Sergio menceritakan Sergio Vieira de Mello, diplomat PBB. Menghabiskan nyaris empat dekade usia di wilayah konflik, dia tetap percaya dialog, dan bukan perang, bisa menyelesaikan perselisihan. Kepercayaan seperti itu hari-hari ini hampir hilang.
BOM meledak di Hotel Canal, Baghdad, tempat Perserikatan Bangsa-Bangsa bermarkas di Irak. Pada suatu sore terik, 19 Agustus 2003, itu Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia sekaligus Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Irak, Sergio Vieira de Mello (Wagner Moura), menjalani tiga setengah jam tepanjang dalam hidupnya. Dia mengenang kembali momen-momen terbaik penugasan di Kamboja dan Timor Leste, terutama ketika hatinya tertambat kepada seorang staf perempuan, Carolina Larriera (Ana de Armas).
Begitulah sutradara Greg Barker dan penulis Craig Borten (Dallas Buyers Club) bercerita kepada kita tentang Sergio de Mello dalam Sergio. Tayang di layanan streaming Netflix pada April 2020, Sergio adalah film feature pertama Barker.
- Judul Film: Sergio
- Sutradara: Greg Barker
- Penulis: Craig Borten
- Pemain: Wagner Moura, Ana de Armas
- Rilis: 17 April 2020 (Netflix)
- Durasi: 118 menit
Barker lebih dulu dikenal lewat film-film dokumenter, terutama terkait isu konflik geopolitik. Film dokumenter tentang de Mello dengan judul sama pernah tayang di HBO pada 2009 dan mendulang pujian serta penghargaan editing terbaik pada Festival Film Sundance 2010. Lalu, Ghosts of Rwanda (2004) dan The Manhunt: The Search for Bin Laden (2013) juga memenangi sejumlah penghargaan.
De Mello tetap sosok mempesona bagi Barker hingga dia menghadirkan kisah sang diplomat ke dalam film fiksi. Tapi, Barker tampak tak bisa melepaskan Sergio dari versi dokumenternya. Dia masih menggunakan alur penceritaan serupa. Peristiwa pemboman Hotel Canal kembali dijadikan penggerak cerita.
Di sanalah, persoalan muncul.
Dalam film dokumenter HBO, penonton bisa menikmati alur karena Barker bercerita melalui kesaksian orang-orang yang mengenal dan bertugas bersama de Mello. Saya bisa memahami sosok de Mello, termasuk alasan dia mengabdikan hampir empat dekade hidupnya di wilayah-wilayah konflik. Emosi saya juga tergugah menyimak cerita mereka tentang de Mello, terutama dari Carolina dan dua serdadu Amerika—William von Zehle dan Andre Valentine—yang menemani de Mello di tiga jam terakhir hidupnya dalam upaya penyelamatan.
Tapi, saya tak merasakan hal serupa dalam Sergio dan Anda pun mungkin akan sependapat. Dramatisasi Barker terhadap hidup de Mello seperti terputus-putus dan tak mengalir karena penonton selalu dibawa kembali kepada adegan perjuangan de Mello dan rekannya, Gil Loescher (Brian F O’Byrne), bertahan hidup dalam himpitan puing.
Jika dimaksudkan sebagai biopic, film ini juga kurang berhasil menceritakan sosok de Mello sepenuhnya. Ada bagian-bagian penting dalam dokumenter yang hilang dalam film ini, padahal bisa sangat menarik untuk dicipta ulang melalui imajinasi visual Barker.
Sergio memang menceritakan kesuksesan de Mello di beberapa penugasan, terutama di Timor Leste dan Kamboja. Film ini juga menyinggung aktivisme de Mello saat belajar filsafat di Sorbonne, termasuk keterlibatannya dalam aksi terkenal mahasiswa pada 1968. Tapi, semua itu terlihat kurang maksimal dan sekadar bumbu penyedap kisah percintaan de Mello dan Carolina.
Mengapa bagian-bagian tersebut penting? Seperti disampaikan Samantha Power, penulis Sergio: One Man’s Fight to Save the World, buku yang menjadi sumber film ini, de Mello sebenarnya seorang Marxis tulen sejak berkuliah di Sorbonne. Jadi, menurut saya, adalah menarik untuk mengetahui bagaimana seorang Marxis bisa memutuskan bekerja untuk PBB—institusi yang kerap dicitrakan melayani kepentingan Amerika Serikat—sepanjang hidupnya. Cerita penugasan de Mello sebagai kepala pemerintahan sementara di Timor Leste juga seharusnya digarap lebih serius, dan bukan hanya adegan-adegan ala kadarnya antara de Mello dengan Xanana Gusmao (Pedro Hossi) dan dengan Gus Dur (diperankan aktor Thailand, Vithaya Pansringarm). Sebab, kesuksesan di Timor Leste—dan juga Kamboja—telah membangun reputasi de Mello sebagai diplomat ulung PBB—digambarkan Power bak perpaduan antara James Bond dan Bobby Kennedy.
