JELAJAH LITERASI

“Laila dan Majnun”: Kasih Tak Sampai yang Menjadi Epos Cinta Sufistik

in Fiksi by

Kisah kasih tak sampai kerap dipandang sebagai tema tragedi dalam banyak tradisi kesusastraan. Tapi, kisah Layla dan Majnun justru ditafsirkan oleh tradisi spiritual Islam sebagai role-model bagi perjalanan cinta sufistik.

JIKA disebut tema kasih tak sampai, bisa jadi sebagian besar kita akan teringat kepada kisah Romeo dan Juliet, drama yang ditulis sastrawan Inggris, William Shakespeare, pada akhir Abad ke-16 Masehi. Sedikit yang menyadari bahwa sekitar empat ratusan tahun sebelumnya, kisah yang hampir mirip telah lebih dulu populer di dunia kesusastraan Timur. Kisah itu adalah Laila dan Majnun.

Laila dan Majnun berawal sebagai legenda yang diceritakan dalam syair-syair Arab. Sebagai legenda, kisah ini dipercaya sebagian kalangan pernah terjadi di bagian barat Jazirah Arab pada sekitar paruh kedua Abad ke-7 Masehi atau pada masa kekuasaan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Dinasti Umayyah. Sebuah kota bernama “Layla”, sekitar 350 kilometer sebelah barat daya Riyadh, Arab Saudi, dipercaya sebagai tempat kelahiran Qays – yang kemudian dijuluki Majnun – dan Laila, sepasang kekasih yang masih bisa dikatakan berkerabat jauh sebagai paman dan kemenakan.

Dalam Kitab al-Aghani karya Abu Farj Isfahani – salah satu sumber rujukan awal legenda tersebut – kisah Laila dan Majnun diceritakan dalam bentuk anekdot-anekdot singkat (berbahasa Arab) tanpa keterkaitan plot antara satu sama lain. Dalam kitab itu, kita hanya bisa menikmati senandung-senandung penyair bernama Qays – yang menggunakan nama samaran Majnun – yang mengungkap kasih tak sampainya kepada seorang gadis bernama Laila, derita perpisahannya, dan kerinduan yang teramat dalam.

Cerita ini kemudian “naik kelas” dari sekadar anekdot singkat menjadi suatu karya sastra yang utuh dan terus hidup hingga kini setelah diramu oleh seorang penyair Persia Nizami Ganjavi pada Abad ke-12 Masehi. Berkat Ganjavi-lah, Laila dan Majnun menginspirasi banyak pengarang dari berbagai bangsa untuk menggubah legenda ini ke dalam banyak bentuk: epos, puisi, lagu, drama, dan film.

Pada Juni 2021, Penerbit Mizan menerbitkan terjemahan Laila dan Majnun dari versi terjemahan bahasa Inggris – The Story of Layla and Majnun – yang dikerjakan oleh Rudolf Gelpke pada 1958. Gelpke sendiri adalah ahli Islam asal Swiss. Karib pengarang—filsuf Jerman, Ernst Junger, ini pernah tinggal di Iran selama delapan tahun: mengajar sekaligus menerjemahkan sejumlah karya sastra dan sejarah Iran.

  • Judul Buku: Laila dan Majnun
  • Pengarang: Nizami Ganjavi
  • Penerjemah: Anton Kurnia
  • Penerbit: PT Mizan Pustaka
  • Terbit: Juni 2021
  • Tebal: 230 halaman

Berbeda dari versi Ganjavi yang merupakan puisi naratif, Gelpke mengubah legenda ini menjadi prosa lirik yang sangat memikat. Dia mengaku terpaksa memilih kebebasan dalam menerjemahkan Laila dan Majnun versi Ganjavi dari bahasa Farsi. Itu bukan hanya karena perbedaan bentuk – antara puisi naratif dan prosa lirik – tapi juga karena, menurut Gelpke, Nizami menuliskan kembali legenda ini dalam bahasa sangat puitis yang hanya bisa dipahami oleh lingkaran kecil pembaca berpendidikan tinggi di Iran pada Abad ke-12 dan ke-13 Masehi.

Selain itu, Gelpke tampaknya harus meringkas terjemahannya. The Story of Layla and Majnun – yang menjadi sumber utama terjemahan terbitan Mizan ini – hanya menceritakan sekitar 3.600 baris puisi sementara versi Ganjavi menarasikan sekitar 4.600 baris puisi – yang sebagiannya diduga ditulis oleh Majnun dan sebagian lainnya “ditempatkan” oleh Ganjavi pada mulut Majnun.

