Oleh Mohammad Hatta
Setelah mengkritik perilaku partai dan politikus, Hatta mengungkap tiga sumber yang menghidupi cita-cita pergerakan kemerdekaan: sosialisme; Islam, dan kolektivisme. Hatta menekankan pada kolektivisme, yang dia sebut “demokrasi asli” Indonesia.
Demokrasi Indonesia
PENGALAMAN dengan pemerintahan otokrasi kolonial dalam bentuk negara-polisi menghidupkan dalam kalbu pemimpin dan rakyat Indonesia cita-cita negara hukurn yang demokratis. Negara itu haruslah berbentuk Republik berdasarkan Kedaulatan Rakyat. Tetapi Kedaulatan Rakyat yang dipahamkan dan dipropagandakan dalam kalangan pergerakan nasional berlainan dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualisme. Kedaulatan Rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme. Demokrasi Indonesia harus pula perkembangan dari pada demokrasi Indonesia yang asli. Semangat kebangsaan yang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat, memperkuat pula keinginan untuk mencari sendi-sendi bagi negara nasional yang akan dibangun ke dalam masyarakat sendiri. Demokrasi Barat a priori ditolak.
Dalam mempelajari Revolusi Perancis 1789 yang terkenal sebagai sumber demokrasi Barat, ternyata bahwa trilogi “kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan” yang menjadi semboyannya, tidak terlaksana di dalam praktik. Itu tidak mengherankan, karena Revolusi Perancis meletus sebagai revolusi individual untuk kemerdekaan orang-seorang dari ikatan feodalisme. Kemerdekaan individu diutamakan. Dalam merealisasinya orang lupa akan rangkaiannya dengan persamaan dan persaudaraan.
Selagi Revolusi Perancis tujuannya hendak melaksanakan cita-cita sama rata sama rasa—sebab itu di sebelah kemerdekaan individu dikemukakan persamaan dan persaudaraan—demokrasi yang dipraktikkan hanya membawa persamaan politik. Itu pun terjadi berangsur-angsur. Dalam politik hak seseorang sama dengan yang lain; kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi lebih dari itu tidak ada persamaan. Dalam perekonomian tetap berlaku dasar tidak sama. Malahan dengan berkobarnya semangat individualisme, yang dihidupkan oleh Revolusi Perancis, kapitalisme subur tumbuhnya. Pertentangan kelas bertambah hebat. Di mana ada pertentangan yang hebat antara berbagai kepentingan, di mana ada golongan yang menindas dan ditindas, di situ sukar di dapat persaudaraan.
Nyatalah bahwa demokrasi yang semacam itu tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan Indonesia yang menciptakan terlaksananya dasar-dasar perikemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Cita-cita keadilan sosial yang terbayang di muka, dijadikan program untuk dilaksanakan di dalam praktik hidup nasional di kemudian hati.
Jika ditilik benar-benar, ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial itu dalam kalbu pemimpin-pemimpin Indonesia di waktu itu. Pertama, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian mereka karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya. Kedua, ajaran Islam, yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara manusia sebagai makhluk Tuhan, sesuai dengan sifat Allah yang Pengasih dan Penyayang. Ketiga, pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme. Paduan semuanya itu hanya memperkuat keyakinan, bahwa bangun demokrasi yang akan menjadi dasar pemerintah Indonesia di kemudian hari haruslah suatu perkembangan dari pada demokrasi asli, yang berlaku di dalam desa Indonesia.
Negara-negara Indonesia lama adalah negara feodal, yang dikuasai oleh raja otokrat. Sungguh pun begitu di dalam desa-desa sistem demokrasi terus berlaku, tumbuh dan hidup sebagai adat istiadat. Bukti ini menanam keyakinan, bahwa demokrasi Indonesia yang asli kuat bertahan, liat hidupnya. Seperti kata pepatah Minangkabau “indak lakang dek paneh, indak lapuak dek ujan.”
Demokrasi asli itu diidealisasi dalam pergerakan kebangsaan dahulu. Dan orang coba membuat konsepsi demokrasi Indonesia yang modern, berdasarkan demokrasi desa yang asli itu.
Analisis sosial menunjukkan, bahwa demokrasi asli Indonesia kuat bertahan di bawah feodalisme, karena tanah sebagai faktor produksi yang terpenting adalah milik bersama kepunyaan masyarakat desa. Bukan kepunyaan raja. Dan sejarah sosial di benua Barat memperlihatkan, bahwa pada zaman feodalisme milik tanah adalah dasar kemerdekaan dan kekuasaan. Siapa yang hilang haknya atas tanah, hilang kemerdekaannya. Ia terpaksa menggantungkan hidupnya kepada orang lain; ia menjadi budak pekarangan tuan tanah.
