Mengenal Lisan al-‘Arab

in Klasik by

Jika pernah menonton The Professor and the Madman, Anda tentu mengagumi ketelatenan Sir James Murray menyusun Oxford English Dictionary pada Abad ke-19. Tapi, Anda juga seharusnya mengenal Ibn Manzhur, penyusun Lisan al-‘Arab, kamus klasik bahasa Arab paling komprehensif, pada Abad ke-13. Ketekunannya dalam mengarsip dan mencatat tak tertandingi pada masanya–dan mungkin hingga kini.

Bagi peminat studi Islam, khususnya yang berkaitan dengan bahasa Arab, nama Ibn Manzhur dan Lisan al-‘Arab tidaklah asing. Tetapi bagi kebanyakan peminat buku, namanya belum tentu populer. Sampai cetakan tahun 2010, tim penyunting Lisan al-‘Arab mengakui belum ada buku yang secara khusus menelusuri riwayat hidup pengarang besar ini.1Sebagian besar informasi dalam tulisan ini diambil dari pengantar tim penyunting Lisan al-‘Arab terbitan Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi, Beirut, edisi revisi, cetakan 2010 M/ 1431 HPadahal, Ibn Manzhur tidak kalah monumental dibanding Sir James Augustus Henry Murray (1837–1915), editor utama Oxford English Dictionary. Kisah hidup Murray sendiri kemudian diabadikan dalam film The Professor and the Madman berdasarkan novel The Surgeon of Crowthorne karangan Simon Winchester.

Lahir pada 1233 Masehi (630 Hijriah) di Ifriqiya (atau yang kini dikenal dengan Tunisia), Ibn Manzhur memiliki nama panjang Muhammad bin Mukarram bin Ali bin Ahmad. Seperti yang diakuinya sendiri, nenek moyangnya berasal dari Ansar, suku pembela Nabi Muhammad di Madinah. Kakeknya adalah sahabat Nabi bernama Ruwaifi bin Tsabit yang ikut dalam perang Khaibar dan berbagai ekspedisi militer ke Syam, Mesir, dan Afrika.

Penulis sejarah, biografi, dan ahli hadis Ibn Hajar melaporkan bahwa Ibn Manzhur belajar dari deretan guru yang terpandang di masanya. Di antara mereka adalah Abdurrahman bin Al-Thufayl, Murtadha bin Hatim, Yusuf Al-Makhili, dan Ali bin Al-Muqayyir Al-Baghdadi. Para guru dari berbagai bidang studi itu memberinya akses ke banyak ilmu yang berkembang kala itu.

Setelah menyelesaikan masa studi, menurut orientalis Jerman yang membidangi filologi Arab, Johann Wilhelm Fück, Ibn Manzhur bekerja sebagai sekretaris di Diwan al-Insya’ di Kairo di masa kekuasaan Al-Mansur Qalawun. Tugasnya, antara lain, melakukan surat-menyurat, pengarsipan dan penyalinan naskah. Selain itu, dia juga pernah menjadi hakim di Tripoli, Libya dan Kairo, Mesir.

Carl Brockelmann, orientalis Jerman kenamaan, juga menyebut bahwa Ibn Manzhur merupakan pejabat di pemerintahan Qalawun. Sebagai peminat bahasa-bahasa Semit, Brockelmann tentu sempat menemukan Ibn Manzhur dalam karya-karya ensiklopedis Islam klasik, termasuk dalam karya bibliografi massif buah tangan Ibn Nadim yang berjudul Al-Fihris (Indeks) yang menjadi acuan Brockelmann.

Bagaimanapun, nama Ibn Manzhur tidak dapat dipisahkan dari bahasa dan sastra Arab sejak Abad ke-13 hingga wafatnya pada 1311/1312 di Kairo, Mesir. Selain karena luasnya cakupan Lisan al-‘Arab yang disusunnya, ia berpengaruh karena ketekunannya merangkum puluhan karya klasik yang berjilid-jilid menjadi satu buku ringkas. Dari tangannya, lahir puluhan atau bahkan ratusan sinopsis berjilid-jilid buku.