Terjemahan Mizan yang dikerjakan oleh pengarang—penerjemah Anton Kurnia bisa dikatakan cukup mengalir. Pilihan kata-katanya juga indah, sehingga mampu menangkap kegemaran Ganjavi – yang tentu saja juga diterjemahkan dengan sangat baik oleh Gelpke – dalam menciptakan metafora-metafora lewat suasana-suasana alam.

Lalu, apa yang membuat Laila dan Majnun menjadi demikian populer – hingga dibuat ratusan versi di Iran, anak benua India, Turki, dan banyak tempat lain di dunia – setelah Ganjavi menjadikannya suatu kisah yang utuh?

Nizami adalah orang pertama yang mampu menjadikan Majnun, penyair Arab Baduy pada Abad ke-7 Masehi, sebagai pusat penceritaan puisi naratifnya. Nizami juga mampu menggubah derita perpisahan fisik antara Laila dan Majnun serta penyatuan mistik keduanya melalui deskripsi-deskripsi indah suasana alam dan citraan-citraan rahasia terdalam jiwa manusia. Dalam sumber-sumber Arabnya, gambaran seperti itu hampir-hampir tidak ada.

Nizami juga menambahkan beberapa plot yang tidak ditemukan dalam versi Arabnya, sehingga legenda ini memperoleh nilai baru yang jauh melampaui bingkai sempit syair lokal Arab: menjadi satu kesatuan karya sastra yang utuh. Nizami juga menyisipkan dongeng-dongeng khas Persia dan renungan-renungan yang sama sekali tidak dapat ditemukan pada sumber-sumber Arabnya. Alhasil, Nizami membuat kisah kasih tak sampai Laila dan Majnun bukan sekadar puisi-puisi yang diduga ditulis oleh seorang penyair bernama samaran Majnun, tapi karya sastra yang bisa ditafsirkan ke dalam banyak hal, dan terutama tafsir sufistik.

Ya, tafsir sufistik tampaknya dominan dalam memandang karya Nizami ini. Kaum sufi memandang Laila dan Majnun bukan semata percintaan di antara sepasang kekasih, tapi perjalanan spiritual dua insan – terutama Majnun – menuju Sang Kekasih sejati: Tuhan.

Itulah yang menjadi pembeda utama antara Laila dan Majnun dengan Romeo and Juliet. Dalam tradisi kesusastraan Barat, Romeo and Juliet dipandang semata sebagai kisah tragis dari sepasang kekasih yang tak mampu mewujudkan cinta mereka dalam bentuk hubungan fisik. Sementara, dalam tradisi spiritual Islam (sufisme), Laila dan Majnun ditafsirkan sebagai kisah penyatuan cinta dalam bentuk metafisik. Di bagian akhir kisah ini – yang tidak diterjemahkan oleh Gelpke (dan tentu saja tidak ada dalam terjemahan Mizan) – misalnya diceritakan bagaimana Laila dan Majnun pada akhirnya bersua di surga dan hidup bahagia selamanya.

Genre tragedi bertema “kasih tak sampai” di sejumlah tradisi kesusastraan sebenarnya memiliki plot sederhana. Ia berkisah seputar sepasang karakter yang saling mencintai. Ayah si perempuan kemudian menghambat penyatuan mereka lalu mengawinkan si gadis dengan lelaki lain. Ayah si gadis melarang sepasang kekasih ini saling bertemu, dan inilah yang menyebabkan keduanya mengalami derita perpisahan. Keduanya kemudian menjalani hidup dengan tetap menjaga kesucian masing-masing (Laila, misalnya, selalu menolak berhubungan badan dengan suaminya). Hubungan fisik tak akan ditemui dalam cerita-cerita seperti ini. Kalaupun diberi kesempatan bertemu, sepasang kekasih ini seringkali hanya melantunkan senandung cinta kepada satu sama lain sambil meratapi kemustahilan penyatuan mereka.

