Sang Peramal—dan sebelumnya Dua Dini Hari—menunjukkan ciri khas Chandra Bientang. Dia seakan menasbihkan dirinya sebagai pengarang thriller dengan nuansa filosofis dan sosial-politik.
SETELAH membaca Dua Dini Hari, saya tak bisa melewatkan Sang Peramal karya terbaru pengarang yang sama: Chandra Bientang. Dua Dini Hari memesona saya.
Itu bukan karena kemampuan Bientang menata bata demi bata dari bangunan karakter tokoh-tokohnya. Dua Dini Hari tak terlampau detail dalam penokohon. Novel itu tidak pula memukau karena jalinan bahasa yang memanjakan rasa atau alur pengisahan yang kompleks.
Dua Dini Hari berkisah sederhana dengan alur wajar. Tapi, terlepas dari misteri, kejutan, dan kelokan plot—yang memang merupakan ciri dari genre thriller—Dua Dini Hari menghadirkan “teror mental” (meminjam istilah Putu Wijaya) karena Bientang mampu mengaitkan kisah di dalamnya dengan dilema moral manusia yang berjejak pada catatan sejarah: kasus Penembakan Misterius (Petrus) di masa Orde Baru.
- Judul Buku: Sang Peramal
- Pengarang: Chandra Bientang
- Penerbit: Noura Books
- Terbit: April, 2021
- Tebal: 308 halaman
Lalu bagaimana dengan Sang Peramal?
Dalam novel ini, Bientang tampaknya lebih telaten bercerita dan menata bata demi bata bangunan penokohonnya. Dia memberi porsi cukup bagi hampir setiap tokohnya. Kisah latar tokoh-tokoh itu membangun sebuah jalinan pengisahan yang kokoh seiring mengalirnya alur pengisahan utama. Kisah-kisah latar itu juga memberi kita gambaran keragaman pengalaman manusia. Ada seorang peramal tarot misterius, anak yatim-piatu yang tak tahu asal-usulnya, orang asing ilegal, pengusaha properti sukses yang pura-pura bahagia, mahasiswa yang normal tapi memendam dendam, pedagang gelap dengan selaksa rahasia, dan sepasang suami-istri pemilik kedai dengan trauma masa lalu. Tak heran jika novel ini bisa dikatakan cukup tebal, 308 halaman dengan ukuran huruf sekitar 10-11 poin.
Ketegangan, misteri, cerita yang tak dapat dipercaya, kejutan, dan kelokan plot tetap mewarnai novel ini. Namun, tidak seperti dalam Dua Dini Hari, semua itu tak terlalu mendominasi alur. Ada kalanya Bientang tidak mengakhiri suatu bagian dengan kejutan dan misteri, sekadar mengisahkan perjalanan hidup tokohnya. Alur maju-mundur juga menjadi pembeda utama novel ini dari Dua Dini Hari.
Meskipun demikian, sebagaimana dalam Dua Dini Hari, Bientang tetap memperlihatkan ciri khasnya sebagai “bintang terang” genre thriller di Indonesia, terutama katanya dalam subgenre urban thriller meskipun saya tak terlalu memahami batasan dari subgenre ini. Apakah subgenre ini lahir hanya karena cerita berlatar masyarakat perkotaan? Tak cukup jelas. Dua Dini Hari memang berlatar kawasan Jatinegara di Jakarta tapi dalam Sang Peramal latar lebih berpusat di Bantul (sepertinya nyaris tak bisa disebut kota) meskipun latar lainnya adalah Yogyakarta dan Jakarta.
Lalu apa ciri khas Bientang dimaksud?
Sebagaimana dalam Dua Dini Hari, Sang Peramal piawai mengaitkan pusat pengisahannya dengan tema filosofis dan fenomena sosial-politik. Novel ini berbicara tentang kecenderungan manusia untuk mengubur masa lalu yang kelam demi mengendalikan masa depan. Imar Mulyani, seorang peramal murah senyum tapi misterius seakan menjadi inti atom, di mana proton, neutron, dan elektron berputar-putar mengelilinginya. Dialah dawai yang memainkan irama kehidupan banyak manusia di sekelilingnya. Itu karena Imar menyimpan masa lalu mereka. Ketika Imar menghilang tanpa jejak, banyak orang tampak mensyukuri kejadian itu tapi sekaligus mencari-cari, bukan mencari-cari Imar tapi masa lalu mereka yang ikut lenyap bersama Imar.
