JELAJAH LITERASI

“Dunia Sophie”: Buat Apa Belajar Filsafat?

in Sofia by

Oleh Budhy Munawar-Rachman

Dengan mengulas novel Dunia Sophie karya Jostein Gaarder, Budhy Munawar-Rachman mengajukan pertanyaan. Pentingkah kita belajar filsafat? Bisakah filsafat dibuang dari kehidupan kita? Mengapa filsafat dikesankan rumit? Mengapa di Indonesia, sekolah-sekolah tak mengajarkan filsafat?

SEBAGAI sebuah ilmu, filsafat tidak terlalu populer dalam masyarakat Indonesia. Bahkan, kadang-kadang masyarakat mencela ilmu ini sebagai “tidak berguna,” dikarenakan manfaatnya tidak terlihat secara langsung. Dan yang lebih mencolok dalam mentalitas populer: apa sebenarnya profesi seorang filsuf itu; ia bekerja di mana; apa yang dijanjikan filsafat (maksudnya tentu saja, filsuf) di tengah kompleksitas problem sosial kemanusiaan dewasa ini. Paling-paling, seseorang yang menekuni ilmu filsafat akan tampil sebagai dosen atau peneliti.

Apalagi, filsafat sendiri dalam pandangan masyarakat awam, dikesankan sebagai ilmu yang, istilah Jawanya, “utak atik gathuk”, sebuah latihan intelektual (intelectual exercise) belaka yang tidak membumi. Terkesan, hanya sekadar mencari cocoknya saja, dari suatu ide yang sudah disimpulkan sebelumnya. Itu sebabnya, profesi filsafat tidak terlalu diminati di kalangan masyarakat.

Filsafat menurut Franz Magnis-Suseno merupakan satu-satunya ilmu yang kerja pokoknya adalah mempelajari sejarahnya sendiri dan karenanya melahirkan filsuf-filsuf yang memiliki komitmen tinggi dalam membicarakan sejarah mereka. Lebih lanjut, Franz Magnis-Suseno, dalam banyak kesempatan, menyatakan bahwa 70 persen pekerjaan filsafat adalah mengurusi dan memperdebatkan kembali sejarahnya.

Pada segi lain, Magnis-Suseno juga berpendapat bahwa filsuf tetap diperlukan hanya di pojok-pojok kebudayaan, sebagai kritikus. Karena memang filsafat berfungsi kritis, termasuk sebagai kritik ideologi. Ilmulah yang menjadi pelaksana kebudayaan.

Dalam istilah Nurcholish Madjid, filsafat dapat menjadi reservoir etika, di mana dalam situasi anomali nilai, filsafat dapat memberikan alternatif untuk rencana kebudayaan yang baru. Memang begitulah yang terjadi dalam sejarah. Kita, misalnya telah melihat pandangan “trias politica” John Locke dan Montesquieu tentang pembagian kekuasaan negara, yang diciptakan dalam rangka mengganti sistem politik feodal Raja Perancis, Louis XIV, yang mendaulat dirinya sebagai “Akulah Negara”.

Barangkali karena ketidakpopuleran filsafat ini, perguruan tinggi di Indonesia yang mengkhususkan diri pada filsafat murni hanya ada tiga, yaitu Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Budaya UI, dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Jumlah fakultas filsafat yang sangat sedikit ini—bandingkan dengan fakultas ekonomi atau teknik—justru disebabkan begitu rendahnya minat pengkajian filsafat di Indonesia. Apalagi kebijakan strategi kebudayaan pemerintah juga tidak memberi porsi penting pada filsafat dalam perencanaan strategi kebudayaan.

Lantas apa gunanya filsafat? Pada mulanya, semua ilmu berawal dari filsafat. Bahkan, filsafat pernah dijuluki sebagai “ratu dari segala ilmu”. Ini sudah kita ketahui sejak zaman Yunani. Tetapi dalam perkembangan sejarahnya, khususnya di zaman modern, satu per satu ilmu pengetahuan memisahkan diri dari filsafat, dan berjalan dengan metodologinya yang khas, yang biasa disebut sebagai metode ilmu empiris. Dan anehnya, semua disiplin tersebut ingin menjadi ilmu sendiri.

