Dalam bagian kedua ini, Salim Said menjelaskan mengapa Presiden Morsi dan IM gagal menjalankan pemerintahan, dan dikudeta oleh Menteri Pertahanan Jenderal Al-Sisi. Mengapa pula kudeta Al-Sisi tak memicu perlawanan balik dari kelompok “revolusioner” yang menggulingkan Mubarak.
SIAPAKAH anak-anak muda yang berani dan nekat itu? Mereka bukanlah anak-anak dari golongan politik mana pun. Mereka anak-anak muda dari berbagai latar belakang, dari berbagai kota, dan dari berbagai agama. Secara bersama mereka menunjukkan keberanian melawan rezim yang telah lama menindas, memiskinkan, dan menghinakan mereka. Menurut laporan Kuncahyono yang menyaksikan Iangsung kegiatan anak muda di Lapangan Tahrir, “Revolusi Mesir lahir dan kemudian bergerak tanpa ideologi atau keberpihakan tapi sederhana dengan satu tujuan, menggulingkan Presiden Hosni Mubarak.”1Trias Kuncahyono, Tahrir, h. 29.
Shibley Telhami, seorang peneliti berkebangsaan Amerika keturunan Arab yang berada di tengah para pelaku demonstrasi di Lapangan Tahrir waktu itu mencatat:
Ketika orang-orang Arab di mana-mana berdemonstrasi, jelas sekali motif utama mereka adalah mengenai Karamah, harga diri, dan pengakhiran rasa terhina yang berkepanjangan. Harga diri yang mereka ingin tegakkan bukan sekadar terhadap penindasan penguasa terhadap rakyatnya, melainkan juga dalam hubungan negara mereka dengan dunia luar. Dua hubungan itu berkait satu dengan yang lainnya, sebab banyak warga Arab melihat pemerintah mereka sebagai sub-kontraktor pemerintahan dan kekuasaan Barat.2Shibley Telhami, The World Through Arab Eyes (New York: Basic Books, 2013), h. 17.
Ketika kemudian militer pimpinan Jenderal Abdul Fattah Al-Sisi kembali berkuasa setelah menggulingkan Presiden Dr. Mohammad Morsi yang secara demokratis dipilih rakyat, tidak terjadi keributan signifikan, bahkan nyaris tidak tampak aksi mahasiswa melawan kudeta militer. Ini menunjukkan dengan jelas perlawanan terhadap rezim Mubarak sebelumnya lebih merupakan sebuah amuk berdarah terhadap penindasan, penghinaan, pemiskinan, didorong oleh Karamah dan sama sekali bukan revolusi dengan agenda dan rencana perubahan politik mendasar seperti yang dulu pada 1952 dipimpin Gamal Abdel Nasser.
Di Mesir memang tidak ada cukup kekuatan kelas menengah untuk menopang sebuah perubahan sosial ke arah demokrasi. “Mereka miskin jauh sebelum Nasser berkuasa, menjadi lebih miskin oleh kebijakan sosialis Nasser, dan keadaan tidak membaik pada masa Sadat dan Mubarak,” kata seorang profesor di Universitas Kairo kepada saya.3Mengenai ada-tidaknya kelas menengah di Mesir, puluhan tahun silam terjadi debat antara Manfred Halpern dan Amos Perlmutter. Baik Halpern maupun Perlmutter, keduanya sepakat mengenai tidak adanya kelas menengah di Mesir sebagaimana yang ditemukan di Eropa dan Amerika Serikat. Tapi Halpern melihat kaum salariat (hidup sebagai penerima gaji tetap) sebagai kelas menengah baru di Mesir. Militer bagi Halpern tergolong kelas menengah baru. Kepada kelas menengah baru itu Halpern, menurut Perlmutter, “memercayakan tugas dan tanggung jawab untuk mengadakan modernisasi Mesir.” Dengan panjang lebar, Perlmutter menjelaskan kegagalan Nasser dan militer Mesir dalam usaha mereka memodernisasi (mendemokratisasi) Mesir. Tulis Perlmutter, “Tidak ada proses modernisasi yang berhasil dilakukan militer yang mendominasi para birokrat dan teknokrat di Mesir.” Lihat selanjutnya debat Perlmutter-Halpern tersebut dalam Amos Perlmutter, Political Roles and Political Military Rulers (London: Frank Cass and Company Limited, 1981), hh. 72-96.
