Perumahan, apartemen, dan kondominum mewah setiap hari dijajakan. Tapi, mengapa tingkat kepemilikan rumah tak meningkat–dan bahkan melorot? Dalam Capital City, Samuel Stein mengungkap “dunia remang-remang” bisnis real estate. Dia menyebutnya “negara real estate”, kondisi ketika pengembang dan tuan tanah menentukan bagaimana kota harus dibangun, kebijakan politik dirumuskan, dan kehidupan dijalani.
Pada 20 Januari 2017, dunia menyaksikan pelantikan Donald John Trump sebagai Presiden ke-45 Amerika Serikat. Mungkin banyak yang tak membayangkan hari itu bakal terjadi. Orang nomor satu di Gedung Putih adalah seorang playboy, selebritas reality show, dan pemilik markas judi yang digambarkan rasis dan misoginis.
Banyak faktor yang kemudian disebut sebagai penyebab terpilihnya Trump: politik identitas yang menguat di kawasan Eropa dan Amerika; atau ekonomi lesu yang dirujukkan kepada kegagalan demokrasi liberal menghadirkan kesejahteraan.
Namun, ada faktor lain yang luput dari perhatian banyak orang, dan Samuel Stein mengulasnya dalam Capital City: Gentrification and the Real Estate State. Di luar faktor-faktor tadi, Stein yakin keterpilihan Trump hanyalah puncak gunung es dari fenomena menguatnya dominasi kapital real estate dalam kehidupan ekonomi-politik di Amerika Serikat, dan bahkan di dunia.
- Judul: Capital City: Gentrification and the Real Estate State
- Penulis: Samuel Stein
- Penerbit: Verso Books
- Tahun: 2019
- Tebal: 134 halaman (versi e-book)
Trump memang tenar karena gayanya yang vulgar dan narsistik di televisi tapi pundi-pundi kekayaannya bukan berasal dari situ. Trump membangun dinasti bisnisnya–dan Stein melacaknya hingga Frederick Trump (kakek Sang Presiden)–di atas bisnis real estate: membeli, membangun, menjual, dan menyewakan properti mewah: apartemen, kasino, menara perkantoran, hotel, dan lapangan golf di banyak negara. Dengan terpilihnya Trump, bagi Stein, kapital real estate tak lagi sekadar berkuasa dari balik layar tapi figur aktual baron properti kini sudah menjadi salah satu orang paling berpengaruh di dunia.
Stein tak sedang membual. Dia menunjukkan angka-angka. Valuasi bisnis real estate saat ini, dia bilang, sudah mencapai 36 kali nilai seluruh emas yang pernah ditambang. Itu sama dengan 60 persen total kekayaaan dunia, dan 75 persen di antaranya ditanam dalam bisnis perumahan.
Real estate pun menjadi semakin sentral dalam strategi pertumbuhan kapital global. Properti menjadi aset finansial yang paling banyak diperdagangkan secara global, sehingga tak jarang bisnis ini menciptakan gelembung dan kemudian krisis.1Salah satu pemicu krisis keuangan global 2008 adalah gelembung perumahan di Amerika Serikat. Nilai properti di Amerika sempat jatuh sebelum kemudian mulai menaik lagi. Banyak rumah disita dan dijual ke perusahaan private equity. Properti itu kemudian disewakan dengan harga lebih mahal. Menurut Stein, dengan bantuan pemerintah, kapital real estate mampu mengubah krisis menjadi profit
Menurut Stein, hal itu tidak berarti bisnis lain lesu atau bahkan mati. Justru bisnis-bisnis lain saat ini semakin terintegrasi dengan real estate. Di New York, bisnis keuangan masih menjadi salah satu kekuatan utama tapi real estate merupakan instrumen utamanya. Di San Francisco, para gergasi teknologi berkuasa tapi visi mereka tentang kota adalah privat dan keuntungan (dalam kasus Airbnb, kapital teknologi dan real estate justru satu dan sama). Di Detroit, raksasa otomotif, seperti Ford dan General Motors, masih memproduksi mobil, tapi kehadiran mereka juga dirasakan dalam kepemilikan properti di pusat kota (anak perusahaan keuangan seperti Ford Credit dan General Motors Finance kini aset paling menguntungkan dalam industri otomotif).