Belakangan, pada pertengahan abad ini, epistemologi dan kosmologi, yang semula merupakan bagian penting dari filsafat murni, juga berusaha memisahkan diri dari filsafat yang spekulatif. Disiplin itu pun ingin menjadi ilmu empiris. Muncul disiplin epistemologi-genetik (J Piaget), yang dirancang dari psikologi dengan dasar-dasar biologi manusia. Termasuk pula kosmologi-fisika. Etika pun mulai dicoba untuk dikembangkan secara empiris.

Selanjutnya, semua spekulasi filosofis mulai ditinggalkan. Ilmu pengetahuan pun mencari data keilmuan berdasarkan hal faktual. Bidang filsafat, yang berurusan dengan soal-soal spekulatif, yang bersifat metodis dan koheren, semakin menyempit. Pada akhirnya, tinggallah bidang-bidang yang sekarang menjadi mayor dalam ilmu filsafat, yaitu metafisika dan filsafat ketuhanan (filsafat agama), epistemologi dan filsafat ilmu pengetahuan, etika dan estetika. Tentu masih ditambah bidang-bidang filosofis yang tidak masuk dalam ilmu, tetapi merupakan kelanjutan ilmu empiris itu, seperti filsafat alam, filsafat sosial-politik, filsafat pendidikan, dan sebagainya.

Semua bidang filsafat ini sebenarnya memberi kita kerangka orientasi atas pandangan dunia kita. Manusia sebenarnya dihidupi dengan pandangan dunia (world view). Suka atau tidak suka, kita hidup dengan filsafat karena selalu ada pandangan dunia dalam kehidupan sosial kita. Maka, hal itu berarti selalu ada filsafat dalam hidup kita. Jadi, secara eksplisit, diakui atau tidak, filsafat adalah hidup kita sendiri. Ketika merenungkan perihal yang paling mendasar dari eksistensi kita, maka kita akan menemukan pertanyaan-pertanyaan mendasar seputar: siapakah kamu; dari manakah kamu berasal; mau ke manakah kamu selanjutnya dalam hidup ini.

Itulah “misteri kehidupan” yang menarik perhatian Sophie Amundsend, yang secara genius diungkap oleh Jostein Gaarder dalam novelnya, Dunia Sophie, Sebuah Novel Filsafat. Sebuah novel filsafat yang pernah best seller dunia, termasuk dalam edisi Indonesia.

  • Judul Buku: Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat
  • Penulis: Jostein Gaarder
  • Penerbit: PT Mizan Pustaka
  • Terbit: 2010 (Cetakan Pertama 1991)
  • Tebal: 800 halaman

Dalam kepustakaan filsafat di Indonesia, kehadiran karya Gaarder ini, yang sebenarnya adalah novel, sangat menarik dan telah mendorong apresiasi filsafat di masyarakat. Gagasan menghadirkan wacana-wacana filosofis dengan bingkai cerita adalah ide cemerlang. Dengan cara ini, dipopulerkanlah perbincangan-perbincangan filsafat, yang jika dihidangkan dalam buku-buku teks, akan menjadi paparan ide-ide yang bisa “mengerutkan dahi”, apalagi bagi mereka yang belum terbiasa berfilsafat. Sebab, filsafat memang sebuah ilmu yang sulit. Lebih-lebih untuk cara pandang filsafat yang sama sekali baru, terutama dalam kehidupan kita yang sebelumnya tidak pernah merenungkannya. Maka, kesulitan filsafat akan terasa betul, bahkan bagi mereka yang sudah lama belajar filsafat.