Pemilihan umum memilih anggota Parlemen dan Presiden merupakan agenda mendesak Mesir pasca-kejatuhan Mubarak. Berbeda dengan masa pemerintahan otoriter, pemilihan umum tersebut tercatat sebagai pemilihan umum yang relatif tebersih dan terdemokratis pertama, bukan saja di Mesir, melainkan juga di seluruh Dunia Arab. Dr. Mohammad Morsi dari kubu IM memenangi kursi Presiden. Memasuki Istana Kepresidenan pada Juni 2012, dukungan yang didapatkan Morsi hanya satu juta pemilih di atas lawan politiknya, seorang mantan pejabat pada rezim Mubarak. Secara politik ini harus ditafsirkan sebagai pertanda Dr. Morsi – seorang Ph.D. lulusan Amerika – harus berhati-hati dan merangkul sebanyak mungkin kelompok politik dalam membangun dan memperkuat kekuatan pemerintahannya.
Sayangnya yang dilakukan Morsi justru sebaliknya. Dengan naif tapi penuh percaya diri, dia berjalan sendiri dan membuat kebijakan-kebijakan yang antagonistik terhadap kepentingan kekuatan-kekuatan politik lain di samping juga terhadap tentara. Menurut Ashraf El Sherif:
Dalam usahanya berkuasa, IM salah menilai perimbangan kekuatan di Mesir. Pimpinan IM tidak cukup cermat mengamati fakta bahwa yang masih berkuasa waktu itu pada dasarnya adalah penguasa lama (Sherif menggunakan kata “old state”), kekuasaan yang didominasi militer. Kekuatan lama terdiri dari beberapa lembaga, antara lain polisi, pejabat tinggi pada sejumlah kementerian, pimpinan sejumlah perusahaan negara (BUMN), pejabat tinggi hukum, dan petinggi-petinggi peme-rintahan kota. Berbagai lembaga ini terikat dalam jaringan patronase. Berurusan dengan lembaga-lembaga yang sudah berumur lama dan berakar dalam ini merupakan tantangan berat bagi masyarakat, apalagi jika dihadapi sendiri oleh IM.4Ashraf El Sherif, “The Egyptian Muslim Brotherhood’s Failures”, Carnegie Endowment for International Peace, 1 Juli 2014.
Mesir adalah negara pluralistik. Selain kelompok Islam yang juga terbagi-bagi dalam banyak partai, golongan Nasrani (Kristen Koptik) merupakan 10 persen penduduk Mesir. Penganut Koptik bersama kaum sekuler sudah lama takut pada kekuatan Islamis yang makin lama mereka rasakan makin tampil agresif. Mereka takut Morsi mengislamkan pemerintahan Mesir seperti yang dilakukan Imam Khomeini di Iran.
Dan tanda-tanda itu mulai mereka saksikan dengan cemas pada langkah-langkah politik Presiden Morsi segera setelah me-masuki Istana Kepresidenan. Ketakutan seperti itulah tadinya yang mendorong mereka mendukung militer dan Mubarak yang memberikan perlindungan kepada mereka. Alasan yang sama juga menjadi dasar bagi warga minoritas Kristen dan warga Syiah Alawiyyah di Suriah mendukung pemerintahan Bashar Assad sekarang, dan ayahnya, Hafiz Assad dahulu.
Masyarakat Mesir juga terdiri dari kelompok liberal, sekuler, sosialis, bahkan Komunis. Tokoh-tokoh terkenal Mesir seperti Mohammad El Baradai, mantan Direktur Jenderal Tenaga Nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa dan penerima hadiah Nobel Perdamaian, dan Amr Musa, mantan Menteri Luar Negeri yang juga mantan Sekretaris Jenderal Liga Arab, dikenal sebagai tokoh-tokoh liberal dan sekuler Mesir yang bukan tanpa pengikut. Tapi Presiden Morsi mengabaikan semua kekuatan politik di luar IM.