Di sisi lain, pemerintah-pemerintah yang mengklaim kekurangan dana pembangunan semakin mengandalkan peran investor dan pengembang untuk melakukan apa yang disebut urban renewal. Mereka menggelar karpet merah bagi kapital real estate dengan mengubah tata ruang dan memberi insentif serta pemotongan pajak. Sebagai gantinya, pemerintah menerima konsesi dalam bentuk sejumlah infrastruktur publik, seperti taman kota, jalan, jembatan, atau bahkan transportasi.
Tunggu dulu! Bukankah itu bagus? Bukankah itu skema kerja sama ciamik pemerintah-swasta atau yang dikenal dengan mantra “public-private partnership”? Artinya, kota direvitalisasi dan infrastruktur dibangun tanpa sepeser pun uang publik dibelanjakan.
Persoalannya, menurut Stein, di tengah bonanza bisnis properti, angka kepemilikan rumah di Amerika Serikat justru melorot hingga ke tingkat terendah dalam 50 tahun terakhir. Pada 2016, misalnya, 37 persen rumah yang terjual justru dimiliki oleh bank, perusahaan hedge fund, dan private equity2Private equity adalah perusahaan yang mengepul jutaan hingga miliaran dolar dari sekelompok investor. Uang itu kemudian digunakan untuk mengakuisisi perusahaan. Berbeda dengan venture capital, private equity tak begitu tertarik untuk mengembangkan bisnis perusahaan yang dibeli, tapi menjualnya kembali untuk memperoleh keuntungan besar dalam tempo singkat. Karena itu, tujuan jangka panjang perusahaan dan nasib pekerja di dalamnya bukanlah prioritas para kapitalis private equity. Anggota DPR AS, Alexandria Ocasio-Cortez pernah mengecam keras praktik private equity yang dia sebut berperan dalam hilangnya lebih daripada 500.000 lapangan kerja di Amerka dalam sepuluh tahun terakhir (lihat Luke Darby. “Ocasio-Cortez Explains Everything Wrong with Private Equity in Less Than a Minute”. GQ.com. Diakses pada 16 November 2019). Faktanya pula, pemilik real estate terbesar di dunia saat ini adalah sebuah private equity, yakni Blackstone Group dengan nilai lebih daripada 100 miliar dolar AS atau sekitar 1.410 triliun rupiah.
Dengan kata lain, ketika real estate menjadi faktor penentu dalam ekonomi dan isu dominan dalam politik, kota–dan juga subkota–malah mengusir penghuni lamanya yang tak beruang. Sebab, harga tanah dan properti tak terkontrol, melambung tinggi.
Kelas pekerja dengan upah minimum hanya sanggup menyewa satu unit apartemen dengan dua kamar tidur. Biaya sewa juga semakin membebani pendapatan rumah tangga, yakni sekitar 44 hingga 48 persen, khususnya di kalangan warga kulit hitam dan hispanik. Tak cukup di situ, Stein mencatat bahwa kini dua juta warga Amerika menjadi gelandangan sementara tujuh juta lainnya hidup dalam hunian tak layak.
Gentrifikasi pun menjadi kosakata sehari-hari dan penggusuran terjadi di mana-mana. Amerika semakin menjadi “negeri para baron tanah” (land of landlords).