Itulah sebabnya karya Gaarder ini berusaha menghadirkan filsafat dengan cara bercerita atau lebih tepatnya: dalam bingkai cerita. Untuk seorang Gaarder, guru filsafat SMA di Norwegia selama lebih daripada sebelas tahun, menghadirkan filsafat dalam bahasa populer tentu bukan hal yang sulit. Apalagi ia juga seorang penulis filsafat populer. Maka lewat karyanya ini, kita dapat membaca alur cerita Sophie Amundsend, seorang anak pelajar yang tiba-tiba mendapatkan surat misterius yang menuliskan pertanyaan-pertanyaan aneh (seperti dikutip sekilas tadi), yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. “Siapakah kamu?” “Dari manakah datangnya dunia?” Dan dalam surat selanjutnya, ia mendapatkan esai tentang “apakah filsafat itu?”

Esai ini begitu menarik perhatian Sophie. Ada pertanyaan penting dalam surat dari seorang yang sampai sekarang belum diketahui identitasnya itu tetapi telah menjengkelkan sekaligus membuat rasa ingin tahu Sophie: “apakah hal yang terpenting dalam kehidupan ini?” Bagi mereka yang kelaparan, jawabannya jelas, yakni makanan yang bisa memuaskan rasa lapar. Bagi yang kesepian adalah teman yang setia. Tetapi untuk mereka yang telah terpenuhi seluruh kebutuhan dasarnya, apalagi yang paling penting? Surat itu memberikan jawaban: “mengetahui siapakah kita dan mengapa kita ada di sini”. Ini, katanya, bukan sesuatu yang bisa dijawab secara mudah, tetapi membutuhkan perhatian besar, yang tidak bisa dilakukan secara “sambil lalu”, seperti sambil mengisi waktu luang, atau sambil mengoleksi perangko. Dalam menjawab pertanyaan itu, kita dituntut serius dan terlibat dengan sepenuh diri kita. Keterlibatan inilah yang disebut “berfilsafat” itu. Dan cara terbaik mendekati filsafat adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan filosofis seperti: bagaimanakah dunia diciptakan; adakah kehendak atau makna di balik apa yang terjadi; adakah kehidupan setelah kematian.

Tetapi bagaimana kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang luar biasa rumitnya ini? Jawabannya adalah, seperti ditunjukkan oleh novel ini: kita sebenarnya bisa terbantu dengan merenungkan kembali usaha-usaha besar dari orang-orang pandai sepanjang tiga ribu tahun sejarah filsafat. Hanya, begitu kata surat itu, sejarah atau setiap filsuf bisa mempunyai jawaban yang berbeda-beda. Memang begitu mudah mengajukan pertanyaan. Tetapi, jawaban yang diperoleh pun amat beragam, kadang-kadang saling bertentangan, sehingga terkesan tidak adanya kesatuan pendapat dari para filsuf. Malah yang lebih menyedihkan, kadang-kadang filsuf yang satu mengeritik filsuf yang lain, supaya bisa eksis sebagai pemikir besar: besar karena telah berhasil menghantam habis dan mematikan ide-ide filsuf sebelumnya. Tetapi ini tidak apa-apa, begitu kata surat misterius itu.

Keanekaragaman jawaban filosofis ini bolehlah diibaratkan sebuah cerita detektif atas suatu kenyataan misterius yang mau diketahui dan dicari kebenarannya. Justru inilah seni dari usaha paling penting manusia untuk mencari kebenaran: membangun filsafat. “Satu-satunya yang kita butuhkan untuk menjadi seorang filsuf yang baik adalah rasa ingin tahu.”

Dalam novel itu, Sophie sangat terkesan dengan surat ini. Dan ia terus saja setiap hari menunggu datangnya surat-surat selanjutnya. Dan ia selalu menerima kejutan-kejutan dari surat-surat selanjutnya. Begitulah rajutan cerita penulis surat misterius yang akhirnya diketahui identitasnya, yang bernama Alberto Knox. Lantas, dia terus saja mengajarkan Sophie tentang filsafat. “Demi kearifan hidup”, katanya.