Oleh karena dalam Indonesia dahulu kala milik tanah adalah pada masyarakat desa, maka demokrasi desa boleh ditindas hidupnya oleh kekuasaan feodal yang meliputinya dari atas, tetapi tidak dapat dilenyapkan. Berdasarkan milik bersama atas tanah, tiap-tiap orang-seorang dalam mempergunakan tenaga ekonominya merasa perlu akan persetujuan kaumnya. Kelanjutan dari pada itu didapati pula, bahwa segala usaha yang berat, yang tidak terkerjakan oleh tenaga orang-seorang, dikerjakan bersama secara gotong-royong. Bukan saja hal-hal yang menurut sistem yuridis Barat termasuk ke dalam golongan hukum publik dikerjakan begitu, tetapi juga yang mengenai hal-hal privat seperti mendirikan rumah, mengerjakan sawah, mengantar mayat ke kubur dan lain-lain.
Adat hidup semacam itu membawa kebiasaan bermusyawarah. Segala hal yang mengenai kepentingan umum dipersoalkan bersama-sama dan keputusan diambil dengan kata sepakat. Seperti disebut dalam pepatah Minangkabau: “Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”. Kebiasaan mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat menimbulkan institut rapat pada tempat yang tertentu, di bawah pimpinan kepala desa. Segala orang dewasa di antara anggota-anggota asli desa berhak hadir dalam rapat itu.
Ada dua anasir lagi dari pada demokrasi desa yang asli di Indonesia, yaitu hak untuk mengadakan protes bersama terhadap peraturan-peraturan raja yang dirasakan tidak adil, dan hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja, apabila ia merasa tidak senang lagi hidup di sana. Benar atau tidak, yang kemudian ini sering dianggap sebagai hak orang-seorang untuk menentukan nasib sendiri. Hak mengadakan protes bersama itu biasa dilakukan sampai pada masa yang akhir ini. Apabila rakyat merasa keberatan sekali atas peraturan yang diadakan oleh pembesar daerah, maka kelihatan rakyat datang sekali banyak ke alun-alun di muka rumahnya dan duduk di situ beberapa lama dengan tiada berbuat apa-apa. Ini merupakan suatu demonstrasi secara damai. Tidak sering rakyat Indonesia dahulu, yang bersifat sabar dan suka menurut, berbuat begitu. Akan tetapi, apabila ia sampai berbuat begitu, maka ia menjadi pertimbangan bagi penguasa, apakah ia akan mencabut kembali atau mengubah perintahnya.
Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong-royong, hak mengadakan protes bersama dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja, dipuja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang kuat bagi demokrasi sosial, yang akan dijadikan dasar pemerintahan Indonesia Merdeka di masa datang. Tidak semua dari yang tampak bagus pada demokrasi desa dapat dipakai pada tingkat yang lebih tinggi dan modern. Tetapi sebagai dasar ia dipandang terpakai. Betapa pun juga, orang tak mau melepaskan cita-cita demokrasi sosial, yang banyak sedikitnya bersendi kepada organisasi sosial di dalam masyarakat asli sendiri.
Dalam segi politik dilaksanakan sistem perwakilan rakyat dengan musyawarah, berdasarkan kepentingan umum. Demokrasi desa yang begitu kuat hidupnya adalah pula dasar bagi pemerintahan otonomi yang luas di daerah-daerah sebagai cermin dari pada “pemerintahan dari yang diperintah”.
Dalam segi ekonomi, semangat gotong-royong yang merupakan koperasi sosial adalah dasar yang sebaik-baiknya untuk membangun kooperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakyat. Keyakinan tertanam, bahwa hanya dengan kooperasi dapat dibangun kemakmuran rakyat.
Dalam segi sosial diadakan jaminan untuk perkembangan kepribadian manusia. Manusia bahagia, sejahtera, dan susila menjadi tujuan negara.
Filsafat Negara Kita
Demikianlah tumbuh berangsur-angsur dalam pangkuan pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan dahulu cita-cita demokrasi sosial yang menjadi dasar bagi pembentukan Negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita-cita itu dituangkan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sungguh pun cukup diketahui isinya, ada baiknya dimuat juga di sini isinya yang lengkap untuk menyegarkan ingatan kembali.
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Siapa yang membaca Pembukaan itu dengan teliti, ia dapat menangkap tiga buah pernyataan yang penting di dalamnya.