Di antara kitab-kitab induk yang diringkasnya adalah Al-Aghani (kumpulan lagu, lirik, dan kisah dari warisan peradaban Arab) karya Abul Faraj Al-Isfahani, Tarikh Baghdad (sejarah Baghdad) karya Al-Sam’ani, Tarikh Dimasyq (sejarah Damaskus) karya Ibn Asakir, Mufradat Al-Adwiyah (ensiklopedia obat-obatan, nutrisi, dan farmasi) karya Ibn Al-Baithar, Al-Hayawan (ensiklopedia binatang beserta watak, sifat, dan kegunaannya) karya Al-Jahizh, dan Al-‘Iqd Al-Farid (ensiklopedia peradaban Islam yang diterjemahkan oleh Issa J Boullata menjadi Great Books of Islamic Civilization) karya Abdu Rabbih Al-Andalusi.

Al-Suyuthi menyebut Ibn Manzhur sebagai sastrawan, pakar bahasa dan tatabahasa, serta ahli sejarah dan literasi. Dia juga dianggap mengerti banyak kelakar dan peribahasa yang langka. Menurut ahli sejarah dan filolog Shalahuddin Al-Shafadi, Ibn Manzhur tidak meninggalkan buku-buku babon klasik kecuali dia meringkas dan membuatkan sinopsisnya. Al-Shafadi mengutip informasi dari putra Ibn Manzhur, Quthbuddin, bahwa ayahnya menulis sendiri 500 jilid sinopsis dengan kaligrafi yang indah. Konon di akhir hayatnya, dia menderita penyakit yang membawa kepada kebutaan.

Lisan Al-‘Arab

Sejumlah linguis percaya bahwa kemajuan bahasa bergantung pada tingkat penggunaannya. Jika percaya dengan rumus ini, kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa Arab adalah salah satu bahasa paling maju di dunia. Pasalnya, setidaknya 1,7 miliar Muslim di dunia sesekali menggunakan bahasa ini untuk tujuan ibadah atau tujuan-tujuan lainnya. Dari jumlah itu, tidak sedikit yang mempelajari bahasa ini secara lebih serius untuk tujuan mendalami dan mengajarkan Islam. Selain itu, inilah bahasa wahyu Ilahi yang hingga kini masih sepenuhnya terjaga dan berkembang karena dipakai berkomunikasi sehari-hari. Hal ini, umpamanya, berbeda dengan nasib bahasa pengantar Taurat, Injil, Zabur, dan kitab-kitab suci lain.

Penyusunan kamus bahasa Arab memerlukan upaya yang sangat melelahkan. Apalagi hakikat bahasa ini memang lentur, mengenal banyak ragam aksen dan logat, serta memiliki sistem tashrif yang paling pelik dan kaya.2Tashrif adalah sistem perubahan bentuk kata untuk membedakan kasus, gender, masa, jenis, jumlah, aspek, dan sebagainya

Karena juga merupakan bahasa wahyu Ilahi, bahasa Arab banyak sekali mempengaruhi bahasa-bahasa lain. Dalam beberapa kasus ekstrem–terlepas dari apakah ini akibat politik Arabisasi yang diskriminatif di periode awal penyebaran Islam ataukah tidak–bahasa Arab tidak jarang menelan habis bahasa lokal dari negeri-negeri yang memeluk Islam. Contoh kasus yang menarik adalah pudarnya bahasa Koptik setelah masuknya Islam ke Mesir.

Leksikografi dan filologi Arab adalah bidang kajian yang pelik dan rumit. Selain jumlah kata bahasa Arab sangat banyak, sistem tashrif yang dimilikinya membuat kombinasi kosakata dan kalimat dalam bahasa ini seperti tidak ada batasnya. Mirip seperti aritmatika dalam teori angka.

Ditambah lagi tiap huruf dalam bahasa Arab juga punya banyak makna. Sekedar contoh, huruf ب bisa memiliki arti dengan, bersama, sebagian, dalam rangka, meminta tolong, dan belasan makna lain yang termaktub dalam kamus-kamus bahasa. Berdasarkan kaidah, tambahan huruf pada kata berarti tambahan makna. Maka, kombinasi makna kata bisa sangat umum dan tak berhingga. Begitulah kira-kira tugas pelik yang harus dipikul Ibn Manzhur saat ingin menyusun kamus bahasa Arab.