Saya teringat dengan tema pengisahan drama klasik William Shakespeare, Macbeth. Drama ini juga berkisah tentang bahaya obsesi akan masa depan, dan bagaimana obsesi itu membuat tokoh utamanya berupaya sekeras mungkin untuk mengubur masa lalu. Macbeth diramal oleh tiga penyihir bakal menjadi raja dan karenanya dia membunuh Raja Duncan. Setelah itu, demi mewujudkan ramalan itu, dia selalu menyingkirkan siapa saja orang yang berupaya membongkar kematian Sang Raja. Bahkan, demi memastikan keturunannya mewarisi kekuasaan, Macbeth membunuh temannya sendiri, Banquo, yang menurut ramalan akan menurunkan penguasa pewaris takhta.
Obsesi akan pengetahuan masa depan bisa membahayakan, bukan hanya orang lain tapi juga pengidap obsesi itu. Dia bisa tersiksa untuk memastikan ramalan itu terwujud atau bahkan mengubahnya. Dia tidak bisa menikmati hari-harinya karena terus dihantui pikiran tentang masa depannya yang terikat dengan masa lalunya. Itulah yang terjadi pada Macbeth dan itu juga yang dialami tokoh-tokoh di seputar Imar dalam Sang Peramal.
Tema masa lalu dan masa depan dalam novel ini bertali temali dengan berbagai fenomena sosial, seperti perdagangan manusia, korupsi, perusakan lingkungan, dan perdagangan narkotika. Bientang seperti ingin memberi stempel khasnya dalam genre thriller, yakni kisah menegangkan yang bertema filosofis sekaligus melek fenomena sosial-politik. Pilihan menjadikan Imar, seorang peramal terkenal, sebagai pusat penceritaan memberi banyak ruang bagi Bientang untuk mengeksplorasi gaya khasnya tersebut sebab klien Imar bukan semata tetangganya atau orang biasa tapi juga selebritas, politisi, konglomerat hitam, dan polisi.
Di titik ini, Bientang juga menyinggung relasi kuasa dalam sebuah formasi sosial, di mana pada akhirnya yang berada di puncak formasi itu bisa mengontrol segalanya. Dua Dini Hari juga menyinggung relasi sosial seperti ini.
Namun, terdapat sedikit perbedaan antara Dua Dini Hari dan Sang Peramal dalam konteks tersebut. Dalam Dua Dini Hari, Bientang menunjukkan bahwa pucuk kuasa dalam formasi sosial itu pada akhirnya tetaplah “sang pemenang”. Ini membuat saya seakan tak bisa melepaskan diri dari realitas Dua Dini Hari karena realitas itu seperti bertindihan dengan kenyataan, di mana yang kuat hampir selalu bisa menghancurkan dan menghinakan yang lemah. Dalam Dua Dini Hari, Bientang memberi pembaca sebuah ending pahit yang membuat pembaca tetap berjejak pada kenyataan.
Tapi, dalam Sang Peramal, Bientang seperti memberi sedikit penghiburan kepada pembacanya. Dengan caranya sendiri, yang lemah bisa memberi penghakiman terhadap yang kuat. Ini membuat saya tidak merasakan sensasi yang sama (berupa “teror mental” tadi) dengan Dua Dini Hari.
Satu lagi, narator “orang ketiga segala tahu” dalam Sang Peramal terasa sedikit mereduksi elemen kejut dan kelokan plotnya. Pembaca sedikit-banyak sudah bisa menebak ke arah mana plot akan dikelokkan karena narator membeberkan isi hati dan pikiran tokoh-tokohnya. Ini berbeda dengan Dua Dini Hari di mana kelokan-kelokan plot itu dimunculkan tanpa pretensi serba tahu si narator. Ini yang membuat saya lebih merasakan teror dalam Dua Dini Hari ketimbang Sang Peramal.
Sang Peramal—dan sebelumnya Dua Dini Hari—pada akhirnya menunjukkan ciri khas Chandra Bientang. Dia seakan menasbihkan dirinya sebagai pengarang thriller dengan nuansa filosofis dan sosial-politik.[]