Sebaliknya, romansa de Mello dan Carolina mendapatkan porsi besar, dan bahkan cenderung berlebihan. Adegan seks cukup vulgar di sepertiga akhir film terkesan tak diperlukan karena Moura dan de Armas sudah mampu membangun ikatan emosional kuat dalam banyak adegan lain.
Moura, si gembong narkotika Pablo Escobar dalam Narcos, dan de Armas bakal gadis Bond dalam No Time to Die, berperan apik dalam film ini. Moura terutama berhasil mereplikasi gaya bicara putus-putus dan artikulasi penuh de Mello saat berbicara dalam bahasa Inggris, termasuk ekspresi de Mello yang kadang memelototkan mata.
Fokus Barker kepada romatisasi hubungan de Mello dan Carolina mungkin karena kisah ini tak mungkin dia eksploitasi dalam dokumenter. Atau mungkin juga karena Barker menilai penonton akan lebih menyukai romansa “pahlawan” mereka ketimbang semata aksi heroisme dalam negosiasi diplomatik.
Selain Moura dan de Armas yang mampu menghidupkan de Mello dan Carolina, film ini juga berhasil menjelaskan posisi moral de Mello vis-a-vis Amerika di Irak, terutama Paul Bremer (Bradley Whitford), penguasa pendudukan Amerika. Sejak awal diplomat kawakan PBB ini menentang perang ilegal atas Irak. Dia pun sebenarnya tak berminat menempati pos di Irak karena persoalan Timor Leste telah menguras energi sekaligus dorongan untuk membangun keluarga baru dengan Carolina setelah pernikahannya dengan seorang staf PBB asal Perancis kandas. Tapi, karena desakan Sekjen Kofi Anan, Presiden George W Bush dan Penasihat Keamanannya Condoleezza Rice, de Mello akhirnya menerima penugasan, yang dijanjikan Anan hanya akan berlangsung empat bulan.
De Mello—figur yang digadang-gadang akan menggantikan Anan—rupanya memiliki persepsi berbeda dengan Bremer soal peran PBB di Irak. Jika Bremer memandang PBB hanya kover bagi pendudukan Amerika di Irak, de Mello justru mendorong timnya untuk mengakhiri pendudukan Amerika dan mengembalikan kedaulatan kepada rakyat Irak dengan segera menyelenggarakan pemilihan umum. De Mello bergerak lincah di Irak dengan menemui sejumlah figur penting termasuk pemimpin spiritual Irak, Ayatullah Ali Sistani. Langkah seperti itu tak pernah bisa dilakukan Bremer. De Mello juga meminta pengurangan penjagaan pasukan Amerika di markas PBB karena ingin bisa lebih berinteraksi dengan rakyat Irak—langkah yang digambarkan dalam film menciptakan kesempatan bagi aksi teror.
Bahkan, pada hari menjelang pemboman, de Mello tengah menyiapkan berkas laporan pelanggaran hak asasi manusia pasukan pendudukan di Irak. Dia tahu Amerika bakal murka tapi berkeras menyerahkan berkas itu ke Dewan Keamanan PBB karena tak ingin rakyat Irak dan negara-negara lain melihat kedatangannya hanya alat kepentingan Amerika.
Sayang, bom menghentikan upaya de Mello. Seperti kita tahu kemudian, gembong al-Qaeda di Irak, Abu Musab al-Zarqawi, mengklaim bertanggung jawab atas aksi teror tersebut. Kelompok al-Zarqawi—yang satu dekade kemudian menjelma ISIS—menilai de Mello layak dihabisi karena telah membantu kemerdekaan Timor Leste dari sebuah negeri Islam, Indonesia.
Adegan penyelamatan de Mello pun menunjukkan pasukan Amerika, satu-satunya kekuatan di Baghdad saat itu, sangat lambat bertindak. Lebih dari tiga jam de Mello menderita di bawah timbunan beton, von Zehle (Garret Dillahunt) dan Valentine (Will Dalton) hanya berbekal satu tas wanita dan seutas tali gorden. Sama sekali tak ada alat berat yang datang selama aksi penyelamatan. Dalam dokumenter HBO, Power—yang kemudian menjadi Duta Amerika di PBB pada era Barack Obama—mempertanyakan hal ini.
“Yang membuatku marah tentang upaya penyelamatan itu adalah penghinaan kepada Sergio yang ditinggalkan di reruntuhan selama tiga setengah jam, karena mereka hanya bergantung kepada tas tangan wanita dan tali tirai? Apakah ini lelucon? Ini Amerika Serikat. Mengerikan,” katanya emosional.
Terlepas dari sejumlah kekurangannya, Sergio tetap layak untuk disaksikan, dan saya merekomendasikan Anda menonton versi dokumenternya sekaligus. Sosok de Mello inspirasi bagi siapa pun. Dia tak pernah lelah mendekati pihak mana pun dalam sebuah konflik, termasuk mereka yang kadung dipandang “penjahat”. Dia percaya kekuatan dialog, dan bukan perang, bisa menyelesaikan perselisihan. Kepercayaan seperti itu hari-hari ini nyaris hilang.[]