Semua itu terjadi di Amerika. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Kondisi di Indonesia tampaknya tak jauh berbeda. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional 2016 yang dilakukan Badan Pusat Statistik, 11,8 juta rumah tangga belum memiliki rumah di kota. Sementara, 5,9 juta rumah tangga lainnya masih bertempat tinggal di dalam hunian tak layak3“Sengkarut Kebijakan Perumahan Rakyat”. Indopress.id. Diakses pada 30 November 2019. Menurut data yang dikoleksi BPS dalam periode 1999-2018, presentase rumah tangga dengan kepemilikan rumah sendiri, baik layak maupun tak layak, fluktuatif dan tak beranjak dari 80 persen.4Persentase Rumah Tangga menurut Provinsi dan Status Kepemilikan Rumah Milik Sendiri, 1999-2018”. BPS.go.id. Diakses pada 30 November 2019
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pihri Buhaerah, menyebut bahwa nilai keterjangkauan properti (affordability property) di Indonesia mencapai rata-rata 80,16 kali pendapatan per kapita5Affordability property mengukur harga satu unit properti seluas 100 meter persegi dengan pendapatan per kapita penduduk. Angka tersebut jauh lebih buruk daripada Thailand (66,96 kali), Hong Kong (60,43 kali), Jepang (41,98 kali), Malaysia (36,71 kali), dan Singapura (25,96 kali).6Buhaerah, Pihri. “Perumahan Rakyat di Persimpangan Jalan”. (tanpa tahun)
Menurut Pihri, kondisi buruk perumahan di Indonesia disebabkan tiga faktor yang saling berkaitan: (1) meroketnya harga properti (rumah dan tanah); (2) penguasaan mayoritas lahan oleh pengembang; (3) properti yang semakin menjadi komoditas spekulatif alih-alih sumber daya sosial (social resource). Data Bank Dunia membuktikan argumen Pihri, yakni bahwa 0,2 persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai 74 persen luas lahan di negeri ini.7Syebubakar, Abdurrahman. “Apakah Demokrasi Bekerja untuk Rakyat Miskin?”. Indopress.id. Diakses pada 30 November 2019
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kita juga menyaksikan bagaimana kasus-kasus megasuap melibatkan bos real estate dan elite politik di Indonesia. Sebut saja antara lain, kasus Sentul City (2014) yang mengirim Bupati Bogor Rahmat Yasin dan taipan properti, Kwee Cahyadi Kumala atau Swie Teng, ke balik terungku; kasus reklamasi di Teluk Jakarta (2016) dengan ‘sejoli’ pesakitan anggota parlemen Jakarta, Mohamad Sanusi, dan pembesar Grup Agung Podomoro, Ariesman Widjaja; dan kasus Meikarta (2018) dengan ‘pasangan’ terpidana Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan elite Grup Lippo, Billy Sindoro.
Kekuasaan kapital real estate merentang sampai jauh. Dalam Capital City, Stein menyebut kondisi ini sebagai real estate state. Istilah ini, menurut Stein, merujuk kepada konfigurasi politik yang di dalamnya kapital real estate berpengaruh signifikan terhadap bagaimana kota-kota dibangun, bagaimana kebijakan politik dihasilkan, dan bagaimana kehidupan dijalani.
Secara keseluruhan, Capital City memusatkan pembahasan kepada dampak real estate state terhadap perencanaan kota dan profesi perencana (planner). Real estate state, menurut Stein, telah membuat profesi perencana kota berada dalam krisis eksistensial. Saat kota telah menjadi strategi utama investasi kapital real estate, Stein melihat profesi perencana kota berakhir sebagai pengelola kekayaan (wealth manager) para tuan tanah dan pengembang.
Buku ini memang Stein persembahkan kepada koleganya, para perencana kota.
“Saya dididik sebagai perencana dan berusaha mempertahankan elemen-elemen dari pandangan dunia perencana: secara simultan menjadi abstrak sekaligus konkret; utopis sekaligus pragmatik; membayangkan apa yang belum ada seraya mencari tahu bagaimana untuk sampai ke sana; peduli kepada sistem dan proses, bagaimana segala sesuatu berfungsi dan bagaimana seharusnya mereka berfungsi.”
Stein memfokuskan kajian kepada New York–kota tempat dia tinggal. Dia sadar bahwa New York bisa jadi tidak mencerminkan kota-kota lain. Namun, dengan statusnya sebagai salah satu metropolitan dunia, New York bisa menjadi gambaran bagi banyak kota lain. Apalagi, menurutnya, kota ini adalah teater sempurna bagi pertunjukkan kapital real estate. Di New York, para taipan properti berkuasa. Harga sewa properti mungkin yang termahal di dunia–dan tentu saja berdampak kepada ongkos hidup.