Maka, selanjutnya datanglah surat-surat yang menceritakan makna mitos-mitos Yunani—yang jika direnungkan secara ajaib, akan menjadi renungan filosofis dari para filsuf alam di Yunani kuno, yakni cerita seputar: demokritos; masalah takdir; cerita tentang Socrates; kehidupan intelektual di Athena; pemikiran Plato; dan pemikiran Aristoteles. Semuanya diungkapkan dalam bentuk surat yang berupa esai filsafat. Sampai akhirnya Sophie bertemu dengan Alberto Knox di Katedral St. Mary yang berwawasan Abad Pertengahan, di mana Alberto Knox ini dengan sangat antusias menceritakan kekuatan dari para filsuf Abad Pertengahan yang berusaha memadukan filsafat dengan agama. Tentunya, itu dengan tingkat kerumitan-kerumitan sosial-politik yang dihadapi oleh para filsuf-agamawan ini.

Begitulah, dengan rangkaian cerita sehari-hari yang menjadikan buku ini sebagai novel dalam arti sesungguhnya, Sophie mendapatkan pengajaran sejarah filsafat secara lengkap dengan tatap muka yang begitu intensif. Sophie berniat hendak menjadi filsuf setelah begitu tertarik dengan surat-surat Knox. Ia pun mendapat bimbingan untuk mengerti pemikiran para filsuf besar, seperti yang diperoleh dari seorang yang mempelajari sejarah filsafat modern di bangku kuliah. Filsuf-filsuf terkemuka dari Descartes, Spinoza, Locke, Hume, Berkeley, Kant, Hegel, Marx, Darwin, Freud, sampai zaman ini, yang dikejutkan dengan teori kosmologi ala “Big Bang”, teori tentang dentuman besar.

Menyimak secara serius karya Gaarder ini memang begitu menarik. Kita dibimbing secara populer tapi tepat sasaran, seluruh usaha besar manusia dengan akalnya dalam memahami hidupnya. “Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, adalah orang yang hidup tanpa memanfaatkan akalnya,” begitu kata Goethe.

Karya ini tentu saja lahir dari usaha Gaarder mengajar filsafat di sekolah menengah. Berdasarkan pengalaman Gaarder ini, timbul pertanyaan pada kita, mengapa dalam pendidikan kita di tingkat sekolah menengah, sama sekali tidak diajarkan filsafat? Apakah karena filsafat, tidak seperti di Eropa, bukan merupakan sejarah kita? Tampaknya, dalam zaman global di mana kita tidak bisa lagi mengurung sejarah kita hanya pada sejarah lokal, mengabaikan sejarah filsafat pada pendidikan di tingkat menengah tidak lagi beralasan. Masalahnya, kita sekarang dengan modernisasi dalam semua bidang kehidupan sosial sudah menjadi satu dalam suatu global village yang saling membutuhkan. Filsafat diperlukan pertama kali bukan dari isi filsafat itu sendiri, tetapi justru dari bagaimana akal itu dipergunakan dalam batas-batasnya yang mungkin untuk mengembangkan cara berpikir.

Bagi guru-guru yang kreatif, filsafat bisa diajarkan secara populer, misalnya lewat novel seperti Dunia Sophie ini. Bisa juga dengan yang lain misalnya melalui dialog. Beberapa buku dalam bahasa Inggris sudah mencoba cara ini, meskipun dalam bahasa Indonesia belum lagi tersedia suatu cara populer memperkenalkan filsafat. Ini harus dipandang sebagai tantangan. Apalagi pendidikan kita tampaknya memang mengabaikan pentingnya filsafat. Mungkinkah filsafat diajarkan pada sekolah menengah? Ini tentu saja bukan hanya masalah teknis, tetapi lebih soal kehendak politis dari kebijakan pendidikan di Indonesia.

