan perasaan suka kepada wanita dengan persoalan jodoh. Padahal, suka ya suka. Jodoh urusan nanti. Siapa sih lelaki yang enggak suka berkenalan – dan memandangi – Daddario versi Melayu, apalagi seperjalanan.
Urusan jodoh ini kemudian berayun ke soal takdir. Maklum Gia dan Elsa bertemu di dekat Kabah. Kata orang, doa cepat terkabul di sana. Ah, mungkin Elsa memang jodohku. Jawaban Tuhan akan doaku. Begitu pikir Gia.
Sugesti religius tampaknya mendorong Gia meyakini itu. Dan tentu saja faktor kecantikan ala “Daddario” tak bisa dikesampingkan. Coba saja kalau dokter Gia dipertemukan dengan wanita tak secantik Elsa. Apa Gia akan berpikir sama?
Sekembalinya dari ziarah ke Tanah Suci, Gia semakin dekat dengan Elsa. Ternyata banyak kecocokkan. Sama-sama suka sepakbola. Sama-sama suka baca. Suka diskusi film. Pokoknya serba cocok. Apalagi, keluarga Elsa asyik dan tajir melintir. “Sempurna”, kata Andra and the Backbone.
Dan, jadilah mereka sepasang kekasih.
Tapi, ya ada tapinya. Jika hidup Gia ‘lurus-lurus’ saja, Elsa digambarkan tak demikian. Setidaknya Elsa suka hang out. Teman prianya banyak. Wajar, dia pernah jadi finalis kontes kecantikan.
Perbedaan gaya hidup ini berdampak terhadap Gia. Dokter jaga IGD ini selalu berupaya tampil keren saat bersama sang pacar. Dan yang terpenting, gengsi harus dijaga jangan sampai kebobolan.
Hingga suatu saat Gia menyadari bahwa tabungannya terkuras. Biasanya dia hanya makan 30-70 ribuan seporsi. Bersama Elsa, Gia harus makan di restoran mewah yang makanannya bisa sampai 400 ribuan seporsi. Sebenarnya enggak “harus” juga sebab Elsa menawarkan diri ikut membayar. Tapi, ya itu tadi. Demi gengsi.
Di sini, Gia sudah tak jujur pada Elsa, dan juga pada dirinya. Gia mencoba menjadi orang lain; sesuatu yang juga pernah diperingatkan teman dekatnya.
Singkat cerita, hubungan itu akhirnya pupus. Tak sampai setahun. Gia sebenarnya sudah merasakan tanda-tanda itu. Sebulan sebelumnya, hubungan mereka mendingin. Bahkan, ketika Gia mengirim pesan, I love you sweetheart, sang kekasih cuma membalas, oke.
Damn! Gia seharusnya kamu sudah sadar bahwa hubungan ini tak bisa berlanjut. Enggak mesti sampai harus diputusin di Eropa segala! Tapi, lelaki mana yang mau melepas “Daddario” begitu saja, bukan?
Di sini, semestinya gambaran jodoh di tangan Tuhan pudar dari kepala Gia. Bayangkan! Dipertemukan di Mekkah, dalam suasana umrah, bukankah itu perjodohan sempurna? Jadi, kalau ternyata hubungan hancur, ya berarti jodoh memang bukan urusan takdir semata. Bukankah Tuhan juga Mahabesar untuk mengurusi hal remeh seperti jodoh kita?
Jodoh itu sesederhana kamu suka dan dia juga suka. Lalu kamu berusaha dan dia juga berupaya. Tanpa itu, ya enggak akan terjadi perjodohan. Dan kalau ternyata, kamu atau dia sudah enggak suka lalu ngomong, ya jodohmu cuma sampai di situ. Begitupun pernikahan. Tak terlalu berbeda. Hanya banyak orang menikah mencoba bertahan karena alasan lain. Bukan karena masih saling cinta.
Takdir juga begitu. Dia bukan garis hidup linear. Selalu ada pilihan dalam “sistem takdir”. Mirip game. Kita bisa memilih jalur A, B, atau C, dan setiap jalur permainan punya konsekuensi yang berbeda-beda. Mungkin seperti itu cara Tuhan bekerja. Dia tak memilihkan hidup kita, tapi menyediakan sistem. Kita rajin, maka kita pintar. Kita berkarya, maka kita sukses. Kita berupaya mencari pasangan dan menyatakan cinta, lalu gayung bersambut, maka kita berjodoh.
Hanya memang, katanya, ada intervensi Tuhan. Tapi, intervensi itu tetaplah “sistem takdir”. Tapi, sistem ini ada di level berbeda: supranatural. Dan, di sini, manusia cuma bisa berperan dengan doa.
Coba saja! Andaikan Gia tak menelepon Syafira (istrinya sekarang), apakah Syafira akan datang dengan sendirinya ke pangkuan Gia? Tidak, bukan? Jadi, ya usahalah yang mencipta realitas. Takdir hanya menyediakan jalannya.
Tapi, #Berhentidikamu tetap enak dibaca. Penulisannya mengalir. Alurnya linear, enggak bikin pusing. Dan yang sebenarnya memikat adalah kisah-kisah Gia saat menjalani tugas sebagai dokter jaga di IGD. Meski side story, kisah-kisah itu menampilkan wajah-wajah riil manusia di momen-momen kacau. Ada cerita soal pasangan yang bertengkar sampai salah satunya terluka hingga harus mendapatkan 15 jahitan. Ada kisah kehamilan seorang pengasuh anak oleh majikan laki-lakinya, dan banyak lagi.
Jika benar buku Gia akan difilmkan, ini bakal menarik. Bagaimana sang sutradara bakal memvisualisasikan kisah cinta berbalut cerita-cerita humanis di IGD. Plus tentu saja pemandangan-pemandangan indah dari kota-kota di Eropa.[]