Pertama, pernyataan dasar politik dan cita-cita bangsa Indonesia. Kemerdekaan diakui sebagai hak tiap-tiap bangsa, penjajahan harus lenyap di atas dunia karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Pernyataan ini, yang lahir dari penderitaan sendiri, tidak saja menentukan politik ke dalam tetapi mempengaruhi juga politik luar negeri Republik Indonesia. Dalam alinea keempat diperkuat pendapat itu dengan meletakkan kewajiban atas Pemerintah untuk “ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Di sinilah pula terletak dasar fundamental dari pada politik luar negeri Republik Indonesia yang terkenal sebagai politik bebas dan aktif.
Kedua, pernyataan tentang berhasilnya tuntutan politik Bangsa Indonesia, dengan karunia Allah. “Dengan karunia Allah”—ini dalam artinya. Di situ terletak pengakuan, bahwa Indonesia tidak akan merdeka, jika kemerdekaan itu tidak diberkati oleh Tuhan. Tuhan memberkati kemerdekaan Indonesia, karena rakyat Indonesia memperjuangkannya sungguh-sungguh dengan korban yang tidak sedikit. Cita-cita yang menjadi pedoman bukan hanya kemerdekaan bangsa, tetapi suatu Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pelaksanaan ini menjadi kewajiban moral!
Ketiga, pernyataan tentang Pancasila sebagai filsafat atau ideologi negara, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Dasar yang tinggi-tinggi ini dirasakan perlu sebagai bimbingan untuk melaksanakan kewajiban moral yang berat itu.
Pengakuan di muka Tuhan akan berpegang pada Pancasila itu tidak mudah diabaikan. Dan di situ pulalah terletak jaminan, bahwa demokrasi tidak akan lenyap di Indonesia. Ia dapat ditekan sementara dengan berbagai rupa. Akan tetapi lenyap dia tidak. Lenyap demokrasi berarti lenyap Indonesia Merdeka.
Jika diperhatikan benar-benar, Pancasila itu terdiri atas dua fundamen. Pertama, fundamen moral, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, fundamen politik yaitu perikemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi, dan keadilan sosial.
Dengan meletakkan dasar moral di atas diharapkan oleh mereka yang memperbuat Pedoman Negara ini, supaya negara dan pemerintahnya memperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam. Dengan politik pemerintahan yang berdasarkan kepada moral yang tinggi diharapkan tercapainya—seperti tertulis di dalam Pembukaan itu—“suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat, sedangkan dasar perikemanusiaan adalah kelanjutan dengan perbuatan dari pada dasar yang memimpin tadi dalam praktik hidup. Dasar persatuan Indonesia menegaskan sifat negara Indonesia sebagai negara nasional yang satu dan tidak terbagi-bagi, berdasarkan ideologi sendiri. Dasar kerakyatan menciptakan pemerintahan yang adil yang mencerminkan kemauan rakyat, yang dilakukan dengan rasa tanggung jawab, agar terlaksana keadilan sosial. Dasar keadilan sosial ini adalah pedoman dan tujuan kedua-duanya.
Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan, pemerintahan negara pada hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa. Dengan bimbingan dasar-dasar yang tinggi dan murni itu akan dilaksanakan tugas yang tidak dapat dikatakan ringan! Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, ada terasa senantiasa desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar.
Demikianlah harapan kaum idealis yang merumuskan filsafat negara dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam saat yang bersejarah, yang menentukan nasib bangsa. Satu ciptaan, mungkin terlalu tinggi bagi manusia biasa melaksanakannya, tetapi sebagai pegangan untuk menempuh jalan yang baik sangat diperlukan. Dasar-dasar itu menuntut kepada manusia Indonesia, kepada pemimpin-pemimpin politik dan kepada orang-orang negara untuk melatih diri, supaya sanggup berbuat baik dan jujur, sesuai dengan janji yang diperbuat di muka Tuhan.
Demokrasi Hilang Sementara
Di atas dasar Pancasila itu sebagai ideologi negara: direncanakan Undang-Undang Dasar yang menjadi sendi politik negara dan politik pemerintah yang dapat dibanding setiap waktu oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih oleh rakyat menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tertulis, bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat ini menetapkan undang-undang dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara. Ia memilih Presiden dan Wakil Presiden. la bersidang sedikit-dikitnya sekali lima tahun. Dalam peraturan ini tersimpul maksud, bahwa pemerintah Indonesia berdasar kepada rencana berkala, i.e. lima tahun. Peraturan tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi, menegaskan sekali lagi bahwa Republik Indonesia berdasarkan demokrasi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas tiga golongan utusan rakyat. Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat sebagai perutusan politik; kedua, utusan-utusan daerah, yang maksudnya menjaga perimbangan antara kepentingan negara seluruhnya dan kepentingan-kepentingan bagiannya; ketiga, utusan-utusan golongan dalam masyarakat, untuk menjaga supaya berbagai kepentingan ekonomi, sosial, kultur, agama, ilmu dan lain-lain dalam masyarakat dan negara terpelihara dengan sebaik-baiknya. Semangat demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial dan kolektif. Sebab itu mesti ada harmoni dalam pemeliharaan dan politik pemerintah, yang dapat dibanding setiap waktu oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih oleh rakyat menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan.
Tidak dapat disangkal, bahwa pemimpin-pernimpin partai politik kita dalam masa 10 tahun yang akhir gagal dalam melaksanakan tugasnya. Mereka lebih banyak mengabaikan dasar-dasar Pancasila dari menaatinya. Dan akibatnya ialah bahwa Indonesia makin jauh terpisah dari cita-citanya. Sejarah Indonesia sejak 10 tahun yang akhir ini seolah-olah mencerminkan apa yang dilukiskan oleh Schiller:
“Eine grosse Epoche hat das Jahrhundert geboren. Aber der grosse Moment findet ein kleines Geschlecht.”
Artinya: “Suatu masa besar dilahirkan abad. Tetapi masa besar itu menemui manusia kecil.”
Tetapi sejarah memberi pelajaran juga pada manusia. Suatu barang yang bernilai seperti demokrasi baru dihargai, apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau belajar dari kesalahannya dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan jiwa yang murni, Insya Allah, demokrasi yang tertidur sementara akan bangun kembali.
Liga Demokrasi
Dalam pada itu sudah berdiri suatu gerakan baru, bernama Liga Demokrasi, sebagai tantangan kepada pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat gotong-royong oleh Presiden Soekarno. Melihat perkembangan dalam waktu yang singkat ini ia bakal mendapat dukungan dari rakyat yang berjiwa demokrasi dan dari lapisan masyarakat yang cemas melihat kedudukan PKI yang diuntungkan.
Liga Demokrasi dibangunkan oleh orang-orang partai, yang partainya diikutsertakan oleh Presiden Soekarno dalam Dewan Perwakilan Rakyat gotong-royong dan yang tidak. Titik pertemuan mereka ialah membela demokrasi. Jika ditilik benar-benar, persatuan hati itu baru terdapat dalam menolak pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat gotong-royong yang tidak demokratis. Jadinya dalam pendirian negatif!
Soal yang penting yaitu sanggupkah Liga Demokrasi menggariskan pendirian bersama untuk membangun suatu demokrasi yang sehat, yang dapat ditempatkan dalam sistem Pancasila? Demokrasi dalam sistem Pancasila bukanlah demokrasi-demokrasian atau “demokrasi” sebagai topeng belaka. Ia adalah demokrasi yang harus diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa, sila pertama yang memimpin seluruh cita-cita kenegaraan kita, seperti diuraikan tadi. Demokrasi kita harus dijalankan dengan perbuatan yang berdasarkan kebenaran, keadilan, kejujuran, kebaikan, persaudaraan, dan perikemanusiaan. Syarat utama untuk melaksanakan ini—yang juga berlaku bagi segala demokrasi—ialah adanya keinsafan tentang tanggung jawab dan toleransi dan persediaan hati melaksanakan prinsip “the right man in the right place” orang yang tepat pada tempat yang tepat.
Dalam hal yang pokok-pokok ini untuk melaksanakan demokrasi yang sehat yang kita ciptakan dalam praktik politik dan kenegaraan, Liga Demokrasi harus mencapai garis persamaan yang terang dan tegas. Jika tidak, persatuan dalam pendirian yang negatif tidak akan membuahkan suatu haluan yang positif, seperti diperlihatkan oleh sejarah kita yang lampau. Berdasarkan garis persamaan yang positif itu dapat disusun suatu program pembangunan negara dan masyarakat, yang dasarnya putusan secara mufakat dan pelaksanaannya dipilih menurut prinsip “the right man in the right place”. Ini menghendaki antara golongan-golongan yang bersatu dalam Liga Demokrasi percaya-mempercayai dan rasa toleransi yang sebesar-besarnya. Juga suatu Liga Demokrasi memerlukan idealisme yang umurnya lebih panjang dari usia manusia.
Apabila Liga Demokrasi dapat meletakkan fundamen dan sendi-sendi pokok ini dalam membangun kembali demokrasi Indonesia yang dalam krisis, besar harapan ia dapat menjadi pelopor dalam merintis jalan kembali ke demokrasi Indonesia yang sehat.[]
[Dinukil dari: Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, (Jakarta: Pustaka Antara), 1966, hlm. 22-35]