“Saya mencintai kota ini, tapi membenci apa yang telah terjadi…Kelas pekerja yang membangun kota tak bisa lagi hidup di dalamnya. Harga sewa meroket dan ruang-ruang budaya lenyap.”
Lantas, siapa perencana kota itu? Profesi macam apakah ia?
Tak banyak orang tahu bahwa sejumlah keputusan penting berada di tangan perencana kota, seperti penggunaan lahan, transportasi, perumahan, dan lingkungan. Profesi ini, menurut Stein, seharusnya berfungsi menyeimbangkan antara dorongan kapital dengan kepentingan publik.
Perencanaan kota sebenarnya sudah ada sejak berabad-abad lalu, atau sejak manusia mulai mengenal hidup bermukim. Namun, perencana kota sebagai sebuah profesi baru lahir pada pertengahan Abad ke-19. Pada periode tersebut, terjadi ekspansi industri yang cepat, migrasi pedesaan-ke-perkotaan dan nasional-ke-internasional, serta pergolakan sosial, ekonomi, dan politik. Periode ini juga menyaksikan pertarungan antara ekspansi kapital dan perlawanan proletariat di sejumlah kota utama di Eropa dan Amerika.
Karena itu, Stein bilang, sejak oroknya, profesi perencana kota sudah berhadapan dengan dua kepentingan yang saling bertarung. Ia mengandung “pandangan reformis” yang berusaha mempertahankan kendali elite kapital atas ruang kota seraya memperhalus bintik-bintik kasar kapitalisme sekaligus “pandangan radikal” yang membayangkan perencanaan kota sebagai sarana membalikkan kemapanan dan menciptakan masyarakat sosialis.
Dengan meminjam penjelasan pakar perencanaan, Richard Foglesong (1986), Stein mempaparkan dua kontradiksi yang dihadapi perencana kota. Dua kontradiksi ini lahir dari konflik yang sudah terjadi sejak kelahiran perencana kota sebagai profesi, yakni konflik antara lahan sebagai “barang bersama” dan lahan sebagai “kepemilikan privat”. Dua kontradiksi itu adalah “kontradiksi properti” dan “kontradiksi kapitalis-demokrasi”.
Dalam “kontradiksi properti”, kapitalisme menghadapi dilema, antara kebutuhan akan perencanaan dan kebencian kepada apa pun yang menghambat ekspansinya. Meski di awal bagian buku menganggap bahwa kapitaslime merusak perencanaan terbaik, Stein mengakui bahwa bagaimanapun para kapitalis real estate membutuhkan perencanaan.
Mereka menuntut pemerintah membangun infrastruktur publik, seperti jalan, jalur kereta, serta sistem pengolahan air dan limbah, agar “kota” yang mereka bangun diminati investor dan konsumen. Tapi, mereka jelas-jelas menentang kebijakan seperti perumahan sosial (social housing) yang bisa menghambat ekspansi mereka atas lahan dan profit. Mereka sadar bahwa lahan mereka akan sia-sia tanpa perencanaan kota tapi pada saat yang sama menolak perencanaan digunakan untuk tujuan yang bisa mengubah tatanan kepemilikan privat.
Sementara itu, “kontradiksi kapitalis-demokrasi” terjadi dalam kebijakan pemerintah yang berupaya mengurai problem “kontradiksi properti” tadi. Karena dorongan demokrasi, pemerintah kota sadar betul bahwa perencanaan harus transparan dan partisipatif (melibatkan publik). Tapi, pada saat yang sama, pemerintahan kapitalistik harus memastikan kendali kapital atas lahan dan properti.