Untuk membebaskan dirt dari tokoh-tokoh Militer yang dulu menduduki posisi penting pada masa pemerintahan otoriter Mubarak, Morsi mengangkat Jenderal Abdul Fattah Al-Sisi – seorang perwira berlatar belakang intelijen didikan Amerika – menggantikan Marsekal Mohammad Husain Tantawi sebagai Menteri Pertahanan yang menguasai militer. Para pengamat politik di Kairo menduga pengangkatan Al-Sisi banyak disebabkan oleh menonjolnya kesalehan sang Jenderal di mata Morsi.
Menarik untuk diketahui, Al-Sisi adalah seorang Jenderal yang hafal Al-Quran (hafiz) dan secara ajek berpuasa sunnah Senin dan Kamis. Selama masa kepresidenan Morsi, setiap Senin dan Kamis menjelang Maghrib, Al-Sisi selalu datang ke Istana berbuka puasa bersama dengan sang Presiden. “Mereka masing-masing hanya berbuka dengan dua biji kurma,” kata Dr. Salim Awwa, seorang ahli hukum lulusan Inggris, yang pernah menjadi penasihat Presiden Morsi. Dr. Awwa berkesimpulan, Presiden Morsi tidak mampu membedakan antara kesalehan pribadi sang Jenderal dan “agama corporate” tentara.5Pengalaman militer dalam politik di Amerika Latin, menurut Lisa North, menunjukkan latar belakang sosial perwira tidak selalu bisa menjelaskan sikap politik mereka sebagai militer. Pada militer ada “strong corporate self-identity” dengan institusi militer mereka. Inilah menurut Dr. Salim Awwa penjelasan mengapa kesalehan Jenderal Al-Sisi bukan penentu dalam tindakannya sebagai militer. Penjelasan yang sama juga saya kemukakan ketika menjelang akhir masa rezim Orde Baru tersebar isu. “ABRI Hijau” yang katanya bertentangan dengan “ABRI Merah Putih”. Saya membantah isu tersebut. Mengenai pengalaman Dr. Morsi dengan Jenderal Al-Sisi, lihat selanjutnya Lisa North, “The Military in Chilean Politics”, dalam Abraham F. Lowenthal (ed.), Armies and Politics in Latin America (New York: Holmes and Meier, 1986), hh. 16-17. Tentang isu “ABRI Hijau” dan “ABRI Merah” lihat Salim Said, Soeharto’s Armed Forces, h. 89.
Morsi juga tidak cukup canggih menilai Jenderal Al-Sisi dalam kedudukannya sebagai pemimpin tentara. Al-Sisi bukan cuma seorang pribadi yang saleh, melainkan juga sebagai Ketua “partai tentara” yang punya banyak kepentingan politik dan bisnis di Mesir. Ketika kebijakan Presiden Morsi mulai dinilai mengancam kepentingan bisnis militer – terutama dalam soal pengembangan Terusan Suez dan pembangunan industri di kawasan sekitarnya – para pimpinan tentara pun secara terselubung berperan mendukung golongan oposisi dalam usaha menjatuhkan Morsi. Sumber-sumber saya di Kairo menjelaskan bahwa tentara secara diam-diam ikut membiayai demonstrasi anti-Morsi.
