JELAJAH LITERASI

“Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”: Mengunjungi Kembali Novel Klasik Hamka

in Klasik by

Ini kisah klasik yang menguras air mata. Percintaan romantis sekaligus tragis. Sebuah formula abadi yang bakal membuat karya fiksi anda laris manis.

HAYATI adalah bunga desa yang jadi rebutan para pemuda di Batipuh (sebuah kecamatan di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat). “Gadis remaja putri, ciptaan keindahan alam”. Begitu Hamka melukiskan Hayati dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, novel klasik yang pertama kali terbit pada 1938. Sutradara Sunil Soraya mengonkretkan lukisan Hamka lewat Pevita Pearce saat mengadaptasi novel ini menjadi film pada 2013.

  • Judul Buku: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
  • Pengarang: Hamka
  • Penerbit: PT Bulan Bintang
  • Tahun: 2001 (Cetakan ke-25)
  • Tebal: 224 halaman

Dari sekian banyak pemuda yang jatuh hati, hanya Zainuddin yang memikat Hayati. Tapi sayang, perjalanan cinta mereka terantuk adat. Zainuddin bukan asli Minang. Ibunya orang Bugis. Dalam adat Minang yang matrilineal, Zainuddin dianggap tak memiliki garis keturunan yang jelas. Apalagi, Hayati berasal dari keluarga bangsawan Minang yang menjura adat.

Tak hanya itu, Zainuddin juga miskin. Ayahnya diusir karena rebutan warisan. Ibunya, yang orang Bugis itu, sudah meninggal. Tinggallah ia hidup sebatang kara, hanya ditemani ibu angkat Mak Base.

Klop sudah nestapa cinta Zainuddin. Sudah tak jelas garis keturunan, miskin pula.

Tapi, Hayati pantang surut, setidaknya di awal. Saat Zainuddin diusir dari Batipuh karena dianggap bukan orang asli Minang dan membuat rusuh kampung, Hayati menemuinya di ujung jalan. Di saat itulah, Hayati berani bersumpah bahwa Zainuddin adalah bakal suaminya di masa depan. Tak akan ada cinta yang lain. Kalaupun tak di dunia ini, maka di akhirat kelak.

Tapi, sumpah tinggallah sumpah. Di Padang Panjang, saat berupaya menemui Zainuddin di pengasingan, Hayati mengenal dunia luar. Mengenal laki-laki lain: Aziz, pemuda kaya dari keluarga terpandang. Hayati mencicipi kemewahan saat tinggal bersama keluarga Aziz. Hati mulai goyah. Hayati pun melarungkan sumpahnya ke laut.

“Tuan kan tahu bahwa saya seorang gadis yang miskin dan tuan pun hidup dalam kemelaratan pula, tak mempunyai persediaan yang cukup untuk menegakkan rumah tangga,” katanya kepada Zainuddin yang mengajaknya menikah.

Dus, bak layangan putus, budak cinta bernama Zainuddin itu pun limbung. Zainuddin yang punya kredo cinta itu suci, tak boleh dilandasi oleh yang profan; seperti harta Aziz, tak bisa menerima penolakan Hayati. Dia pun menyebut hubungan Hayati-Aziz hanya akan berujung pada kelacuran belaka. “Jangan sampai terlintas dalam hatimu, bahwa di dunia ini ada satu bahagia yang melebihi bahagia cinta,” katanya.

Zainuddin tak mau mengakui bahwa, “Percintaan hanyalah khayalan dongeng dalam kitab saja,” kata Datuk Hayati. Aziz jelas sosok menantu yang sekufu menurut standar keluarga Hayati.

Seperti pendahulunya – Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920) dan Sitti Nurbaya (Marah Roesli, 1922) – Tenggelamnya Kapal Van der Wijck masih berkisah tentang kasih tak sampai, entah karena kuasa adat, status sosial, atau harta. Ini formula abadi, agar karya fiksi laris manis di pasaran, baik dulu di era kolonial maupun saat ini.

Romantis dan tragis. Begitulah kira-kira formulanya, menurut Okky Madasari dalam Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan. Dan Hamka tahu benar akan formula itu.

Novel ini pun laku keras. Bahkan, sejak diterbitkan sebagai cerita bersambung di majalah Pedoman Masyarakat, warga konon sampai harus antre di stasiun kereta untuk membeli edisi baru majalah itu. Pada pendahuluan edisi modern, Hamka juga dengan bangga memamerkan surat-surat yang memuji novelnya. Dalam surat-surat itu, pembaca mengatakan cerita Hamka tak ubahnya kisah hidup mereka sendiri. I can relate, kata-kata anak-anak zaman sekarang.

Abdul Malik Karim Amrullah – begitu nama lengkap Hamka – sebenarnya lebih dikenal sebagai seorang ulama. Dia pemimpin Muhammadiyah, dan di era Orde Baru sempat menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia. Dia juga sebenarnya lebih banyak menulis buku agama ketimbang fiksi.

Posisi itulah yang mengundang sebagian orang dulu menyindir Hamka. Sebagian muslim konservatif merasa tak pantas seorang ulama menulis novel percintaan. Hamka sendiri membela diri bahwa, lewat novel, ia justru ingin menyampaikan ajaran Islam yang menentang adat kolot dan pembedaan kelas.

Hamka memang menyisipkan ajaran-ajaran Islam dalam ceritanya. Selain itu, penggambaran ritual dan atribut Islami juga kerap mewarnai karyanya, terutama Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938). Okky menilai formula Hamka ini sebagai genre novel-novel Islami yang terus direplikasi hingga kini, utamanya lewat karya-karya Andrea Hirata (Laskar Pelangi), Habiburrahman El Shirazy (Ayat-Ayat Cinta), dan Ahmad Fuadi (Negeri 5 Menara).

Tapi, Okky bilang, jangan membayangkan genre tersebut sebagai fiksi yang mengusung nilai-nilai keislaman. Islam hanya ditempelkan di sela-sela dialog, cerita, dan adegan. Tema utamanya tetap percintaan: yang romantis lagi tragis.

“Yang dimaksud tempelan adalah apabila unsur-unsur tersebut dihilangkan, tak akan mengurangi sedikit pun pokok cerita yang hendak disampaikan. Novel Hamka tetaplah sebuah kisah cinta dengan Islam sebagai latar dan bumbu penyedapnya.”1Madasari, Okky. 2019. Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan. www.okkymadasari.net.

Hal lain yang menghubungkan Hamka dengan generasi pengarang seperti Hirata, El Shirazy, dan Fuadi adalah bagaimana cara mereka memandang kesuksesan. Menurut Okky, baik Hamka maupun pengarang modern itu, sama-sama menampilkan kesuksesan sebagai popularitas, kemakmuran, dan kekuasaan.

Zainuddin yang patah hati, misalnya, meraih sukses di tanah Jawa. Namanya terkenal setelah novel-novel percintaannya digemari banyak orang. Harta pun digapai. Dia menjadi jutawan dengan menulis kisah pilunya.

Sebaliknya, kehidupan Hayati dan Aziz malah terpuruk, seakan membuktikan bahwa ramalan Zainuddin memang bertuah. Hayati kemudian menyesal karena telah mengkhianati sumpah. Aziz pun demikian: menyesal karena telah merebut Hayati dari Zainuddin.

Nasib tampaknya berpihak kepada Zainuddin. Novel sepertinya akan berakhir dengan happy ending. Zainuddin dan Hayati bakal bersatu kembali dan … they lived happily ever after.

Tapi tidak demikian yang terjadi. Ingat! Ini harus dibuat tragis. Setragis mungkin bahkan.

Dan Hamka melakukan itu. Zainuddin dan Hayati tak pernah kembali bersatu. Dendam Zainuddin membuatnya tak sudi menerima kembali Hayati.

Tak hanya itu, Hamka membuat ketiga tokoh utamanya itu mati di akhir cerita. Aziz bunuh diri dengan menelan pil di sebuah hotel. Hayati yang diusir Zainuddin mati di atas geladak Kapal Van der Wijck yang tenggelam (tenggelamnya kapal ini sebenarnya kisah nyata). Lalu, Zainuddin pun mati karena terus memendam penyesalan telah menyebabkan Hayati mati.

Ketiganya mati dengan penyesalan masing-masing. Tragis.

Ketragisan kisah dalam novel sedikit dikurangi bobotnya dalam film. Sunil membuat Zainuddin tetap hidupnya layaknya Rose DeWitt Bukate dalam Titanic (James Cameron, 1997). Padahal, jika membaca novel, kita bakal membayangkan kisah klasik William Shakespeare dalam Romeo and Juliet.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk sendiri sempat memicu kontroversi ketika dituding sebagai plagiat atas Sous les Tilleuls (1832) karya novelis Perancis Jean-Baptiste Alphonse Karr lewat terjemahan bahasa Arab oleh Mustafa Lutfi al-Manfaluti. Dengan tuduhan ini, Lekra, organisasi sastrawan kiri, menjadikan Hamka, seorang ulama Islam, sasaran empuk serangan mereka.

Kritikus sastra Lekra, Bakri Siregar melihat karakter tokoh-tokoh utama dalam karya Hamka (Zainuddin dan Hayati) amat mirip dengan tokoh-tokoh dalam novel Karr (Steve dan Magdalena). HB Jassin berupaya membela Hamka. Dia berpendapat, meski ada sejumlah kesamaan, penggambaran Hamka tentang lokasi-lokasi dalam novelnya sangat detail. Hamka juga membahas adat Minang dalam karyanya, sesuatu yang tidak ada dalam novel Karr. A Teeuw sependapat dengan Jassin dan mengganggap Tenggelamnya Kapal Van der Wijck murni bertemakan Indonesia.[]

[Foto: Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Soraya Intercine Films]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Klasik

Go to Top