Karena itulah, pilihan yang diambil adalah membuat sistem perencanaan transparan, terbuka, dan partisipatif tapi sekaligus penuh rekayasa (Stein menggunakan kata rigged, ‘dicurangi’). Dari sinilah, menurut Stein, lahir istilah semacam “perencanaan partisipatoris”, yang biasanya terdiri dari sejumlah kebijakan, seperti masa permintaan pendapat publik, pembentukan dewan warga, komisi perencanaan, dan sosialisasi rancangan. Sejumlah intervensi kebijakan itu dibuat serumit dan sekompleks mungkin, sehingga hanya orang-orang tertentu yang memahaminya.8Michel Foucault menyebut fenomena ini sebagai governmentality, yakni bagaimana sebuah kebijakan dibuat superrumit agar kendali atau dominasi kelas berkuasa tetap bisa dipertahankan
Kondisi di ataslah yang menempatkan perencana kota dalam dilema. Mereka kadang diminta untuk melakukan intervensi tapi dicegah membuat lebih banyak perubahan. Perencana dituntut beroperasi dalam sistem yang terbuka tapi secara bersamaan diperintah untuk menjamin bahwa kendali tetap berada di tangan elite pengembang dan tuan tanah.
“Profesi Ini bisa menjadi pekerjaan yang sangat menyebalkan,” kata Stein.
Dalam Capital City, Stein tampaknya mencoba menjawab dua pertanyaan: (1) seberapa banyakkah kapitalisme memberi ruang bagi perencanaan kota; dan (2) bagaimana kita bisa mengembangkan kota-kota tanpa gentrifikasi dan penggusuran.
Bagi Stein, sistem berbasis pasar pada akhirnya hanya akan memberi ruang bagi intervensi perencanaan jika perencanaan itu menguntungkan bisnis. Kapital real estate pada saat yang sama akan memaksakan pembatasan maksimum terhadap perencanaan jika perencana bermaksud mengubah keseimbangan kuasa (balance of power).
Stein pun berkesimpulan bahwa kapitalisme membuat perencanaan kota nyaris mustahil. Upaya terbaik yang dilakukan para perencana bakal disaring melalui sistem yang menggusur siapa pun yang tak mampu membayar.
Ini, menurut dia, bertentangan paradigma perencana, yakni membangun dunia yang lebih baik bagi orang banyak. Apa pun yang dilakukan para perencana, di tengah dominasi kapital real estate, pada akhirnya mereka hanya akan memproduksi lebih banyak lagi keuntungan bagi tuan tanah dan pengembang. Fungsi publik perencanaan pun berakhir di tangan pasar bebas dan para perencana dalam real estate state hanya mengelola urusan privat.
Selama lahan dikendalikan para baron, maka bisa dipastikan bahwa mereka yang punya duit dan akses kepada kekuasaan yang akan mendominasi perencanaan. Perencana bisa membuat ruang indah, efisien, dan berkelajutan tapi, tanpa kendali publik atas tanah, hasil dari pekerjaan itu hanyalah harga tanah yang kian menjulang, harga rumah yang semakin mahal, dan ujungnya penggusuran kelas pekerja.
Dalam Capital City, Stein secara khusus mengulas gentrifikasi.9Gentrifikasi secara umum didefinisikan sebagai fenomena perubahan karakter sosial suatu lingkungan karena peremajaan atau pengembangan, yang kemudian diikuti oleh masuknya pemukim dan bisnis dari kelas yang lebih berpunya Menurut Stein, mayoritas perencana sebenarnya mengakui bahwa ada problem moral dan ekonomi dalam fenomena gentrifikasi. Tapi, karena tekanan kapital, mereka mencoba berteori demi menemukan panasea bagi nurani yang terluka.
Di antara mereka, ada yang berdalih dengan mantra “highest and best use”. Alih-alih perumahan sosial dan kendali harga/sewa (rent control) gentrifikasi, mereka bilang, bisa mendatangkan lebih banyak uang ke dalam pundi-pundi kota, dan uang itu bisa dimanfaatkan untuk kebaikan publik. Tapi, menurut Stein, kebijakan pemotongan pajak yang kerap mengiringi gentrifikasi pada akhirnya justru merampok pendapatan kota, dan mengurangi kesempatan pemerintah untuk melakukan redistribusi kekayaan.
Lalu, ada justifikasi dengan jampi-jampi “value recapture”. Gentrifikasi bisa menjadi alat untuk mengklaim sejumlah manfaat sosial. Kota bisa menuntut pengembang memberikan sejumlah kompensasi: ruang terbuka publik; pembangunan apartemen terjangkau di tengah apartemen mewah (mix zoning atau inclusionary zoning); atau dana untuk mengembangkan infrastruktur publik.