Makin lama duduk di Istana, makin otoriter saja pemerintahan Morsi. Maka, makin meluas saja perlawanan musuh-musuh sang Presiden. Demonstrasi anti-pemerintah berangsur meluas.6Menurut catatan Trias Kuncahyono, protes awal kepada Presiden Morsi muncul setelah hari Kamis, 22 November 2012. Hari itu Morsi mengeluarkan dekrit yang menentukan semua keputusannya tidak bisa dibatalkan, dan Mahkamah Konstitusi tidak berhak membubarkan Dewan Konstituante. Dekrit dan rencana pelaksanaan referendum itulah yang memecah masyarakat antara para pendukung konstitusi buatan Morsi dan lawan-lawan politiknya (kaum sekuler, liberal, Kristen Koptik, dan sebenarnya juga kalangan militer). Lihat selanjutnya Kuncahyono. Tahrir Square, h. 29. Korban jiwa tak terhindarkan. Usaha Al-Sisi membujuk Morsi agar lebih toleran, tidak berhasil. Penentangan terhadap Morsi pada akhirnya meluas ke seluruh spektrum masyarakat, dari yang paling kiri hingga yang paling kanan, dari yang liberal hingga konservatif, dari yang sekuler hingga Universitas AI-Azhar yang dikenal sebagai pusat pendidikan Islam tertua di dunia.
Apa yang salah dengan Dr. Morsi? Apakah dia buta politik hingga menciptakan banyak musuh? Sejumlah orang menyebutnya bodoh, yang lainnya menyebut Morsi dan IM tidak sabar. Dr. Saaduddin Ibrahim, sosiolog dan Direktur Ibn Chaldun Institute di Kairo, berpendapat lain. “Morsi tidak mungkin bodoh, dia Ph.D. lulusan Amerika.” Jadi, bagaimana menjelaskan kebijakan Morsi yang fatal itu? “Anda harus tahu kekuasaan pada Ikhwanul Muslimin ada di tangan Dewan Pembimbing. Merekalah yang mengendalikan Morsi. Mereka itu pada umumnya medioker dan arogan. Jadi, Morsi hanya korban kebodohan para Pembimbingnya,” lanjut Dr. Ibrahim.
Saya sendiri cenderung berpendapat, kebijakan fatal IM memang sulit mereka hindari. Begitulah jadinya jika suatu kelompok yang tertindas lama, mendadak berkuasa. Mereka tidak terlatih mengelola kekuasaan. Pengalaman tertindas lama cenderung mewarnai cara mereka melihat dan menjalankan kekuasaan. Banyak cerita menunjukkan mereka yang sebelumnya lama tertindas, ketika berkuasa sering memiliki kecenderungan mempraktikkan penindasan – yang pernah mereka derita – kepada lawan-lawan politiknya.
IM pada mulanya mendukung kudeta Nasser tahun 1952. Menurut Malcolm H. Kerr, keadaan Mesir sudah begitu parah waktu itu sehingga seandainya Nasser tidak segera melancarkan kudeta, bisa jadi IM-lah yang merebut kekuasaan. Ikut berperang melawan Zionisme di Palestina bersama Nasser dan teman-temannya para Free Officers, IM mempunyai cukup kader yang terlatih memegang senjata. Selain mendukung gerakan kudeta Nasser, IM sebelumnya juga sudah berperan mematangkan situasi politik yang membuka jalan dan memudahkan Nasser dan teman-temannya melengserkan Raja Farouk.
IM yang merasa cukup kuat, terorganisasi rapi serta mem-punyai pasukan paramiliter yang mereka sebut “Aparat Rahasia” menawarkan kerja sama kepada kelompok Nasser.7Steven A. Cook, Ruling But Not Governing: The Military and Political Development in Egypt, Algeria, and Turkey (Baltimore: The John Hopkins University Press, 2007), h. 29. Tawaran berbagi kekuasaan ditolak dan hubungan mereka berangsur memburuk. Pada 1954, suatu percobaan pembunuhan oleh seorang kader IM terhadap Nasser membuka kesempatan bagi militer menindak organisasi Islam tersebut. Ratusan pemuka IM dikirim ke penjara, enam pemimpinnya dijatuhi hukuman gantung (salah satunya adalah Sayyid Qutb) dan organisasi itu nyaris tutup usia.8Malcolm H. Kerr, “Egypt under Nasser”, dalam Headline Series No. 161, 20 September 1963, hh. 3-4.