Melihat pengalaman di banyak negara Eropa, misalnya di Inggris, Prancis, dan Jerman, di mana filsafat diajarkan secara antusias di tingkat sekolah menengah, kita telah melihat hasilnya yang sangat spektakuler, di mana berpikir kritis telah menjadi bagian dari cara pandang generasi muda Inggris, Prancis, dan Jerman. Dan hasil menyoloknya adalah betapa di Inggris, Prancis, dan Jerman, mereka mempunyai filsuf-filsuf terkemuka yang mendunia, dan telah memengaruhi banyak intelektual dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Ironisnya, Indonesia tidak mengajarkan filsafat, jangankan di sekolah menengah bahkan di perguruan tinggi, biasanya berdasarkan ketakutan yang tidak beralasan. Ketakutan yang muncul biasanya berkenaan dengan kekhawatiran, yang tidak beralasan tadi, atas norma-norma yang sudah mapan, apakah itu dari ideologi negara maupun agama.

Tetapi sebenarnya jika kita berwawasan terbuka, justru filsafatlah yang pada akhirnya nanti akan membantu kita untuk mendapatkan keyakinan yang bisa dipertanggungjawabkan secara universal. Artinya, pandangan ideologis kita atau agama tak hanya bergantung pada orang-orang yang menganutnya saja. Dengan filsafat, kita pun akan menganut suatu pandangan ideologis atau agama yang sudah kita periksa keabsahannya, dan dengan begitu siap selalu untuk membuka diri pada perkembangan-perkembangan baru. Justru itu karena kita menganut suatu asas berpikir kritis, di mana kita terbuka kepada pandangan-pandangan baru, dari mana pun itu datangnya. Bukankah kearifan adalah barang kita yang hilang? Dan kita perlu terus mencarinya dari manapun itu datangnya? Itulah yang akan membawa kita bisa menjalani hidup ini dengan penuh kearifan, yang sebenarnya diperoleh melalui filsafat, lebih-lebih filsafat perennial, yang mengajarkan kita arti sebuah kearifan hidup.

Sebab, pada dasarnya hidup kita dirajut oleh filsafat. Kita bisa saja secara ekstrem menolak filsafat, tetapi hal itu justru menjadikan hidup kita “absurd” karena kita mengurung sepenuhnya hidup kita yang ada di sini, tanpa mau tahu soal-soal sangkan paraning dumadi, kata orang Jawa: asal-usul kehidupan kita, arti dan tujuannya. Lagipula menolak filsafat seharusnya juga dengan filsafat juga. Tanpa itu nonsens, kecuali kita diam seribu bahasa.

Filsafat adalah penggunaan atas nalar kita. Semakin kritis kita menggunakan nalar, semakin ia bernilai secara filosofis. Manusia perlu menggunakan nalarnya hingga batas yang dimungkinkannya, agar ia bisa mendapatkan kejelasan tentang arti hidupnya. Maka, filsafat pun menjadi bagian dari kehidupan. “We feel that even when all possible scientific questions have been answered, the problems of life remain completely untoched,” kata Ludwig Wittgenstein, filsuf Inggris terbesar Abad ke-20 dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus: 6.52.

Dari arti katanya “philosophia” berarti “cinta pada kearifan”. Memang pada mulanya filsafat adalah usaha paling gigih secara kemanusiaan untuk memahami tujuan hidup ini. Maka, filsafat karena berangkat dari usaha pencarian kearifan, berujung pada etika. Dalam bahasa yang langsung: “In the beginning Reality was at once being, knowledge and bliss”. Ketiga hal tersebut mewakili filsafat. Pengertian tentang keberadaan adalah metafisika; pengertian tentang pengetahuan adalah epistemologi; dan pemahaman yang disebut kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia adalah etika.

Memang persoalan utama filsafat yang selalu mengganggu para peminat kajian ilmu ini adalah dikesankannya filsafat sebagai:

Pertama, filsafat adalah ilmu yang tidak produktif karena terlalu banyak mempersoalkan wacana-wacana “alam kelangitan,” dan tidak mendasarkan diri pada problem konkret sosial-kemanusiaan yang dirasakan manusia di bumi ini. Tesis Karl Marx yang mengungkapkan bahwa para filsuf selama ini hanya merenungkan dunia, yang perlu adalah “mengubahnya”, menggambarkan soal ini. Tetapi sekarang, prasangka seperti itu sudah banyak berubah. Hubungan filsafat dengan ilmu sudah semakin akrab. Banyak renungan filosofis muncul dari lapangan keilmuan. Di sini menarik sekali mengamati konfrontasi antara persoalan-persoalan “pandangan dunia” tadi yang muncul dari ilmu pengetahuan dengan kesimpulan-kesimpulan lama yang telah dicatat oleh para filsuf sepanjang zaman.

Kedua, adanya kesulitan serius dalam mempelajari filsafat, yang seringkali menjadi terlalu analitik, sehingga melupakan tujuan utama filsafat yang sudah dipegang berabad-abad. Padahal, filsafat itu untuk kearifan. Oleh karenanya dikenal “kearifan (hidup) tradisional,” begitu bagi penganut filsafat perennial (sophiaperennis). Memang ini adalah ketegangan yang terus saja berlangsung sejak lama, bahkan pada abad ini. Fungsi filsafat kepada kearifan itu pun dipersoalkan. Apakah ada keabsahannya secara filosofis? Begitu katanya. Filsafat menjadi sangat positivis. Sekarang disadari betul kesalahan para filsuf yang membawa filsafat kepada, istilah yang sekarang populer, “kematian filsafat.” Bukan karena filsafat memang akhirnya mati karena digantikan oleh ilmu lain, tetapi justru dibuangnya kearifan dalam filsafat yang akhirnya menjadikan filsafat mati sendiri, dalam arti tidak mempunyai kegunaan praktis untuk kehidupan manusia. Akibatnya, muncul persoalan berikutnya.

Ketiga, yang menjadikan “skandal” paling besar dari filsafat. Filsafat, khususnya terlihat secara langsung dari sejarahnya seperti tertuang bagus sekali dalam Dunia Sophie tadi, penuh dengan ide-ide dari pergumulan manusia sepanjang tiga ribu tahun sejarah pemikirannya, tetapi anehnya tidak ada satu kesatuan yang disebut filsafat itu. Di saat para ilmuwan membanggakan kesatuan dalam ilmu pengetahuan, misalnya Stephen Hawking yang mengemukakan tentang fisika sebagai “theory of everything”. Para filsuf justru masih berdebat tentang ada tidaknya hakikat kemanusiaan. Bagi kalangan awam, hal ini menjadi skandal besar dari para filsuf yang tidak mampu menyatukan ilmu mereka, yang mengakibatkan krisis besar filsafat dewasa ini: “we lack warriors to fight for wisdom”. Filsafat kurang bisa merangsang lagi pembicaraan mengenai kebijaksaan atau kearifan dalam memecahkan persoalan sosial kemanusiaan dewasa ini.

Lantas, apakah masih terbuka peluang masa depan dari filsafat? Ini tentu saja pertanyaan retorik, karena kita mengetahui bahwa suatu hal yang tidak mungkin untuk membuang filsafat. Karena problem kehidupan kita itu sendiri adalah problem filsafat, yang tidak cukup dijawab oleh ilmu saja. Namun, perlunya perhatian kembali kepada kearifan menjadikan filsafat perlu menghadirkan diri secara baru dalam dunia dewasa ini. Dan inilah yang sekarang terjadi selepas perbincangan besar mengenai kosmologi baru, yang mencoba mencari pendekatan holistik dari semua ilmu manusia yang pernah ada: ilmu, filsafat, agama maupun mistisisme, yang menggemakan kembali adanya Realitas Akhir yang selama ini sudah dicoret dalam kesadaran manusia. Kearifan sekarang, seperti dulu pernah dikatakan dalam filsafat juga, harus berakar pada transendensi. Dan itu juga berakar dalam jiwa manusia. “Ultimate objective truth is within us, not without”.[]

[Budhy Munawar-Rachman adalah Pendiri Nurcholish Madjid Society dan Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Sofia

Go to Top