Namun, dalam konteks Laila dan Majnun, Nizami mampu memberi makna batin pada cerita ini, dan panggungnya adalah jiwa Majnun. Majnun yang awalnya dianggap sebagai orang berpenyakit jiwa, tersesat, dicela, dan dikasihani, oleh Nizami diubah menjadi Majnun yang terbakar oleh cinta yang tak berperi (cinta ruhaniah) dan “genius” dalam menulis puisi (menarik untuk dicatat akar kata genius dalam bahasa Latin adalah gignere, yang berarti kehadiran roh pembimbing pada diri seseorang, sehingga orang itu memiliki kemampuan luar biasa. Akar kata genius itu mirip dengan majnun yang merupakan turunan dari junna atau ‘kemasukan roh’).

Ada beberapa hal yang membuat Laila dan Majnun gubahan Nizami sangat kaya akan simbolisme sufistik.

Pertama, Nizami mampu menggambarkan bagaimana derita perpisahan Laila dan Majnun sebagai fondasi bagi perjalanan mistis keduanya. Ini mengingatkan kita kepada ajaran kaum sufi, bahwa keberadaan manusia di alam fisik dunia ini pada hakikatnya merupakan perpisahan kita dari Sang Pencipta – seperti gambaran Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi tentang bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Bak seruling bambu yang bersenandung lirih karena derita perpisahan, kaum sufi memandang kehidupan mereka di dunia ini sebagai senandung kerinduan kepada Sang Asal: Tuhan Sang Kekasih.

Kedua, kerinduan digambarkan sebagai elemen penting dari cinta. Tak ada cinta tanpa kerinduan. Bagi kaum sufi, kerinduan ini amat kuat hingga menaklukkan pikiran dan ego. Kerinduan bagi mereka tak membutuhkan argumen. Bak sebuah magnet, kerinduan kepada Sang Asal membuat manusia penempuh jalan spiritual akan melepaskan segala ikatan dengan dunia dan bahkan dengan identitas-dirinya – dan inilah yang membuat kaum sufi di mata manusia pada umumnya tampak seperti “orang gila” (majnun). Kaum sufi juga selalu bermunajat agar mereka diberi kerinduan yang teramat dalam kepada Sang Kekasih.

Ketiga, Nizami menggambarkan bagaimana pada akhirnya penyatuan sang pecinta dan sang kekasih justru terjadi di alam mistik – bukan fisik. Inilah satu kualitas dari cinta ruhaniah. Majnun menyadari bahwa sang kekasih Laila selalu hadir di dalam jiwanya hingga tidak lagi mencari Laila di dunia fisik. Laila yang hadir di dalam jiwanya justru adalah satu-satunya Laila yang dia dambakan. Majnun merasakan kehadiran Laila di mana pun dia berada: di jalan, di pasar, dan di gurun. Dia membaui Laila ke mana pun angin bertiup.

Inilah kualitas cinta yang tak akan ada dalam diri pecinta fisik. Pecinta fisik mungkin menciptakan citraan kekasih di dalam hatinya, tapi tetap membutuhkan kehadiran fisik sang kekasih di dunia nyata. Malah seringkali para pecinta mistik tidak sanggup menghadapi kehadiran secara nyata Sang Kekasih, sehingga lebur ke dalam Sang Kekasih – seperti nyala lilin yang tak mampu menanggung cahaya matahari hingga lilin itu luluh.

Uniknya, kualitas cinta seperti itu juga dihadirkan oleh Budi Darma dalam Olenka. Fanton Drummond dan Olenka merasakan bayangan satu sama lain saling berkelebat di dalam benak masing-masing meskipun keduanya berjauhan. Budi Darma menyebut kondisi ini sebagai afinitas, yang dalam Kimia menggambarkan kecenderungan kuat suatu senyawa untuk membangun ikatan dengan senyawa lain.

Apakah Olenka juga merupakan kisah percintaan mistis? Ini menarik untuk dikaji.

Buku Laila dan Majnun terbitan Mizan yang bersumber pada gubahan Nizami (yang diterjemahkan dan disusun oleh Rudolf Gelpke) sangat layak untuk dibaca dan dikoleksi. Karya Nizami jauh melampaui karya semua pendahulu dan penirunya. Nizami telah mengubah legenda lokal menjadi sebuah karya sastra bernilai universal dan tak lekang oleh waktu. Berkat karya Nizami inilah, Majnun telah menjadi tokoh terkemuka di banyak kesusastraan lain, di Persia, anak benua India, Turki, Eropa, hingga wilayah-wilayah Muslim di Afrika dan Samudera Pasifik.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Fiksi

Go to Top