Tahun 1954 menjadi awal dimusuhinya IM oleh tentara. Sejak percobaan pembunuhan gagal tersebut, kebencian tentara kepada IM menjadi salah satu pilar doktrin politik militer Mesir. Keputusan Presiden Al-Sisi membubarkan IM setelah Morsi dilengserkan dan ditahan pada Juni 2014 (dijatuhi hukuman mati pada pertengahan 2015) hanya satu dari serentetan keputusan berbagai pemerintah Mesir sebelumnya – termasuk pemerintahan Raja Farouk – dalam menindas dan membubarkan organisasi tersebut. Alih-alih mati atau bubar, IM makin berkembang, bahkan berhasil mengembangkan sayap ke luar Mesir. Hamas di Palestina dan sebuah partai Islam di Yordania, misalnya, merupakan dua dari beberapa “cabang” IM di Jazirah Arab.
Dalam keadaan gawat pada hari-hari terakhir pemerintahan Presiden Morsi, muncul tekanan dari masyarakat kepada militer agar mengambil alih kekuasaan. Sebagai seorang perwira intelijen yang cerdik, sebelum melancarkan kudeta, Jenderal Al-Sisi berkonsultasi dengan hampir semua tokoh masyarakat dan pemimpin politik. Mereka semua menyatakan kecemasan kepada pemerintah dan berharap campur tangan militer.9Pada setiap perubahan politik di Mesir, militer selalu memainkan peran menentukan. Kudeta yang menghapuskan monarki pada 1952 dilancarkan militer (Nasser dan teman-temannya), mundurnya Mubarak pada 2011 merupakan hasil “koalisi” massa dengan militer. Tanpa keterlibatan militer, menurut Kuncahyono, “Mubarak mungkin akan tetap berkuasa.” Lihat selanjutnya Kuncahyono, Tahrir Square, h. 32. Dari pertemuan itulah, Al-Sisi datang menemui dan membujuk Morsi agar bersikap realistis dan menerima kenyataan perlunya mengakomodasi kekuatan-kekuatan politik lain dan menghindari keputusan-keputusan kontroversial. Bujukan itu tidak berhasil, ketegangan politik makin meningkat, bentrokan berdarah terus menelan ratusan jiwa.
Pada awal Revolusi (2011-2013), penguasa Mesir (old state) sebenarnya melakukan kerja sama dengan kekuatan Islam, terutama dengan IM. Taktik kerja sama ini dimaksudkan untuk memojokkan kekuatan-kekuatan revolusioner yang tidak terorganisasi rapi ke dalam partai-partai yang memungkinkan diajak bicara. Taktik ini sukses. Bukan saja menyingkirkan elemen-elemen revolusioner tersebut, melainkan juga berhasil memisahkan IM dari anak-anak muda revolusioner yang – antara lain – telah berhasil memakzulkan Hosni Mubarak. Dalam posisi yang lemah ditinggal anak-anak muda revolusioner, maka makin mudah bagi para penguasa lama memojokkan IM.10Lihat selanjutnya Ashraf El Sherif, “The Egyptian”.
Dengan persetujuan kekuatan-kekuatan politik yang berkonfrontasi dengan pemerintahan Morsi dan dari posisi yang kuat, Jenderal Al-Sisi memberlakukan keadaan darurat, mengambil alih kekuasaan, menahan Morsi, menyatakan IM organisasi terlarang, dan menangkapi ratusan tokoh-tokohnya. Beberapa waktu kemudian, sejumlah cukup besar tokoh IM diadili dan dijatuhi hukuman mati.
Cara Al-Sisi mengambil alih kekuasaan dari tangan Morsi pada Juli 2013 tanpa perlawanan massa anak-anak muda yang dulu tampil mendemo Mubarak, penting dicermati. Yang membela Morsi hanyalah pengikut IM, sedangkan anak-anak muda lainnya terpecah dalam berbagai kelompok yang beroposisi terhadap Presiden terpilih tersebut. Fenomena ini jelas menunjukkan seriusnya perpecahan (gejala fragmented society) dalam masyarakat Mesir.