Bagaimanapun, Ibn Manzhur yang menyelesaikan Lisan al-ʿArab pada 1290, sekitar 22 tahun sebelum wafatnya, mengakui bahwa dia bukanlah pelopor. Kamus sembilan jilid tebal yang menghabiskan lebih dari setengah umurnya itu dia akui hanya menyempurnakan kamus-kamus yang telah ada sebelumnya. Hingga kini, Lisan al-‘Arab merupakan salah satu kamus bahasa Arab paling diandalkan karena bersumber dari kamus-kamus klasik yang lebih dahulu terbit.

Lisan al-‘Arab cetakan Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi edisi 2010

Ibn Manzhur menyebut lima rujukan utama Lisan al-ʿArab: Tahdzib Al-Lughah karya Abu Manshur Al-Azhari (895-981); Taj Al-Lughah wa Shihah Al-‘Arabiyyah (biasanya disingkat jadi Al-Shihah) karya Ismail bin Hammad Al-Jawhari (wafat 1009); Al-Muhkam wa Al-Muhith Al-A’azham karya Ibn Sidah (1007-1066); Al-Nihayah karya Ibn Atsir Al-Jazari (1160-1233); dan Kitab Al-Tanbih wa Al-Idhah karya Ibn Al-Barri (1261–1331). Berkat rujukan yang demikian luas dan kaya, Lisan al-ʿArab tak pelak menjadi salah satu kamus yang paling diandalkan dan komprehensif.

Dalam pengantarnya atas karya ini, Ibn Manzhur mengaku tidak menambahkan hal-hal baru atas apa yang telah disusun para pendahulunya, khususnya karya Al-Azhari yang hidup dan bergaul dengan orang-orang asli Arab atau Ibn Sidah yang, kata Ibn Manzhur, memiliki kecerdasan dan ingatan yang mampu menyimpan dan memahami bahasa dengan cepat. Bahkan, dia menulis bahwa kedua orang itu telah melakukan tugas mereka dengan sempurna hingga hampir-hampir tidak meninggalkan celah bagi penerusnya untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan. Tulisnya, “Sungguh mereka berdua telah menghimpun dengan utuh dan menguraikan dengan lengkap.”

Ibn Manzhur menguraikan alasannya menyusun kamus ini tak lain karena dia menemukan adanya sedikit kekurangan dalam karya-karya sebelumnya. Menurutnya, ada sejumlah kamus yang bagus dalam penyusunan tapi kurang dalam kandungan dan uraian dan sebaliknya ada yang kurang baik dalam penyusunan meski bagus dalam kandungan. Di antara kamus-kamus sebelumnya yang menurutnya memiliki kandungan dan uraian terlengkap adalah karya Al-Azhari dan Ibn Sidah.

Namun demikian, menurutnya, dua karya hebat itu memiliki kekurangan dalam penyusunan dan tata letak. Dari sisi ini, Al-Shihah karya Al-Jawhari lebih baik dan indah. Karena itu, dia menyusun Lisan al-ʿArab mengikuti pola yang digagas Al-Jawhari. Lema dalam kamus ini tidak disusun mengikuti huruf-huruf pertama dari suatu kata seperti umumnya kamus-kamus lain, melainkan mengikuti huruf terakhir dari akar kata. Tujuannya antara lain agar mempermudah orang yang ingin menemukan rima pada huruf terakhir suatu kosakata. Sebagai contoh, Anda tidak akan menemukan kata عرب dalam Lisan al-ʿArab di bagian huruf (ع) melainkan Anda harus mencarinya dari huruf (ب) yang tidak lazim dalam penyusunan kamus-kamus bahasa Arab modern.

Lema dalam Lisan al-‘Arab tidak disusun mengikuti huruf-huruf pertama dari suatu kata seperti umumnya kamus-kamus lain, melainkan mengikuti huruf terakhir dari akar kata. Tujuannya antara lain agar mempermudah orang yang ingin menemukan rima pada huruf terakhir suatu kosakata.

Lisan al-ʿArab bukan saja menguraikan arti suatu kosakata tetapi juga menjelaskan akarnya, contoh-contoh penggunaannya baik dalam Al-Qur’an, hadis, syair, maupun bahasa awam, berikut tashrif-nya, kaitan-kaitannya dengan makna kata lain, dan lain sebagainya. Karena itu, ia banyak mengutip pendapat pakar atau fragmen dari kitab yang telah ada sebelumnya.

Sayangnya, meski mencatat sumber kutipan langsung, Ibn Manzhur tidak selalu menyebut rujukan yang dipakainya sehingga orang yang ingin melacak sejarah linguistik suatu kata akan mengalami kesulitan. Belakangan Murtaḍa al-Zabidi menyempurnakan kekurangan ini dalam karyanya yang berjudul Taj al-ʿArus, yang mulai dicetak pada 1965 sampai 1984 sebanyak 35 jilid.

Dalam magnum opus ini, Ibn Manzhur banyak mengacu kepada hadis-hadis Nabi yang sebelumnya jarang dilakukan oleh para pendahulunya. Mereka khawatir masuk dalam perdebatan panjang mengenai status kesahihan hadis-hadis ini. Tapi, Ibn Manzhur memakai hadis-hadis ini karena dia tidak melihat bahasa semata-semata secara harfiah dan tekstual. Dia percaya bahwa bahasa adalah kesatuan teks dan konteks, huruf dan makna. Barangkali yang lebih penting daripada itu dia percaya bahwa hadis-hadis Nabi sebagai penutur bahasa Arab yang paling fasih dan elok harus menjadi bagian dari perkembangan literatur bahasa ini sendiri.

Dalam uraiannya atas suatu kosakata, Ibn Manzhur sering menjelaskan mana bagian autentik dan mana bagian serapan dalam bahasa Arab. Untuk itu, dia suka mengungkap perbedaan makna dalam satu kata, dan mana yang autentik di antaranya. Tapi, dia selalu menekankan bahwa konteks itulah yang menentukan makna, bukan teks dan harfiahnya.

Lebih dari itu, dia termasuk dalam kelompok ahli bahasa yang tidak percaya dengan adanya sinonimi (kesamaan makna dua kata yang berbeda) dalam bahasa Arab. Menurutnya, sinonimi tidaklah sejati karena dua kata yang berbeda pasti memiliki perbedaan makna meskipun hanya sedikit dan tipis.

Untuk memenuhi tujuan di atas dan membuktikan keyakinannya atas keutamaan makna atas huruf dan konteks atas teks, Ibn Manzhur menjadikan kamusnya tidak hanya memuat penjelasan leksikografis dan etimologis kata per kata tapi lebih dari itu memuat banyak hadis, riwayat, narasi dan lain sebagainya. Dengan begitu, Lisan al-ʿArab dapat dianggap lebih menyerupai ensiklopedia modern yang umumnya dikerjakan oleh suatu tim ketimbang kamus bahasa yang umumnya dikerjakan oleh satu orang.

Ignatius d’Ohsson mencatat Lisan al-ʿArab pertama kali dicetak pada Abad ke-18 di Istanbul, Turki. Lalu pada 1882 dicetak kembali di Kairo, di suatu percetakan terkenal di masa itu yang bernama Bulaq. Pada 1955, naskah edisi revisi dicetak di Beirut oleh penerbit Shadir. Di masa setelah itu ada sebuah penerbit bernama Lisan Al-Arab di Beirut yang mencetak dan mendistribusikan buku ini ke seluruh dunia berdasar pada cetakan versi Bulaq yang telah diperbaiki. Pada era 2000-an, karya ini dicetak oleh penerbit Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi dengan menggunakan setting dan layout komputer modern. Edisi 2010 dari cetakan Dar Ihya memuat sejumlah perubahan. Yang paling mencolok adalah penyusunan lema berdasarkan huruf pertama seperti umumnya kamus bahasa, bukan huruf akhir sebagaimana pola penyusunan Al-Jawhari dan Ibn Manzhur.[]

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*