Hari-hari ini mimpi sedang ramai diperbincangkan orang gara-gara seseorang dilaporkan ke polisi karena menceritakan mimpinya bertemu Nabi Muhammad. Terlepas dari persoalan orang itu, tahukah anda bahwa ide-ide kreatif berpengaruh dalam peradaban manusia diinspirasi oleh mimpi?
MARI kita mulai cerita tentang mimpi-mimpi brilian ini dengan Albert Einstein, fisikawan paling tenar dan berpengaruh sejagat. Teori relativitas, ya teori fisika yang memengaruhi laju perkembangan sains itu, ternyata datang dari mimpi Einstein.
Dia bermimpi berada di padang penggembalaan, dan melihat sapi-sapi memakan rumput hingga kepala mereka menyentuh pagar berlistrik. Dia melihat sapi-sapi itu tiba-tiba melonjak ke belakang secara bersamaan. Tapi, si peternak melihatnya berbeda. Di mata si peternak, sapi-sapi itu melonjak satu demi satu. Saat bangun, Einstein mendapati ide bahwa suatu peristiwa akan beragam dari sudut pandang berbeda. Dan dari sinilah teori relativitas mulai terbentuk.
Salah satu cerita lain datang dari Friedrich August Kekulé, kimiawan asal Jerman. Kekulé menemukan formula cincin dalam struktur senyawa benzene setelah bermimpi di siang bolong. Dalam mimpinya, dia melihat seekor ular menggigit ekornya sendiri.
Mimpi-mimpi Einstein dan Kekulé adalah sebagian kecil contoh bagaimana alam-bawah sadar manusia menginspirasi penemuan besar dalam dunia sains. Mereka adalah fenomena unik di dunia yang seringkali menyepelekan hal-hal yang tak kasat mata.
Apabila dunia sains yang ketat saja bisa mendulang inspirasi dari mimpi, apalagi dunia seni dan sastra yang lebih luwes. Banyak karya sastra legendaris yang idenya datang dari alam-bawah sadar ini. Berikut ini beberapa di antaranya.
Frankenstein
Siapa yang tak mengenal novel klasik dari awal Abad ke-19 ini? Saking berpengaruhnya novel ini, orang mengidentikkan nama “Frankenstein” dengan monster—meskipun pengidentikan itu salah kaprah. Novel ini dianggap sebagai salah satu perintis perpaduan antara genre horor dengan fiksi ilmiah. Ia mengisahkan seorang ilmuwan muda, Victor Frankenstein, yang terobsesi dengan terobosan eksperimen sains, tapi obsesinya inilah yang kemudian menghancurkan hidupnya.
Mary Shelley, pengarangnya, menceritakan novel ini diawali dari semacam perlombaan antara dirinya, pacarnya—yang kemudian menjadi suaminya—Percy Bysshe, dan seorang teman Lord Bryon. Mereka bertiga sepakat untuk berlomba menulis kisah horor terbaik. Setelah berhari-hari memikirkan apa yang akan ditulisnya, Shelley justru menemukan inspirasi setelah bermimpi. Dalam mimpi itu, dia melihat seorang ilmuwan yang menciptakan kehidupan, tapi kemudian ciptaannya ini membuat sang ilmuwan ketakutan.
“Aku melihat seorang pelajar seni yang tidak suci berwajah pucat berlutut di samping benda yang telah dia ciptakan. Aku melihat fantasi mengerikan dari sosok yang terlentang, dan kemudian, saat mesin yang kuat bekerja, sosok itu menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dan bergerak dengan gerakan setengah hidup yang gelisah. Pasti menakutkan; karena yang paling mengerikan adalah akibat dari setiap usaha manusia untuk mengejek mekanisme luar biasa dari Sang Pencipta,” demikian jernihnya Mary Shelley menggambarkan mimpinya.
Strange Case of Dr Jekyll and Mr Hyde
Ini salah satu novela klasik yang dijadikan bacaan standar siswa di negeri-negeri berbahasa Inggris. Diterbitkan pada 1886, novela ini mengisahkan seorang dokter di London, Gabriel John Utterson, yang menyelidiki kasus aneh: kepribadian ganda pada satu sosok, Dr Henry Jekyll. Jekyll suatu saat bisa tampak sangat baik tapi di saat lain secara mengejutkan menjadi benar-benar kejam, dan menjadi pribadi lain bernama Edward Hyde.
Pengarangnya, Robert Louis Stevenson, sejak lama tertarik untuk mengeksplorasi gagasan tentang bagaimana kepribadian manusia bisa mencerminkan interaksi antara kebaikan dan kejahatan di dalam dirinya. Dia pernah mengarang sebuah naskah drama dan cerpen mengenai gagasan ini. Tapi, dia belum puas meskipun telah memeras otak mencari ide lebih baik.
Suatu ketika dia bermimpi, dan begitu bangun dari mimpinya dia menuliskan dua hingga tiga adegan yang kemudian menjadi bagian dalam novela ini. Istrinya, Fanny Stevenson, bercerita. “Di suatu dinihari, aku terbangun oleh tangis mengerikan dari Louis. Merasa dia mendapatkan mimpi buruk, aku bangunkan dia. Tapi dia marah dan berkata, ‘Mengapa kau bangunkan aku? Aku sedang bermimpi tentang kisah mengerikan yang bagus’.”
Ada yang mengatakan bahwa Louis kemudian mengonsumsi obat-obatan agar bisa terus menemui kisah itu dalam mimpinya. Berkah dari mimpi itu sungguh luar biasa. Dia mampu menulis draf pertama novelanya sebanyak 30.000 kata dalam tiga hari. Novela ini kemudian laris dan mampu membuat Louis melunasi utang-utangnya.
Twilight
Anda pasti mengenal ini dalam bentuk film berseri kisah fantasi romantis, The Twilight Saga, yang dibintangi Kristen Stewart, Robert Pattinson, dan Taylor Lautner. Film ini berdasarkan pada serial novel karya pengarang Amerika Stephenie Meyer. Ini memang bukan kisah percintaan biasa, karena seorang vampir laki-laki mencintai manusia wanita normal.
Stephenie memperoleh inspirasi untuk kisah seri pertamanya, Twilight, melalui mimpi. Dia memimpikan seorang laki-laki dan perempuan di padang rumput dengan sinar matahari yang cerah. Si laki-laki adalah vampir yang begitu cantik dan gemerlap sementara si perempuan adalah manusia wanita biasa.
“Sangat aneh aku bermimpi tentang vampir,” kata Stephenie tentang mimpinya. “Si laki-laki mencoba menjelaskan kepada si perempuan betapa dia sangat mencintainya, tetapi pada saat yang sama sangat ingin membunuhnya.”
Mimpi yang dirasa sangat aneh itu justru mengantarkan pengarang 46 tahun itu ke puncak popularitas. Karya pertamanya ini terjual 70 juta kopi di seluruh dunia. Ketika diangkat ke layar lebar, cerita ini menghasilkan sedikitnya 380 juta dolar.
Tentang Mimpi
Menurut Haidar Bagir dalam bukunya Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia (2019), mimpi adalah salah satu sumber kreativitas. Sebab, dalam keadaan bermimpi, seseorang kehilangan sense waktu, sehingga pikiran merasa dalam kontrol penuh atas segala sesuatu dan merasa benar-benar bebas. Kondisi inilah yang memunculkan daya imajinasi, yakni kemampuan membayangkan sesuatu tanpa harus mempersepsi sesuatu dalam keadaan konkretnya. Dan kreativitas sangat bergantung kepada daya imajinasi.
“Makin imajinatif seseorang, makin kreatiflah dia…Makin imajinatif, makin banyak ruang bagi eksplorasi sedemikian, sehingga peluang menghasilkan pikiran kreatif menjadi lebih besar.”
Sayangnya, masih menurut Haidar, dunia pendidikan kita mengabaikan—dan bahkan mungkin mencibir—kemampuan berkhayal dan berimajinasi. Khayalan dianggap menghabiskan waktu dan tak jelas juntrungannya.
Padahal, jika pendidikan dipandang bertujuan melahirkan manusia kreatif, maka imajinasi adalah daya terhebatnya. Bahkan, Einstein pernah menyatakan, “Imagination is more important than knowledge.” Menurut Maxine Greene dalam Releasing the Imagination: Essays on Education, the Arts, and Social Change, daya imajinasi juga membuat orang bisa lebih berempati kepada orang lain. Sebabnya, imajinasi memberi kita kemampuan untuk dapat menempatkan diri kita dalam posisi orang lain.[]