Sehubungan dengan itu, berbeda dengan gaya militer melakukan kudeta di Mesir dan di banyak negara lain sebelumnya, militer Mesir di bawah Al-Sisi mengaku tidak melakukan kudeta. Penjelasan mereka, militer bertindak atas permintaan masyarakat, mengambil kekuasaan menghindari chaos dan pertumpahan darah yang mungkin tak terhindarkan tanpa campur tangan militer.
Di Thailand dan Mesir sebelum kudeta, sejumlah kekuatan dalam masyarakat memang telah mendesak tentara mengambil alih kekuasaan. Adalah juga menarik, di Mesir dan Thailand sejak militer masuk kembali ke politik akhir-akhir ini, kata “kudeta” tidak dipakai lagi. Militer Mesir tampaknya tidak menemui kesulitan meyakinkan masyarakatnya, sehingga di berbagai tempat selama berada di Mesir saya sering dikoreksi jika memakai kata “kudeta” untuk menggambarkan peristiwa berkuasanya kembali militer Mesir.
IM adalah organisasi dengan pengalaman panjang menghadapi penindasan, mempunyai jaringan luas dalam masyarakat dan pengaruh di berbagai negara di Dunia Arab. Inilah saya kira penjelasan sikap ekstra-hati-hati disertai kewaspadaan tinggi aparat keamanan Mesir – terutama polisi dan jaringan intelijen – sehingga seorang pejabat staf lokal di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) menjelaskan, “Di sini dinding dan lantai juga punya kuping.”11Di Mesir ada sekitar 5.000 mahasiswa Indonesia. KBRI selalu memperingatkan mahasiswa Indonesia agar berhati-hati karena aparat sekuriti Mesir mengawasi dengan saksama para mahasiswa yang di negerinya ada kegiatan Islam radikal.
Ketika Morsi dan sejumlah besar pejabat tinggi IM sudah berada dalam tahanan, Mesir mengadakan pemilihan Presiden. Yang terpilih Jenderal Al-Sisi. Mantan Panglima tentara Mesir itu dilantik pada Juni 2014. Dan sejak itu Mesir kembali berada di bawah kontrol militer. Demonstrasi dengan banyak korban jiwa sejak 2011, penggulingan Mubarak, dan terpilihnya Morsi sebagai Presiden pertama yang dipilih secara demokratis, semua berlalu dengan singkat bagaikan mimpi saja. Kegagalan Morsi dan IM membangun koalisi dan sikap tertutupnya terhadap kekuatan politik lain, akhirnya hanya memecah belah masyarakat yang pada gilirannya membuka kesempatan bagi tentara tampil sebagai “juru selamat”.
Selain Al-Sisi, mantan Presiden Mubarak juga kebagian rezeki akibat kegagalan Morsi. Tidak sampai setengah tahun setelah tentara kembali berkuasa, pengadilan Mesir memutuskan meringankan hukuman mantan Presiden Mubarak. Pengadilan dan para hakim Mesir sejak lama tergolong dalam kelompok yang beraliran liberal. Bersama kaum sekuler, militer, dan para kapitalis Mesir, para penguasa di pengadilan tersebut dianggap bagian dari “deep state”12“Deep state” dan “old state” adalah istilah yang maknanya sama dan dipakai secara bergantian di kalangan elite Mesir. yang sejak lama menguasai Mesir dan memusuhi IM. Sikap tertutup dan antagonistik Morsi kepada berbagai kekuatan politik di luar IM terbukti telah merupakan kesalahan besar yang ikut memperkukuh komplotan “deep state” yang berpengalaman panjang menguasai Mesir.
[Dinukil dari: Said, Salim Haji. 2018. Ini Bukan Kudeta: Reformasi Militer Indonesia, Mesir, Thailand dan Korea Selatan. Bandung: Penerbit Mizan. Hal. 30-50.]
[Foto utama: Menhan al-Sisi dan Presiden Morsi di Istana Kepresidenan Mesir pada 21 Februari 2013. Sumber: AP Photo. Fotografer: Mohammed Abd El Moaty]
Lihat bagian sebelumnya: