Mengubah Dunia

in Bukupedia by

Apakah sebuah buku bisa mengubah dunia? Buku-buku apa saja yang berpengaruh beberapa abad yang lewat?

Siapa bilang buku adalah benda mati, tak bertenaga, dan tidak mengandung “daya ledak”? Sepanjang sejarah, kata Robert Downs, dapat ditemui bukti yang bertumpuk-tumpuk bahwa buku bukanlah benda yang remeh, jinak, dan tidak berdaya. Malahan sebaliknya, kata Downs lagi, buku seringkali menjadi biang yang bersemangat dan hidup, berkuasa mengubah arah perkembangan peristiwa–baik untuk kebaikan maupun keburukan.

Berpangkal keyakinan itu, Downs lalu menulis buku Books That Changed The World yang mengupas enam belas buku yang dianggapnya telah mengubah dunia–yang terbagi dalam dua kategori. Belakangan Asrul Sani menerjemahkannya menjadi Buku-buku jang Merobah Dunia (Pustaka Sardjana, 1961)–yang oleh penerbitnya lalu disunat dengan membahas sepuluh buku saja.

Books that Changed the World
karya Robert Downs
Terjemahan karya Robert Downs
ke dalam bahasa Indonesia oleh Asrul Sani

Dalam kategori dunia manusia, buku-buku hebat itu adalah Ill Principe (Niccolo Machiavelli), Common Sense (Thomas Paine), Wealth of Nations (Adam Smith), Essay on the Principle of Population (Thomas Malthus), dan Das Kapital (Karl Marx). Lalu dalam kategori dunia ilmu adalah Mein Kampf (Adolf Hitler–lebih tepat sebenarnya masuk kategori dunia manusia), Principia Mathematica (Sir Isaac Newton), Die Traumdeutung (Sigmund Freud), Origin of Species (Charles Darwin), dan Relativity, the Special General Theories (Albert Einstein).

Kita bisa jadi, heran dan tak sepakat dengan pilihan Downs itu. Dia sudah jauh-jauh hari mengatakan itu memang pilihan yang cenderung subjektif. Jika seorang Cina, Perancis, atau Rusia–tulisnya–menyusun daftar ini, hasilnya akan bisa berbeda. Juga kenapa kitab-kitab suci tak dimasukkan? Itu karena jejak kitab suci dalam masyarakat, katanya lagi, sudah begitu meresap sehingga malah tak terukur.

Untunglah Downs tidak sok benar dan menyadari bahwa pendapat bulat-mufakat-aklamasi-tanpa-variasi gaya DPR Orde Baru kita mengenai pemilihan buku paling berpengaruh pasti akan sangat sukar dicapai. Masalah yang paling ruwet dalam upaya seperti ini, katanya, tentu saja masalah pemilihan–setiap kepala bisa lain pilihannya. Beberapa upaya penyusunan yang dilakukan oleh beberapa orang sebelumnya telah menghasilkan daftar buku yang berbeda-beda.

Kesulitan zaman itu pula yang dikaitkan dengan Elizabeth Diefendorf ketika menyusun daftar 159 buku abad ini, Book of Century (1996). Buku ini disusun untuk memperingati ulang tahun seabad tempat dia bekerja, The New York Public Library.

Sebelumnya, malah semua buku itu dipamerkan segala kepada khalayak selama empat bulan. Selain pujian-pujian terhadap pilihan itu, tak sedikit pula yang mengkritik. “Kenapa hanya sedikit pengarang wanita, tak satu pun dari pengarang yang lesbian…Mengapa hanya menekankan pentingnya golongan penguasa,” komentar seorang pengunjung.

Meskipun begitu, pilihan yang dilakukan oleh Downs maupun Diefendorf tak dilakukan secara sembrono dan asal comot. Untuk praktisnya, Downs membatasi pada buku-buku ilmu alam dan ilmu masyarakat–dan dengan demikian tak menyinggung wilayah penting seperti filsafat dan kesusastraan.

Lalu, dia menimbangnya berdasarkan kriteria apakah buku-buku itu mempunyai hubungan langsung dengan rentetan kejadian tertentu. Lantas bagaimana mungkin buku-buku pilihan itu mampu menghujamkan pengaruhnya kepada masyarakat luas, padahal berat dan sulit dibaca orang awam? Orang banyak , kata Downs, memperoleh buah pikiran itu lewat tangan kedua–lewat popularisasi buku-buku yang ringan, koran, dan majalah, pelajaran di kelas-kelas dan ceramah-ceramah.

Sedangkan Diefendorf menempuh jalan yang lebih “go public”–dengan meminta seluruh pustakawan The New York Public Library untuk memberi suara buku apa yang memberi pengaruh besar seabad terakhir. Ujung-ujungnya, dia menerima usulan lebih dari 1.100 judul–dan buku Freud, yang juga masuk dalam pilihan Downs, menjadi buku yang mendapat usulan terbanyak. Hasil ini kemudian disaring lagi menjadi 159 judul–dari semua kategori termasuk sastra dan buku anak-anak.

Kita juga punya pilihan individual buku-buku yang mempengaruhi diri kita sendiri. Pilihan saya, buku-buku petualangan jagoan Old Shatterhand dan sobat Indiannya yang kepala suku Apache, Winnetou, karya Karl May yang selalu saya baca ketika liburan SMP dahulu; Aqidah Islam karya Sayyid Sabiq, yang memperkenalkan saya kepada semangat Islam; dan terjemahan Reconstruction of Religious Thought in Islam (saya lupa judul terjemahannya) karya Muhammad Iqbal yang saya baca sewaktu SMA walau tak sepenuhnya paham tapi memperkenalkan kecanggihan pemikiran. Bagaimana dengan Anda?[]

Dinukil dari: Putut Widjanarko, Elegi Gunnterberg: Memposisikan Buku di Era Cyberspace, (Mizan: Bandung, 2000).

Foto utama: suasana di salah satu ruangan The New York Public Library. Sumber foto: Brownstoner.com.

Putut Widjanarko adalah Vice President Mizan Publika. Ia meraih gelar doktor di bidang ilmu komunikasi massa di Scripps College of Communication, Ohio University, pada 2007 dengan disertasi berjudul “Homeland, Identity, and Media: A Study of Indonesian Transnational Muslims in New York City.”

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*