Jampi-jampi “value recapture” tampak win-win solution. Tapi bagi Stein, dalih itu mengandung tiga kelemahan.
Pertama, ia mengasumsikan bahwa kota harus selalu menggelar karpet merah terlebih dahulu bagi kapital demi memberi harapan kepada publik. Seakan-akan kebijakan yang tak menguntungkan kapital tidaklah bernilai.
Kedua, ada lompatan berpikir dalam dalih tersebut: seolah-olah pengembang dan tuan tanahlah yang membayar semua biaya kompensasi itu. Pada kenyataannya, kompensasi itu justru dibayar dari uang konsumen pembeli properti. Tanpa kendali harga/sewa, kompensasi itu hanya akan dibebankan kepada harga properti, dan tidak diambil dari pundi-pundi pengembang.
Ketiga, dalih itu gagal melihat efek meroketnya nilai properti dalam jangka panjang. Meskipun investor membangun apartemen terjangkau di dekat apartemen mewah, tak ada jaminan penghuni apartemen yang pertama akan bertahan tanpa cemas akan risiko kenaikan harga/sewa dan pengusiran.
Mengutip kata-kata aktivis anti-gentrifikasi Marina Ortiz, Stein menulis gentrifikasi memang berorientasi “masa depan, tapi masa depan yang tak akan menyertakan kita”.
Kunci untuk memahami gentrifikasi, menurut Stein, adalah rent gap (kesenjangan harga/sewa). Teori ini dirumuskan ahli geografi Neil Smith pada 1979. Menurut Smith, gentrifikasi terjadi ketika harga aktual properti di suatu lingkungan jauh lebih murah daripada harga potensialnya.
Kesenjangan inilah yang selalu membuat kapital real estate berupaya untuk menutupnya. Mereka bisa membelinya dengan harga murah, mendapat pinjaman serta membiayai pembangunannya (berkat kebijakan insentif dan pemotongan pajak), dan kemudian menjualnya dengan margin keuntungan yang tinggi (karena tidak adanya kebijakan rent control).
Stein kemudian menjelaskan lebih jauh. Jika dulu rent gap terjadi antara “harga aktual yang jatuh” dengan “harga potensial yang bisa stabil”, kesenjangan itu kini terjadi antara “harga aktual yang meningkat lambat” dengan “harga potensial yang bisa diledakkan”.
Alhasil, Stein bilang, gentrifikasi bisa terjadi terhadap seluruh permukiman kelas pekerja jika di sekitarnya dibangun satu apartemen mewah. Ini bahkan bisa menciptakan rent gap seluas wilayah kota karena pengembang dan tuan tanah tak akan berhenti untuk menutup setiap kesenjangan lewat lobi politik.
Banyak pihak, menurut Stein, berkontribusi kepada gentrifikasi. Para bankir menciptakan skema-skema keuangan yang menjadikan perumahan sekadar komoditas dan aset. Para arsitek menyajikan rancangan-rancangan edgy dan eksklusif untuk konsumen kelas atas. Para politisi merapal janji untuk membangun, membangun, dan membangun. Pada akhirnya, para perencana kota melenturkan ruang demi profit.
Lalu adakah solusi yang Stein tawarkan?
Capital City tidak saja menawarkan cara pandang baru bagi perencana, urbanis, dan tentu saja warga kota. Buku ini juga mengusulkan sejumlah langkah praktis. Stein sendiri memang berharap bukunya tak sekadar menjadi santapan sel abu-abu di tempurung kepala kita tapi juga salah satu rujukan aksi bagi perencana dan warga kota.
Memang tidak ada solusi instan bagi problem real estate state. Tapi, menurut Stein, ada sejumlah kebijakan yang bisa diambil untuk melawan tren tersebut, dan bahkan membaliknya.
Pertama, dia mengusulkan, proteksi terhadap lingkungan atau permukiman kelas pekerja dengan menetapkannya sebagai situs cagar, entah itu budaya ataupun sejarah. Dia mencontohkan Harlem River Houses, sebuah kompleks apartemen kelas pekerja yang dibangun dengan sangat baik di Manhattan pada 1936.
Kompleks tersebut berturut mendapatkan status “New York City Landmark” pada 1975, terdaftar dalam “National Register of Historic Places” pada 1979, dan “Special Planned Community Preservation District” pada 2014. Dengan status tersebut, Harlem River Houses terhindari dari gentrifikasi yang menyapu permukiman kelas pekerja di sekitarnya. Ini karena pengembang harus mendapatkan persetujuan publik dan izin khusus sebelum bisa menggusur atau menghancurkannya.
Kedua, menurut Stein, harus diupayakan adanya aturan tentang pengendalian harga/sewa properti (rent control). Aturan tersebut bisa menghambat inflasi harga properti dan memangkas hubungan antara perencanaan dan gentrifikasi.
Ketiga, warga membentuk perserikatan lahan komunitas (community land trust) di lingkungan masing-masing. Elemen kunci dari perserikatan ini adalah tanah dimiliki oleh entitas non-profit, termasuk penghuni bangunan di atas, dan adanya kesepakatan yang melarang penjualan properti dengan harga melebihi harga sebelumnya. Hasilnya, tanah dan rumah tidak lagi menjadi komoditas dan warga tak harus cemas dengan fluktuasi spekulasi pasar.
Keempat, pemerintah harus mulai mengambil alih lahan dari tuan tanah dan pengembang. Caranya, Stein mengusulkan, dibuatnya aturan yang memfasilitasi transfer properti privat ke publik. Misalnya, tuan tanah atau pengembang yang tidak membayar pajak akan dihukum dengan pencabutan izin. Tanah yang berhasil dikuasai kembali bisa digunakan untuk membangun perumahan sosial dan kepemilikan lahannya diserahkan kepada perserikatan.
Selain itu, perlu dibuat aturan yang disebut “right of first refusal”. Dengan aturan ini, pemerintah kota menjadi yang paling berhak membeli setiap properti yang akan dijual. Dengan harga yang pantas, pemerintah kota bisa membelinya dan menggunakannya untuk membangun perumahan sosial.
Jika pemerintah memiliki kehendak politik, menurut Stein, tak ada dalih kekurangan dana untuk mewujudkan hal-hal di atas. Persoalannya, dalam anggaran negara, porsi terbesar uang publik malah dialokasi untuk militer dan polisi. Padahal, persoalan keamanan bisa berkurang jika warga tinggal di dalam hunian yang layak. Terlebih, di Amerika, Stein mencatat, pemerintah federal telah kehilangan setidaknya 200 miliar dolar per tahun (sekitar 2.820 triliun rupiah) akibat kebijakan insentif dan pemotongan pajak bagi kapital real estate.
Gerakan politik lintas batas (baik geografis maupun kelompok), menurut Stein, harus mengiringi langkah-langkah praktis di atas. Gerakan buruh, misalnya, harus mulai menjadikan perumahan sosial dan terjangkau sebagai salah satu isu utama mereka. Komunitas-komunitas anti-gentrifikasi juga harus membangun koalisi lintas batas.
Stein menegaskan bahwa real estate state bukan sekadar fenomena sejarah dan ekonomi. Jauh lebih penting daripada itu, ia adalah konstruksi politik, dan karenanya hanya bisa diperbaiki atau dilawan dengan gerakan politik.
“Rencana bisa berubah; perencana bisa berganti; perencanaan juga bisa berubah; tetapi tidak ada yang akan berubah hanya karena ia harus berubah. Segala sesuatu hanya akan berubah ketika orang-orang mengusahakannya–mengorganisasi diri di gedung-gedung, lingkungan-lingkungan, dan kota-kota, melalui politik alternatif, sebagai kekuatan sosial yang dapat mengubah keseimbangan kekuasaan,” tulis Stein.[]
Foto utama: mural antigentrifikasi di Washington, DC. Sumber foto: Citylab.com.